TUNGGU AKU DI KOTA GARUT
Kisah Cinta Antara Garut - Jogja yang Mengharu Biru
Penulis : Arie Amar Ma'ruf
Editor : Nabil Arjuna Ma'ruf
Produksi : Rumah Cinta
Tunggu Aku
1
Kereta Api
Parahyangan sampai di Stasiun Tugu
Jogja. Aku melirik jam tangan. Jam empat
kurang sepuluh menit. Aku turun berdesakan dengan para penumpang lainnya yang
menghuni gerbong ketiga. Perasaanku lega setelah
berada di luar kereta dan menghirup udara sore yang segar. Pandanganku beredar
di tengah keramaian stasiun. Tiba-tiba mataku menemukan wajah yang sangat
kukenal tengah melihat-lihat ke gerbong kereta yang baru berhenti. Pasti sedang
mencariku.
“Galih!” teriakku.
Dia menoleh dan langsung tersenyum lebar melihatku.
“Abi!” setengah berlari Galih menghampiriku.
Kami
berpelukan girang. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah hampir satu tahun
berpisah. Selepas SMU Galih diterima di Kedokteran Umum UGM, sedangkan aku
melanjutkan kuliah di STKIP Garut. Hidupku memang tak beranjak dari Garut.
Lahir di Garut, sekolah mulai SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi pun masih di
Garut. Mungkin mati juga ditakdirkan di Garut. Tapi aku merasa bahagia tinggal
di kota Garut, sebuah kota kecil yang
cantik dan berhawa sejuk, tempat orang-orang dari berbagai daerah di seluruh
nusantara ini mencari kedamaian.
“Apa
kabarmu sobat?” tanya Galih mendahuluiku.
“Alhamdulillah.
Bagaimana dengan kamu?” aku balik bertanya.
“Aku sehat lahir batin,” sahutnya.
“Percaya, anak kedokteran nggak
pantas sakit-sakitan.”
“Kamu bisa aja,” Galih tertawa.
“Aku benar-benar bahagia bisa
bertemu denganmu,” ucapku.
“Aku juga. Seperti dalam mimpi bisa
bertemu kamu setelah setahun berpisah.”
“Bagaimana, tidak ada yang berubah
dari diriku, kan?” aku mengangkat bahu.
“Nanti dulu. Hai, kamu lebih kurus sekarang,” komentar Galih.
“Yang
benar saja! Kamu tidak melihat aku lebih gagah sekarang?” aku protes.
Galih
tertawa.
“Oh ya, aku lihat di tivi ada kerusuhan di Garut menuntut
bupati Agus Supriadi mundur.
Aku mau tahu ceritanya,” kata Galih.
“Persolannya sangat rumit. Bupati Garut dipaksa mundur
karena diduga melakukan korupsi. Tapi awalnya adalah adanya perseteruan elit
politik di Garut menjelang pilihan kepala daerah. Ada
persoalan hukum dan persoalan politik selain persoalan lainnya yang
melatarbelakangi terjadinya kerusuhan. Permasalahannya sangat kompleks.”
“Begitu ya? Aku hanya menyayangkan di Garut yang selama
ini damai bisa terjadi kerusuhan.”
“Ada orang-orang yang bermain dengan menghalalkan segala
cara. Aku sangat benci kepada orang-orang yang membuat Garut terpuruk seperti
saat ini hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.”
“Kamu ada di pihak mana, Bi?”
“Aku berada di pihak masyarakat yang menjadi korban
permainan para elit politik yang selalu bicara atas nama rakyat, tetapi
sebenarnya tak pernah serius memperjuangkan kepentingan rakyat. Aku merasa prihatin dengan apa yang terjadi di Garut saat
ini.”
“Semoga saja persoalan
di Garut segera selesai dengan solusi yang berpihak kepada kepentingan
rakyat,” ujar Galih.
“Semoga,” ucapku.
“Terima
kasih kamu akhirnya memutuskan untuk berlibur di sini. Telah kusiapkan acara kita selama kamu di sini. Aku ingin
membuatmu mengenal Jogja untuk kemudian selalu merindukannya,” ujar Galih.
Tunggu Aku
2
Mentari hampir hilang, jatuh ke peraduan. Pemandangan kota Jogja di
senja hari begitu indah, membuat hati berdebar membangun imajinasi, alangkah
bahagianya jika bersama dengan seorang pujaan hati memandangi langit yang penuh
suasana romantis. Ini adalah senja pertamaku di Jogja, di tempat kost Galih.
Selesai shalat maghrib, Galih mengajakku jalan-jalan ke
Malioboro dengan sepeda motornya. Kata Galih, Malioboro adalah sebuah tempat
yang tak pernah sepi oleh pengunjung, seperti pengkolan di kota Garut.
Malioboro adalah jalan sepanjang 1 km yang menjadi jantung kota Jogja. Deretan
kios cenderamata, beraneka batik dan barang antik, serta segala macam
pernak-pernik khas Jogja. Berbelanja di Malioboro tak hanya sekedar belanja
saja, tapi juga menikmati suasana romantis. Para tukang becak dan andong nampak
hilir mudik, sehingga suasana nampak begitu hidup.
“Jogja adalah rumah bagi para seniman. Kita akan dengan
mudah menemukan beraneka macam hasil karya anak manusia di sini. Para seniman
mendapatkan tempat yang luas di hati masyarakat. Mereka bebas berekspresi di
mana saja dan kapan saja. Dan kita bebas menikmati karya mereka tanpa batas,”
ujar Galih.
“Ya, apa yang kamu katakan benar, Lih. Aku bisa melihatnya,”
kataku.
Aku membeli sebuah kalung yang menurutku sangat unik.
Galih tersenyum melihatku.
Setelah berjalan-jalan beberapa saat, Galih mengajakku
mampir ke tempat makanan lesehan, yang menyediakan nasi bungkus mungil, katanya
namanya nasi kucing. Lauknya ada gorengan dan beraneka macam sate.
“Hampir setiap orang yang datang ke Jogja merasakan
enaknya makan lesehan seperti ini,” kata Galih.
Aku tersenyum.
“Bagi para pelajar dan
mahasiswa perantau sepertiku, Jogja adalah kota yang bersahabat. Ia tak hanya
jadi rumah kedua yang nyaman, tapi juga menjadi sahabat bagi orang yang
berkantung pas-pasan. Jogja adalah kota serba murah yang membuat orang tak
kelaparan. Ada ratusan usaha waralaba yang menjual intel dan tante.”
“Apa intel? Apa tante?” keningku
berkerut.
“Intel singkatan dari indomie
telur, dan tante singkatan dari indomie tanpa telur,” sahut Galih.
Aku tersenyum. Lucu sekali cara
mereka memberi nama makanan.
“Belum lagi angkringan penjual
makanan yang bisa ditemui hampir di setiap gang, menjual nasi, gorengan dan
sate yang enak rasanya.”
Nasi kucing dan sate telah
terhidang di depan kami. Penjual makanan dengan ramah dan senyum tulus
mempersilahkan kepada kami. Kami mulai makan. Minumannya susu jahe. Saat
mulutku mulai menyantap makanan itu, terasa sekali nikmatnya.
“Jogja adalah rumah bagi
orang-orang sederhana dan ramah. Senyum dan sapa yang keluar dari bibir mereka
benar-benar tulus. Mereka seolah-oleh menjadi keluarga selama kita berada di
Jogja. Mereka siap membantu meskipun kepada orang yang baru mereka kenal. Orang
Jogja akan dengan senang hati menunjukkan jalan ketika kita tersesat tak tahu
arah tujuan. Mereka berusaha menghormati keberadaan kita kalau kita pun
menghormati kebudayaan mereka,” ujar Galih di sela-sela acara makan kami.
Aku mendengarkan perkataan
Galih sambil mengangguk-angguk. Semakin sering mendengarkan informasi tentang
Jogja darinya, aku semakin tertarik dan semakin mengagumi kota Jogja.
Selesai makan kemudian minum
susu jahe. Ah nikmatnya sungguh luar biasa.
Tunggu Aku
3
Aku duduk di kaki sebuah stupa Candi Borobudur, memandang jauh ke pemukiman penduduk yang nampak datar.
Angin berhembus semilir memainkan imajinasiku. Dulu tempat ini pernah menjadi
tempat yang memiliki peranan penting sebuah kerajaan besar. Pusat agama dan
kebudayaan. Tercatat dalam sejarah dunia tentang kekuasaan Raja Samaratungga
dari Wangsa Syailendra yang telah menciptakan bangunan semegah Borobudur pada
masanya. Bangunan batu besar bersusun yang menjadi salahsatu keajaiban dunia.
Seolah-olah
tergambar di mataku ribuan manusia bertelanjang dada bermandi keringat
mengangkat batu-batu besar untuk menyusun candi. Dentingan
palu dan pahat para pengukir relief
berbaur dengan teriakan-teriakan yang memberi perintah kepada para
pengangkat batu. Mereka bekerja tak kenal lelah, dari mulai membangun pondasi
hinggabagian teratas candi yang rumit. Hingga akhirnya menghasilkan sebuah
karya yang luar biasa.
Sebuah tepukan di bahuku membuyarkan
lamunan. Aku tersenyum pada Galih yang entah sejak kapan berada di sampingku.
“Kuperhatikan sejak tadi, kamu
begitu asyik termenung,” kata Galih.
“Aku sedang merenungkan tempat ini,
Lih. Membayangkan kebesarannya berabad-abad lalu. Aku tak habis pikir mengapa
segalanya menghilang? Sekarang hanya candi ini yang bisa kulihat sebagai bukti
bahwa kebesaran itu pernah ada,” ujarku.
