Rabu, 24 Februari 2016

Sepotong Cerita Tentang Rey



Sosok tinggi putih yang masuk dengan langkah gagah menghentikan kegaduhan dalam ruang kuliah anak-anak tingkat satu teknik industri. Pipin meninggalkan kerumunan di meja Ivan yang sedang membagikan stiker logo jurusan. Ia segera duduk di samping Monika.
            “Dosen baru di kampus kita. Namanya Pak Rey,” bisiknya pada Monika.
            “Tahu dari mana?” tanya Monika.
            “Tadi aku sempat nguping pembicara-an waktu di ruang dosen. Dan yang lebih menarik, dia masih bujangan. Dari cara kamu memandang, pasti kamu ada minat,” kata Pipin diakhiri canda membuat Monika tersenyum kecut.
            “Selamat siang!” suaranya berwibawa.
            “Selamat siang, Pak!” sahut semuanya.
            “Saya adalah dosen kalian untuk mata kuliah psikologi industri. Nama saya Rey Demona. Sama seperti kalian saya adalah orang baru di kampus ini. Dan ini adalah tahun pertama saya mengajar di kota Garut. Sebelumnya saya jadi dosen di salahsatu perguruan tinggi swasta di Jakarta,” ujarnya dengan sikap tenang.
            Pipin mencubit pinggang Monika membuat cewek itu kaget lantas memelototi Pipin.
            “Ganteng banget, dan suaranya merdu untuk didengar. Hem, pasti kamu ingin yakin apa dia masih bujangan atau belum. Ayo tanya, dong!” bisik Pipin.
            “Sembarangan!” Monika mendengus kesal. Pipin menutup mulut menahan tawa melihat tingkah temannya.
            “Saya ingin kalian rileks mengikuti perkuliahan ini. Yang paling penting kalian memperhatikan materi yang saya sampaikan. Nggak penting kalian mau menghargai saya atau tidak, tapi saya mohon hargailah ilmu pengetahuan yang saya sampaikan. Karena kalau kita menghargai ilmu pengetahuan, hati kita akan terpanggil untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya hingga akan sampai kepada titik kekaguman kepada Maha Pencipta.”
            “Gila Monik! Bahasa yang ia pakai hebat banget. Ia pasti cowok yang romantis,” Pipin kembali berbisik pada Monika.
            Monika diam saja.
            “Kalian nggak usah takut soal nilai mata kuliah saya. Asal kalian delapan puluh persen hadir pada perkuliahan, fokus pada materi yang saya sampaikan, punya sikap pribadi yang baik, ngerjain tugas dengan baik, nilai UTS baik, nilai UAS baik pasti akan saya kasih nilai A,” ujar  Rey sambil tersenyum.
            “Huuu….!” anak-anak ribut.
            “Saya udah memperkenalkan diri. Saya pun ingin mengenal kalian. Akan lebih enak suasana di ruangan kuliah ini jika kita sudah saling mengenal.”
            Selanjutnya Rey mengabsen mahasiswa-nya satu persatu. Setelah mengabsen ia memulai perkuliahan menggunakan in focus.
            “Psikologi industri merupakan pendekatan secara manusiawi untuk menciptakan lingkungan kerja yang ideal pada sebuah perusahaan atau industri. Salahsatu sumbangan penting bagi perusahaan adalah penemuan tentang teori X dan teori Y. Menurut teori X pada dasarnya semua manusia baik dan melakukan hal-hal yang baik. Mereka giat bekerja, taat terhadap pimpinan, tidak banyak menuntut, tidak suka mencuri, menyelesaikan pekerjaan dengan tanggung jawab dan sebagainya. Karena itu berdasarkan kepada teori X ini maka sudah sepantasnya pekerja atau karyawan mendapatkan perhatian dari perusahaan berupa fasilitas yang layak, asuransi, karier yang jelas, bonus dan tunjangan-tunjangan lainnya. Sedangkan menurut teori Y pada dasarnya manusia itu punya sifal jelek dan melakukan hal-hal yang merugikan. Pemalas, sering bolos kerja, suka mencuri, tidak patuh terhadap pimpinan, banyak menuntut dan sifat-sifat jelek lainnya. Untuk mengatasi masalah ini maka perusahaan harus menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat kepada pegawai atau karyawan agar perusahaan tidak dirugikan. Kedua teori ini harus diterapkan secara seimbang agar tak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan oleh perusahaan.”
            Sejenak Rey menghentikan penyampai-an materinya.
            “Sampai di sini ada yang bertanya?”
            Beberapa orang mengacungkan tangan. Rey tersenyum senang.

            Monika menempelkan prangko pada amplop, lantas bergegas menuju loket penyimpanan surat.  Pada saat bersamaan seorang cowok menyerahkan sebuah amplop besar kepada petugas. Secara tak sengaja Monika melirik cowok di sampingnya. Ia terkesiap melihat seraut wajah dengan sepasang mata teduh yang sangat ia kenal.
            “Pak Rey,” ucap Monika lirih.
            “Hai,” Rey balas menyapa. “Kamu yang bernama….”
            “Monika,” Monika menyebutkan namanya.
            “Oh iya.”
            Tiba-tiba saja tangan Rey menarik tangan Monika dari tempat itu. Semula Monika kaget, tapi kemudian ia tersadar kalau keberadaannya menghalangi banyak orang yang mau menyimpan surat.
            “Maaf,” ucap Rey.
            “Nggak apa,” Monika tersipu.
            “Kamu sendirian?” tanya Rey.
            Monika mengangguk.
            “Bagaimana kalau kita nyari tempat minum, kayaknya siang-siang begini enak minum jus buah,” ajak Rey.
            “Eu-tapi….” Monika seperti ragu.
            “Nggak usah nolak, saya tahu kamu kehausan,” canda Rey bikin wajah Monika memerah.
            “Oke?” Rey menatap mata Monika.
            Akhirnya Monika mengangguk. Ia berjalan di samping dosennya dengan perasaan tak menentu. Ia merasa sedang bermimpi. Kebetulan tak jauh dari kantor pos ada sebuah kafe minuman. Jadi Monika tak merasa tersiksa berjalan lebih lama di samping Rey.
            “Mau pesan apa?” tanya Rey.
            “Terserah Bapak,” sahut Monika.
            “Kok terserah saya, bagaimana kalau kamu nggak suka?” Rey menatap wajah cantik di hadapannya.
            “Emh… jus jeruk aja.”
            “Saya juga suka jus jeruk.”
            Rey lantas menulis pesanannya dan diberikan kepada pelayan.
            “Monik, sebaiknya di luar perkuliahan kamu jangan manggil saya Bapak, panggil saja Kak Rey,” ujar Rey.
            “Ya, Pak.”
            “Apa saya sudah terlalu tua, Monik? Usia saya baru dua puluh tujuh dan belum menikah.”
            “Eu… iya, Kak Rey,” Monika tergagap. Apa kata teman-teman jika mereka tahu  aku memanggilnya Kak Rey…
            Pelayan datang mengantarkan minuman dan menaruhnya di meja.
            “Kamu mengirim surat buat siapa, Monik?” tanya Rey setelah mereguk sebagian jus jeruknya.
            “Kakak saya di Jakarta,” sahut Monika.
            “Kerja?”
            Monika mengangguk. “Ia jadi perawat di Rumah Sakit Pertamina. Sejak lulus es-em-a ia di Jakarta bersama paman.”
            “Ooh….” Rey mengangguk-angguk. Lalu matanya seperti menerawang.
            “Kak Rey ngirim paket ke mana tadi?” tanya Monika.
            “Itu naskah buku untuk penerbit di Jakarta,” sahut Rey.
            “Buku materi kuliah?”
            “Bukan. Cuma naskah kumpulan cerita pendek.”
            “Cerpen?”
            “Aneh, ya?” Rey menatap Monika.
            “Bukan itu. Monik juga suka baca cerpen dan sering nulis,” ucap Monika.
            “Oh ya?” mata Rey berbinar.
            “Iya. Tapi baru belajar. Sudah berkali-kali ngirim naskah ke majalah tapi belum ada yang dimuat juga. Kayaknya masih kalah kualitas sama penulis-penulis lain. Karya Kak Rey udah ada yang dibukuin, ya?”
            “Ada sih, beberapa buah novel, kumpulan cerpen dan puisi.”
            “Wow! Sudah banyak, dong. Monik bisa minjem, nggak?”
            “Kamu nggak perlu minjem, nanti Kak Rey kasih semuanya.”
            “Asyik….” Monika nampak senang.

            Rey Demona, penulis dengan ciri khas sendu dalam setiap karyanya. Tragedi kehidupan kental mewarnai tulisan-tulisannya dalam bentuk novel dan cerpen. Monika sungguh tak menyangka kalau nama Rey Demona yang sekarang jadi dosennya ternyata Rey Demona penulis buku yang sedang terkenal di kalangan remaja saat ini. Ia pun sering membaca karya-karya Rey di majalah-majalah remaja ibu kota. Karya-karya Rey yang bagus membuatnya sangat mengagumi cowok itu. Dan ternyata Rey seorang cowok yang gagah dan ganteng. Bikin hatinya berdebar-debar jika melihat Rey. Apalagi jika Rey sudah tersenyum dan matanya yang teduh itu menatap, Monika merasa sangat terlindungi.
            “Enjoy banget yang lagi melamun!” suara Hilma mengaggetkan Monika.
            “Siapa yang melamun!” Monika berusaha ngeles.
            “Kamu aneh belakangan ini, Monik. Semenjak Teteh datang dari Jakarta, kamu sering terlihat bengong nggak ada kerjaan. Kamu keberatan ya Teh Hilma menikah sama Kak Bayu? Apa kamu ingin lebih dulu menikah? Siapa cowoknya?”
            “Sembarangan!” Monika mendelik. “Aku setuju banget Teteh menikah sama Kak Bayu. Kak Bayu adalah cowok ideal. Udah dokter, cakep lagi. Mana mungkin aku nggak merestui pernikahan kalian?” ujar Monika.
            Hilma duduk di pinggir tempat tidur adiknya.
            “Jangan-jangan kamu lagi kasmaran, Monik. Bilang sama Teteh siapa cowok yang telah merebut hatimu itu?”
            “Heh!” Monika menyembunyikan wajahnya di bantal.
            “Teman satu kampus atau tukang ojek depan kompleks?”
            “Sembarangan!” Monika melempar Hilma dengan bantal.
            “Lantas siapa, dong?”
            “Mau tahu urusan orang lain aja!”
            “Bukan begitu. Kamu yakin dia cowok baik-baik?”
            “Dia adalah cowok terbaik yang pernah kutemui,” kata Monika diikuti senyumnya.
            “Ya syukur. Kalau begitu undang dia di acara pertunangan Teteh nanti. Teteh mau lihat gimana tampang orang yang telah membuatmu sering senyum sendiri.”
            “Sembarangan!” Monika memukuli Hilma dengan bantal guling.
            Hari yang cerah. Monika dan Rey duduk pada sebuah batu besar di dataran luas  menuju puncak Gunung Papandayan. Selain menulis, Monika dan Rey punya kecintaan yang sama kepada alam. Gunung Papandayan adalah tempat mereka menikmati keindahan alam setelah sebelumnya mendatangi Talaga Bodas, bukit Ngamplang dan Situ Bagendit. Tempat-tempat wisata alam terkenal yang ada di Garut.
            “Kamu harus mencoba terus, Monik. Jangan putus asa dulu. Semua penulis pasti pernah mengalami hal seperti kamu,” kata Rey mengobati kekecewaan Monika karena cerpennya belum juga ada yang dimuat di majalah.
            “Kesel sih, masa dari sekian banyak cerita yang Monik kirim nggak ada satu pun yang menarik redaktur untuk memuatnya,” ujar Monika.
            “Banyak orang yang punya potensi jadi penulis mengalami problem yang sama seperti kamu di awal karier kepenulisannya. Dan yang muncul kemudian adalah mereka yang pantang menyerah dan mau belajar dari kegagalannya. Saya bisa berhasil jadi penulis karena menulis bagi saya adalah panggilan jiwa. Dimuat di media cetak memang suatu kebanggan. Tapi kalaupun tidak, setidaknya saya sudah mengurangi sedikit beban di dalam jiwa. Karena dengan menulis, saya bisa jadi siapa pun yang saya inginkan. Misalnya saya bisa jadi orang yang patah hati karena kehilangan orang yang dicintai, jadi orang cacat, jadi orang yang teraniaya, jadi orang yang dikhianati sehingga saya bisa lebih peka dengan kehidupan orang lain.”
            “Apakah hal itu bukan sebuah kebohongan seorang penulis kepada pembacanya?”
            “Ketika menulis sebuah cerita, yakinkan dalam diri bahwa kita bukan sedang berdusta. Karena apa yang kita tulis mungkin saja dialami oleh orang lain. Kalaupun tak ada di sekitar kita mungkin terjadi di belahan bumi lain. Kehidupan bukan hanya milik kita.”
            Monika termenung. Ada hal yang tak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Perkataan Rey telah membuka matanya tentang dunia seorang penulis. Seorang penulis laksana seekor burung yang yang terbang di angkasa. Ia bebas bercerita kepada angin, awan dan puncak-puncak gunung tentang kehidupan  sehingga kehidupan memiliki makna yang berarti bagi semua makhluk.
            “Membaca tulisan-tulisanmu saya yakin suatu saat kamu akan jadi penulis sukses.”
            “Ah,” Monika jengah.
            “Tulisan kamu punya kekuatan untuk memunculkan simpati pembaca. Kamu hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Saya sarankan agar kamu tak terlalu mengikuti perasaan sendiri. Walaupun tema tulisanmu tentang tragedi kehidupan, tapi kamu harus memberi kesan tegar terhadap tokoh yang kamu tampilkan agar pembaca bisa mendapat arti dari hasil karyamu.”
            Monika mengangguk-angguk. Semakin banyak mendengar dari mulut Rey semakin bertambah wawasannya. Bukan itu saja, ia jadi semakin kagum dan jatuh hati terhadap Rey.

            Acara pertunangan Hilma dan Bayu berlangsung dalam suasana yang meriah. Kedua insan yang bertunangan nampak berbahagia. Rencananya setelah acara ini tiga bulan lagi mereka akan menikah. Namun di balik suasana bahagia itu nampak mendung di wajah Monika. Rey ternyata tidak datang. Padahal ia sangat mengharapkan kehadirannya. Tadinya ia akan memperkenalkan Rey kepada seluruh anggota keluarga, sekaligus memenuhi janjinya kepada Hilma untuk memperkenalkan sosok cowok yang dikaguminya. Monika benar-benar kecewa. Malam itu juga ketika acara berlangsung, tanpa sepengetahuan semuanya Monika datang ke rumah Rey.
            “Saya yakin kamu akan kecewa, Monik,” kata Rey di tengah isak tangis Monika. “Tapi saya tak mungkin datang.”
            “Kenapa?” Monika menatap dengan air mata berderai.
            “Kedatangan saya ke sana hanya akan mengganggu kebahagiaan Hilma dan Bayu. Tahukah kamu Monik, berapa lama hubungan mereka sebelum acara pertunangan malam ini? Hubungan mereka baru berjalan tiga bulan. Sebelumnya, selama empat tahun sayalah yang jadi kekasih Hilma.”
            Monika terperangah.  Ia menatap Rey tak percaya.
            “Ya, Monik. Kamu harus percaya hal ini. Kami berpisah enam bulan yang lalu. Saya yang meninggalkan Hilma.”
            “Kenapa? Apakah karena ada yang lain?”
            “Semua orang mengira demikian. Semua orang mengira saya meninggalkan Hilma karena ada cewek lain. Hingga Hilma kecewa dan membenci saya. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian.”
            Rey menarik napas panjang. Ia menatap Monika dengan mata berkaca-kaca.
            “Saya punya rahasia kecil, Monik. Telah lama saya menyimpan rahasia ini. Sekarang saya ceritakan padamu karena saat ini kamu orang yang sangat dekat dalam kehidupan saya. Delapan bulan lalu dokter telah memvonis kematian untuk saya setelah dinyatakan mengidap penyakit leukeumia.”
            “Kak Rey!” jerit Monika.
            “Jangan kaget, Monik. Dan jangan menangis untuk meratapi nasib saya.”
            Monika menggigit bibir. Namun tak urung air matanya makin deras mengalir.
            “Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan saya, Monik. Karena sejak saat itu terpaksa saya meninggalkan Hilma. Saya tak mau ia meratapi kematian saya saat ia masih mencintai saya. Bahkan akhirnya saya meninggalkan Jakarta, pergi ke kota yang damai ini untuk menyepi. Dan kemudian memutuskan mengajar di kampusmu. Saya ingin hari-hari terakhir saya yang sudah dihitung dalam satuan bulan diisi dengan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Saya tak menyangka akan menemukan sosokmu. Sejak melihatmu saya yakin kamu punya pertalian darah dengan Hilma, dan ternyata hal itu benar. Senang sekali telah mengenalmu, Monik.”
            “Kak Rey!” Monika membenamkan wajahnya di dada Rey, terisak di dada yang bidang itu.  Rey membelai-belai rambut Monika. Perlahan matanya basah.
            “Berjanjilah, kamu tak akan menceritakan rahasia ini kepada Hilma sebelum kematian menjemput saya.”
            Monika hanya menangis.
            “Jika kelak saya pergi, menulislah demi saya. Bikinlah sebuah cerita yang bagus tentang saya. Ingat satu hal, apa pun  yang kamu tulis, kamu bukan sedang berdusta.”

            Setiap yang bergerak akan menimbulkan perubahan. Seperti bumi yang bergerak mengelilingi matahari, mengubah waktu menjadi hari, minggu, bulan dan tahun. Akhirnya Monika harus merelakan kepergian Rey Demona. Cowok itu menghembuskan napas terakhirnya dalam pandangan Monika. Walapun Rey sering mengingatkannya untuk tak menangis, tetap saja air mata membasahi wajah Monika.
            Hari ini tiga bulan setelah kepergian Rey, Monika telah menulis puluhan cerita tragedi kehidupan. Salahsatunya adalah ini, cerpen yang tengah kalian baca ini. Untuk memenuhi pesan terakhir Rey. Dan untuk mengenang sosok Rey yang pernah sangat dekat dalam kehidupannya.


SELESAI

San-san In Memoriam






SAN-SAN IN MEMORIAM

Penulis     : Sandra

Editor       : Arie AM

Produksi   : Rumah Cinta



DEDEN MUHAMAD IRSAN atau biasa dipanggil San-san. Sosoknya tinggi tegap dengan kulit hitam manis. Wajahnya tak terlalu ganteng tapi menarik jika dipandang. Senyuman yang selalu tersungging di bibirnya membuat dia kelihatan ramah dan simpatik. Tapi entah bagaimana mulanya aku tertarik olehnya dan mengukir hari-hari indah bersamanya. Aku bukanlah cewek yang mudah jatuh hati kepada cowok. Aku malah cenderung jadi musuh mereka. Sewaktu di sekolah entah sudah berapa banyak cowok yang kuhajar hingga babak belur. Puncaknya ketika aku kelas dua es-em-a. Hampir semua cowok berandalan di sekolahku pernah merasakan kerasnya kepalan tanganku. Aku memang tomboy. Tapi tak ada yang berani mengatakan aku tomboy karena mereka sadar apa yang akan terjadi jika terdengar olehku. Aku memang kurang suka disebut tomboy. Menginjak kelas tiga es-em-a aku mengenal San-san. Dialah yang kemudian mengubahku menjadi seperti sekarang. Seorang cewek yang lembut dan melankolis. Bukan itu saja, dia telah mengubahku menjadi seorang cewek yang paling berduka.
           
           Siang itu seorang cowok datang ke rumahku dengan penampilan gagah, lengkap dengan motor Harleynya. Aku keluar menemuinya karena terusik melihat dia petantang-petenteng di depan rumahku, seperti mau mencari masalah.
           “Permisi, saya nyari orang bernama Sandra,” katanya.
           “Saya sendiri. Ada apa Bung?” sahutku sambil menatapnya.
         “Ooh, jadi kamu yang bernama Sandra? Kamu yang telah menghajar keponakanku hingga babak belur?” ia menatapku seperti tak percaya.
            “Maaf Bung. Hari ini saya sudah menghajar banyak anak manusia. Bisa Bung sebutkan siapa nama keponakan Bung yang malang itu?”
           “Dani. Kamu telah bikin wajahnya bonyok.”
          “Dia rupanya. Salah sendiri, kenapa memalak teman-teman sekelasku. Untung saja tak kukirim ke rumah sakit. Jadi sekarang apa mau Bung? Mau mengajakku berkelahi?” aku berkacak pinggang.
           “Nanti dulu. Saya mau tahu persoalannya. Kalu dia salah saya tak akan membelanya,” katanya berdiplomasi.
          “Keponakan Bung yang bernama Dani itu sering meminta uang secara paksa kepada teman-teman sekelasku. Untuk menghentikan kebiasaan jeleknya itu aku menghajarnya supaya dia kapok. Perasaan sih Cuma ditonjok lima kali.”
          “Begitu ya ceritanya. Kalu demikian berarti dia yang salah. Maaf deh kalau begitu,” ia berubah lemah.
           “Belum cukup hanya dengan meminta maaf, Bung. Lain kali Bung jangan mudah terhasut oleh orang lain sebelum tahu persolan yang sebenarnya.”
       “Iya deh. Eh ngomong-ngomong boleh kenalan, nggak?” katanya percaya diri. Benar-benar nggak tahu malu.
            “Kenalan?”
       “Iya. Boleh, kan? Nama saya Deden Muhammad Irsan, biasa dipanggil San-san,” ia menyebutkan namnya tanpa kuminta.
        “Biodata saya tanyain aja sama Dani keponakan anda. Maaf Bung, saya mau betulin dulu genteng yang bocor. Sebaiknya Bung pulang deh,” kataku menyuruhnya pergi.
            “Hah? Betulin genteng?” wajahnya nampak kaget.
            Aku mengambil tangga dan tak menghiraukannya lagi.

            Pertemuan sore itu tak memberi kesan apa pun bagiku. Nama cowok itu pun kulupakan begitu saja. Apa sih yang menarik dari seorang cowok yang datang ke rumahku untuk membalas dendam keponakannya? Dia tak lebih dari seorang cowok berandalan. Tapi aku terkejut ketika esok harinya ia telah nangkring di atas sebuah sepeda motor Harley di depan gerbang sekolah. Dan dia tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Persis bajingan tengik yang sering kulihat di film-film Amerika. Aku tak mempedulikannya sedikit pun. Kukira ia hanya akan melindungi Dani keponakannya agar tak dihajar lagi olehku.
           Tapi hari-hari selanjutnya ia makin sering kulihat menungguiku di gerbang sekolah. Malah sering menitip salam lewat teman-temanku. Lama kelamaan hatiku terusik. Diam-diam aku kagum atas usahanya meraih simpatiku. Bahkan dua minggu kemudian ia datang ke rumahku ketika aku tengah nangkring di atas pohon mangga.
          “Permisi! Permisi!” ia sama sekali tak melihatku. Kubiarkan dulu beberapa saat. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Dia terus berdiri di depan pintu sambil mengetuk-ngetuk pintu. Akhirnya aku merasa kasihan juga padanya.
            “Hai! Kamu nyari aku?” teriakku dari atas pohon mangga.
            Ia bengong melihatku. Aku segera turun dan menghampirinya.
            “Kenapa bengong?”
            “Eu… kamu suka manjat pohon?”
            “Kenapa? Nggak boleh cewek naik pohon?”
            “Bukan begitu. Bagaimana kalau kamu jatuh?”
            “kalau jatuh ya ke bawah. Paling juga kepala benjut atau patah tulang,” sahutku tenang.
            “Kamu nekat banget sih!”
           “Ini belum seberapa. Kamu belum pernah lihat bagaimana aku naik tiang listrik untuk ngambil layangan yang nyangkut di kabel.”
            “Masa? Kamu sadar nggak itu pekerjaan berbahaya?”
            “Yang penting aku suka.”
          “Bukan masalah suka atau tidak, tapi menyangkut keselamatanmu. Dan ingat, kamu ini seorang cewek. Nggak pantas melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh cowok, apalagi itu sangat berbahaya.”
            “Hai, kamu datang ke sini mau ngapain sih? Mau nasehatin aku, ya?”
            “Bu-bu-bukan, aku mau bertamu,” ia tergagap.
            “Kalau mau bertamu ayo masuk!”
            “Terima kasih, kamu baik deh,” ucapnya seperti senang.
        “Kadang-kadang aku baik sama cowok. Jarang loh cowok yang kuizinkan menginjak teras rumahku. Kebetulan saja kali ini aku lagi baik.”
            Begitulah awalnya aku menerima kehadiran San-san. Cuma sekedar teman bicara, tidak lebih. Sejak hari itu ia mulai sering datang ke rumah hanya untuk ngobrol denganku. Kadang-kadang ditemani oleh adik-adikku dan orang tuaku. Kemudian San-san menjadi satu-satunya cowok yang kuizinkan untuk mengantarjemputku ke sekolah. Tidak Cuma itu, San-san jadi satu-satunya cowok yang biasa mengajakku keluar rumah untuk jalan-jalan. Lalu seiring bergulirnya waktu, secara perlahan perasaan cinta dan sayang mulai tumbuh di dalam hatiku. Dan ternyata perasaanku tak salah karena suatu malam San-san menyatakan rasa sukanya padaku.
            “Kurasa telah cukup kebersamaan kita sebagai teman. Aku ingin mengubah kebersamaan kita menjadi sangat istimewa. Maukah kamu menerima cin-cin ini sebagai tanda jadi hubungan cinta kita?” San-san menatapku penuh harap dengan sebuah cin-cin di tangannya.
            “Apakah tidak salah kamu mencintai cewek tomboy sepertiku?”
            “Dalam beberapa hal cewek tomboy lebih baik daripada cewek biasa. Dia bisa lebih mandiri dan tidak cengeng. Lagian aku yakin sifatmu bisa berubah. Buktinya setelah berteman denganku kamu tak pernah berkelahi lagi dan tidak suka manjat pohon lagi. Kamu jauh lebih lembut dibandingkan dulu. Maukah kamu memakai cin-cin ini?”
            Aku tak bisa membalas ketulusan cintanya selain dengan anggukkan kepala. Dan membiarkan San-san memasukkan cin-cin itu ke jari manisku. Beberapa saat kemudian aku jatuh ke dalam dekapannya.

