Rabu, 24 Februari 2016

Sepotong Cerita Tentang Rey



Sosok tinggi putih yang masuk dengan langkah gagah menghentikan kegaduhan dalam ruang kuliah anak-anak tingkat satu teknik industri. Pipin meninggalkan kerumunan di meja Ivan yang sedang membagikan stiker logo jurusan. Ia segera duduk di samping Monika.
            “Dosen baru di kampus kita. Namanya Pak Rey,” bisiknya pada Monika.
            “Tahu dari mana?” tanya Monika.
            “Tadi aku sempat nguping pembicara-an waktu di ruang dosen. Dan yang lebih menarik, dia masih bujangan. Dari cara kamu memandang, pasti kamu ada minat,” kata Pipin diakhiri canda membuat Monika tersenyum kecut.
            “Selamat siang!” suaranya berwibawa.
            “Selamat siang, Pak!” sahut semuanya.
            “Saya adalah dosen kalian untuk mata kuliah psikologi industri. Nama saya Rey Demona. Sama seperti kalian saya adalah orang baru di kampus ini. Dan ini adalah tahun pertama saya mengajar di kota Garut. Sebelumnya saya jadi dosen di salahsatu perguruan tinggi swasta di Jakarta,” ujarnya dengan sikap tenang.
            Pipin mencubit pinggang Monika membuat cewek itu kaget lantas memelototi Pipin.
            “Ganteng banget, dan suaranya merdu untuk didengar. Hem, pasti kamu ingin yakin apa dia masih bujangan atau belum. Ayo tanya, dong!” bisik Pipin.
            “Sembarangan!” Monika mendengus kesal. Pipin menutup mulut menahan tawa melihat tingkah temannya.
            “Saya ingin kalian rileks mengikuti perkuliahan ini. Yang paling penting kalian memperhatikan materi yang saya sampaikan. Nggak penting kalian mau menghargai saya atau tidak, tapi saya mohon hargailah ilmu pengetahuan yang saya sampaikan. Karena kalau kita menghargai ilmu pengetahuan, hati kita akan terpanggil untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya hingga akan sampai kepada titik kekaguman kepada Maha Pencipta.”
            “Gila Monik! Bahasa yang ia pakai hebat banget. Ia pasti cowok yang romantis,” Pipin kembali berbisik pada Monika.
            Monika diam saja.
            “Kalian nggak usah takut soal nilai mata kuliah saya. Asal kalian delapan puluh persen hadir pada perkuliahan, fokus pada materi yang saya sampaikan, punya sikap pribadi yang baik, ngerjain tugas dengan baik, nilai UTS baik, nilai UAS baik pasti akan saya kasih nilai A,” ujar  Rey sambil tersenyum.
            “Huuu….!” anak-anak ribut.
            “Saya udah memperkenalkan diri. Saya pun ingin mengenal kalian. Akan lebih enak suasana di ruangan kuliah ini jika kita sudah saling mengenal.”
            Selanjutnya Rey mengabsen mahasiswa-nya satu persatu. Setelah mengabsen ia memulai perkuliahan menggunakan in focus.
            “Psikologi industri merupakan pendekatan secara manusiawi untuk menciptakan lingkungan kerja yang ideal pada sebuah perusahaan atau industri. Salahsatu sumbangan penting bagi perusahaan adalah penemuan tentang teori X dan teori Y. Menurut teori X pada dasarnya semua manusia baik dan melakukan hal-hal yang baik. Mereka giat bekerja, taat terhadap pimpinan, tidak banyak menuntut, tidak suka mencuri, menyelesaikan pekerjaan dengan tanggung jawab dan sebagainya. Karena itu berdasarkan kepada teori X ini maka sudah sepantasnya pekerja atau karyawan mendapatkan perhatian dari perusahaan berupa fasilitas yang layak, asuransi, karier yang jelas, bonus dan tunjangan-tunjangan lainnya. Sedangkan menurut teori Y pada dasarnya manusia itu punya sifal jelek dan melakukan hal-hal yang merugikan. Pemalas, sering bolos kerja, suka mencuri, tidak patuh terhadap pimpinan, banyak menuntut dan sifat-sifat jelek lainnya. Untuk mengatasi masalah ini maka perusahaan harus menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat kepada pegawai atau karyawan agar perusahaan tidak dirugikan. Kedua teori ini harus diterapkan secara seimbang agar tak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan oleh perusahaan.”
            Sejenak Rey menghentikan penyampai-an materinya.
            “Sampai di sini ada yang bertanya?”
            Beberapa orang mengacungkan tangan. Rey tersenyum senang.