“Segala hal bisa berubah. Waktu bisa
mengubah segalanya. Kekuasaan dan kebesaran manusia tidak kekal. Sebuah
peradaban pada akhirnya hanya akan meninggalkan sebagian kecil sisa kejayaannya
sebagai sebuah pelajaran bagi manusia berikutnya.”
Perkataan Galih membuatku termenung
kembali. Waktu bisa mengubah segalanya. Sejak bumi ini diciptakan entah sudah
berapa banyak kekuasaan yang dibangun oleh manusia. Tapi tidak ada yang abadi.
Andai saja manusia mengambil pelajaran dari semua itu, mungkin tak akan ada
otoritas kekuasaan, keserakahan, kesewenang-wenangan, penindasan dan
penghalalan segala cara demi mencapai tujuan di muka bumi ini. Seperti yang
sedang terjadi di kota Garut tercinta saat ini, adalah sebuah contoh kecil
ketidakabadian buah dari keserakahan dan kemunafikan manusia.
“Bi, selain aku… ada lagi yang ingin bertemu denganmu.
Dan dia sangat senang mendengar berita tentang kedatanganmu ke sini,” ujar
Galih.
“Siapa?”
aku menatap Galih.
“Apakah
kamu masih ingat Marina?”
Deg!
Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Perasaanku jadi tak menentu. Dan itu
selalu terjadi setiap nama Marina kudengar dan kukenang. Ya Tuhan, Galih telah
mengingatkanku lagi pada sosok itu. Memaksaku tenggelam pada bayang-bayang masa
lalu yang penuh warna.
“Aku
masih mengenangnya,” desahku getir. Kugelengkan kepala untuk memupus
bayang-bayang Marina yang tiba-tiba saja terlintas di benakku.
“Bi,
Marina juga meneruskan kuliahnya di sini. Ia satu fakultas denganku,” ujar
Galih membuatku kaget. Kutatap wajah Galih lekat-lekat. Rasanya aku tak
percaya.
“Benarkah?”
Galih
mengangguk.
Semua
telah jelas. Setelah sekian lama tak kudengar kabar
tentang Marina, tiba-tiba aku mendengarnya dari Galih. Kualihkan pandangan.
Senja di atas pegunungan berwarna keemasan. Sayap malam melingkupi sekitar
Candi Borobudur.
“Kamu memberitahukan kedatanganku ke
sini padanya?” aku kembali menatap mata Galih.
“Ya. Dan aku berjanji untuk
mempertemukan dia denganmu.”
Kutarik napas dalam-dalam kemudian
kukempaskan. Bertemu kembali dengan Marina setelah sekian lama tak bertemu, ya
Tuhan… bisakah pertemuan itu mengembalikan keutuhan persahabatan kami?
Sesungguhnya di balik luka ini aku rindu derai tawanya, aku rindu menatap
bening matanya dan aku rindu segala hal tentang dia.
Puncak Borobudur makin tenggelam
dalam kegelapan dan kebisuan. Kuturuni tangga-tangga batu dengan
langkah-langkah kaku. Dalam hati aku berjanji, andai persahabatanku dengan
Marina tersambung lagi, aku ingin mengajaknya ke tempat ini untuk mendiskusikan
masa lalu tempat ini seperti mendiskusikan banyak hal di sekolah dulu.
Tunggu Aku
4
Tiga tahun lalu….
Kantor kepala sekolah tinggal beberapa langkah lagi di
hadapanku.
“Hai Marina!” teriakan itu
mengusikku untuk menunda langkah. Aku penasaran sekali ingin melihat cewek
bernama Marina itu. Siswi baru itu selalu jadi bahan pembicaraan teman-teman di
sekolahku belakangan ini. Katanya dia bukan saja cantik, tapi otaknya pun
cemerlang. Aku yang selama ini menjadi murid terbaik di sekolah jadi kurang
percaya diri jika teman-temanku membicarakan kejeniusan Marina.
Aku menoleh ke arah teriakan itu.
Hera nampak cengar-cengir memandangiku.
“Ternyata betul dugaanku, nggak ada
cowok di sekolah ini yang nggak kepelet
oleh Marina. Kamu pun ikut-ikutan naksir padanya. Buktinya kamu menoleh
ketika aku menyebut nama Marina. Huh! Aku jadi semakin tak percaya saja
terhadap makhluk yang bernama cowok! Semua cowok mata keranjang!” Hera mencibir
lalu melanjutkan langkahnya ke arah perpustakaan. Tinggallah aku
terbengong-bengong sendiri. Sialan si Hera, nuduh aku yang bukan-bukan!
Kulanjutkan langkah dengan sedikit
tergesa-gesa. Di kantor kepala sekolah telah ada yang menunggu. Galih temanku
anak kelas 2 Biologi dan seorang siswi yang belum kukenal. Mereka tersenyum
menyambut kehadiranku.
“Marina,” siswi itu menyebutkan
namanya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya.
“Abimanyu,” balasku. Hem, rupanya
ini siswi baru yang sekarang jadi pusat perhatian di sekolah ini, kataku dalam
hati.
“Abi ini temanku sejak SMP. Ia
sekarang di kelas 2 Fisika,” kata Galih pada Marina.
“Kalian sahabat dekat rupanya. Mau
dong aku gabung dengan kalian,” ucap Marina.
“Dengan senang hati,” sahutku. “Kamu
pindahan dari mana sih?” lanjutku sambil menatapnya. Duh, matanya bening
banget….
“Aku dari SMU 1 Jogja. Pindah ke sini karena
papaku kerja di Kawah Kamojang,”
ujar Marina.
“Ooh....”
aku mengangguk.
Beberapa
saat kemudian Pak Suhaya kepala sekolah kami muncul.
“Selamat siang,” katanya sambil tersenyum.
“Selamat
siang, Pak,” sahut kami.
Ia lantas menyalami kami kemudian
duduk di kursi kerjanya.
“Begini anak-anak, Bapak sengaja
memanggil kalian karena sekolah kita mendapat kepercayaan untuk mewakili
Kabupaten Garut pada acara cerdas cermat IPA yang diselenggarakan oleh ITB.
Melihat prestasi kalian selama ini, Bapak percaya kalian adalah orang-orang
yang tepat untuk mengikuti acara itu. Dan kamu Marina, walau baru satu bulan di
sini, tapi melihat nilai akademik kamu selama di sekolah lamamu, kamu layak
diberi tempat pada tim sekolah kita,” ujar pak kepala sekolah. Selanjutnya
beliau mengutarakan berbagai hal seputar persiapan untuk mengikuti cerdas
cermat.
Pertemuan hari itu adalah awal
kebersamaan kami. Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari persahabatan antara aku, Marina dan Galih.
Persahabatan kami semakin dekat setelah sukses jadi juara di acara cerdas
cermat IPA yang diselenggarakan oleh ITB. Kami
sering bersama baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Rumah kami bergilir menjadi tempat kumpul untuk main atau berdiskusi soal
pelajaran di sekolah. Apalagi orang tuaku dan orang tua Marina ada hubungan
pekerjaan di kantor PT Telkom Garut.
Semakin erat persahabatan kami,
semakin kagum aku kepada Marina. Dan semakin tenggelam diriku dalam pesonanya.
Aku merasakan debar-debar indah di dadaku jika berada di dekatnya, dan aku
merasakan rindu jika jauh darinya. Aku sudah mencoba menutupi perasaan istimewa
padanya, tapi semakin lama kupendam perasaan itu semakin keras berdebur-debur
bagai ombak pasang di lautan yang menghancurkan karang yang keras dan terjal.
Akhirnya kuungkapkan perasaanku
padanya ketika hujan siang itu mengguyur kota Garut sehingga memaksa kami
menunggu di sekretariat OSIS, enam bulan setelah aku mengenal Marina.
“Marina, aku tak bisa lebih lama
lagi memendam rasa hati padamu. Aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu,” kataku
dengan perasaan berdebar-debar.
“Benarkah?” ia menatapku.
“Ya,” sahutku.
Kami bertatapan. Geletar-geletar dawai hatiku kian deras.
Marina menggigit bibir dan tertunduk. Beberapa saat kemudian ia menatapku lagi.
“Abi, kurasa lebih baik kita
bersahabat saja,” ucapnya menghunjam hatiku.
“Kenapa?” aku menatapnya dengan
perasaan kecewa.
“Karena persahabatan lebih abadi daripada cinta,” suara
Marina lirih. Kulihat ada kristal-kristal bening di
matanya.
“Maafkan aku, Marina. Aku telah
salah mengartikan kebersamaan kita selama ini,” kataku getir. Lalu kutinggalkan
Marina sendirian. Kuterobos hujan lebat dengan membawa perasaan terluka. Tak
kupedulikan teriakan Marina memanggil-manggil namaku.
Sejak saat itu tercipta jarak di antara kami. Aku sengaja
menjaga jarak dengannya. Entahlah, aku jadi merasa tak berarti di hadapan
Marina. Rasa cinta padanya yang demikian besar tumbuh dalam hatiku yang
berakhir dengan penolakan membuat aku tenggelam dalam kekecewaan. Aku lebih
suka melamun daripada belajar hingga prestasiku turun drastis. Aku sungguh
mengalami masa-masa sulit dalam hidupku. Mungkin ini yang dinamakan patah hati.
Jarak yang tercipta semakin lebar setelah Marina mengalahkanku dalam pemilihan
ketua HIPI, Himpunan Pelajar Berprestasi di sekolah kami.
Memupus bayang-bayang Marina dari pikiranku adalah hal
yang sangat sulit sampai detik ini. Selalu kukatakan pada diriku bahwa ia telah
melukai hatiku dengan harapan agar bisa melupakannya. Tetapi tetap saja tak
berhasil. Entahlah, usaha-usahaku untuk
menghapus dirinya dari pikiranku selalu rusak oleh bayangan indah masa
lalu bersamanya.