            Aku masuk ke perpustakaan untuk meminjam buku novel sastra karena ada tugas dari guru bahasa Indonesia. Namun aku menyurutkan langkah dan bersembunyi di balik lemari buku ketika melihat Dani dan temannya sedang duduk sambil ngobrol di meja besar ruang perpustakaan. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa tahu membicarakan aku.
            “Motor kamu kemana Ni? Sudah dua hari kamu nggak bawa motor,” kata Rana teman Dani.
          “Mulai sekarang aku nggak akan pake motor lagi ke sekolah, motorku sudah jadi milik Om San-san,” sahut Dani.
            “Kenapa bisa begitu?”
            “Aku kalah taruhan.”
            “Taruhan apa?”
            “Ini gara-gara Si Sandra. Dulu aku pernah bilang ke Om San-san, kalau berhasil ngegaet Si Sandra jadi pacarnya, aku akan ngasih motor kesayanganku padanya. Sial! Ternyata Si Sandra berhasil digaet. Dasar Omku playboy pengalaman.”
            “Kasihan dong Si Sandra.”
            “Itu ganjaran karena dia sudah mukulin aku dulu. Walau aku kehilangan motor kesayanganku, tapi aku puas karena Si Sandra bertekuk lutut sama Om San-san.”
            Lututku gemetar mendengar semua itu. Perasaanku hancur. Hatiku bagai tercabik-cabik. Ingin rasanya aku menghajar Dani dan temannya. Tapi aku tak bisa. Aku telah berubah.  San-san telah mengubahku menjadi gadis yang lemah dan perasa. Hanya air mata yang berbicara. Kuurungkan niatku untuk meminjam buku. Diam-diam aku pergi dari perpustakaan dengan membawa rasa sakit yang sangat dan dendam yang menyala-nyala. San-san, tega sekali kamu membohongiku! Aku akan membalas semua ini! Tapi ternyata aku rapuh. Sepulang sekolah aku menangis dan menjerit-jerit di dalam kamarku membuat panik seluruh anggota keluarga.

            Aku tak mau kenal lagi dengan cowok bernama Deden Muhammad Irsan. Aku menutup pintu hatiku rapat-rapat untuknya. Setelah apa yang kudengar di perpustakaan, aku tak punya lagi rasa simpati padanya. Seorang cowok yang berusaha menaklukkan seorang cewek hanya untuk mendapatkan sesuatu bukan untuk meraih cinta yang sesungguhnya, menurutku bukan orang baik-baik.
            Aku memalingkan muka dan tak menghiraukannya ketika ia mencegatku di gerbang sekolah. Ia seperti kaget melihat sikapku.
            “Dra, tunggu!” ia mengejarku hingga berhasil menghalangi langkahku.
            “Dra, kamu kenapa sih?” ia menatapku dengan wajah tanpa dosa.
            “Please, mulai hari ini kamu jangan ganggu aku,” ucapku parau.
            “Kenapa? Aku salah apa?”
         Aku kesal banget dengan sikapnya yang seolah-olah tak memiliki kesalahan apa pun. Aku mendorong tubuhnya lalu melanjutkan langkah setengah berlari naik ke angkot yang sudah menunggu. Membiarkan San-san termanggu di pinggir jalan sambil menatap angkot yang kunaiki menjauh dari halaman sekolah. Itu pula yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Aku tak pernah memberi kesempatan padanya untuk menjelaskan apa pun.
            Hari itu San-san datang ke rumahku. Hampir seharian ia di rumah menungguku. Namun ia hanya bisa ngobrol dengan Mama dan adikku. Aku tak keluar dari kamarku. Aku tak mau menemuinya. Akhirnya ia pergi lagi. Setelah hari itu, aku tak melihatnya lagi. Ia tak terlihat datang ke sekolah atau datang ke rumah untuk menemuiku. Namun seminggu kemudian, pak pos mengantarkan sepucuk surat ke rumahku. Dari San-san untukku. Aku menyimpannya dan tak ingin membukanya. Namun lama-lama aku penasaran ingin tahu apa surat itu. Sebelum tidur aku membuka surat itu.
            Dear, sandra.
            Saat kubikin surat ini, aku sedang berada di Jakarta. Hari ini aku akan memulai pekerjaanku sebagai anak buah kapal pada sebuah perusahaan pelayaran internasional. Sebanarnya berat bagiku untuk meningalkan kota Garut terutama jika aku teringat padamu. Tetapi masih ada impian yang ingin kugapai. Aku ingin punya modal yang cukup demi kebahagiaan masa depanku.
           Dra, sampai detik ini aku bertanya-tanya pada diriku. Apa kesalahan yang kulakukan padamu hingga kamu seperti membenciku. Aku hanya bisa mengira-ngira, mungkin kamu ragu akan ketulusan hatiku mencintaimu.
      Dra, sejujurnya pada awalnya aku tak serius padamu. Aku hanya tertantang ingin menaklukanmu karena kudengar kamu cewek yang angkuh pada cowok. Namun setelah aku mengenalmu, aku jatuh hati pada kebribadianmu. Aku belum pernah menemukan cewek yang baik sepertimu. Aku menginginkan kamu sebagai pelabuhan cinta terakhirku.
            Sandra sayang, aku terikat kontrak selama satu tahun. Saat pulang berlayar nanti, kuharap kamu mau membukakan pintu hatiku untukku. Aku akan selalu merindukanmu.
            Dari aku yang mencintaimu, San-san.
           
           Aku menggigit bibir setelah membaca surat itu. Tiba-tiba aku menyesal dengan apa yang telah kulakukan padanya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Tiba-tiba aku merasa ingin berada di dekatnya. Dan tiba-tiba saja mataku hangat dan terasa basah.
           
Minggu sore itu, lima bulan setelah San-san pergi, Dani datang ke rumahku dengan air mata berderai. Dan ia berkata dengan terbata-bata tentang San-san. Kapal tempat San-san bekerja karam di Laut Atlantik setelah menabrak gunung es. Kapal hancur dan penumpangnya tak ada yang selamat.
      Aku tak percaya mendengar penuturan Dani. Dan aku berharap ini hanya sebuah mimpi. Selanjutnya aku menangis. Sesungguhnya aku masih mencintai dan menyayangi San-san. Aku tak rela kehilangan dirinya. Aku tak pernah membencinya sebagai seorang San-san secara utuh, aku hanya kecewa.

            Hari-hari ini aku tengah bersedih karena kehilangan seorang San-san. Hari-hari ini aku dijejali penyesalan dalam hatiku. Hari-hari ini aku sedang berduka. Hari-hari ini aku mengenang masa lalu. Aku belum bisa menerima  kepergiannya pada saat aku belum sempat meminta maaf padanya. Sampai kapan kesedihan ini berhenti? Dan siapa yang akan menghentikan rasa duka ini? Entahlah….


Selasa, 23 Februari 2016





TUNGGU AKU DI KOTA GARUT
Kisah Cinta Antara Garut - Jogja yang Mengharu Biru

Penulis : Arie Amar Ma'ruf

Editor : Nabil Arjuna Ma'ruf

Produksi : Rumah Cinta




Tunggu Aku
di Kota Garut

1



Kereta Api Parahyangan sampai di Stasiun Tugu Jogja.  Aku melirik jam tangan. Jam empat kurang sepuluh menit. Aku turun berdesakan dengan para penumpang lainnya yang menghuni gerbong ketiga. Perasaanku lega setelah berada di luar kereta dan menghirup udara sore yang segar. Pandanganku beredar di tengah keramaian stasiun. Tiba-tiba mataku menemukan wajah yang sangat kukenal tengah melihat-lihat ke gerbong kereta yang baru berhenti. Pasti sedang mencariku.
            “Galih!” teriakku.
Dia menoleh dan langsung tersenyum lebar melihatku.
            “Abi!” setengah berlari Galih menghampiriku.
        Kami berpelukan girang. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah hampir satu tahun berpisah. Selepas SMU Galih diterima di Kedokteran Umum UGM, sedangkan aku melanjutkan kuliah di STKIP Garut. Hidupku memang tak beranjak dari Garut. Lahir di Garut, sekolah mulai SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi pun masih di Garut. Mungkin mati juga ditakdirkan di Garut. Tapi aku merasa bahagia tinggal di kota Garut,  sebuah kota kecil yang cantik dan berhawa sejuk, tempat orang-orang dari berbagai daerah di seluruh nusantara ini mencari kedamaian.
            “Apa kabarmu sobat?” tanya Galih mendahuluiku.
            “Alhamdulillah. Bagaimana dengan kamu?” aku balik bertanya.
            “Aku sehat lahir batin,” sahutnya.
            “Percaya, anak kedokteran nggak pantas sakit-sakitan.”
            “Kamu bisa aja,” Galih tertawa.
            “Aku benar-benar bahagia bisa bertemu denganmu,” ucapku.
            “Aku juga. Seperti dalam mimpi bisa bertemu kamu setelah setahun berpisah.”
            “Bagaimana, tidak ada yang berubah dari diriku, kan?” aku mengangkat bahu.
            “Nanti dulu. Hai, kamu lebih kurus sekarang,” komentar Galih.
            “Yang benar saja! Kamu tidak melihat aku lebih gagah sekarang?” aku protes.
            Galih tertawa.
“Oh ya, aku lihat di tivi ada kerusuhan di Garut menuntut bupati Agus Supriadi mundur. Aku mau tahu ceritanya,” kata Galih.
“Persolannya sangat rumit. Bupati Garut dipaksa mundur karena diduga melakukan korupsi. Tapi awalnya adalah adanya perseteruan elit politik di Garut menjelang pilihan kepala daerah. Ada persoalan hukum dan persoalan politik selain persoalan lainnya yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan. Permasalahannya sangat kompleks.”
“Begitu ya? Aku hanya menyayangkan di Garut yang selama ini damai bisa terjadi kerusuhan.”
“Ada orang-orang yang bermain dengan menghalalkan segala cara. Aku sangat benci kepada orang-orang yang membuat Garut terpuruk seperti saat ini hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.”
“Kamu ada di pihak mana, Bi?”
“Aku berada di pihak masyarakat yang menjadi korban permainan para elit politik yang selalu bicara atas nama rakyat, tetapi sebenarnya tak pernah serius memperjuangkan kepentingan rakyat. Aku merasa prihatin dengan apa yang terjadi di Garut saat ini.”
“Semoga saja persoalan  di Garut segera selesai dengan solusi yang berpihak kepada kepentingan rakyat,” ujar Galih.
“Semoga,” ucapku.
        “Terima kasih kamu akhirnya memutuskan untuk berlibur di sini. Telah kusiapkan acara kita selama kamu di sini. Aku ingin membuatmu mengenal Jogja untuk kemudian selalu merindukannya,” ujar Galih.




Tunggu Aku
di Kota Garut

2



Mentari hampir hilang, jatuh ke peraduan. Pemandangan kota Jogja di senja hari begitu indah, membuat hati berdebar membangun imajinasi, alangkah bahagianya jika bersama dengan seorang pujaan hati memandangi langit yang penuh suasana romantis. Ini adalah senja pertamaku di Jogja, di tempat kost Galih.
            Selesai shalat maghrib, Galih mengajakku jalan-jalan ke Malioboro dengan sepeda motornya. Kata Galih, Malioboro adalah sebuah tempat yang tak pernah sepi oleh pengunjung, seperti pengkolan di kota Garut. Malioboro adalah jalan sepanjang 1 km yang menjadi jantung kota Jogja. Deretan kios cenderamata, beraneka batik dan barang antik, serta segala macam pernak-pernik khas Jogja. Berbelanja di Malioboro tak hanya sekedar belanja saja, tapi juga menikmati suasana romantis. Para tukang becak dan andong nampak hilir mudik, sehingga suasana nampak begitu hidup.
     “Jogja adalah rumah bagi para seniman. Kita akan dengan mudah menemukan beraneka macam hasil karya anak manusia di sini. Para seniman mendapatkan tempat yang luas di hati masyarakat. Mereka bebas berekspresi di mana saja dan kapan saja. Dan kita bebas menikmati karya mereka tanpa batas,” ujar Galih.
            “Ya, apa yang kamu katakan benar, Lih. Aku bisa melihatnya,” kataku.
         Aku membeli sebuah kalung yang menurutku sangat unik. Galih tersenyum melihatku.
           Setelah berjalan-jalan beberapa saat, Galih mengajakku mampir ke tempat makanan lesehan, yang menyediakan nasi bungkus mungil, katanya namanya nasi kucing. Lauknya ada gorengan dan beraneka macam sate.
        “Hampir setiap orang yang datang ke Jogja merasakan enaknya makan lesehan seperti ini,” kata Galih.
Aku tersenyum.
“Bagi para pelajar dan mahasiswa perantau sepertiku, Jogja adalah kota yang bersahabat. Ia tak hanya jadi rumah kedua yang nyaman, tapi juga menjadi sahabat bagi orang yang berkantung pas-pasan. Jogja adalah kota serba murah yang membuat orang tak kelaparan. Ada ratusan usaha waralaba yang menjual intel dan tante.”
“Apa intel? Apa tante?” keningku berkerut.
“Intel singkatan dari indomie telur, dan tante singkatan dari indomie tanpa telur,” sahut Galih.
Aku tersenyum. Lucu sekali cara mereka memberi nama makanan.
“Belum lagi angkringan penjual makanan yang bisa ditemui hampir di setiap gang, menjual nasi, gorengan dan sate yang enak rasanya.”
Nasi kucing dan sate telah terhidang di depan kami. Penjual makanan dengan ramah dan senyum tulus mempersilahkan kepada kami. Kami mulai makan. Minumannya susu jahe. Saat mulutku mulai menyantap makanan itu, terasa sekali nikmatnya.
“Jogja adalah rumah bagi orang-orang sederhana dan ramah. Senyum dan sapa yang keluar dari bibir mereka benar-benar tulus. Mereka seolah-oleh menjadi keluarga selama kita berada di Jogja. Mereka siap membantu meskipun kepada orang yang baru mereka kenal. Orang Jogja akan dengan senang hati menunjukkan jalan ketika kita tersesat tak tahu arah tujuan. Mereka berusaha menghormati keberadaan kita kalau kita pun menghormati kebudayaan mereka,” ujar Galih di sela-sela acara makan kami.
Aku mendengarkan perkataan Galih sambil mengangguk-angguk. Semakin sering mendengarkan informasi tentang Jogja darinya, aku semakin tertarik dan semakin mengagumi kota Jogja.
Selesai makan kemudian minum susu jahe. Ah nikmatnya sungguh luar biasa.