            Monika menempelkan prangko pada amplop, lantas bergegas menuju loket penyimpanan surat.  Pada saat bersamaan seorang cowok menyerahkan sebuah amplop besar kepada petugas. Secara tak sengaja Monika melirik cowok di sampingnya. Ia terkesiap melihat seraut wajah dengan sepasang mata teduh yang sangat ia kenal.
            “Pak Rey,” ucap Monika lirih.
            “Hai,” Rey balas menyapa. “Kamu yang bernama….”
            “Monika,” Monika menyebutkan namanya.
            “Oh iya.”
            Tiba-tiba saja tangan Rey menarik tangan Monika dari tempat itu. Semula Monika kaget, tapi kemudian ia tersadar kalau keberadaannya menghalangi banyak orang yang mau menyimpan surat.
            “Maaf,” ucap Rey.
            “Nggak apa,” Monika tersipu.
            “Kamu sendirian?” tanya Rey.
            Monika mengangguk.
            “Bagaimana kalau kita nyari tempat minum, kayaknya siang-siang begini enak minum jus buah,” ajak Rey.
            “Eu-tapi….” Monika seperti ragu.
            “Nggak usah nolak, saya tahu kamu kehausan,” canda Rey bikin wajah Monika memerah.
            “Oke?” Rey menatap mata Monika.
            Akhirnya Monika mengangguk. Ia berjalan di samping dosennya dengan perasaan tak menentu. Ia merasa sedang bermimpi. Kebetulan tak jauh dari kantor pos ada sebuah kafe minuman. Jadi Monika tak merasa tersiksa berjalan lebih lama di samping Rey.
            “Mau pesan apa?” tanya Rey.
            “Terserah Bapak,” sahut Monika.
            “Kok terserah saya, bagaimana kalau kamu nggak suka?” Rey menatap wajah cantik di hadapannya.
            “Emh… jus jeruk aja.”
            “Saya juga suka jus jeruk.”
            Rey lantas menulis pesanannya dan diberikan kepada pelayan.
            “Monik, sebaiknya di luar perkuliahan kamu jangan manggil saya Bapak, panggil saja Kak Rey,” ujar Rey.
            “Ya, Pak.”
            “Apa saya sudah terlalu tua, Monik? Usia saya baru dua puluh tujuh dan belum menikah.”
            “Eu… iya, Kak Rey,” Monika tergagap. Apa kata teman-teman jika mereka tahu  aku memanggilnya Kak Rey…
            Pelayan datang mengantarkan minuman dan menaruhnya di meja.
            “Kamu mengirim surat buat siapa, Monik?” tanya Rey setelah mereguk sebagian jus jeruknya.
            “Kakak saya di Jakarta,” sahut Monika.
            “Kerja?”
            Monika mengangguk. “Ia jadi perawat di Rumah Sakit Pertamina. Sejak lulus es-em-a ia di Jakarta bersama paman.”
            “Ooh….” Rey mengangguk-angguk. Lalu matanya seperti menerawang.
            “Kak Rey ngirim paket ke mana tadi?” tanya Monika.
            “Itu naskah buku untuk penerbit di Jakarta,” sahut Rey.
            “Buku materi kuliah?”
            “Bukan. Cuma naskah kumpulan cerita pendek.”
            “Cerpen?”
            “Aneh, ya?” Rey menatap Monika.
            “Bukan itu. Monik juga suka baca cerpen dan sering nulis,” ucap Monika.
            “Oh ya?” mata Rey berbinar.
            “Iya. Tapi baru belajar. Sudah berkali-kali ngirim naskah ke majalah tapi belum ada yang dimuat juga. Kayaknya masih kalah kualitas sama penulis-penulis lain. Karya Kak Rey udah ada yang dibukuin, ya?”
            “Ada sih, beberapa buah novel, kumpulan cerpen dan puisi.”
            “Wow! Sudah banyak, dong. Monik bisa minjem, nggak?”
            “Kamu nggak perlu minjem, nanti Kak Rey kasih semuanya.”
            “Asyik….” Monika nampak senang.