Tunggu Aku
5
Galih mengantarku
ke rumah Marina. Perasaanku berdebar-debar
berada di depan rumah Marina. Pintu rumah terbuka. Sesosok tubuh keluar dari
dalam rumah. Seraut wajah cantik tersenyum melihat kehadiran kami. Tatapan
matanya yang bening menghentakkan jantungku dan membuat darah di tubuhku
berdesir nikmat. Aku merasakan yang seperti dulu lagi setiap melihat Marina.
“Eh!
Kalian sudah datang,” ucap Marina sambil menghampiri kami.
“Abi,
apa kabar?” ia menyambutku dengan hangat, ada binar indah di bola matanya.
“Baik,
Marina,” sahutku.
Tangan
kami berjabat erat. Cukup lama kami berpegangan.
“Hai,
aku jangan dicuekin dong, mentang-mentang ada barang baru, barang lama gak
disalamin,” ucap Galih.
Aku tersenyum melepaskan tangan Marina. Marina nampak tersipu
malu.
“Ayo
masuk, Mamaku udah nyiapin makanan buat kalian,” kata Marina.
Kami
lantas masuk ke dalam rumah Marina. Di dalam rumah kami disambut oleh Mama
Marina.
“Eh ada
orang Garut,” Mama Marina tersenyum.
Aku
bersalaman dengan Bu Anita, kucium tangannya.
“Sehat
Bu?” tanyaku
“Alhamdulillah,”
sahutnya.
Kami
lantas duduk di sofa ruang tamu.
“Bagaimana
keadaan keluarga di Garut?” tanya Bu Anita.
“Alhamdulillah
baik, Bu.”
“Syukurlah.
Sudah lama Ibu gak main ke Garut sejak Bapak pindah kerja lagi ke sini. Kangen
rasanya ingin main ke Gunung Papandayan, Situ Bagendit, Candi Cangkuang. Dulu
setiap hari Minggu pasti jalan-jalan. Ke Pantai Santolo Garut Selatan juga
nyampai,” ujar Bu Anita.
Aku
tersenyum. Selanjutnya kami ngobrol asyik tentang banyak hal. Kadang diselingi
canda dan tawa yang menciptakan suasana akrab di antara kami.
Pasir
putih Parangtritis menghampar indah
melukiskan kedamaian dan kehidupan yang tenang. Sesekali ombak menjilat ke
tepian pantai menghantarkan sisa-sisa kehidupan laut yang penuh misteri.
Marina
duduk di atas kuda putih, sementara aku dan Galih berjalan di sampingnya.
“Udah
ah! Turunin aku,” kata Marina dari atas kuda.
“Kenapa?”
tanya Galih.
“Aku
takut kuda ini lari, aku kan aslinya gak bisa naik kuda,” sahut Marina.
“Nggak
bakal lari, kecuali kalau kutepuk pantatnya. Tepuk pantatnya jangan?”
“Jangan
dong!”
“Tepuk
ah!”
“Ih
Galih nakal. Turunin aku dong,” mata Marina mendelik manja.
“Baru
saja sepuluh menit, sewanya kan satu jam.”
“Aku
takut....”
“Bagaimana
Bi? Turunin jangan?” Galih bertanya padaku.
“Kayaknya
nih cewek perlu dikasihani, aku nggak tanggung jawab kalau dia pingsan di atas
kuda,” sahutku.
“Ya
udah, kita turunin aja. Ayo turun Nona manis!”
Marina
memegang tangan Galih. Ia melompat dari atas kuda dibantu oleh Galih.
“Sekarang
giliran aku yang naik kuda,” kata Galih. Lalu naik ke atas kuda.
“Kamu
mau kemana, Lih?” tanyaku.
“Aku mau
jalan-jalan dulu, kalian silahkan nikmati hari yang indah ini, oke?”
Aku
mengangguk.
Galih
kemudian pergi menunggang kuda.
“Kita
jalan-jalan di sekitar sini aja,” kataku.
Marina
mengangguk. Kami berjalan bersisian di atas pasir putih Parangtritis.
Berada di samping Marina serasa mencairkan kebekuan
hatiku. Perasaanku mengangkasa di langit biru. Ada
semangat dan harapan. Gairah hidup seakan meletup-letup. Ya Tuhan, apakah aku
masih mendambakan dia?
“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi. Ketika
mendengar kabar tentangmu dari Galih, aku benar-benar terkejut,” kataku
mengawali pembicaraan sambil menatapnya dengan syahdu.
“Dan kamu sebenarnya tak meng-harapkan pertemuan
denganku, kan?” Marina menatap dengan mata beningnya yang seolah menyimpan
kesenduan.
Aku menggelengkan kepala. “Andai kamu tahu, aku begitu merindukan pertemuan ini.”
“Ketika Galih ngasih kabar kamu akan liburan di sini, aku
pesimis kamu mau bertemu denganku. Aku telah bersiap-siap kecewa,” ucap Marina.
“Aku sekarang seorang laki-laki dewasa yang bertindak
dengan pikiran, bukan dengan perasaan. Dulu aku memang sempat ingin melupakan
segala hal tentangmu. Tapi sekarang… sangat bodoh jika aku menghindari
pertemuan dengan seorang bidadari,” godaku.
Wajah Marina bersemu merah. Ia nampak semakin cantik di
mataku.
“Kamu masih suka nulis cerita?” tanyanya.
“Masih.
Memangnya kenapa?”
“Pantesan, rayuannya makin maut.”
“Tapi sayang, belum ada yang jadi korban.”
Kami tertawa lepas bersamaan. Ya Tuhan, saat-saat indah
kebersamaan kami terulang kembali. Terima kasih atas karunia yang indah ini.
“Gimana kabar Tante Hana?”
Marina menanyakan kabar Mamaku.
“Alhamdulillah, baik.”
“Aku kangen banget.”
“Mama sering bicara soal kamu dan Galih.”
“Oh ya?”
“Katanya pernah bermimpi melihat kalian berdua
melambaikan tangan padaku.”
“Sampai terbawa mimpi begitu?”
“Ya. Ketika mau berangkat ke sini, Mama nyuruh aku
nanyain kabar kamu pada Galih.”
“Tante Hana
sangat baik. Insya Allah kalau ada waktu aku mau ke Garut khusus nemuin
beliau.”
“Jangan begitu dong, masa cuma mau nemuin Mama? Kamu
nggak minat ya nemuin aku?”
“Kalau aku nemuin mama kamu, artinya aku nemuin kamu
juga,” katanya sambil tersenyum manis.
“Aku akan menunggu. Banyak yang sudah berubah di Garut. Hanya
ada satu hal yang tidak berubah.”
“Apa?”
“Nanti saja kalau kamu ke Garut kutunjukkan padamu.”
“Aku jadi penasaran,” ucapnya dengan tatapan yang
menghunjam hatiku.
“Emang biar kamu penasaran.”
“Tunggu aku di kota Garut, aku pasti akan datang,”
ucapnya.
Hatiku,
Marina. Sejak dulu sampai sekarang hatiku menyimpan cinta yang demikian dalam
padamu. Kamu adalah surga cinta bagiku.
“Kamu tahu? Selama ini aku benar-benar merasa kehilangan
kamu,” ucap Marina sendu.
“Saat itu aku merasa tak berarti bagimu, jadi kupikir
lebih baik menghindari dan melupakan kamu. Tapi… ternyata tak bisa. Bahkan
sampai detik ini pun. Karena sesungguhnya tak ada yang lebih indah selain
kebersamaan denganmu, walau kehadiranmu hanya sebatas teman. Mungkin
saat-saat itu adalah hal terindah yang pertama dan terakhir dalam hidupku.”
“Abi, kamu menangis?”
“Hari ini aku bahagia sekali.”
Selanjutnya aku ngobrol tentang banyak hal dengan Marina.
Tunggu Aku
6
Berada di Jogja seperti mengulang kembali kebersamaan antara aku, Marina
dan Galih. Aku sangat senang bersama mereka. Kami bertiga mendatangi berbagai
tempat wisata dan menikmati semua keindahan serta keanekaragaman budaya
masyarakat Jogja. Jogja termasuk daerah istimewa di negeri ini karena pada saat
kemerdekaan negeri tercinta ini Jogja adalah sebuah wilayah bebas, tidak masuk
wilayah jajahan Belanda. Karena itulah masyarakat Jogja menolak adanya pilihan
gubernur di wilayahnya dan menginginkan Sultan Jogja otomatis menjadi gubernur
tanpa melalui mekanisme pemilihan. Adanya gubernur dan sultan akan menimbulkan
dualisme kepemimpinan yang membingungkan masyarakat dan bukan tidak mungkin
akan menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Hari ini kami akan mengunjungi Keraton Jogja. Kami bertiga. Aku, Galih dan Marina.
Terdengar lantunan tembang dalam bahasa Jawa kuno dari
mulut sang abdi dalem. Di depannya nampak sesajen, lentera dan hamparan
gamelan. Ia menembangkan sebuah syair dari sebuah kitab kuno. Nampak ada
beberapa orang wisatawan asing mendengarkan tembang itu walau mungkin tak tahu
artinya. Mereka sepertinya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan selama berada di
Indonesia untuk melihat berbagai kesenian tradisional terutama yang ada di Keraton
Yogyakarta.
Bergantian aku, Galih dan Marina saling memotret di
tempat itu. Latar belakang kami berfoto sunggu bagus, sayang kalau tak
dimanfaatkan oleh kami.
Suara tembang Jawa terus mengalun, bau wewangian bunga
dan asap dupa yang mengiringi tembang itu menciptakan suasana magis. Beberapa
orang abdi dalem nampak duduk di sebelah kiri sang pelantun tembang Jawa,
mereka bersila untuk melantunkan tembang secara bergiliran.
Keraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup
kebudayaan jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan cuma sebagai tempat
tinggal raja dan keluarganya semata, tetapi juga menjadi kiblat perkembangan
budaya Jawa. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung
bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan.
“Lokasi Keraton Yogyakarta didirikan awalnya adalah
sebuah hutan Beringin. Dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755.
Lokasi tersebut dipilih karena tanah tersebut diapit oleh dua sungai sehinnga
dianggap cocok untuk mencapai kemakmuran,” ujar Marina.
Aku mengangguk-angguk.
“Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak oleh
gempa besar tahun 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri kokok sampai
sekarang dan terawat baik,” katanya lagi.
Setelah hampir setengah hari berada di Keraton Yogyakarta,
banyak hal yang bisa disaksikan, mulai dari aktivitas para abdi dalem hingga
melihat koleksi barang- barang keraton. Koleksi-koleksi itu disimpan dalam
kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan mulai dari keramik dan barang
pecah belah, senjata, foto-foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik
beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati
pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan
tersebut mulai dari macapat atau menyanyikan tembang-tembang Jawa kuno, wayang
kulit dan tari-tarian.
Setelah puas berkeliling Keraton Yogyakarta, aku dan
kedua temanku melangkahkan kaki keluar lingkungan Keraton Yogyakarta dengan
perasaan puas. Bagi Galih dan Marina, mungkin perasaan mereka biasa saja karena
telah sering datang melihat-lihat suasana Keraton Yogyakarta. Tapi bagiku, ini
adalah untuk yang pertama kali sehingga sangat terkesan dengan apa yang
kusaksikan tadi di dalam Keraton Yogyakarta.
Tunggu Aku
7
Sore ini, Galih dan
Marina mengajakku pergi jalan-jalan ke Alun-alun Kidul. Aku
membonceng sepeda motor Galih, sedangkan Marina membawa sepeda motor sendiri.
Suasana di tempat itu ternyata ramai oleh para pengunjung.
Beberapa
saat kami berjalan-jalan melihat-lihat suasana tempat itu. Aku merasa heran
karena banyak orang yang menutup matanya, lalu berjalan ke arah dua pohon
beringin besar yang ada di tempat itu.
“Mereka
ngapain?” tanyaku pada Galih dan Marina.
“Mereka
sedang mencoba perun-tungan. Konon katanya siapa yang bisa lewat di
tengah-tengah kedua beringin itu dengan menutup mata, keinginannya akan
terkabul,” sahut Galih.
“Oh
begitu ya?” aku penasaran.
“Ini
berhubungan dengan sebuah cerita tentang seorang putri Sultan Hamengku Buwono
Pertama,” ucap Marina.
“Bagaimana
ceritanya?” tanyaku.
“Dulu
ketika Sultan Hamengku Buwono Pertama berkuasa, putri beliau dipinang oleh
seorang laki-laki keturnan bangsawan. Tetapi Sang Putri tidak menyukainya. Ia
mencari cara untuk menolak lamaran itu dengan halus. Sang Putri mendapat ide,
ia mengajukan sebuah syarat. Jika ingin menikah dengannya, laki-laki itu harus
berjalan dengan mata tertutup mulai dari pendopo yang berada di sebelah utara
alun-alun kidul kemudian melewati dua beringin di tengah alun-alun dan finish
di di pendopo yang ada si sebelah selatan alun-alun kidul. Laki-laki itu
melaksanakan permintaan Sang Puteri. Ternyata ia gagal,” ujar Marina.
“Terus
bagaimana?”
“Kemudian
Sang Sultan berkata, yang bisa memenuhi syarat Sang putri hanyalah laki-laki
yang hatinya benar-benar bersih dan tulus. Banyak pemuda dari kalangan
bangsawan yang mencoba, tetapi selalu gagal. Akhirnya ada seorang pemuda dari
tanah Sunda, katanya putra Prabu Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat
dari Sang Putri, hingga kemudian Sang Putri dipersunting olehnya. Secara
politik kemudian terjalin kekerabatan antara kerajaan Mataram dan kerajaan
Siliwangi,” Marina menutup ceritanya.
“Kalau
begitu, aku ingin mencobanya,” kataku.
“Aku
pernah mencobanya, tapi aku gagal,” kata Galih.
Marina
meminjam kain penutup mata kepada seseorang. Lalu aku dibimbing oleh Marina
untuk melaksanakan niatku.
“Sekarang
kamu sebutkan keinginan-mu dalam hati,” ucap Marina.
Aku
mengangguk. Ya Tuhan, aku adalah seorang laki-laki keturunan Sunda. Asalku dari
Garut. Aku ingin mempersunting seorang gadis dari tanah Jogja ini. Aku ingin
menjadikan Marina sebagai seorang permaisuriku. Aku mencintainya dengan tulus.
Kabulkan do’aku Ya Tuhan....
“Sudah
kau sebutkan keinginanmu?”
Tanya Marina.
“Sudah,”
aku mengangguk.
“Sekarang
mulailah berjalan,” kata Marina.
Aku
mulai melangkah. Pikiranku fokus pada dua pohon beringin itu. Di benakku masih
terbayang ruang besar di antara kedua pohon beringin itu. Aku terus berjalan.
Berjalan dengan kedua mata tertutup tentu saja berbeda dengan berjalan dalam
keadaan mata terbuka. Seperti sudah melangkah jauh padahal masih dekat.
Bisa-bisa aku menabrak orang lain atau menabrak pohon beringin itu.
Aku
terus mengira-ngira, sudah sampai atau belum. Aku terus berjalan.
“Stop!”
tiba-tiba terdengar suara Marina.
Ia
kemudian membuka penutup mataku. Kudapati senyumnya yang indah mempesona.
“Apakah
aku berhasil?” tanyaku penasaran.
“Ya,
kamu berhasil melewati tengah-tengah kedua pohon Beringin itu,” kata Marina.
“Yes!
Berhasiiill” aku berteriak kegirangan membuat orang-orang di tempat itu
memandangiku sambil tersenyum. Ada juga di antara mereka yang berhasil, tetapi
kebanyakan berteriak kecewa karena gagal melewati tengah-tengah kedua pohon
Beringin itu.
Galih
nampak melambaikan tangannya dari kejauhan. Aku dan Marina berjalan ke arahnya.
“Kalau
boleh tahu, apa yang kamu inginkan?” tanya Marina di sela-sela langkahnya.
“Kamu
yang kuinginkan,” kataku.
Wajah
Marina berubah memerah karena tersipu malu.
Ah...
apakah keinginanku akan menjadi kenyataan?
Tunggu Aku
8
Hari-hari
selanjutnya, aku makin betah berada
di Jogja. Aku dimanjakan oleh Galih dan Marina yang terus menemaniku
mengunjungi tempat-tempat indah yang ada di Jogja. Apalagi kalau malam hari.
Hampir setiap malam kami makan di luar. Dan beberapa kali aku makan malam
dengan gudeg, makanan manis gurih yang berbahan dasar nangka muda. Tiap pukul 9
malam, ketika banyak toko telah tutup, maka para pedagang mulai menata
dagangannya di atas meja sederhana. Memasang tikar-tikar di emperan toko atau
di trotoar yang tak mungkin dilalui oleh para pejalan kaki. Mereka menggelar
dagangannya sampai pagi, menjadi sebuah penanda bahwa Jogja tak pernah tidur.
Aku berada di tempat kost Galih sendirian. Galih sedang
pergi membawa komputernya untuk diservis.
Aku mencari-cari
bacaan. Kutarik sebuah buku berbahasa Inggris tentang kedokteran. Entah mengapa
aku tertarik untuk membukanya. Halaman demi halaman kubuka.
Tapi hanya sekilas-sekilas untuk melihat gambar-gambarnya saja. Tiba-tiba ada selembar
kertas yang tertarik dari dalam buku. Aku hendak menyimpan kembali kertas itu,
tapi kuurungkan ketika sekilas melihat tulisan di kertas itu. Sepertinya aku
mengenal bentuk tulisan itu. Darahku berdesir, Marina! Ini tulisan Marina. Aku
hapal betul tulisannya. Hurupnya kecil-kecil dan rapi. Sepucuk surat dari
Marina untuk Galih, apa artinya? Penuh rasa ingin tahu kubaca surat itu dengan
hati berdebar-debar.
Galih, sejak dulu
kamu dan Abimanyu adalah dua orang cowok yang kukagumi. Kalian adalah sahabat
terbaikku. Rasanya sampai kapan pun aku tak ingin kehilangan kebersamaan dengan
kalian. Ketika Abi menyatakan rasa cintanya padaku, aku bingung
harus menjawab apa. Aku belum siap menerima pernyataan cinta dari siapa
pun. Aku dengan terpaksa menolak cinta
Abi. Betapa sedihnya ketika aku harus kehilangan Abi. Aku mungkin telah melukai
hatinya, walaupun demi Tuhan aku tak berniat melukai hatinya.
Galih, kini aku merasa sendirian. Hanya kamu sekarang temanku bercerita. Please obati rasa
kehilanganku. Aku tak mau kau meninggalkan aku, seperti Abi meninggalkanku.
Kalau kamu mencintaiku, mari kita jalani hari-hari kita bersama, biarlah takdir
yang akan menentukan masa depan kita berdua.
Aku tak
mampu lagi meneruskannya. Mataku keburu dibasahi cairan hangat hingga
pandanganku kabur. Kupejamkan mata kuat-kuat. Aku tak ingin
Galih dan Marina nanti melihat mataku memerah karena tangisan.
Aku sangat mencintai Marina, tapi aku tak mau mengganggu kebahagiaan Galih yang telah lama
menjadi teman terbaikku. Aku harus merelakan Marina untuk Galih. Mungkin inilah
makna mimpi Mama yang melihat Galih dan Marina melambaikan tangan padaku.Tuhan,
aku rela andai mereka harus bersama, biarlah kutitipkan hati pada sepi.