Tunggu Aku
di Kota Garut

3    



Aku duduk di kaki sebuah stupa Candi Borobudur, memandang jauh ke pemukiman penduduk yang nampak datar. Angin berhembus semilir memainkan imajinasiku. Dulu tempat ini pernah menjadi tempat yang memiliki peranan penting sebuah kerajaan besar. Pusat agama dan kebudayaan. Tercatat dalam sejarah dunia tentang kekuasaan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang telah menciptakan bangunan semegah Borobudur pada masanya. Bangunan batu besar bersusun yang menjadi salahsatu keajaiban dunia.
        Seolah-olah tergambar di mataku ribuan manusia bertelanjang dada bermandi keringat mengangkat batu-batu besar untuk menyusun candi. Dentingan palu dan pahat para pengukir relief  berbaur dengan teriakan-teriakan yang memberi perintah kepada para pengangkat batu. Mereka bekerja tak kenal lelah, dari mulai membangun pondasi hinggabagian teratas candi yang rumit. Hingga akhirnya menghasilkan sebuah karya yang luar biasa.
            Sebuah tepukan di bahuku membuyarkan lamunan. Aku tersenyum pada Galih yang entah sejak kapan berada di sampingku.
            “Kuperhatikan sejak tadi, kamu begitu asyik termenung,” kata Galih.
            “Aku sedang merenungkan tempat ini, Lih. Membayangkan kebesarannya berabad-abad lalu. Aku tak habis pikir mengapa segalanya menghilang? Sekarang hanya candi ini yang bisa kulihat sebagai bukti bahwa kebesaran itu pernah ada,” ujarku.
      “Segala hal bisa berubah. Waktu bisa mengubah segalanya. Kekuasaan dan kebesaran manusia tidak kekal. Sebuah peradaban pada akhirnya hanya akan meninggalkan sebagian kecil sisa kejayaannya sebagai sebuah pelajaran bagi manusia berikutnya.”
            Perkataan Galih membuatku termenung kembali. Waktu bisa mengubah segalanya. Sejak bumi ini diciptakan entah sudah berapa banyak kekuasaan yang dibangun oleh manusia. Tapi tidak ada yang abadi. Andai saja manusia mengambil pelajaran dari semua itu, mungkin tak akan ada otoritas kekuasaan, keserakahan, kesewenang-wenangan, penindasan dan penghalalan segala cara demi mencapai tujuan di muka bumi ini. Seperti yang sedang terjadi di kota Garut tercinta saat ini, adalah sebuah contoh kecil ketidakabadian buah dari keserakahan dan kemunafikan manusia.
            “Bi, selain aku… ada lagi yang ingin bertemu denganmu. Dan dia sangat senang mendengar berita tentang kedatanganmu ke sini,” ujar Galih.
            “Siapa?” aku menatap Galih.
            “Apakah kamu masih ingat Marina?”
            Deg! Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Perasaanku jadi tak menentu. Dan itu selalu terjadi setiap nama Marina kudengar dan kukenang. Ya Tuhan, Galih telah mengingatkanku lagi pada sosok itu. Memaksaku tenggelam pada bayang-bayang masa lalu yang penuh warna.
            “Aku masih mengenangnya,” desahku getir. Kugelengkan kepala untuk memupus bayang-bayang Marina yang tiba-tiba saja terlintas di benakku.
            “Bi, Marina juga meneruskan kuliahnya di sini. Ia satu fakultas denganku,” ujar Galih membuatku kaget. Kutatap wajah Galih lekat-lekat. Rasanya aku tak percaya.
            “Benarkah?”
            Galih mengangguk.
            Semua telah jelas. Setelah sekian lama tak kudengar kabar tentang Marina, tiba-tiba aku mendengarnya dari Galih. Kualihkan pandangan. Senja di atas pegunungan berwarna keemasan. Sayap malam melingkupi sekitar Candi Borobudur.
           “Kamu memberitahukan kedatanganku ke sini padanya?” aku kembali menatap mata Galih.
         “Ya. Dan aku berjanji untuk mempertemukan dia denganmu.”
         Kutarik napas dalam-dalam kemudian kukempaskan. Bertemu kembali dengan Marina setelah sekian lama tak bertemu, ya Tuhan… bisakah pertemuan itu mengembalikan keutuhan persahabatan kami? Sesungguhnya di balik luka ini aku rindu derai tawanya, aku rindu menatap bening matanya dan aku rindu segala hal tentang dia.
         Puncak Borobudur makin tenggelam dalam kegelapan dan kebisuan. Kuturuni tangga-tangga batu dengan langkah-langkah kaku. Dalam hati aku berjanji, andai persahabatanku dengan Marina tersambung lagi, aku ingin mengajaknya ke tempat ini untuk mendiskusikan masa lalu tempat ini seperti mendiskusikan banyak hal di sekolah dulu.
           



Tunggu Aku
di Kota Garut

4



Tiga tahun lalu….
Kantor kepala sekolah tinggal beberapa langkah lagi di hadapanku.
            Hai Marina!” teriakan itu mengusikku untuk menunda langkah. Aku penasaran sekali ingin melihat cewek bernama Marina itu. Siswi baru itu selalu jadi bahan pembicaraan teman-teman di sekolahku belakangan ini. Katanya dia bukan saja cantik, tapi otaknya pun cemerlang. Aku yang selama ini menjadi murid terbaik di sekolah jadi kurang percaya diri jika teman-temanku membicarakan kejeniusan Marina.
            Aku menoleh ke arah teriakan itu. Hera nampak cengar-cengir memandangiku.
            “Ternyata betul dugaanku, nggak ada cowok di sekolah ini yang nggak kepelet  oleh Marina. Kamu pun ikut-ikutan naksir padanya. Buktinya kamu menoleh ketika aku menyebut nama Marina. Huh! Aku jadi semakin tak percaya saja terhadap makhluk yang bernama cowok! Semua cowok mata keranjang!” Hera mencibir lalu melanjutkan langkahnya ke arah perpustakaan. Tinggallah aku terbengong-bengong sendiri. Sialan si Hera, nuduh aku yang bukan-bukan!
            Kulanjutkan langkah dengan sedikit tergesa-gesa. Di kantor kepala sekolah telah ada yang menunggu. Galih temanku anak kelas 2 Biologi dan seorang siswi yang belum kukenal. Mereka tersenyum menyambut kehadiranku.
            “Marina,” siswi itu menyebutkan namanya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya.
            “Abimanyu,” balasku. Hem, rupanya ini siswi baru yang sekarang jadi pusat perhatian di sekolah ini, kataku dalam hati.
            “Abi ini temanku sejak SMP. Ia sekarang di kelas 2 Fisika,” kata Galih pada Marina.
            “Kalian sahabat dekat rupanya. Mau dong aku gabung dengan kalian,” ucap Marina.
            “Dengan senang hati,” sahutku. “Kamu pindahan dari mana sih?” lanjutku sambil menatapnya. Duh, matanya bening banget….
            “Aku dari SMU 1 Jogja. Pindah ke sini karena papaku kerja di Kawah Kamojang,” ujar Marina.
            “Ooh....” aku mengangguk.
            Beberapa saat kemudian Pak Suhaya kepala sekolah kami muncul.
            “Selamat siang,” katanya sambil tersenyum.
            “Selamat siang, Pak,” sahut kami.
            Ia lantas menyalami kami kemudian duduk di kursi kerjanya.
            “Begini anak-anak, Bapak sengaja memanggil kalian karena sekolah kita mendapat kepercayaan untuk mewakili Kabupaten Garut pada acara cerdas cermat IPA yang diselenggarakan oleh ITB. Melihat prestasi kalian selama ini, Bapak percaya kalian adalah orang-orang yang tepat untuk mengikuti acara itu. Dan kamu Marina, walau baru satu bulan di sini, tapi melihat nilai akademik kamu selama di sekolah lamamu, kamu layak diberi tempat pada tim sekolah kita,” ujar pak kepala sekolah. Selanjutnya beliau mengutarakan berbagai hal seputar persiapan untuk mengikuti cerdas cermat.
            Pertemuan hari itu adalah awal kebersamaan kami. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari persahabatan antara aku, Marina dan Galih. Persahabatan kami semakin dekat setelah sukses jadi juara di acara cerdas cermat IPA yang diselenggarakan oleh ITB. Kami sering bersama baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Rumah kami bergilir menjadi tempat kumpul untuk main atau berdiskusi soal pelajaran di sekolah. Apalagi orang tuaku dan orang tua Marina ada hubungan pekerjaan di kantor PT Telkom Garut.
            Semakin erat persahabatan kami, semakin kagum aku kepada Marina. Dan semakin tenggelam diriku dalam pesonanya. Aku merasakan debar-debar indah di dadaku jika berada di dekatnya, dan aku merasakan rindu jika jauh darinya. Aku sudah mencoba menutupi perasaan istimewa padanya, tapi semakin lama kupendam perasaan itu semakin keras berdebur-debur bagai ombak pasang di lautan yang menghancurkan karang yang keras dan terjal.
            Akhirnya kuungkapkan perasaanku padanya ketika hujan siang itu mengguyur kota Garut sehingga memaksa kami menunggu di sekretariat OSIS, enam bulan setelah aku mengenal Marina.
            “Marina, aku tak bisa lebih lama lagi memendam rasa hati padamu. Aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu,” kataku dengan perasaan berdebar-debar.
            “Benarkah?” ia menatapku.
            “Ya,” sahutku.
Kami bertatapan. Geletar-geletar dawai hatiku kian deras. Marina menggigit bibir dan tertunduk. Beberapa saat kemudian ia menatapku lagi.
            “Abi, kurasa lebih baik kita bersahabat saja,” ucapnya menghunjam hatiku.
            “Kenapa?” aku menatapnya dengan perasaan kecewa.
            “Karena persahabatan lebih abadi daripada cinta,” suara Marina lirih. Kulihat ada kristal-kristal bening di matanya.
            “Maafkan aku, Marina. Aku telah salah mengartikan kebersamaan kita selama ini,” kataku getir. Lalu kutinggalkan Marina sendirian. Kuterobos hujan lebat dengan membawa perasaan terluka. Tak kupedulikan teriakan Marina memanggil-manggil namaku.
Sejak saat itu tercipta jarak di antara kami. Aku sengaja menjaga jarak dengannya. Entahlah, aku jadi merasa tak berarti di hadapan Marina. Rasa cinta padanya yang demikian besar tumbuh dalam hatiku yang berakhir dengan penolakan membuat aku tenggelam dalam kekecewaan. Aku lebih suka melamun daripada belajar hingga prestasiku turun drastis. Aku sungguh mengalami masa-masa sulit dalam hidupku. Mungkin ini yang dinamakan patah hati. Jarak yang tercipta semakin lebar setelah Marina mengalahkanku dalam pemilihan ketua HIPI, Himpunan Pelajar Berprestasi di sekolah kami.
Memupus bayang-bayang Marina dari pikiranku adalah hal yang sangat sulit sampai detik ini. Selalu kukatakan pada diriku bahwa ia telah melukai hatiku dengan harapan agar bisa melupakannya. Tetapi tetap saja tak berhasil. Entahlah,    usaha-usahaku  untuk    menghapus dirinya dari pikiranku selalu rusak oleh bayangan indah masa lalu bersamanya.




Tunggu Aku
di Kota Garut

5



Galih mengantarku ke rumah Marina. Perasaanku berdebar-debar berada di depan rumah Marina. Pintu rumah terbuka. Sesosok tubuh keluar dari dalam rumah. Seraut wajah cantik tersenyum melihat kehadiran kami. Tatapan matanya yang bening menghentakkan jantungku dan membuat darah di tubuhku berdesir nikmat. Aku merasakan yang seperti dulu lagi setiap melihat Marina.
            “Eh! Kalian sudah datang,” ucap Marina sambil menghampiri kami.
            “Abi, apa kabar?” ia menyambutku dengan hangat, ada binar indah di bola matanya.
            “Baik, Marina,” sahutku.
            Tangan kami berjabat erat. Cukup lama kami berpegangan.
            “Hai, aku jangan dicuekin dong, mentang-mentang ada barang baru, barang lama gak disalamin,” ucap Galih.
Aku tersenyum melepaskan tangan Marina. Marina nampak tersipu malu.
            “Ayo masuk, Mamaku udah nyiapin makanan buat kalian,” kata Marina.
            Kami lantas masuk ke dalam rumah Marina. Di dalam rumah kami disambut oleh Mama Marina.
            “Eh ada orang Garut,” Mama Marina tersenyum.
            Aku bersalaman dengan Bu Anita, kucium tangannya.
            “Sehat Bu?” tanyaku
            “Alhamdulillah,” sahutnya.
            Kami lantas duduk di sofa ruang tamu.
            “Bagaimana keadaan keluarga di Garut?” tanya Bu Anita.
            “Alhamdulillah baik, Bu.”
            “Syukurlah. Sudah lama Ibu gak main ke Garut sejak Bapak pindah kerja lagi ke sini. Kangen rasanya ingin main ke Gunung Papandayan, Situ Bagendit, Candi Cangkuang. Dulu setiap hari Minggu pasti jalan-jalan. Ke Pantai Santolo Garut Selatan juga nyampai,” ujar Bu Anita.
            Aku tersenyum. Selanjutnya kami ngobrol asyik tentang banyak hal. Kadang diselingi canda dan tawa yang menciptakan suasana akrab di antara kami.

            Pasir putih Parangtritis menghampar indah melukiskan kedamaian dan kehidupan yang tenang. Sesekali ombak menjilat ke tepian pantai menghantarkan sisa-sisa kehidupan laut yang penuh misteri.
            Marina duduk di atas kuda putih, sementara aku dan Galih berjalan di sampingnya.
            “Udah ah! Turunin aku,” kata Marina dari atas kuda.
            “Kenapa?” tanya Galih.
            “Aku takut kuda ini lari, aku kan aslinya gak bisa naik kuda,” sahut Marina.
            “Nggak bakal lari, kecuali kalau kutepuk pantatnya. Tepuk pantatnya jangan?”
            “Jangan dong!”
            “Tepuk ah!”
            “Ih Galih nakal. Turunin aku dong,” mata Marina mendelik manja.
            “Baru saja sepuluh menit, sewanya kan satu jam.”
            “Aku takut....”
            “Bagaimana Bi? Turunin jangan?” Galih bertanya padaku.
            “Kayaknya nih cewek perlu dikasihani, aku nggak tanggung jawab kalau dia pingsan di atas kuda,” sahutku.
            “Ya udah, kita turunin aja. Ayo turun Nona manis!”
            Marina memegang tangan Galih. Ia melompat dari atas kuda dibantu oleh Galih.
            “Sekarang giliran aku yang naik kuda,” kata Galih. Lalu naik ke atas kuda.
            “Kamu mau kemana, Lih?” tanyaku.
            “Aku mau jalan-jalan dulu, kalian silahkan nikmati hari yang indah ini, oke?”
            Aku mengangguk.
            Galih kemudian pergi menunggang kuda.
            “Kita jalan-jalan di sekitar sini aja,” kataku.
            Marina mengangguk. Kami berjalan bersisian di atas pasir putih Parangtritis.
Berada di samping Marina serasa mencairkan kebekuan hatiku. Perasaanku mengangkasa di langit biru. Ada semangat dan harapan. Gairah hidup seakan meletup-letup. Ya Tuhan, apakah aku masih mendambakan dia?
“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi. Ketika mendengar kabar tentangmu dari Galih, aku benar-benar terkejut,” kataku mengawali pembicaraan sambil menatapnya dengan syahdu.
“Dan kamu sebenarnya tak meng-harapkan pertemuan denganku, kan?” Marina menatap dengan mata beningnya yang seolah menyimpan kesenduan.
Aku menggelengkan kepala. “Andai kamu tahu, aku begitu merindukan pertemuan ini.”
“Ketika Galih ngasih kabar kamu akan liburan di sini, aku pesimis kamu mau bertemu denganku. Aku telah bersiap-siap kecewa,” ucap Marina.
“Aku sekarang seorang laki-laki dewasa yang bertindak dengan pikiran, bukan dengan perasaan. Dulu aku memang sempat ingin melupakan segala hal tentangmu. Tapi sekarang… sangat bodoh jika aku menghindari pertemuan dengan seorang bidadari,” godaku.
Wajah Marina bersemu merah. Ia nampak semakin cantik di mataku.
“Kamu masih suka nulis cerita?” tanyanya.
 “Masih. Memangnya kenapa?”
“Pantesan, rayuannya makin maut.”
“Tapi sayang, belum ada yang jadi korban.”
Kami tertawa lepas bersamaan. Ya Tuhan, saat-saat indah kebersamaan kami terulang kembali. Terima kasih atas karunia yang indah ini.
“Gimana kabar Tante Hana?” Marina menanyakan kabar Mamaku.
“Alhamdulillah, baik.”
“Aku kangen banget.”
“Mama sering bicara soal kamu dan Galih.”
“Oh ya?”
“Katanya pernah bermimpi melihat kalian berdua melambaikan tangan padaku.”
“Sampai terbawa mimpi begitu?”
“Ya. Ketika mau berangkat ke sini, Mama nyuruh aku nanyain kabar kamu pada Galih.”
“Tante Hana sangat baik. Insya Allah kalau ada waktu aku mau ke Garut khusus nemuin beliau.”
“Jangan begitu dong, masa cuma mau nemuin Mama? Kamu nggak minat ya nemuin aku?”
“Kalau aku nemuin mama kamu, artinya aku nemuin kamu juga,” katanya sambil tersenyum manis.
“Aku akan menunggu. Banyak yang sudah berubah di Garut. Hanya ada satu hal yang tidak berubah.”
“Apa?”
“Nanti saja kalau kamu ke Garut kutunjukkan padamu.”
“Aku jadi penasaran,” ucapnya dengan tatapan yang menghunjam hatiku.
“Emang biar kamu penasaran.”
“Tunggu aku di kota Garut, aku pasti akan datang,” ucapnya.
Hatiku, Marina. Sejak dulu sampai sekarang hatiku menyimpan cinta yang demikian dalam padamu. Kamu adalah surga cinta bagiku.
“Kamu tahu? Selama ini aku benar-benar merasa kehilangan kamu,” ucap Marina sendu.
“Saat itu aku merasa tak berarti bagimu, jadi kupikir lebih baik menghindari dan melupakan kamu. Tapi… ternyata tak bisa. Bahkan sampai detik ini pun. Karena sesungguhnya tak ada yang lebih indah selain kebersamaan denganmu, walau kehadiranmu hanya sebatas teman. Mungkin saat-saat itu adalah hal terindah yang pertama dan terakhir dalam hidupku.”
“Abi, kamu menangis?”
“Hari ini aku bahagia sekali.”
Selanjutnya aku ngobrol tentang banyak hal dengan Marina.




Tunggu Aku
di Kota Garut

6



Berada di Jogja seperti mengulang kembali kebersamaan antara aku, Marina dan Galih. Aku sangat senang bersama mereka. Kami bertiga mendatangi berbagai tempat wisata dan menikmati semua keindahan serta keanekaragaman budaya masyarakat Jogja. Jogja termasuk daerah istimewa di negeri ini karena pada saat kemerdekaan negeri tercinta ini Jogja adalah sebuah wilayah bebas, tidak masuk wilayah jajahan Belanda. Karena itulah masyarakat Jogja menolak adanya pilihan gubernur di wilayahnya dan menginginkan Sultan Jogja otomatis menjadi gubernur tanpa melalui mekanisme pemilihan. Adanya gubernur dan sultan akan menimbulkan dualisme kepemimpinan yang membingungkan masyarakat dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Hari ini kami akan mengunjungi Keraton Jogja. Kami bertiga. Aku, Galih dan Marina.

Terdengar lantunan tembang dalam bahasa Jawa kuno dari mulut sang abdi dalem. Di depannya nampak sesajen, lentera dan hamparan gamelan. Ia menembangkan sebuah syair dari sebuah kitab kuno. Nampak ada beberapa orang wisatawan asing mendengarkan tembang itu walau mungkin tak tahu artinya. Mereka sepertinya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Indonesia untuk melihat berbagai kesenian tradisional terutama yang ada di Keraton Yogyakarta.
Bergantian aku, Galih dan Marina saling memotret di tempat itu. Latar belakang kami berfoto sunggu bagus, sayang kalau tak dimanfaatkan oleh kami.
Suara tembang Jawa terus mengalun, bau wewangian bunga dan asap dupa yang mengiringi tembang itu menciptakan suasana magis. Beberapa orang abdi dalem nampak duduk di sebelah kiri sang pelantun tembang Jawa, mereka bersila untuk melantunkan tembang secara bergiliran.
Keraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan cuma sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya semata, tetapi juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan.
“Lokasi Keraton Yogyakarta didirikan awalnya adalah sebuah hutan Beringin. Dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755. Lokasi tersebut dipilih karena tanah tersebut diapit oleh dua sungai sehinnga dianggap cocok untuk mencapai kemakmuran,” ujar Marina.
Aku mengangguk-angguk.
“Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak oleh gempa besar tahun 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri kokok sampai sekarang dan terawat baik,” katanya lagi.
Setelah hampir setengah hari berada di Keraton Yogyakarta, banyak hal yang bisa disaksikan, mulai dari aktivitas para abdi dalem hingga melihat koleksi barang- barang keraton. Koleksi-koleksi itu disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto-foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari macapat atau menyanyikan tembang-tembang Jawa kuno, wayang kulit dan tari-tarian.
Setelah puas berkeliling Keraton Yogyakarta, aku dan kedua temanku melangkahkan kaki keluar lingkungan Keraton Yogyakarta dengan perasaan puas. Bagi Galih dan Marina, mungkin perasaan mereka biasa saja karena telah sering datang melihat-lihat suasana Keraton Yogyakarta. Tapi bagiku, ini adalah untuk yang pertama kali sehingga sangat terkesan dengan apa yang kusaksikan tadi di dalam Keraton Yogyakarta.




Tunggu Aku
di Kota Garut

7



Sore ini, Galih dan Marina mengajakku  pergi jalan-jalan ke Alun-alun Kidul. Aku membonceng sepeda motor Galih, sedangkan Marina membawa sepeda motor sendiri. Suasana di tempat itu ternyata ramai oleh para pengunjung.
            Beberapa saat kami berjalan-jalan melihat-lihat suasana tempat itu. Aku merasa heran karena banyak orang yang menutup matanya, lalu berjalan ke arah dua pohon beringin besar yang ada di tempat itu.
            “Mereka ngapain?” tanyaku pada Galih dan Marina.
            “Mereka sedang mencoba perun-tungan. Konon katanya siapa yang bisa lewat di tengah-tengah kedua beringin itu dengan menutup mata, keinginannya akan terkabul,” sahut Galih.
            “Oh begitu ya?” aku penasaran.
            “Ini berhubungan dengan sebuah cerita tentang seorang putri Sultan Hamengku Buwono Pertama,” ucap Marina.
            “Bagaimana ceritanya?” tanyaku.
            “Dulu ketika Sultan Hamengku Buwono Pertama berkuasa, putri beliau dipinang oleh seorang laki-laki keturnan bangsawan. Tetapi Sang Putri tidak menyukainya. Ia mencari cara untuk menolak lamaran itu dengan halus. Sang Putri mendapat ide, ia mengajukan sebuah syarat. Jika ingin menikah dengannya, laki-laki itu harus berjalan dengan mata tertutup mulai dari pendopo yang berada di sebelah utara alun-alun kidul kemudian melewati dua beringin di tengah alun-alun dan finish di di pendopo yang ada si sebelah selatan alun-alun kidul. Laki-laki itu melaksanakan permintaan Sang Puteri. Ternyata ia gagal,” ujar Marina.
            “Terus bagaimana?”
            “Kemudian Sang Sultan berkata, yang bisa memenuhi syarat Sang putri hanyalah laki-laki yang hatinya benar-benar bersih dan tulus. Banyak pemuda dari kalangan bangsawan yang mencoba, tetapi selalu gagal. Akhirnya ada seorang pemuda dari tanah Sunda, katanya putra Prabu Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat dari Sang Putri, hingga kemudian Sang Putri dipersunting olehnya. Secara politik kemudian terjalin kekerabatan antara kerajaan Mataram dan kerajaan Siliwangi,” Marina menutup ceritanya.
            “Kalau begitu, aku ingin mencobanya,” kataku.
            “Aku pernah mencobanya, tapi aku gagal,” kata Galih.
            Marina meminjam kain penutup mata kepada seseorang. Lalu aku dibimbing oleh Marina untuk melaksanakan niatku.
            “Sekarang kamu sebutkan keinginan-mu dalam hati,” ucap Marina.
            Aku mengangguk. Ya Tuhan, aku adalah seorang laki-laki keturunan Sunda. Asalku dari Garut. Aku ingin mempersunting seorang gadis dari tanah Jogja ini. Aku ingin menjadikan Marina sebagai seorang permaisuriku. Aku mencintainya dengan tulus. Kabulkan do’aku Ya Tuhan....
            “Sudah kau sebutkan keinginanmu?”
Tanya Marina.
            “Sudah,” aku mengangguk.
            “Sekarang mulailah berjalan,” kata Marina.
            Aku mulai melangkah. Pikiranku fokus pada dua pohon beringin itu. Di benakku masih terbayang ruang besar di antara kedua pohon beringin itu. Aku terus berjalan. Berjalan dengan kedua mata tertutup tentu saja berbeda dengan berjalan dalam keadaan mata terbuka. Seperti sudah melangkah jauh padahal masih dekat. Bisa-bisa aku menabrak orang lain atau menabrak pohon beringin itu.
            Aku terus mengira-ngira, sudah sampai atau belum. Aku terus berjalan.
            “Stop!” tiba-tiba terdengar suara Marina.
        Ia kemudian membuka penutup mataku. Kudapati senyumnya yang indah mempesona.
            “Apakah aku berhasil?” tanyaku penasaran.
            “Ya, kamu berhasil melewati tengah-tengah kedua pohon Beringin itu,” kata Marina.
            “Yes! Berhasiiill” aku berteriak kegirangan membuat orang-orang di tempat itu memandangiku sambil tersenyum. Ada juga di antara mereka yang berhasil, tetapi kebanyakan berteriak kecewa karena gagal melewati tengah-tengah kedua pohon Beringin itu.
            Galih nampak melambaikan tangannya dari kejauhan. Aku dan Marina berjalan ke arahnya.
            “Kalau boleh tahu, apa yang kamu inginkan?” tanya Marina di sela-sela langkahnya.
            “Kamu yang kuinginkan,” kataku.
            Wajah Marina berubah memerah karena tersipu malu.
            Ah... apakah keinginanku akan menjadi kenyataan?
           
           


Tunggu Aku
di Kota Garut

8


Hari-hari selanjutnya, aku makin betah berada di Jogja. Aku dimanjakan oleh Galih dan Marina yang terus menemaniku mengunjungi tempat-tempat indah yang ada di Jogja. Apalagi kalau malam hari. Hampir setiap malam kami makan di luar. Dan beberapa kali aku makan malam dengan gudeg, makanan manis gurih yang berbahan dasar nangka muda. Tiap pukul 9 malam, ketika banyak toko telah tutup, maka para pedagang mulai menata dagangannya di atas meja sederhana. Memasang tikar-tikar di emperan toko atau di trotoar yang tak mungkin dilalui oleh para pejalan kaki. Mereka menggelar dagangannya sampai pagi, menjadi sebuah penanda bahwa Jogja tak pernah tidur.

Aku berada di tempat kost Galih sendirian. Galih sedang pergi membawa komputernya untuk diservis. Aku mencari-cari bacaan. Kutarik sebuah buku berbahasa Inggris tentang kedokteran. Entah mengapa aku tertarik untuk membukanya. Halaman demi halaman kubuka. Tapi hanya sekilas-sekilas untuk melihat gambar-gambarnya saja. Tiba-tiba ada selembar kertas yang tertarik dari dalam buku. Aku hendak menyimpan kembali kertas itu, tapi kuurungkan ketika sekilas melihat tulisan di kertas itu. Sepertinya aku mengenal bentuk tulisan itu. Darahku berdesir, Marina! Ini tulisan Marina. Aku hapal betul tulisannya. Hurupnya kecil-kecil dan rapi. Sepucuk surat dari Marina untuk Galih, apa artinya? Penuh rasa ingin tahu kubaca surat itu dengan hati berdebar-debar.
Galih, sejak dulu kamu dan Abimanyu adalah dua orang cowok yang kukagumi. Kalian adalah sahabat terbaikku. Rasanya sampai kapan pun aku tak ingin kehilangan kebersamaan dengan kalian. Ketika Abi menyatakan rasa cintanya padaku, aku bingung harus menjawab apa. Aku belum siap menerima pernyataan cinta dari siapa pun.  Aku dengan terpaksa menolak cinta Abi. Betapa sedihnya ketika aku harus kehilangan Abi. Aku mungkin telah melukai hatinya, walaupun demi Tuhan aku tak berniat melukai hatinya.
Galih, kini aku merasa sendirian. Hanya kamu sekarang temanku bercerita. Please obati rasa kehilanganku. Aku tak mau kau meninggalkan aku, seperti Abi meninggalkanku. Kalau kamu mencintaiku, mari kita jalani hari-hari kita bersama, biarlah takdir yang akan menentukan masa depan kita berdua.
  Aku tak mampu lagi meneruskannya. Mataku keburu dibasahi cairan hangat hingga pandanganku kabur. Kupejamkan mata kuat-kuat. Aku tak ingin Galih dan Marina nanti melihat mataku memerah karena tangisan.
Aku sangat mencintai Marina, tapi aku tak mau  mengganggu kebahagiaan Galih yang telah lama menjadi teman terbaikku. Aku harus merelakan Marina untuk Galih. Mungkin inilah makna mimpi Mama yang melihat Galih dan Marina melambaikan tangan padaku.Tuhan, aku rela andai mereka harus bersama, biarlah kutitipkan hati pada sepi.

“Aku mau pulang besok,” kataku pada Marina dan Galih setelah berjalan-jalan di kawasan Malioboro.
“Besok?” Galih dan Marina menatapku seperti kaget.
Aku mengangguk.
“Kenapa besok? Liburannya kan masih lama,” ucap Galih.
“Please deh Bi, jangan pulang besok. Aku masih kangen,” kata Marina.
“Aku ingat Mama terus, katanya mendadak sakit,” aku berbohong.
“Sakit apa?” tanya Marina cemas.
Kadang-kadang penyakit lamanya kambuh, bekas operasi kadungan dulu. Aku juga masih betah di sini bersama kalian. Tapi aku takut sakit Mama makin parah.”
Galih dan Marina terdiam. Beruntung aku punya alasan yang tepat untuk segera meninggalkan Jogja. Maafkan aku, Galih. Maafkan aku, Marina. Aku takut jika lebih lama bersama kalian akan membuatku menangis di hadapan kalian. Aku ingin menyembunyikan air mata ini demi kebahagiaan kalian.
Esoknya, Galih dan Marina mengantarku ke stasion kereta api. Nyak Galih memelukku erat. Kemudian aku bersalaman dengan Marina, tangan kami saling memegang erat. Kulihat ada kesedihan di matanya. Banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi tak terucapkan.
“Aku harap kamu bahagia selama di sini,” kata Galih.
“Aku sangat bahagia, sobat!” kataku.
“Salam untuk orang tuamu dan teman-teman kita di sekolah dulu,” ucap Marina.
“Akan kusampaikan,” sahutku.
“Maafkan bila ada hal yang mengecewakan kamu selama di sini,” kata Galih.
“Kalian sangat baik padaku. Kalian sahabat terbaikku. Selamat tinggal!” aku naik ke dalam gerbong kereta api.
“Selamat jalan!” kata Galih.
“Semoga selamat sampai tujuan!” kata Marina.
Tak lama kemudian kereta api mulai bergerak. Galih dan Marina melambai-lambaikan tangan padaku. Aku membalas dengan mata berkaca-kaca.




Tunggu Aku
di Kota Garut

9


Aku pulang dari Jogja dengan hati yang telah hancur berkeping-keping. Namun aku tak bercerita tentang luka hatiku kepada siapa pun, juga kepada Mama yang selama ini selalu menjadi tempat curhatku.
“Katanya mau satu bulan di Jogja, baru dua minggu sudah pulang,” ucap Mama.
“Aku ingat terus sama Mama, nggak ada teman curhatnya,” sahutku.
“Ah masa?” Mama menggodaku.
“Kalau terlalu lama di sana, uangku habis. Soalnya tiap hari jalan-jalan dan beli souvenir. Jogja itu benar-benar hebat. Segala sesuatu ada di sana. Karya-karya para seniman bisa dijumpai hampir di setiap sudut kota. Kehidupan kota seolah tak ada matinya. Dari mulai bangun pagi sampai tidur lagi, gak pernah sepi. Aktivitas masyarakat terus berjalan. Aku sampai jerawatan begini karena sering begadang,” ujarku.
Mama tersenyum.
“Kayaknya itu jerawat cinta deh, bukan jerawat karena begadang,” goda Mama.
Aku tersipu malu.
“Galih ngajak aku jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di Jogja. Ke Candi Borobudur, ke Keraton, ke Parangtritis, ke Malioboro. Yang paling sering ke Malioboro. Kalau di Garut seperti pengkolan. Cuma di sana lebih ramai dan lebih hidup.”
Mama tersenyum.
“Mama pernah dua kali ke Jogja waktu masih SMA dulu. Dulu juga Malioboro sudah ramai, apalagi sekarang.”
“Wah, Mama gaul juga ya.”
“Acara sekolah, study tour dan acara liburan sekolah bersama teman-teman.”
“Kalau begitu gak usah diceritain deh kalau Mama sudah tahu Jogya.”
“Ceritain saja, susananya kan sudah beda dahulu dengan sekarang.
“Eh, Mama masih kenal sama Marina teman Abi sekolah dulu?”
“Masih dong, yang paling pintar dan paling cantik itu kan?”
“Iya sih.”
“Emangnya kenapa?” tanya Mama.
“Abi bertemu dengan dia dan sempat beberapa kali main ke rumahnya. Dia satu kampus dengan Galih di UGM.”
“Oh ya? CLBK dong,” ucap Mama.
“CLBK?” aku heran karena Mama pakai bahasa singkatan.
“Cinta Lama Bersemi Kembali,” Mama menjelaskan sambil tersenyum menggoda.
“Ah Mama,” aku tersipu malu.
“Dia tentu makin cantik dan dewasa,” kata Mama.
“Dia masih ingat sama Mama. Dia kirim salam, katanya ingin datang ke sini untuk bertemu dengan Mama.”
“Syukurlah kalau demikian. Jika ingat sama Mama, pasti sama anak Mama lebih ingat lagi,” kembali Mama menggoda.
Aku membuang perasaan luka di hatiku. Aku tak mau Mama mengetahuinya.
“Semoga saja Marina bisa datang ke Garut, Mama kangen, dan ada yang ingin Mama bilangin sama dia.”
“Mau bilang apa?”
“Rahasia dong.”
“Ah Mama pakai rahasia-rahasiaan segala.”
“Mama ingin memohon kepadanya... agar ia bersedia jadi mantu Mama,” goda Mama.
“Ah Mama! Jangan bilang gitu!”
“Kenapa? Mama mau banget punya mantu yang cantik dan pintar seperti Marina.”
Aku terdiam. Andai Mama tahu aku sedang terluka... ia tentu akan bersedih dan tak akan tertawa-tawa menggodaku.
“Berdo’a saja Ma, semoga Marina jadi menantu Mama,” kataku sambil berusaha tersenyum ceria.


Di hadapan Mama, aku bersikap ceria menceritakan tentang Marina. Mama nampak senang. Namun saat aku berada di kamar, aku menangis tersedu-sedu mencurahkan perasaan sedih dan kecewa yang kupendam sejak di Jogya.
Rasanya aku tak punya semangat lagi untuk melanjutkan hidup. Cinta dan harapan seperti tubuh dan bayangannya. Ketika cinta hadir di dalam hati, hidup penuh harapan dan impian. Ketika cinta pergi, dalam hati hanya ada ruang kosong. Harapan pergi entah ke mana. Namun di tengah keputusasaan yang melanda jiwaku, ada setitik cahaya yang seolah membimbingku untuk tetap tegar menghadapi kenyataan. Hati ini pun tergerak untuk menyerahkan segala urusan kehidupanku seutuhnya kepada Tuhan. Jika malam telah sepi, aku bangun dan melaksanakan shalat tahajud dan shalat hajat. Di akhir shalat aku berdo’a sambil berderai air mata. Aku tak akan pernah berhenti memohon hingga permohonanku terkabul. Semoga Tuhan mengirimkan sosok wanita yang lebih baik daripada Marina untuk dijadikan pelabuhan hatiku.




Tunggu Aku
di Kota Garut

10


Handphone di atas meja berbunyi. Aku mengecilkan volume televisi di kamarku kemudian mengangkat HP. Dari Beni teman gaulku sejak lama.
            “Hallo Om Ben? Bagaimana kabar Tante Yani?”
            Beni langsung tertawa, Yani adalah mantan pacarnya yang sudah menikah dengan orang lain.
            “Kamu sudah kembali dari Jogja ya?” tanya Beni.
            “Ah kata siapa?”
            “Kata Erwin kemarin lihat kamu di Pengkolan.”
            “Salah lihat kali.”
            “Memangnya kamu di mana sekarang? Masih di Jogja?” tanya Beni.
            “Bukan, di rumah.”
            “Tuh kan benar kamu sudah pulang,” Beni kembali tertawa.
            “Ada apa Ben? Kalau mau ngomong yang nggak penting mau kututup nih! Masa dini hari begini nelepon? Ini jam dua tahu!”
            Beni tertawa ngakak.
            “Aku mau ngajak kamu besok ke Pantai Garut Selatan. Bareng Erwin dan Agus Uwek.”
            “Ngapain? Aduh jangan deh Ben, jangan sampai nekat gitu mau bunuh diri di laut. Seberat apa pun masalah kita jangan sampai gelap pikiran. Urusan Yani sudah masa lalu.”
            Beni tertawa ngakak lagi.
            “Siapa yang mau bunuh diri! Aku mau refreshing. Kalau kamu lagi galau, ikut saja dengan kami!” kata Beni.
            “Enak saja! Aku nggak lagi galau!”
            “Kalau nggak lagi galau, ngapain jam 2 malam belum tidur malah teleponan sama aku?” kata Beni dilanjutkan dengan tawanya.
            “Ah sok tahu kamu! Jam berapa besok berangkat?”
            “Sekitar jam sepuluhan. Kita nginap di sana semalam. Kamu punya saudara kan di sana?” tanya Beni.
            “Ada teman sekolahku di sekitar Pantai Santolo,” sahutku.
            “Besok jam sembilan aku nyamperin ke rumah kamu. Tidur yang nyenyak jangan galau lagi,” kata Beni diiringi tawanya.
            Aku menutup HP. Lalu naik ke tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Tapi sulit sekali untuk tidur. Sejak pulang dari Jogja, aku belum pernah bisa tidur cepat seperti dahulu. Sesungguhnya hati dan pikiranku sedang menderita karena kenyataan pahit yang kuhadapi.

            Jam sembilan pagi aku sudah bersiap-siap membawa berbagai macam perbekalan yang kubutuhkan, kemudian pamit kepada Mama.
            “Ma, aku sama Beni mau ke pantai Garut Selatan,” kataku.
            “Berapa orang?’
            “Empat orang.”
            “Mau malam mingguan di sana?”
            “Iya.”
            “Tapi hati-hati di sana, ya?” kata Mama.
            “Iya dong, Ma.”
            “Naik motor atau naik mobil?”
            “Beni mau bawa mobil Jip.”
            Aku menunggu beberapa saat. Terdengar suara mobil di depan rumah. Ternyata Beni dan teman-teman yang lain. Mereka turun dari mobil dan masuk dulu ke rumahku.
            “Ngapain bawa kompor?” kata Beni.
            “Enak saja. Aku cuma bawa pakaian untuk berenang di laut,” kataku.
            Aku bersalaman dengan Beni, Erwin dan Agus. Mereka ini kelompok pecinta alam sejak dulu, tapi alam sepertinya tak mencintai mereka. Di antara mereka hampir semuanya pernah mengalami patah hati. Kalau ditambah denganku, jadi empat orang. Sungguh Tuhan telah menyatukan aku dengan orang-orang yang patah hati.
            Mamaku keluar dari dalam rumah.
            “Maaf Bu, kami pinjam dulu Abi biar gak diam saja di kamar kayak anak perawan,” kata Beni.
            “Hus!” aku memelototi Beni.
            “Iya, hati-hati kalian ya!” kata Mama.
            “Pokoknya kami akan menjaga Abi dari apa pun,” kata Erwin.
            “Emangnya aku anak kecil?”
            “Bukan anak kecil sih, tapi anak Mama,” kata Erwin.
            Semuanya tertawa-tawa. Aku cem-berut mendengar ocehan mereka yang kompak kalau sudah ngeledek orang.
            Aku mencium tangan Mama, kemudian berangkat mengikuti teman-temanku masuk ke dalam mobil.




Tunggu Aku
di Kota Garut

11


Dari pusat kota Garut ke pantai Garut Selatan jaraknya sekitar 90 km. Ada beberapa pantai indah di sana. Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo, Pantai Manalusu, Pantai Karangparanje dan paling jauh Pantai Rancabuaya. Jalannya berkelok-kelok sehingga kalau tak berhati-hati bisa terperosok ke dalam jurang yang ada di sisi kiri dan sisi kanan jalannya. Sepanjang perjalanan kita akan melihat pemandangan alam yang indah, perkebunan teh dan pegunungan yang panjang dan  masih hijau oleh pepohonan. Bahkan ada sebagian wilayah yang berkabut saat sore hari hingga jam sembilan malam. Ada sebuah hutan yang disebut Gunung gelap yang menyimpan berbagai cerita misteri. Sering ada yang melihat harimau di tengah jalan. Bahkan katanya sering ada wanita yang minta tumpangan ke dalam mobil jika nyetir sendirian. Setelah minta berhenti dan diturunkan, ia tiba-tiba menghilang. Di Gunung gelap juga sering ditemukan mayat oleh orang yang mencari kayu bakar. Katanya Gunung Gelap adalah salahsatu tempat pembungan mayat orang-orang yang bermasalah. Kalau mobil kita mogok di daerah itu, kita harus melempar rokok ke luar kalau mesin mobil kita ingin hidup lagi.
            Beni membawa mobil dengan santai, namanya juga mau rekreasi. Beberapa kali kami berhenti untuk ngopi sambil foto-foto menikmati pemandangan yang indah. Ada juga orang lain yang melakukan kegiatan foto-foto dengan hp. Tetapi mereka melakukannya dengan pasangan masing-masing.
            “Lihat mereka Ben, berfoto dengan pasangan mereka. Kita begini terus sejak dulu, mesranya dengan laki-laki lagi,” ucap Erwin sedih.
            Kami semua tertawa-tawa. Beberapa saat kemudian kami heran karena Agus Uwek tidak kelihatan.
            “Kemana dia?” tanya Erwin.
            “Mungkin ke warung, yuk kita ke sana,” kataku sambil berjalan ke arah warung.
            Ternyata benar, Agus Uwek ada di warung. Ia sedang ngerokok sambil menghadapi sebuah kopi susu di dalam warung yang sepi. Tak jauh darinya ada seorang abg yang duduk malu-malu. Rupanya Agus Uwek sedang merayu anak pemilik warung yang lumayan cantik dan modis.
            Kami masuk ke dalam warung memesan kopi susu.
            Erwin dan Beni menghampiri gadis cantik itu ngajak kenalan.
            “Wah, gak bakalan bener kalau sudah ada rorongo,”  Agus Uwek kesal karena acara ngerayunya diganggu.
            “Namanya siapa Neng?” tanya Beni.
            “Ranti.”
            “Nama yang bagus. Hati-hati loh sama Kak Agus, kalau kamu deket-deket dia nama Ranti bisa berubah menjadi Ranting yang patah,” kata Erwin.
            Gadis itu tersenyum, sementara Agus Uwek manyun.
            “Sekolahnya di mana?” tanya Beni.
            “Di SMA Cisompet,” sahutnya.
            “Kelas berapa?”
            “Kelas dua.”
            “Jauh yah dari sini?”
            “Lumayan, sepuluh kilo.”
            “Perginya naik mobil atau naik motor?”
            “Pakai sepeda motor, kadang-kadang naik mobil angkutan umum.”
            “Mulai sekarang kamu harus hati-hati ya, Neng Ranti,” kata Erwin.
            “Kenapa?”
        “Jangan pergi naik motor sendiri, nanti diculik sama Kak Agus,” kata Erwin sambil nunjuk Agus Uwek.
            Mereka kemudian tertawa.
            Gadis itu tersipu-sipu.
          “Kak Agus itu orangnya baik. Aku sudah lama kok kenal sama Kak Agus,” kata Ranti.
            “Hah?” Beni dan Erwin kaget.
            “Sudah kenal lama? Sudah berapa tahun?” tanya Beni.
        “Ada sekitar tiga tahun. Kami udah satu tahun jadian,” kata Ranti bikin semuanya makin kaget.
          “Gus? Gak nyangka kamu ya! Pantesan kamu minta berhenti di sini!” Erwin menunjuk Agus yang cengar-cengir.
            “Ayo kita pergi Ben! Enakan dia kalau begini!” kata Erwin.
            “Kita habisin dulu kopinya Win, setelah itu kita cabut dari sini!” kata Beni.
       Aku senyum-senyum melihat kelakuan mereka. Kami bertiga minum kopi sambil merokok, sedangkan Agus terus ngobrol sama Ranti yang ternyata pacarnya.
         Pandai sekali Agus menyembunyikan pacarnya dari kami. Ngakunya masih ngejomblo padahal sudah punya kekasih, walaupun kekasihnya ada di tengah hutan. Soalnya kalau di kota nggak bakal laku. Hihihi.
           
           


Tunggu Aku
di Kota Garut

12


Karena perjalanan kami banyak berhenti, kami baru tiba di lokasi sekitar Pantai Santolo jam empat sore. Padahal perjalanan normal hanya sekitar tiga jam.
           Aku masuk ke penginapan Karang Asri. Penginapan itu milik Tan-tan temanku waktu di SMA dulu. Asep penunggu penginapan menyambut kedatangan kami. Aku sudah beberapa kali menginap di tempat ini jika ada acara liburan ke pantai sehingga ia sudah kenal padaku.
       Aku satu kamar dengan Beni, Erwin dengan Agus. Kami mandi, shalat, kemudian istirahat sambil tiduran.
            Jam lima sore Tan-tan temanku datang. Kami lantas ngobrol setelah hampir setahun tak bertemu. Sekaligus merenca-nakan acara di laut nanti malam.
         Selepas maghrib kami berangkat ke pantai Santolo yang sudah dekat dari penginapan kami.
Beni memarkir mobil di pinggir pantai. Lalu kami mempersiapkan lampu senter dan sair untuk menangkap ikan. Kami akan ngobor di sekitar batu karang di bibir pantai. Tan-tan yang jadi penunjuk jalan. Ia sudah hapal lokasi tempat untuk ngobor sehingga kami merasa tenang, tidak takut tersesat dan mendapatkan resiko yang berbahaya.
Kami kemudian berangkat menuju ke lokasi ngobor. Aku dan Tan-tan membawa lampu senter, Beni dan Agus memegang sair, Erwin membawa ember untuk menampung hasil tangkapan.
Ternyata di ceruk-ceruk batu karang banyak ikan-ikan kecil dan udang laut. Ada juga binatang sejenis belut. Kami bersemangat sekali memburu ikan-ikan yang nampak jinak sekali di malam hari. Kadang-kadang kami juga mendapatkan mata lembu, sejenis keong laut.
Kami asyik ngobor sambil tertawa-tawa kalau ada ikan yang sulit ditangkap, atau ada ikan tangkapan yang lepas kembali. Ada juga ikan yang sudah masuk ke dalam sair, tetapi ketika diangkat hilang begitu saja. Sejenak aku melupakan segala persoalan yang ada dalam hati dan pikiran. Yang ada hanya rasa senang. Menyusuri pinggir lautan di malam hari sambil menyaksikan beraneka macam ikan laut yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Setelah dua jam ngobor, kami kembali ke sisi pantai tempat pertama kami masuk. Ikan hasil tangkapan kami lumayan banyak. Yang besar-besarnya kami pisahin untuk dibakar dengan mata lembu. Yang kecil-kecilnya akan dibawa oleh Tan-tan ke rumahnya.
Tan-tan dan aku membuat api unggun dari kayu dan sampah alam yang ada di sisi pantai. Beberapa saat kemudian api unggun menyala hingga tempat itu menjadi lebih terang.
Agus Uwek mengambil gitar, lalu memainkan dawai gitar sambil menyanyi dengan nada sumbang. Beni dan Erwin ikut menyanyi sehingga suasana makin meriah.
Ketika nyala api unggun semakin besar, aku menyuruh Agus menyanyikan lagu dangdut. Ketika Agus memainkan gitar bernada dangdut, dan menyanyikan sebuah lagu dangdut yang ceria, kami berjoget mengelilingi api unggun sambil sesekali ikut bernyanyi. Agus menyanyikan beberapa lagu dangdut sampai kami puas berjoget.
Api mengecil menyisakan bara api yang bagus. Aku dan Tan-tan membakar ikan yang agak besar dan mata lembu. Memasak mata lembu cukup dipanggang  beberapa saat di atas api. Tidak perlu dibakar seperti ikan. Beni, Erwin dan Agus berhenti main gitar dan bernyanyi. Mereka ikut membakar ikan.
Tak lama kemudian ikan-ikan itu  matang. Kami mulai mencicipi mata lembu yang pertama matang dan sudah agak dingin. Cukup dipikul bagian kepalanya, dagingnya keluar. Ketika disantap, enaknya minta ampun. Beni, Erwin dan Agus ikut memakan mata lembu.
“Emh... lezatnya!” kata Agus setelah mencicipi satu buah mata lembu.
“Awas jangan dimakan dengan bagian belakangnya!” kata Tan-tan.
“Kenapa?” tanya Agus.
“Nanti keracunan.”
Semuanya kaget karena sudah terlanjur memakannya.
“Kalau cuma satu dua gak apa-apa, kalau makan banyak akan keracunan.”
“Makan satu mata lembu juga bisa kenyang, tapi ada caranya,” kataku.
“Bagaimana?” semuanya menatapku.
“Makan sama cangkangnya.”
Semuanya cemberut karena ketipu olehku.
Setelah mata lembu habis, kami beralih makan ikan yang sudah agak dingin. Memang kalau memakan ikan laut harus dalam keadaan hangat biar enak, kalau dibiarkan dingin rasanya hambar. Memakan bakar ikan di tepi pantai, sambil mendengarkan debur ombak dan angin yang semilir, rasanya nikmat banget. Ikannya sampai habis semuanya.
Selesai makan ikan dan cuci tangan, aku berbaring di atas pasir yang lembut. Mataku memandang ke atas langit yang cerah dihiasi bintang yang bertaburan. Berada di tempat ini, aku seakan melihat sebuah lukisan besar yang begitu hebat. Terasa sekali kebesaran Tuhan yang telah menciptakan bumi dan langit serta seluruh isinya.
Agus kembali memetik gitar dan menyanyikan lagu religi. Membuat pikiran dan hati merasa tenang dan damai. Rasanya aku ingin terus berada di tempat ini.




Tunggu Aku
di Kota Garut

13


Sudah jam 11 malam, kami masih berada di pantai. Cuaca cerah sekali. Bulan muncul menerangi daerah sekitar pantai. Kami duduk berkeliling sambil ngobrol bersenda gurau. Sisa-sisa api unggun masih mengepulkan asap yang membantu mengusir nyamuk.
            “Dari dulu sewaktu aku masih kecil main ke sini sampai sekarang, kondisi Pantai Santolo masih tetap begini. Tak ada perubahan yang berarti. Beda dengan tempat wisata Cipanas dan Samarang, kemajuannya sangat pesat,” kataku pada Tan-tan.
            “Kawasan wisata yang dikelola oleh Pemda memang seperti ini, gak maju-maju. Pengelolaannya asal-asalan dan semrawut. Beda dengan yang dikelola oleh pihak swasta, terukur dan terarah. Pantas saja perkembangannya pesat,” sahut Tan-tan.
            “Memang ada untung ruginya. Kalau dikelola oleh Pemda, aturannya lebih longgar. Masyarakat bisa ikut menempel kegiatan usaha tanpa harus membayar sewa yang mahal. Para pengunjung pun bisa menikmati acara rekreasi di sekitar pantai dengan biaya murah. Hanya lokasi wisata ini  kelihatannya tak ada kemajuan berarti. Kalau dikelola oleh swasta aturan bagi masyarakat akan ketat, segalanya diukur dengan materi. Makanya kemajuannya akan pesat,” ujarku.
            “Suatu saat nanti, pantai ini akan seperti pantai-pantai di tempat wisata yang lain seperti Pangandaran dan Bali. Banyak bangunan hotel dan tak akan sepi pengunjung, tidak seperti sekarang, ramainya hanya saat liburan lebaran saja.”
            “Pasti. Setiap tempat wisata akan selalu diburu oleh orang-orang, terutama orang yang lagi galau seperti kalian,” kata Agus sambil nunjuk aku, Beni dan Erwin.
            “Enak sajaaa!” kami memelototi Agus yang sok gak punya masalah. Tapi dia benar juga menebak keadaan hatiku. Hanya saja tak mungkin aku mengakuinya.
            “Baru punya pacar di tengah hutan saja kamu sudah belagu!” Erwin melempar Agus dengan bungkus rokok kosong.
            “Kita bicara fakta saja. Win, walaupun kamu punya sepeda motor bagus, tapi faktanya kamu belum pernah membonceng cewek dan mengenalkan seorang wanita sebagai kekasihmu kepada kami. Kamu Ben, walau kamu punya banyak warisan, tetapi sampai saat ini kamu belum bisa mencari pengganti Yani. Kamu Bi, walau kamu banyak penggemar cewek dimana-mana, tetapi sampai saat ini kamu belum punya pacar. Sedangkan aku, yang paling minim segalanya di antara kalian, aku sudah punya pujaan hati belahan jiwa yang sudah kalian ketahui bersama. Mulai sekarang kalian jangan suka meledek aku lagi, karena faktanya aku lebih mampu daripada kalian dalam urusan menaklukkan wanita!” kata Agus bangga.
            Kami bertepuk tangan untuk pidatonya yang bagus itu.
            “Ya ya ya... kamu benar Gus, kamu lebih mampu daripada kami. Tapi ada hal yang harus kamu tahu. Kamu dapat Ranti adalah sebuah anugerah bagi kamu, tetapi sebuah musibah bagi Ranti!” kata Erwin.
            Semuanya tertawa-tawa.
            “Kalian jangan ngiri gitu dong, seharusnya kalian bangga punya teman dapat cewek cantik.”
            “Ya, aku bangga, Gus. Tapi awas jangan minta aku ngantarin apel malam-malam, karena aku gak mau ngantarin apel ke hutan!” kata Erwin.
            Kembali kami tertawa-tawa.
            “Sorry deh, aku gak akan minta diantar apel sama kamu, nanti seperti kata Mansur S, pagar makan tanaman.”
            Tawa kami terus berlanjut.
            Tak terasa, sudah jam 1 malam. Kami segera pulang ke penginapan.