            Rey Demona, penulis dengan ciri khas sendu dalam setiap karyanya. Tragedi kehidupan kental mewarnai tulisan-tulisannya dalam bentuk novel dan cerpen. Monika sungguh tak menyangka kalau nama Rey Demona yang sekarang jadi dosennya ternyata Rey Demona penulis buku yang sedang terkenal di kalangan remaja saat ini. Ia pun sering membaca karya-karya Rey di majalah-majalah remaja ibu kota. Karya-karya Rey yang bagus membuatnya sangat mengagumi cowok itu. Dan ternyata Rey seorang cowok yang gagah dan ganteng. Bikin hatinya berdebar-debar jika melihat Rey. Apalagi jika Rey sudah tersenyum dan matanya yang teduh itu menatap, Monika merasa sangat terlindungi.
            “Enjoy banget yang lagi melamun!” suara Hilma mengaggetkan Monika.
            “Siapa yang melamun!” Monika berusaha ngeles.
            “Kamu aneh belakangan ini, Monik. Semenjak Teteh datang dari Jakarta, kamu sering terlihat bengong nggak ada kerjaan. Kamu keberatan ya Teh Hilma menikah sama Kak Bayu? Apa kamu ingin lebih dulu menikah? Siapa cowoknya?”
            “Sembarangan!” Monika mendelik. “Aku setuju banget Teteh menikah sama Kak Bayu. Kak Bayu adalah cowok ideal. Udah dokter, cakep lagi. Mana mungkin aku nggak merestui pernikahan kalian?” ujar Monika.
            Hilma duduk di pinggir tempat tidur adiknya.
            “Jangan-jangan kamu lagi kasmaran, Monik. Bilang sama Teteh siapa cowok yang telah merebut hatimu itu?”
            “Heh!” Monika menyembunyikan wajahnya di bantal.
            “Teman satu kampus atau tukang ojek depan kompleks?”
            “Sembarangan!” Monika melempar Hilma dengan bantal.
            “Lantas siapa, dong?”
            “Mau tahu urusan orang lain aja!”
            “Bukan begitu. Kamu yakin dia cowok baik-baik?”
            “Dia adalah cowok terbaik yang pernah kutemui,” kata Monika diikuti senyumnya.
            “Ya syukur. Kalau begitu undang dia di acara pertunangan Teteh nanti. Teteh mau lihat gimana tampang orang yang telah membuatmu sering senyum sendiri.”
            “Sembarangan!” Monika memukuli Hilma dengan bantal guling.
            Hari yang cerah. Monika dan Rey duduk pada sebuah batu besar di dataran luas  menuju puncak Gunung Papandayan. Selain menulis, Monika dan Rey punya kecintaan yang sama kepada alam. Gunung Papandayan adalah tempat mereka menikmati keindahan alam setelah sebelumnya mendatangi Talaga Bodas, bukit Ngamplang dan Situ Bagendit. Tempat-tempat wisata alam terkenal yang ada di Garut.
            “Kamu harus mencoba terus, Monik. Jangan putus asa dulu. Semua penulis pasti pernah mengalami hal seperti kamu,” kata Rey mengobati kekecewaan Monika karena cerpennya belum juga ada yang dimuat di majalah.
            “Kesel sih, masa dari sekian banyak cerita yang Monik kirim nggak ada satu pun yang menarik redaktur untuk memuatnya,” ujar Monika.
            “Banyak orang yang punya potensi jadi penulis mengalami problem yang sama seperti kamu di awal karier kepenulisannya. Dan yang muncul kemudian adalah mereka yang pantang menyerah dan mau belajar dari kegagalannya. Saya bisa berhasil jadi penulis karena menulis bagi saya adalah panggilan jiwa. Dimuat di media cetak memang suatu kebanggan. Tapi kalaupun tidak, setidaknya saya sudah mengurangi sedikit beban di dalam jiwa. Karena dengan menulis, saya bisa jadi siapa pun yang saya inginkan. Misalnya saya bisa jadi orang yang patah hati karena kehilangan orang yang dicintai, jadi orang cacat, jadi orang yang teraniaya, jadi orang yang dikhianati sehingga saya bisa lebih peka dengan kehidupan orang lain.”
            “Apakah hal itu bukan sebuah kebohongan seorang penulis kepada pembacanya?”
            “Ketika menulis sebuah cerita, yakinkan dalam diri bahwa kita bukan sedang berdusta. Karena apa yang kita tulis mungkin saja dialami oleh orang lain. Kalaupun tak ada di sekitar kita mungkin terjadi di belahan bumi lain. Kehidupan bukan hanya milik kita.”
            Monika termenung. Ada hal yang tak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Perkataan Rey telah membuka matanya tentang dunia seorang penulis. Seorang penulis laksana seekor burung yang yang terbang di angkasa. Ia bebas bercerita kepada angin, awan dan puncak-puncak gunung tentang kehidupan  sehingga kehidupan memiliki makna yang berarti bagi semua makhluk.
            “Membaca tulisan-tulisanmu saya yakin suatu saat kamu akan jadi penulis sukses.”
            “Ah,” Monika jengah.
            “Tulisan kamu punya kekuatan untuk memunculkan simpati pembaca. Kamu hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Saya sarankan agar kamu tak terlalu mengikuti perasaan sendiri. Walaupun tema tulisanmu tentang tragedi kehidupan, tapi kamu harus memberi kesan tegar terhadap tokoh yang kamu tampilkan agar pembaca bisa mendapat arti dari hasil karyamu.”
            Monika mengangguk-angguk. Semakin banyak mendengar dari mulut Rey semakin bertambah wawasannya. Bukan itu saja, ia jadi semakin kagum dan jatuh hati terhadap Rey.