“Aku mau pulang besok,” kataku pada Marina dan Galih
setelah berjalan-jalan di kawasan Malioboro.
“Besok?” Galih dan Marina menatapku seperti kaget.
Aku mengangguk.
“Kenapa besok? Liburannya kan masih lama,” ucap Galih.
“Please deh Bi, jangan pulang besok. Aku masih kangen,”
kata Marina.
“Aku ingat Mama terus, katanya mendadak sakit,” aku
berbohong.
“Sakit apa?” tanya Marina cemas.
“Kadang-kadang penyakit
lamanya kambuh, bekas operasi kadungan dulu. Aku
juga masih betah di sini bersama kalian. Tapi aku takut sakit Mama makin
parah.”
Galih dan Marina terdiam. Beruntung aku punya alasan yang
tepat untuk segera meninggalkan Jogja. Maafkan aku, Galih. Maafkan aku, Marina.
Aku takut jika lebih lama bersama kalian akan membuatku menangis di hadapan
kalian. Aku ingin menyembunyikan air mata ini demi kebahagiaan kalian.
Esoknya, Galih dan Marina mengantarku ke stasion kereta
api. Nyak Galih memelukku erat. Kemudian aku bersalaman dengan Marina, tangan
kami saling memegang erat. Kulihat ada kesedihan di matanya. Banyak hal yang
ingin dikatakan, tetapi tak terucapkan.
“Aku harap kamu bahagia selama di sini,” kata Galih.
“Aku sangat bahagia, sobat!” kataku.
“Salam untuk orang tuamu dan teman-teman kita di sekolah
dulu,” ucap Marina.
“Akan kusampaikan,” sahutku.
“Maafkan bila ada hal yang mengecewakan kamu selama di
sini,” kata Galih.
“Kalian sangat baik padaku. Kalian sahabat terbaikku.
Selamat tinggal!” aku naik ke dalam gerbong kereta api.
“Selamat jalan!” kata Galih.
“Semoga selamat sampai tujuan!” kata Marina.
Tak lama kemudian kereta api mulai bergerak. Galih dan
Marina melambai-lambaikan tangan padaku. Aku membalas dengan mata berkaca-kaca.
Tunggu Aku
9
Aku pulang dari Jogja
dengan hati yang telah hancur berkeping-keping. Namun aku tak bercerita tentang
luka hatiku kepada siapa pun, juga kepada Mama yang selama ini selalu menjadi
tempat curhatku.
“Katanya mau satu bulan di Jogja, baru dua minggu sudah
pulang,” ucap Mama.
“Aku ingat terus sama Mama, nggak ada teman curhatnya,”
sahutku.
“Ah masa?” Mama menggodaku.
“Kalau terlalu lama di sana, uangku habis. Soalnya tiap
hari jalan-jalan dan beli souvenir. Jogja itu benar-benar hebat. Segala sesuatu
ada di sana. Karya-karya para seniman bisa dijumpai hampir di setiap sudut
kota. Kehidupan kota seolah tak ada matinya. Dari mulai bangun pagi sampai
tidur lagi, gak pernah sepi. Aktivitas masyarakat terus berjalan. Aku sampai
jerawatan begini karena sering begadang,” ujarku.
Mama tersenyum.
“Kayaknya itu jerawat cinta deh, bukan jerawat karena
begadang,” goda Mama.
Aku tersipu malu.
“Galih ngajak aku jalan-jalan ke berbagai tempat wisata
di Jogja. Ke Candi Borobudur, ke Keraton, ke Parangtritis, ke Malioboro. Yang
paling sering ke Malioboro. Kalau di Garut seperti pengkolan. Cuma di sana
lebih ramai dan lebih hidup.”
Mama tersenyum.
“Mama pernah dua kali ke Jogja waktu masih SMA dulu. Dulu
juga Malioboro sudah ramai, apalagi sekarang.”
“Wah, Mama gaul juga ya.”
“Acara sekolah, study tour dan acara liburan sekolah
bersama teman-teman.”
“Kalau begitu gak usah diceritain deh kalau Mama sudah
tahu Jogya.”
“Ceritain saja, susananya kan sudah beda dahulu dengan
sekarang.
“Eh, Mama masih kenal sama Marina teman Abi sekolah
dulu?”
“Masih dong, yang paling pintar dan paling cantik itu
kan?”
“Iya sih.”
“Emangnya kenapa?” tanya Mama.
“Abi bertemu dengan dia dan sempat beberapa kali main ke
rumahnya. Dia satu kampus dengan Galih di UGM.”
“Oh ya? CLBK dong,” ucap Mama.
“CLBK?” aku heran karena Mama pakai bahasa singkatan.
“Cinta Lama Bersemi Kembali,” Mama menjelaskan sambil
tersenyum menggoda.
“Ah Mama,” aku tersipu malu.
“Dia tentu makin cantik dan dewasa,” kata Mama.
“Dia masih ingat sama Mama. Dia kirim salam, katanya
ingin datang ke sini untuk bertemu dengan Mama.”
“Syukurlah kalau demikian. Jika ingat sama Mama, pasti
sama anak Mama lebih ingat lagi,” kembali Mama menggoda.
Aku membuang perasaan luka di hatiku. Aku tak mau Mama
mengetahuinya.
“Semoga saja Marina bisa datang ke Garut, Mama kangen,
dan ada yang ingin Mama bilangin sama dia.”
“Mau bilang apa?”
“Rahasia dong.”
“Ah Mama pakai rahasia-rahasiaan segala.”
“Mama ingin memohon kepadanya... agar ia bersedia jadi
mantu Mama,” goda Mama.
“Ah Mama! Jangan bilang gitu!”
“Kenapa? Mama mau banget punya mantu yang cantik dan
pintar seperti Marina.”
Aku terdiam. Andai Mama tahu aku sedang terluka... ia
tentu akan bersedih dan tak akan tertawa-tawa menggodaku.
“Berdo’a saja Ma, semoga Marina jadi menantu Mama,”
kataku sambil berusaha tersenyum ceria.
Di hadapan Mama, aku
bersikap ceria menceritakan
tentang Marina. Mama nampak senang. Namun saat aku berada di kamar, aku
menangis tersedu-sedu mencurahkan perasaan sedih dan kecewa yang kupendam sejak
di Jogya.
Rasanya aku tak punya semangat lagi untuk melanjutkan
hidup. Cinta dan harapan seperti tubuh dan
bayangannya. Ketika cinta hadir di dalam hati, hidup penuh harapan dan impian.
Ketika cinta pergi, dalam hati hanya ada ruang kosong. Harapan pergi entah ke
mana. Namun di tengah keputusasaan yang melanda jiwaku, ada setitik cahaya yang
seolah membimbingku untuk tetap tegar menghadapi kenyataan. Hati ini pun
tergerak untuk menyerahkan segala urusan kehidupanku seutuhnya kepada Tuhan.
Jika malam telah sepi, aku bangun dan melaksanakan shalat tahajud dan shalat hajat. Di
akhir shalat aku berdo’a sambil berderai air mata. Aku tak akan pernah berhenti
memohon hingga permohonanku terkabul. Semoga Tuhan mengirimkan sosok wanita
yang lebih baik daripada Marina untuk dijadikan pelabuhan hatiku.
Tunggu Aku
10
Handphone di atas
meja berbunyi. Aku mengecilkan volume televisi di kamarku
kemudian mengangkat HP. Dari Beni teman gaulku sejak lama.
“Hallo
Om Ben? Bagaimana kabar Tante Yani?”
Beni
langsung tertawa, Yani adalah mantan pacarnya yang sudah menikah dengan orang
lain.
“Kamu
sudah kembali dari Jogja ya?” tanya Beni.
“Ah kata
siapa?”
“Kata
Erwin kemarin lihat kamu di Pengkolan.”
“Salah
lihat kali.”
“Memangnya
kamu di mana sekarang? Masih di Jogja?” tanya Beni.
“Bukan,
di rumah.”
“Tuh kan
benar kamu sudah pulang,” Beni kembali tertawa.
“Ada apa
Ben? Kalau mau ngomong yang nggak penting mau kututup nih! Masa dini hari
begini nelepon? Ini jam dua tahu!”
Beni
tertawa ngakak.
“Aku mau
ngajak kamu besok ke Pantai Garut Selatan. Bareng Erwin dan Agus Uwek.”
“Ngapain?
Aduh jangan deh Ben, jangan sampai nekat gitu mau bunuh diri di laut. Seberat
apa pun masalah kita jangan sampai gelap pikiran. Urusan Yani sudah masa lalu.”
Beni
tertawa ngakak lagi.
“Siapa
yang mau bunuh diri! Aku mau refreshing. Kalau kamu lagi galau, ikut saja
dengan kami!” kata Beni.
“Enak
saja! Aku nggak lagi galau!”
“Kalau
nggak lagi galau, ngapain jam 2 malam belum tidur malah teleponan sama aku?”
kata Beni dilanjutkan dengan tawanya.
“Ah sok
tahu kamu! Jam berapa besok berangkat?”
“Sekitar
jam sepuluhan. Kita nginap di sana semalam. Kamu punya saudara kan di sana?”
tanya Beni.
“Ada
teman sekolahku di sekitar Pantai Santolo,” sahutku.
“Besok
jam sembilan aku nyamperin ke rumah kamu. Tidur yang nyenyak jangan galau
lagi,” kata Beni diiringi tawanya.
Aku
menutup HP. Lalu naik ke tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Tapi sulit
sekali untuk tidur. Sejak pulang dari Jogja, aku belum pernah bisa tidur cepat
seperti dahulu. Sesungguhnya hati dan pikiranku sedang menderita karena
kenyataan pahit yang kuhadapi.
Jam
sembilan pagi aku sudah bersiap-siap membawa berbagai macam perbekalan yang kubutuhkan,
kemudian pamit kepada Mama.
“Ma, aku
sama Beni mau ke pantai Garut Selatan,” kataku.
“Berapa
orang?’
“Empat
orang.”
“Mau
malam mingguan di sana?”
“Iya.”
“Tapi
hati-hati di sana, ya?” kata Mama.
“Iya
dong, Ma.”
“Naik
motor atau naik mobil?”
“Beni
mau bawa mobil Jip.”
Aku
menunggu beberapa saat. Terdengar suara mobil di depan rumah. Ternyata Beni dan
teman-teman yang lain. Mereka turun dari mobil dan masuk dulu ke rumahku.
“Ngapain
bawa kompor?” kata Beni.
“Enak
saja. Aku cuma bawa pakaian untuk berenang di laut,” kataku.
Aku
bersalaman dengan Beni, Erwin dan Agus. Mereka ini kelompok pecinta alam sejak
dulu, tapi alam sepertinya tak mencintai mereka. Di antara mereka hampir
semuanya pernah mengalami patah hati. Kalau ditambah denganku, jadi empat
orang. Sungguh Tuhan telah menyatukan aku dengan orang-orang yang patah hati.
Mamaku
keluar dari dalam rumah.
“Maaf
Bu, kami pinjam dulu Abi biar gak diam saja di kamar kayak anak perawan,” kata
Beni.
“Hus!”
aku memelototi Beni.
“Iya,
hati-hati kalian ya!” kata Mama.
“Pokoknya
kami akan menjaga Abi dari apa pun,” kata Erwin.
“Emangnya
aku anak kecil?”
“Bukan
anak kecil sih, tapi anak Mama,” kata Erwin.
Semuanya
tertawa-tawa. Aku cem-berut mendengar ocehan mereka yang kompak kalau sudah ngeledek
orang.
Aku
mencium tangan Mama, kemudian berangkat mengikuti teman-temanku masuk ke dalam
mobil.
Tunggu Aku
11
Dari pusat kota Garut ke pantai Garut Selatan jaraknya sekitar 90 km.
Ada beberapa pantai indah di sana. Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo,
Pantai Manalusu, Pantai Karangparanje dan paling jauh Pantai Rancabuaya.
Jalannya berkelok-kelok sehingga kalau tak berhati-hati bisa terperosok ke
dalam jurang yang ada di sisi kiri dan sisi kanan jalannya. Sepanjang perjalanan
kita akan melihat pemandangan alam yang indah, perkebunan teh dan pegunungan
yang panjang dan masih hijau oleh
pepohonan. Bahkan ada sebagian wilayah yang berkabut saat sore hari hingga jam
sembilan malam. Ada sebuah hutan yang disebut Gunung gelap yang menyimpan
berbagai cerita misteri. Sering ada yang melihat harimau di tengah jalan.
Bahkan katanya sering ada wanita yang minta tumpangan ke dalam mobil jika
nyetir sendirian. Setelah minta berhenti dan diturunkan, ia tiba-tiba
menghilang. Di Gunung gelap juga sering ditemukan mayat oleh orang yang mencari
kayu bakar. Katanya Gunung Gelap adalah salahsatu tempat pembungan mayat
orang-orang yang bermasalah. Kalau mobil kita mogok di daerah itu, kita harus
melempar rokok ke luar kalau mesin mobil kita ingin hidup lagi.
Beni membawa mobil dengan santai, namanya juga mau
rekreasi. Beberapa kali kami berhenti untuk ngopi sambil foto-foto menikmati
pemandangan yang indah. Ada juga orang lain yang melakukan kegiatan foto-foto
dengan hp. Tetapi mereka melakukannya dengan pasangan masing-masing.
“Lihat mereka Ben, berfoto dengan pasangan mereka. Kita
begini terus sejak dulu, mesranya dengan laki-laki lagi,” ucap Erwin sedih.
Kami semua tertawa-tawa. Beberapa saat kemudian kami
heran karena Agus Uwek tidak kelihatan.
“Kemana dia?” tanya Erwin.
“Mungkin ke warung, yuk kita ke sana,” kataku sambil
berjalan ke arah warung.
Ternyata benar, Agus Uwek ada di warung. Ia sedang
ngerokok sambil menghadapi sebuah kopi susu di dalam warung yang sepi. Tak jauh
darinya ada seorang abg yang duduk malu-malu. Rupanya Agus Uwek sedang merayu
anak pemilik warung yang lumayan cantik dan modis.
Kami masuk ke dalam warung memesan kopi susu.
Erwin dan Beni menghampiri gadis cantik itu ngajak
kenalan.
“Wah, gak bakalan bener kalau sudah ada rorongo,” Agus Uwek kesal karena acara ngerayunya
diganggu.
“Namanya siapa Neng?” tanya Beni.
“Ranti.”
“Nama yang bagus. Hati-hati loh sama Kak Agus, kalau kamu
deket-deket dia nama Ranti bisa berubah menjadi Ranting yang patah,” kata
Erwin.
Gadis itu tersenyum, sementara Agus Uwek manyun.
“Sekolahnya di mana?” tanya Beni.
“Di SMA Cisompet,” sahutnya.
“Kelas berapa?”
“Kelas dua.”
“Jauh yah dari sini?”
“Lumayan, sepuluh kilo.”
“Perginya naik mobil atau naik motor?”
“Pakai sepeda motor, kadang-kadang naik mobil angkutan
umum.”
“Mulai sekarang kamu harus hati-hati ya, Neng Ranti,”
kata Erwin.
“Kenapa?”
“Jangan pergi naik motor sendiri, nanti diculik sama Kak
Agus,” kata Erwin sambil nunjuk Agus Uwek.
Mereka kemudian tertawa.
Gadis itu tersipu-sipu.
“Kak Agus itu orangnya baik. Aku sudah lama kok kenal
sama Kak Agus,” kata Ranti.
“Hah?” Beni dan Erwin kaget.
“Sudah kenal lama? Sudah berapa tahun?” tanya Beni.
“Ada sekitar tiga tahun. Kami udah satu tahun jadian,”
kata Ranti bikin semuanya makin kaget.
“Gus? Gak nyangka kamu ya! Pantesan kamu minta berhenti
di sini!” Erwin menunjuk Agus yang cengar-cengir.
“Ayo kita pergi Ben! Enakan dia kalau begini!” kata
Erwin.
“Kita habisin dulu kopinya Win, setelah itu kita cabut
dari sini!” kata Beni.
Aku senyum-senyum melihat kelakuan mereka. Kami bertiga
minum kopi sambil merokok, sedangkan Agus terus ngobrol sama Ranti yang
ternyata pacarnya.
Pandai sekali Agus menyembunyikan pacarnya dari kami.
Ngakunya masih ngejomblo padahal sudah punya kekasih, walaupun kekasihnya ada
di tengah hutan. Soalnya kalau di kota nggak bakal laku. Hihihi.
Tunggu Aku
12
Karena perjalanan
kami banyak berhenti, kami baru tiba di
lokasi sekitar Pantai Santolo jam empat sore. Padahal perjalanan normal hanya
sekitar tiga jam.
Aku masuk ke penginapan Karang Asri. Penginapan itu milik Tan-tan temanku
waktu di SMA dulu. Asep penunggu penginapan menyambut kedatangan kami. Aku
sudah beberapa kali menginap di tempat ini jika ada acara liburan ke pantai
sehingga ia sudah kenal padaku.
Aku satu
kamar dengan Beni, Erwin dengan Agus. Kami mandi, shalat, kemudian istirahat
sambil tiduran.
Jam lima
sore Tan-tan temanku datang. Kami lantas ngobrol setelah hampir setahun tak
bertemu. Sekaligus merenca-nakan acara di laut nanti malam.
Selepas
maghrib kami berangkat ke pantai Santolo yang sudah dekat dari penginapan kami.
Beni memarkir mobil di pinggir pantai. Lalu kami
mempersiapkan lampu senter dan sair untuk menangkap ikan. Kami akan ngobor di
sekitar batu karang di bibir pantai. Tan-tan yang jadi penunjuk jalan. Ia sudah
hapal lokasi tempat untuk ngobor sehingga kami merasa tenang, tidak takut
tersesat dan mendapatkan resiko yang berbahaya.
Kami kemudian berangkat menuju ke lokasi ngobor. Aku dan
Tan-tan membawa lampu senter, Beni dan Agus memegang sair, Erwin membawa ember
untuk menampung hasil tangkapan.
Ternyata di ceruk-ceruk batu karang banyak ikan-ikan
kecil dan udang laut. Ada juga binatang sejenis belut. Kami bersemangat sekali
memburu ikan-ikan yang nampak jinak sekali di malam hari. Kadang-kadang kami
juga mendapatkan mata lembu, sejenis keong laut.
Kami asyik ngobor sambil tertawa-tawa kalau ada ikan yang
sulit ditangkap, atau ada ikan tangkapan yang lepas kembali. Ada juga ikan yang
sudah masuk ke dalam sair, tetapi ketika diangkat hilang begitu saja. Sejenak
aku melupakan segala persoalan yang ada dalam hati dan pikiran. Yang ada hanya
rasa senang. Menyusuri pinggir lautan di malam hari sambil menyaksikan beraneka
macam ikan laut yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Setelah dua jam ngobor, kami kembali ke sisi pantai
tempat pertama kami masuk. Ikan hasil tangkapan kami lumayan banyak. Yang
besar-besarnya kami pisahin untuk dibakar dengan mata lembu. Yang
kecil-kecilnya akan dibawa oleh Tan-tan ke rumahnya.
Tan-tan dan aku membuat api unggun dari kayu dan sampah
alam yang ada di sisi pantai. Beberapa saat kemudian api unggun menyala hingga
tempat itu menjadi lebih terang.
Agus Uwek mengambil gitar, lalu memainkan dawai gitar
sambil menyanyi dengan nada sumbang. Beni dan Erwin ikut menyanyi sehingga
suasana makin meriah.
Ketika nyala api unggun semakin besar, aku menyuruh Agus
menyanyikan lagu dangdut. Ketika Agus memainkan gitar bernada dangdut, dan
menyanyikan sebuah lagu dangdut yang ceria, kami berjoget mengelilingi api
unggun sambil sesekali ikut bernyanyi. Agus menyanyikan beberapa lagu dangdut
sampai kami puas berjoget.
Api mengecil menyisakan bara api yang bagus. Aku dan
Tan-tan membakar ikan yang agak besar dan mata lembu. Memasak mata lembu cukup
dipanggang beberapa saat di atas api.
Tidak perlu dibakar seperti ikan. Beni, Erwin dan Agus berhenti main gitar dan
bernyanyi. Mereka ikut membakar ikan.
Tak lama kemudian ikan-ikan itu matang. Kami mulai mencicipi mata lembu yang
pertama matang dan sudah agak dingin. Cukup dipikul bagian kepalanya, dagingnya
keluar. Ketika disantap, enaknya minta ampun. Beni, Erwin dan Agus ikut memakan
mata lembu.
“Emh... lezatnya!” kata Agus setelah mencicipi satu buah
mata lembu.
“Awas jangan dimakan dengan bagian belakangnya!” kata
Tan-tan.
“Kenapa?” tanya Agus.
“Nanti keracunan.”
Semuanya kaget karena sudah terlanjur memakannya.
“Kalau cuma satu dua gak apa-apa, kalau makan banyak akan
keracunan.”
“Makan satu mata lembu juga bisa kenyang, tapi ada
caranya,” kataku.
“Bagaimana?” semuanya menatapku.
“Makan sama cangkangnya.”
Semuanya cemberut karena ketipu olehku.
Setelah mata lembu habis, kami beralih makan ikan yang
sudah agak dingin. Memang kalau memakan ikan laut harus dalam keadaan hangat
biar enak, kalau dibiarkan dingin rasanya hambar. Memakan bakar ikan di tepi
pantai, sambil mendengarkan debur ombak dan angin yang semilir, rasanya nikmat
banget. Ikannya sampai habis semuanya.
Selesai makan ikan dan cuci tangan, aku berbaring di atas
pasir yang lembut. Mataku memandang ke atas langit yang cerah dihiasi bintang
yang bertaburan. Berada di tempat ini, aku seakan melihat sebuah lukisan besar
yang begitu hebat. Terasa sekali kebesaran Tuhan yang telah menciptakan bumi
dan langit serta seluruh isinya.
Agus kembali memetik gitar dan menyanyikan lagu religi.
Membuat pikiran dan hati merasa tenang dan damai. Rasanya aku ingin terus
berada di tempat ini.
Tunggu Aku
13
Sudah jam 11 malam,
kami masih berada di pantai. Cuaca cerah sekali. Bulan
muncul menerangi daerah sekitar pantai. Kami duduk berkeliling sambil ngobrol
bersenda gurau. Sisa-sisa api unggun masih mengepulkan asap yang membantu
mengusir nyamuk.
“Dari
dulu sewaktu aku masih kecil main ke sini sampai sekarang, kondisi Pantai
Santolo masih tetap begini. Tak ada perubahan yang berarti. Beda dengan tempat
wisata Cipanas dan Samarang, kemajuannya sangat pesat,” kataku pada Tan-tan.
“Kawasan
wisata yang dikelola oleh Pemda memang seperti ini, gak maju-maju.
Pengelolaannya asal-asalan dan semrawut. Beda dengan yang dikelola oleh pihak
swasta, terukur dan terarah. Pantas saja perkembangannya pesat,” sahut Tan-tan.
“Memang
ada untung ruginya. Kalau dikelola oleh Pemda, aturannya lebih longgar.
Masyarakat bisa ikut menempel kegiatan usaha tanpa harus membayar sewa yang
mahal. Para pengunjung pun bisa menikmati acara rekreasi di sekitar pantai
dengan biaya murah. Hanya lokasi wisata ini
kelihatannya tak ada kemajuan berarti. Kalau dikelola oleh swasta aturan
bagi masyarakat akan ketat, segalanya diukur dengan materi. Makanya kemajuannya
akan pesat,” ujarku.
“Suatu
saat nanti, pantai ini akan seperti pantai-pantai di tempat wisata yang lain
seperti Pangandaran dan Bali. Banyak bangunan hotel dan tak akan sepi
pengunjung, tidak seperti sekarang, ramainya hanya saat liburan lebaran saja.”
“Pasti.
Setiap tempat wisata akan selalu diburu oleh orang-orang, terutama orang yang
lagi galau seperti kalian,” kata Agus sambil nunjuk aku, Beni dan Erwin.
“Enak
sajaaa!” kami memelototi Agus yang sok gak punya masalah. Tapi dia benar juga
menebak keadaan hatiku. Hanya saja tak mungkin aku mengakuinya.
“Baru
punya pacar di tengah hutan saja kamu sudah belagu!” Erwin melempar Agus dengan
bungkus rokok kosong.
“Kita
bicara fakta saja. Win, walaupun kamu punya sepeda motor bagus, tapi faktanya
kamu belum pernah membonceng cewek dan mengenalkan seorang wanita sebagai
kekasihmu kepada kami. Kamu Ben, walau kamu punya banyak warisan, tetapi sampai
saat ini kamu belum bisa mencari pengganti Yani. Kamu Bi, walau kamu banyak
penggemar cewek dimana-mana, tetapi sampai saat ini kamu belum punya pacar.
Sedangkan aku, yang paling minim segalanya di antara kalian, aku sudah punya
pujaan hati belahan jiwa yang sudah kalian ketahui bersama. Mulai sekarang
kalian jangan suka meledek aku lagi, karena faktanya aku lebih mampu daripada
kalian dalam urusan menaklukkan wanita!” kata Agus bangga.
Kami
bertepuk tangan untuk pidatonya yang bagus itu.
“Ya ya
ya... kamu benar Gus, kamu lebih mampu daripada kami. Tapi ada hal yang harus
kamu tahu. Kamu dapat Ranti adalah sebuah anugerah bagi kamu, tetapi sebuah
musibah bagi Ranti!” kata Erwin.
Semuanya
tertawa-tawa.
“Kalian
jangan ngiri gitu dong, seharusnya kalian bangga punya teman dapat cewek
cantik.”
“Ya, aku
bangga, Gus. Tapi awas jangan minta aku ngantarin apel malam-malam, karena aku
gak mau ngantarin apel ke hutan!” kata Erwin.
Kembali
kami tertawa-tawa.
“Sorry
deh, aku gak akan minta diantar apel sama kamu, nanti seperti kata Mansur S,
pagar makan tanaman.”
Tawa
kami terus berlanjut.
Tak
terasa, sudah jam 1 malam. Kami segera pulang ke penginapan.
Esoknya,
jam 5 pagi kami sudah kembali ke laut karena ingin mencari pemandangan bagus
untuk acara foto-foto saat matahari terbit. Pemandangan pagi itu di Pantai
Santolo sungguh luar biasa, kami mengabadikannya dengan perasaan gembira.
Sekitar
jam delapan pagi, kami sarapan di warung. Setelah di warung kami bermain di
pantai. Aku membeli sebuah bola plastik. Lalu kami bermain bola. Aku dan Beni
melawan Agus dan Beni. Tidak sempat terhitung berapa gol yang masuk, yang
penting kami suka. Setelah main bola, kami berenang di tepi laut. Setelah puas
berenang, kami menyewa sebuah kapal nelayan untuk berlayar ke tengah lautan.
Wow! Kami menikmati sebuah petualangan berlayar di tengah laut. Ada rasa senang
melihat samudera yang luas sekaligus rasa was-was, bagaimana kalau kapal
nelayan kecil ini tiba-tiba digulung ombak sehingga kami semua tenggelam. Di
tengah laut aku merasa sangat kecil di hadapan Tuhan. Aku sungguh tak berarti
apa-apa. Kulihat mata Agus terpejam dengan mulut komat-kamit. Tanggannya
memegang erat ke pinggir kapal. Ternyata bukan cuma aku yang takut berada di
tengah lalut. Agus Uwek yang ngaku petualang dan pecinta alam juga ketakutan.
Setelah satu jam di lautan, aku menyuruh pemilik kapal kembali. Betapa leganya
setelah melihat bibir pantai tempat kami berangkat tadi.
Jam 11 siang, kami meninggalkan Pantai Santolo dan
kembali ke penginapan Karang Asri untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah
shalat dzuhur kami pulang ke Garut. Kami sempat mampir dulu ke warung milik
orang tua Ranti. Memberi kesempatan kepada Agus untuk bertemu kekasihnya.
Solidaritas kami kepada teman sangat tinggi walau sering saling ledek.
Tunggu Aku
14
Bupati Garut resmi
ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kondisi Garut yang semula memanas berangsur-angsur pulih. Demonstran, baik dari
pihak yang pro maupun kontra bupati menghentikan aksinya. Namun ketidakpuasan
masih mengganjal di kalangan para aktivis. Jika mau bicara secara objektif,
bupati bukan satu-satunya orang yang bersalah dalam dugaan penyelewengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Garut. Jika ingin membersihkan
Garut dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka semua pihak yang terlibat dalam
penyalahgunaan APBD harus diadili, karena perbuatan mereka sangat merugikan
negara dan mengkhianati amanat rakyat. Para
kepala kantor dan dinas sebagai penanggung jawab pelaksanaan program harus
diperiksa. Termasuk para anggota dewan yang terlibat dalam pengelolaan dana jaring
aspirasi masyarakat. Sebagian dari mereka diduga menyelewengkan dana tersebut
dengan cara yang sangat rapi dan digunakan untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Aku hadir dalam pertemuan para aktivis sekabupaten Garut
untuk membahas masa depan Garut. Kami tak ingin Garut tercinta menjadi sebuah
daerah tempat para koruptor duduk dengan santai setelah menjarah uang rakyat. Kami tak ingin Garut
menjadi sebuah daerah dimana para pejabatnya kaya raya sedangkan rakyat hidup
dalam kemiskinan. Kami sepakat untuk menempuh jalur hukum memerangi para
koruptor yang masih bergentayangan dan setiap waktu menghisap darah rakyat.
Selesai acara aku langsung menuju ke jalan Cimanuk 212
tempat biasa ngumpul bersama teman-temanku. Di sana sudah ada Beni, Erwin, dan
Apeh sedang menyablon pakaian balap motor milik Tedi, salahsatu teman kami yang
jadi anggota tim balap motor profesional.
“Cepetan nyablonnya, kita main ke Pengkolan,” ajakku.
Pengkolan adalah pusat nongkrong di kota Garut.
“Kebetulan, aku belum makan,” kata Beni.
“Memangnya siapa yang mau nraktir makan?” tanyaku.
“Loh, emangnya kamu ngajak ke Pengkolan mau ngapain?”
tanya Beni.
“Kalau sudah di Pengkolan ngapain aja, kita bagi-bagi
tugas. Kamu Ben yang mengintai sasaran, Erwin bagian mepetnya, Apeh yang ngambil
dompetnya. Aku bagian penerimaan uangnya.”
Kami semua tertawa-tawa.
“Sore-sore begini enak banget kalau makan ayam goreng
hangat, nasinya nasi timbel, minumannya teh botol,” kata Beni.
“Oke deh Ben, nanti kutraktir kalian semuanya di Pasar
Ceplak. Sekarang selesaikan dulu sablonnya,” kataku.
“Eh, hari Minggu lusa ada kegiatan motorcross di daerah
Cikajang, kamu mau ikut?” tanya Apeh.
“Kalau kalian ikut, aku juga mau dong ikutan,” sahutku.
“Daripada diam di rumah melamun tak karuan, mendingan
ikutan saja,” kata Beni.
Kami memang sudah sering mengikuti kegiatan motorcross,
tapi hanya di lingkungan Kabupaten Garut saja. Kami belum berani kalau
kegiatannya di luar daerah Garut.
Jam empat sore, kami jalan-jalan ke Pengkolan. Setiap
sore tempat ini ramai dikunjungi oleh warga Garut. Tua muda, laki-laki
perempuan, yang berduit dan tak berduit, semuanya ada di Pengkolan. Kalau di
Jogja ada Malioboro, di Garut ada Pengkolan. Aneka jenis makanan dijual oleh
para pedagang kaki lima di sini. Dari mulai gehu, bala-bala, comro, cireng,
molen, onde, odading, dan makanan aneh khas masyarakat Sunda pasti ada di
Pengkolan.
Kami langsung masuk ke sebuah kedai yang terbuat dari
tenda yang menyediakan nasi timbel dan
ayam goreng.
“Teh, ayam goreng empat, ati ampelanya empat, tahu
empat,” kataku pada pemilik kedai.
“Minumannya apa?”
“Teh botol saja.”
Si Teteh mengambil daging ayam pesananku, kemudian
digoreng.
Wangi ayam kampung yang digoreng membuat nafsu makan
terbangkitkan hingga kami ingin cepat menikmatinya.
Tak lama kemudian nasi timbel dan ayam goreng telah
terhidang di depan kami.
“Bismillah dulu Ben, nanti Setan ikut makan, jadi kamu
gak kenyang-kenyang,” kataku pada Beni.
Semuanya tersenyum.
Kami kemudian menikmati nasi timbel dan ayam goreng
dengan lahap. Tiba-tiba saja aku teringat saat-saat seperti ini bersama Galih
dan Marina saat di Jogja. Hatiku bergetar mengingat kenangan-kenangan manis
itu, sebelum kemudian aku menemukan selembar kertas di buku milik Galih.
Sepucuk surat dari Marina untuk Galih yang meluluhlantakkan hatiku sehingga
ingin segera pulang ke Garut.
Aku tertunduk. Aku tak mau mataku yang berkaca-kaca
karena kenangan itu diketahui oleh teman-temanku.
Tunggu Aku
15
Aku pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah hampir seharian mengikuti
kegiatan motorcross bersama peserta yang lainnya sewilayah Kabupaten Garut.
Setelah memasukkan sepeda motor ke garasi aku masuk ke arah dapur karena
perutku terasa lapar.
Mama muncul menghampiriku.
“Abi, seru ya acara motorcrossnya?” “Seru banget, sampai
lupa makan.”
“Jangan sampai lupa makan, dong, nanti kamu sakit.”
Aku terdiam merasa bersalah.
“HP kamu kenapa nggak dibawa?”
“Lupa Mam, memangnya kenapa? Ada yang nelepon ya?”
“Iya, tadi HP kamu bunyi. Karena terus-terusan berbunyi,
Mama angkat saja. Maaf, ya!”
“Gak apa-apa, Mam. Memangnya siapa yang nelepon?
“Dari Jogja.”
“Galih?”
“Bukan.”
“Marina ya?”
“Ya.”
“Dia bilang apa?” perasaanku berdebar tak karuan.
Mama terdiam.
“Dia bilang apa, Mam?” aku menatap Mama dengan perasaan
semakin tak karuan.
“Mama gak tega bilangnya,” kata Mama dengan nada sedih.
“Bilangin aja. Mam. Please.”
“Marina dan keluarganya mengundang kita ke Jogja sebulan
lagi untuk acara lamaran.”
Aku tertegun. Lamaran? Pasti acara lamaran Galih kepada
Marina.
“Marina ada yang melamar? Pasti Galih yang melamarnya,”
ucapku pedih.
Selama ini aku
selalu berusaha tegar di hadapan Mama. Tapi kali ini aku tak bisa. Aku tak bisa
menyembunyikan air mata. Air mataku berderai.
Mama memelukku.
“Mama tahu kamu mencintai Marina, Mama tahu bagaimana
dalamnya cintamu kepadanya. Sudah lama matamu menyimpan duka karena rasa
cintamu padanya.”
Mama memegang wajahku. Kemudian mengusap air mata di
wajahku.
“Sudah jangan menangis. Sekarang temuin dulu tuh teman
kamu di taman belakang. Kasihan, dia menunggumu dari tadi.”
“Siapa?”
“Katanya teman kamu waktu di SMA, katanya dia kangen
padamu.”
Mama tersenyum misterius bikin aku penasaran. Aku
melangkah menuju ruang tamu. Langkahku terhenti dan mendadak jantungku
berdebar-debar melihat seorang gadis duduk di sofa. Berambut panjang memakai
kaos putih dan celana jeans biru. Ia mengangkat muka dan menoleh ke arahku.
Matanya yang bening menatap syahdu dan senyum manis tersungging di bibirnya.
“Marina,” ucapku tak percaya.
“Abi,” ucapnya sambil berdiri menyambut kehadiranku.
Aku menyalaminya dan menggenggam tangannya erat.
“Aku tak percaya kamu datang,” ucapku.
“Aku memenuhi janjiku.”
“Ya, untuk menemui mamaku.”
“Aku juga ingin nemuin kamu.”
“Kamu sudah minta izin kepada Galih untuk menemuiku?”
Marina mengangguk.
“Dia tidak
cemburu?”
“Abi, tak ada hubungan apa-apa antara aku dan Galih.”
“Surat itu? Surat yang kubaca di tempat kost Galih?”
“Kamu membacanya?”
“Ya, surat itu yang membuatku memutuskan pulang dari
Jogja dengan cepat. Aku tak ingin mengganggu hubungan kamu dengan Galih. Aku
tak ingin menyakiti perasaannya,” kataku.
“Aku memang sekian lama bersama Galih. Tapi bukan sebagai
sepasang kekasih. Hubungan kami hanya sebatas teman.”
“Tapi Galih mengharapkan kamu jadi kekasihnya.”
“Galih tahu aku hanya mencintai kamu, karena itu ia
menyuruhku datang menemui kamu.”
“Dia merelakan kamu
bersamaku?”
“Ya.”
“Tapi aku tak mau menyakitinya, ia sangat baik padaku.”
“Dia sudah menemukan pasangannya, temanku di kampus.
Mereka akan segera bertunangan.”
“Benarkah?”
“Ya. Sekarang kamu jangan ragu lagi tentang aku. Jangan
ragukan cintaku. Jangan tinggalkan aku lagi. Selama ini aku sangat menderita
jauh darimu,” ucap Marina dengan mata berkaca-kaca. Lalu ia membenamkan
wajahnya di dadaku sambil menangis terisak-isak.
Aku membiarkan ia menumpahkan air matanya di dadaku.
Beberapa saat kubelai dan kumainkan rambutnya yang panjang terurai penuh
perasaan cinta dan sayang. Setelah ia berhenti menangis, kuangkat wajahnya dari
dadaku, kutatap mata beningnya yang basah oleh air mata.
“Kamu ingin tahu satu hal yang tak pernah berubah di kota
Garut ini?” tanyaku.
“Ya, aku ingin tahu,” ucap Marina.
“Hatiku, Marina. Sejak dulu sampai sekarang hatiku
menyimpan cinta yang demikian dalam padamu.”
Pangeran Cinta dari Garut kini tak akan merana lagi
karena ada Putri Jogja yang akan selalu bersamanya.
SELESAI