           Esoknya, jam 5 pagi kami sudah kembali ke laut karena ingin mencari pemandangan bagus untuk acara foto-foto saat matahari terbit. Pemandangan pagi itu di Pantai Santolo sungguh luar biasa, kami mengabadikannya dengan perasaan gembira.
            Sekitar jam delapan pagi, kami sarapan di warung. Setelah di warung kami bermain di pantai. Aku membeli sebuah bola plastik. Lalu kami bermain bola. Aku dan Beni melawan Agus dan Beni. Tidak sempat terhitung berapa gol yang masuk, yang penting kami suka. Setelah main bola, kami berenang di tepi laut. Setelah puas berenang, kami menyewa sebuah kapal nelayan untuk berlayar ke tengah lautan. Wow! Kami menikmati sebuah petualangan berlayar di tengah laut. Ada rasa senang melihat samudera yang luas sekaligus rasa was-was, bagaimana kalau kapal nelayan kecil ini tiba-tiba digulung ombak sehingga kami semua tenggelam. Di tengah laut aku merasa sangat kecil di hadapan Tuhan. Aku sungguh tak berarti apa-apa. Kulihat mata Agus terpejam dengan mulut komat-kamit. Tanggannya memegang erat ke pinggir kapal. Ternyata bukan cuma aku yang takut berada di tengah lalut. Agus Uwek yang ngaku petualang dan pecinta alam juga ketakutan. Setelah satu jam di lautan, aku menyuruh pemilik kapal kembali. Betapa leganya setelah melihat bibir pantai tempat kami berangkat tadi.
Jam 11 siang, kami meninggalkan Pantai Santolo dan kembali ke penginapan Karang Asri untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah shalat dzuhur kami pulang ke Garut. Kami sempat mampir dulu ke warung milik orang tua Ranti. Memberi kesempatan kepada Agus untuk bertemu kekasihnya. Solidaritas kami kepada teman sangat tinggi walau sering saling ledek.

           


Tunggu Aku
di Kota Garut

14


Bupati Garut resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kondisi Garut yang semula memanas berangsur-angsur pulih. Demonstran, baik dari pihak yang pro maupun kontra bupati menghentikan aksinya. Namun ketidakpuasan masih mengganjal di kalangan para aktivis. Jika mau bicara secara objektif, bupati bukan satu-satunya orang yang bersalah dalam dugaan penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Garut. Jika ingin membersihkan Garut dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka semua pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan APBD harus diadili, karena perbuatan mereka sangat merugikan negara dan mengkhianati amanat rakyat. Para kepala kantor dan dinas sebagai penanggung jawab pelaksanaan program harus diperiksa. Termasuk para anggota dewan yang terlibat dalam pengelolaan dana jaring aspirasi masyarakat. Sebagian dari mereka diduga menyelewengkan dana tersebut dengan cara yang sangat rapi dan digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Aku hadir dalam pertemuan para aktivis sekabupaten Garut untuk membahas masa depan Garut. Kami tak ingin Garut tercinta menjadi sebuah daerah tempat para koruptor duduk dengan santai setelah  menjarah uang rakyat. Kami tak ingin Garut menjadi sebuah daerah dimana para pejabatnya kaya raya sedangkan rakyat hidup dalam kemiskinan. Kami sepakat untuk menempuh jalur hukum memerangi para koruptor yang masih bergentayangan dan setiap waktu menghisap darah rakyat.
Selesai acara aku langsung menuju ke jalan Cimanuk 212 tempat biasa ngumpul bersama teman-temanku. Di sana sudah ada Beni, Erwin, dan Apeh sedang menyablon pakaian balap motor milik Tedi, salahsatu teman kami yang jadi anggota tim balap motor profesional.
“Cepetan nyablonnya, kita main ke Pengkolan,” ajakku. Pengkolan adalah pusat nongkrong di kota Garut.
“Kebetulan, aku belum makan,” kata Beni.
“Memangnya siapa yang mau nraktir makan?” tanyaku.
“Loh, emangnya kamu ngajak ke Pengkolan mau ngapain?” tanya Beni.
“Kalau sudah di Pengkolan ngapain aja, kita bagi-bagi tugas. Kamu Ben yang mengintai sasaran, Erwin bagian mepetnya, Apeh yang ngambil dompetnya. Aku bagian penerimaan uangnya.”
Kami semua tertawa-tawa.
“Sore-sore begini enak banget kalau makan ayam goreng hangat, nasinya nasi timbel, minumannya teh botol,” kata Beni.
“Oke deh Ben, nanti kutraktir kalian semuanya di Pasar Ceplak. Sekarang selesaikan dulu sablonnya,” kataku.
“Eh, hari Minggu lusa ada kegiatan motorcross di daerah Cikajang, kamu mau ikut?” tanya Apeh.
“Kalau kalian ikut, aku juga mau dong ikutan,” sahutku.
“Daripada diam di rumah melamun tak karuan, mendingan ikutan saja,” kata Beni.
Kami memang sudah sering mengikuti kegiatan motorcross, tapi hanya di lingkungan Kabupaten Garut saja. Kami belum berani kalau kegiatannya di luar daerah Garut.

Jam empat sore, kami jalan-jalan ke Pengkolan. Setiap sore tempat ini ramai dikunjungi oleh warga Garut. Tua muda, laki-laki perempuan, yang berduit dan tak berduit, semuanya ada di Pengkolan. Kalau di Jogja ada Malioboro, di Garut ada Pengkolan. Aneka jenis makanan dijual oleh para pedagang kaki lima di sini. Dari mulai gehu, bala-bala, comro, cireng, molen, onde, odading, dan makanan aneh khas masyarakat Sunda pasti ada di Pengkolan.
Kami langsung masuk ke sebuah kedai yang terbuat dari tenda yang  menyediakan nasi timbel dan ayam goreng.
“Teh, ayam goreng empat, ati ampelanya empat, tahu empat,” kataku pada pemilik kedai.
“Minumannya apa?”
“Teh botol saja.”
Si Teteh mengambil daging ayam pesananku, kemudian digoreng.
Wangi ayam kampung yang digoreng membuat nafsu makan terbangkitkan hingga kami ingin cepat menikmatinya.
Tak lama kemudian nasi timbel dan ayam goreng telah terhidang di depan kami.
“Bismillah dulu Ben, nanti Setan ikut makan, jadi kamu gak kenyang-kenyang,” kataku pada Beni.
Semuanya tersenyum.
Kami kemudian menikmati nasi timbel dan ayam goreng dengan lahap. Tiba-tiba saja aku teringat saat-saat seperti ini bersama Galih dan Marina saat di Jogja. Hatiku bergetar mengingat kenangan-kenangan manis itu, sebelum kemudian aku menemukan selembar kertas di buku milik Galih. Sepucuk surat dari Marina untuk Galih yang meluluhlantakkan hatiku sehingga ingin segera pulang ke Garut.
Aku tertunduk. Aku tak mau mataku yang berkaca-kaca karena kenangan itu diketahui oleh teman-temanku.


           

Tunggu Aku
di Kota Garut

15



Aku pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah hampir seharian mengikuti kegiatan motorcross bersama peserta yang lainnya sewilayah Kabupaten Garut. Setelah memasukkan sepeda motor ke garasi aku masuk ke arah dapur karena perutku terasa lapar.
Mama muncul menghampiriku.
“Abi, seru ya acara motorcrossnya?” “Seru banget, sampai lupa makan.”
“Jangan sampai lupa makan, dong, nanti kamu sakit.”
Aku terdiam merasa bersalah.
“HP kamu kenapa nggak dibawa?”
“Lupa Mam, memangnya kenapa? Ada yang nelepon ya?”
“Iya, tadi HP kamu bunyi. Karena terus-terusan berbunyi, Mama angkat saja. Maaf, ya!”
“Gak apa-apa, Mam. Memangnya siapa yang nelepon?
“Dari Jogja.”
“Galih?”
“Bukan.”
“Marina ya?”
“Ya.”
“Dia bilang apa?” perasaanku berdebar tak karuan.
Mama terdiam.
“Dia bilang apa, Mam?” aku menatap Mama dengan perasaan semakin tak karuan.
“Mama gak tega bilangnya,” kata Mama dengan nada sedih.
“Bilangin aja. Mam. Please.”
“Marina dan keluarganya mengundang kita ke Jogja sebulan lagi untuk acara lamaran.”
Aku tertegun. Lamaran? Pasti acara lamaran Galih kepada Marina.
“Marina ada yang melamar? Pasti Galih yang melamarnya,” ucapku pedih.
 Selama ini aku selalu berusaha tegar di hadapan Mama. Tapi kali ini aku tak bisa. Aku tak bisa menyembunyikan air mata. Air mataku berderai.
Mama memelukku.
“Mama tahu kamu mencintai Marina, Mama tahu bagaimana dalamnya cintamu kepadanya. Sudah lama matamu menyimpan duka karena rasa cintamu padanya.”
Mama memegang wajahku. Kemudian mengusap air mata di wajahku.
“Sudah jangan menangis. Sekarang temuin dulu tuh teman kamu di taman belakang. Kasihan, dia menunggumu dari tadi.”
“Siapa?”
“Katanya teman kamu waktu di SMA, katanya dia kangen padamu.”
Mama tersenyum misterius bikin aku penasaran. Aku melangkah menuju ruang tamu. Langkahku terhenti dan mendadak jantungku berdebar-debar melihat seorang gadis duduk di sofa. Berambut panjang memakai kaos putih dan celana jeans biru. Ia mengangkat muka dan menoleh ke arahku. Matanya yang bening menatap syahdu dan senyum manis tersungging di bibirnya.
“Marina,” ucapku tak percaya.
“Abi,” ucapnya sambil berdiri menyambut kehadiranku.
Aku menyalaminya dan menggenggam tangannya erat.
“Aku tak percaya kamu datang,” ucapku.
“Aku memenuhi janjiku.”
“Ya, untuk menemui mamaku.”
“Aku juga ingin nemuin kamu.”
“Kamu sudah minta izin kepada Galih untuk menemuiku?”
Marina mengangguk.
Dia tidak cemburu?
“Abi, tak ada hubungan apa-apa antara aku dan Galih.”
“Surat itu? Surat yang kubaca di tempat kost Galih?”
“Kamu membacanya?
“Ya, surat itu yang membuatku memutuskan pulang dari Jogja dengan cepat. Aku tak ingin mengganggu hubungan kamu dengan Galih. Aku tak ingin menyakiti perasaannya,” kataku.
“Aku memang sekian lama bersama Galih. Tapi bukan sebagai sepasang kekasih. Hubungan kami hanya sebatas teman.”
“Tapi Galih mengharapkan kamu jadi kekasihnya.”
“Galih tahu aku hanya mencintai kamu, karena itu ia menyuruhku datang menemui kamu.”
Dia merelakan kamu bersamaku?”
“Ya.”
“Tapi aku tak mau menyakitinya, ia sangat baik padaku.”
“Dia sudah menemukan pasangannya, temanku di kampus. Mereka akan segera bertunangan.”
“Benarkah?”
“Ya. Sekarang kamu jangan ragu lagi tentang aku. Jangan ragukan cintaku. Jangan tinggalkan aku lagi. Selama ini aku sangat menderita jauh darimu,” ucap Marina dengan mata berkaca-kaca. Lalu ia membenamkan wajahnya di dadaku sambil menangis terisak-isak.
Aku membiarkan ia menumpahkan air matanya di dadaku. Beberapa saat kubelai dan kumainkan rambutnya yang panjang terurai penuh perasaan cinta dan sayang. Setelah ia berhenti menangis, kuangkat wajahnya dari dadaku, kutatap mata beningnya yang basah oleh air mata.
“Kamu ingin tahu satu hal yang tak pernah berubah di kota Garut ini?” tanyaku.
“Ya, aku ingin tahu,” ucap Marina.
“Hatiku, Marina. Sejak dulu sampai sekarang hatiku menyimpan cinta yang demikian dalam padamu.”
Pangeran Cinta dari Garut kini tak akan merana lagi karena ada Putri Jogja yang akan selalu bersamanya.


                                            SELESAI