            Acara pertunangan Hilma dan Bayu berlangsung dalam suasana yang meriah. Kedua insan yang bertunangan nampak berbahagia. Rencananya setelah acara ini tiga bulan lagi mereka akan menikah. Namun di balik suasana bahagia itu nampak mendung di wajah Monika. Rey ternyata tidak datang. Padahal ia sangat mengharapkan kehadirannya. Tadinya ia akan memperkenalkan Rey kepada seluruh anggota keluarga, sekaligus memenuhi janjinya kepada Hilma untuk memperkenalkan sosok cowok yang dikaguminya. Monika benar-benar kecewa. Malam itu juga ketika acara berlangsung, tanpa sepengetahuan semuanya Monika datang ke rumah Rey.
            “Saya yakin kamu akan kecewa, Monik,” kata Rey di tengah isak tangis Monika. “Tapi saya tak mungkin datang.”
            “Kenapa?” Monika menatap dengan air mata berderai.
            “Kedatangan saya ke sana hanya akan mengganggu kebahagiaan Hilma dan Bayu. Tahukah kamu Monik, berapa lama hubungan mereka sebelum acara pertunangan malam ini? Hubungan mereka baru berjalan tiga bulan. Sebelumnya, selama empat tahun sayalah yang jadi kekasih Hilma.”
            Monika terperangah.  Ia menatap Rey tak percaya.
            “Ya, Monik. Kamu harus percaya hal ini. Kami berpisah enam bulan yang lalu. Saya yang meninggalkan Hilma.”
            “Kenapa? Apakah karena ada yang lain?”
            “Semua orang mengira demikian. Semua orang mengira saya meninggalkan Hilma karena ada cewek lain. Hingga Hilma kecewa dan membenci saya. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian.”
            Rey menarik napas panjang. Ia menatap Monika dengan mata berkaca-kaca.
            “Saya punya rahasia kecil, Monik. Telah lama saya menyimpan rahasia ini. Sekarang saya ceritakan padamu karena saat ini kamu orang yang sangat dekat dalam kehidupan saya. Delapan bulan lalu dokter telah memvonis kematian untuk saya setelah dinyatakan mengidap penyakit leukeumia.”
            “Kak Rey!” jerit Monika.
            “Jangan kaget, Monik. Dan jangan menangis untuk meratapi nasib saya.”
            Monika menggigit bibir. Namun tak urung air matanya makin deras mengalir.
            “Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan saya, Monik. Karena sejak saat itu terpaksa saya meninggalkan Hilma. Saya tak mau ia meratapi kematian saya saat ia masih mencintai saya. Bahkan akhirnya saya meninggalkan Jakarta, pergi ke kota yang damai ini untuk menyepi. Dan kemudian memutuskan mengajar di kampusmu. Saya ingin hari-hari terakhir saya yang sudah dihitung dalam satuan bulan diisi dengan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Saya tak menyangka akan menemukan sosokmu. Sejak melihatmu saya yakin kamu punya pertalian darah dengan Hilma, dan ternyata hal itu benar. Senang sekali telah mengenalmu, Monik.”
            “Kak Rey!” Monika membenamkan wajahnya di dada Rey, terisak di dada yang bidang itu.  Rey membelai-belai rambut Monika. Perlahan matanya basah.
            “Berjanjilah, kamu tak akan menceritakan rahasia ini kepada Hilma sebelum kematian menjemput saya.”
            Monika hanya menangis.
            “Jika kelak saya pergi, menulislah demi saya. Bikinlah sebuah cerita yang bagus tentang saya. Ingat satu hal, apa pun  yang kamu tulis, kamu bukan sedang berdusta.”

            Setiap yang bergerak akan menimbulkan perubahan. Seperti bumi yang bergerak mengelilingi matahari, mengubah waktu menjadi hari, minggu, bulan dan tahun. Akhirnya Monika harus merelakan kepergian Rey Demona. Cowok itu menghembuskan napas terakhirnya dalam pandangan Monika. Walapun Rey sering mengingatkannya untuk tak menangis, tetap saja air mata membasahi wajah Monika.
            Hari ini tiga bulan setelah kepergian Rey, Monika telah menulis puluhan cerita tragedi kehidupan. Salahsatunya adalah ini, cerpen yang tengah kalian baca ini. Untuk memenuhi pesan terakhir Rey. Dan untuk mengenang sosok Rey yang pernah sangat dekat dalam kehidupannya.


SELESAI

Tidak ada komentar: