Masih Ada Cinta
Mesjid Agung Garut adalah mesjid
tertua yang ada di alun-alun Kota Garut. Selain penuh sejarah mesjid ini pun
indah. Menempati lahan seluas 4.480 m2, terletak di Jalan Ahamd Yani Garut sebelah
utara Alun-alun Garut. Mesjid ini menjadi sentral kegiatan keagamaan, dan
menjadi mesjid utama di Kabupaten Garut.
Mesjid Agung Garut tidak bisa
dilepaskan dari tapak-tapak sejarah Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah,
pada tanggal 15 September 1813 pertama kali dibangun sarana dan prasarana
ibukota yaitu pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara, dan alun-alun.
Tetapi jika melihat nisan kuburan yang terletak di samping Mesjid Agung, mesjid
ini diperkirakan dibangun pada tahun 1809 atau bahkan sebelumnya. Jika dilihat
dari catatan sejarah, Mesjid Agung Garut termasuk mesjid tertua di bumi
Priangan.
di Langit
Garut
1
Tanggal berapa sekarang? Aku terperanjat melihat
kalender di atas meja. Tanggal 3 September. Kulirik jam dinding di atas tempat
tidur, sudah jam 9 siang. Aku bergegas mengambil handuk dan menyiapkan pakaian.
Kupilih celana jeans dan sebuah kemeja putih bergaris coklat. Hari ini hari
istimewaku. Hari kelahiranku, sekaligus hari penantian untuk kebahagiaan
hidupku. Penantian yang telah
bertahun-tahun kulalui dengan penuh harapan. Penantian pada seorang belahan
jiwa yang namanya telah menjadi prasasti di dalam hatiku. Ya, setiap tanggal 3
September aku selalu datang ke sebuah tempat istimewa untuk bertemu dengan
seseorang dari masa laluku. Karena ia telah berjanji padaku untuk datang
menemuiku.
◦◦ ♥ ◦◦
Alun-alun Garut hari ini sepi.
Aku berjalan di atas trotoar.
Tempat ini menyimpan banyak kenangan karena berdekatan dengan sekolahku, SMA 1
Garut yang kini telah berubah menjadi SMA 11 Garut. Boleh dibilang kawasan
alun-alun adalah tempat nongkrong anak-anak SMA 1 Garut.
Langkahku terhenti di depan lapak penjual koran.
“Silahkan Kang, ada berita baru, Wakil Bupati Garut
mengundurkan diri!” kata Si Penjual koran.
Aku tersentak kaget mendengar ucapan laki-laki bertopi itu.
“Hus! Ngaco ah!” aku membentak sambil menatapnya tak percaya.
“Serius. Nih hampir semua koran memuat beritanya,” ucap Si Penjual koran meyakinkan sambil
menunjuk judul berita yang ditulis dengan hurup berukuran besar.
Aku terkesiap. Ternyata benar, beberapa media cetak
terkenal menulis judul berita tentang pengunduran diri Dicky Chandra. Aku
merogoh uang dari saku celana lalu membeli sebuah koran nasional.
“Sayang ya Pak Diki mundur, padahal dia telah menjadi
kebanggaan warga Garut,” ucap Si Penjual koran sambil memberikan
uang kembalian.
Aku
tak mempedulikan ocehannya, pikiranku fokus membaca isi berita. Ada rasa sesak di dadaku,
sejujurnya aku tak bisa menerima isi berita itu. Dicky Chandra adalah wakil
bupati dari independen. Kemenangan Dicky Chandra adalah kemenangan demokrasi
rakyat atas hegemoni partai politik yang selama ini menjadi gunung es dalam
demokrasi Indonesia. Beberapa waktu lalu rakyat Garut telah membuktikan bahwa
partai politik bukanlah satu-satunya alat untuk mencapai kekuasaan, sekaligus
memberi pelajaran kepada elit partai politik di negeri ini atas kurangnya kepercayaan rakyat kepada partai politik yang
sering melupakan kepentingan rakyat.
“Kacau Garut ini. Dulu bupatinya dipaksa mundur hingga
dipenjara, sekarang wakil bupati mengundurkan diri, pasti ada sesuatu di balik
semua ini,” Si Penjual koran tak berhenti
mengoceh.
“Tidak perlu menduga macam-macam,” sahutku jengkel dengan
gayanya yang sok tahu.
Aku melangkah meninggalkan Si Penjual
koran yang kembali berteriak-teriak menawarkan dagangannya.
“Ayo siapa lagi? Berita baru! Diki Chandra mengundurkan
diri!”
Penasaran, aku menelepon Jay temanku yang bekerja sebagai wartawan, ia adalah orang dekat wakil
bupati. Jay membenarkan pengunduran diri Dicky Chandra. Berkas pengunduran
dirinya sudah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Ada tiga alasan
mundurnya Dicky Chandra. Merasa sudah tidak sejalan dengan bupati, keterbatasan kewenangan sebagai wakil
bupati, dan mahalnya biaya operasi politik yang menjadi beban wakil bupati
selama menjalankan tugas.
Aku menarik napas panjang, ada rasa kecewa yang menyeruak
di dalam hatiku mendengar kepastian pengunduran diri wakil bupati. Aku berharap, semoga saja hal itu tidak benar-benar
terjadi.
Langkahku berhenti di depan
gerbang SMU 11 Garut. Aku terpaku memandang bangunan di depanku.
Di benakku tergambar bayangan masa lalu seperti deretan
gambar yang silih berganti menampakkan diri, dan berhenti pada deretan gambar
seorang gadis pemilik senyum indah. Dinda Kamila, aku bergumam lirih.
Semua orang di lingkungan SMA 1 Garut pasti mengenal Dinda
Kamila. Mulai dari anak-anak kelas satu sampai kelas tiga, mulai dari tukang
sapu sampai kepala sekolah. Begitu terkenalnya dia. Dinda Kamila, siswi kelas 2
Biologi 2, anggota Paskibra Kabupaten Garut, bendahara OSIS SMA 1 Garut, juara umum dalam
prestasi belajar SMA 1 Garut, pemilik seraut wajah cantik yang senyumnya begitu indah. Jilbab yang
menutupi tubuhnya membuat pesona luar biasa. Sempurna, Dinda Kamila memang
diciptakan oleh Tuhan begitu sempurna.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
2
Beberapa tahun lalu...
Aku berdiri di samping Dinda Kamila, di atas panggung acara kenaikan kelas untuk mendengarkan
pengumuman murid-murid terbaik dalam prestasi belajar. Sepuluh orang murid kelas
dua telah berada di atas panggung. Perasaanku tak menentu. Selama ini aku telah
berusaha keras untuk bisa bersaing dengan Dinda Kamila. Selama tiga semester
aku selalu berada di peringkat kedua, di bawah Dinda Kamila. Apakah pada semester keempat ini aku akan
mengalahkan Dinda
Kamila? Semoga saja,
Tuhan.
Tibalah
saatnya pembacaan peringkat murid-murid terbaik untuk kelas dua. Mulai dari peringkat kesepuluh sampai peringkat
keempat perasaanku biasa-biasa saja. Namun saat peringkat ketiga dibacakan
perasaanku tak menentu. Jantungku berdebar-debar tak karuan.
“Peringkat ketiga murid
terbaik SMA 1 Garut semester ini… Beni Nugraha dari kelas dua fisika satu!”
Serentak
semua bertepuk tangan.
Aku tersenyum pada Beni yang
semester lalu berada di peringkat kelima.
“Peringkat
kedua….”
Aku
menarik napas panjang menenang-kan diri. Aku
berharap bukan diriku yang disebut. Aku lelah menjadi orang kedua di bawah
Dinda Kamila. Aku ingin menjadi yang pertama.
“Dinda
Kamila dari kelas dua biologi dua!”
Rasaku
terbang mengawang-awang. Dadaku seakan
meledak karena gemuruh kebahagiaan yang membahana ke seluruh rongga dada.
Akhirnya aku menjadi yang pertama. Aku berhasil mengalahkan Dinda Kamila yang
selama ini menjadi obsesiku.
“Dengan demikian... peringkat
pertama murid terbaik SMA 1 Garut semester ini adalah Aditya dari kelas dua
biologi satu!”
Dan ketika namaku disebut sebagai peringkat
pertama, semua mata seolah-olah tertuju ke arahku. Kulihat mereka bertepuk tangan sambil
berteriak-teriak gembira menyerukan
namaku.
“Aditya! Aditya! Aditya!”
Aku sangat terharu. Mataku berkaca-kaca dibuatnya. Namun
aku tak mau berlebihan, kutahan air mataku dengan berusaha tersenyum
semanis-manisnya kepada semuanya.
“Selamat
ya, Aditya…” Beni
dan Dinda Kamila menyalamiku dengan sportif.
“Sama-sama....” sahutku.
Kepala sekolah naik ke atas
panggung menyalami para murid berprestasi diikuti oleh para guru.
Teman-teman
sekelas menyambut keberhasilanku. Mereka mengerubutiku senang sambil bergantian
menyalami bahkan ada yang memelukku. Sejak dulu kelasku dengan kelas Dinda
Kamila selalu bersaing dalam prestasi belajar. Kali ini kami berhasil
memenangkan persaingan itu.
◦◦ ♥ ◦◦
Isirahat sekolah siang itu
aku menerima kartu undangan ulang tahun Dinda Kamila.
“Luar
biasa! Sekarang Aditya udah jadi teman spesial buat Dinda Kamila,” Rian
geleng-geleng kepala melihat kartu ultah di tanganku.
Aku tersenyum, “Nih kalau
mau!” aku memberikannya pada Rian.
Rian
menciumi kartu ultah itu saking bahagianya sambil menyebut-nyebut nama Dinda
Kamila. Aku meninggalkannya sambil senyum-senyum. Dasar Rian memang peng-gemar berat Dinda Kamila.
Waktu aku kembali ke dalam
kelas, kulihat Rian masih asyik melihat-lihat kartu ultah itu.
“Kenapa bengong terus?” tanyaku.
“Aku mau banget datang ke acara ultah Dinda, tapi di
undangan ini tertera nama kamu,” katanya.
“Hapus aja namaku, ganti dengan nama kamu,” ucapku.
Rian tersenyum. Ia mengambil
tipe-x lalu mengganti namaku dengan namanya.
“Kamu gak nyesel ngasih kartu ini padaku?” tanyanya.
“Enggak, aku nggak suka acara ulang tahun. Paling-paling diisi dengan acara hura-hura,
mendingan belajar di rumah,” sahutku tak peduli.
“Ya
udah, biar aku yang gantiin kamu,” kata Rian senang.
Walau
sempat diliputi perasaan bimbang, akhirnya aku memutuskan tidak datang pada acara
ulang tahun Dinda Kamila. Aku tidak terbiasa mengikuti acara seperti itu. Malam
itu kuhabiskan waktu dengan membaca buku yang kupinjam siang tadi di
perpustakaan.
Esok harinya, Rian nampak
bersemangat menceritakan pengalamannya hadir di acara ultah Dinda Kamila.
“Wah, acara tadi malam seru banget!” celotehnya.
“Seru gimana?”
“Aku mau berantem dengan panitia gara-gara kartu ultahnya
ditipe-x. Untung Dinda datang dan mau masukin aku ke rumahnya.”
Aku tertawa lucu mendengar cerita Rian.
“Dinda nanya padaku, mana Adit gak datang?”
“Kamu
jawab apa?” aku
penasaran ingin
tahu jawaban Rian.
“Adit
lagi bisulan.”
“Brengseeekk!”
aku melotot.
“Becanda
dong Dit!” Rian panik. “Kujawab gini, Adit nggak suka acara hura-hura,
mendingan belajar atau baca buku di rumah.”
“Itu
baru bener.”
“Tapi
Dit, tadi malam nggak ada acara hura-hura, cuma acara pengajian terus potong
tumpeng.”
“Ah
masa sih?” aku menatap Rian tak percaya.
“Bener.”
Aku
tertegun.
Pulang
sekolah aku menuju perpus-takaan untuk
mengembalikan buku dan meminjam buku baru. Mendadak perasaanku berdebar melihat
Dinda Kamila di dalam perpustakaan. Ia melihat kehadiranku lantas
menghampiriku.
“Adit, aku ada perlu sama
kamu,” ucapnya.
“Emh…
boleh.”
Kami
duduk berhadapan terhalang meja baca.
“Dari
semua orang yang kuundang, hanya kamu yang tidak datang. Kenapa?” ia menatapku.
“Aku gak suka acara ulang
tahun, hanya hura-hura dan gak sesuai dengan ajaran agama kita,” sahutku.
“Acara ulang tahunku gak diisi dengan acara hura-hura, aku
mengadakan acara pengajian di rumahku. Aku benar-benar kecewa karena kamu gak
datang.”
“Maaf aku mengecewakanmu,” aku merasa bersalah.
“Begini saja, aku akan ngasih kamu kesempatan. Jika
sampai nanti malam kamu nggak datang ke rumahku dan ngasih kado ultah buatku,
aku nggak mau mengenal kamu lagi untuk selama-lamanya,” ujar Dinda. Kemudian ia bangkit meninggalkanku.
Aku
tertegun. Sama sekali tak menyangka Dinda Kamila akan mengatakan hal seperti itu.
Tiba-tiba aku merasa takut kehilangan dirinya.
Pulang
sekolah aku langsung ke toko Kamus, toko buku terbesar di Garut. Aku membeli
sebuah al-Qur’an sebagai hadiah ulang tahun untuk Dinda Kamila.
Sore harinya aku datang ke
rumah Dinda Kamila
sendirian untuk mengantarkan kado untuknya.
Dinda
Kamila membuka hadiah ultah dariku. Ia tersenyum melihat sebuah al-Qur’an di
balik kertas kado.
“Wow,
sebuah al-Qur’an,” gumamnya.
“Kamu
ingin tahu kenapa aku ngasih sebuah al-Qur’an?”
“Emangnya
kenapa?”
“Benda
paling berharga di dunia ini adalah al-Qur’an. Di dalamnya ada pedoman hidup
bagi manusia agar selamat di dunia dan akherat, begitu kata orang tuaku. Aku
punya sebuah al-Qur’an pemberian dari orang tuaku. Warna dan rupanya sama
dengan yang kuberikan padamu.”
“Makasih
Adit, dari sekian banyak hadiah ultah yang kuterima, al-Qur’an ini yang
terindah dan sangat berkesan di
hatiku.”
Aku tersenyum. Dalam hati aku bersyukur karena aku telah
memberikan hadiah ulang tahun yang tepat untuknya, dan ia tak meremehkan Kitab
Suci Al-Qur’an yang kuberikan. Aku yakin dia adalah seorang gadis yang istimewa
yang memiliki kecantikan luar dalam. Dia adalah keturunan orang-orang yang
mengenal Al-Qur’an dalam kehidupannya.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
3
Aku sering bertemu Dinda Kamila di perpustakaan sekolah. Boleh dibilang tempat itu adalah
tempat yang paling sering mempertemukan aku dengannya. Kami sama-sama maniak
buku, terutama buku mengenai ilmu pengetahuan. Kadang-kadang kami bentrok
mencari buku yang sama. Terpaksa kami meminjamnya bergantian. Setiap selesai
membaca buku, kami sering membicarakan isi buku tersebut.
Suatu hari, selesai mencari
buku, kami ngobrol di ruang perpustakaan.
“Adit, di
kelasku banyak teman-teman
yang tertinggal dalam beberapa
mata pelajaran, terutama fisika, kimia dan matematika,” kata Dinda Kamila.
“Sama. Tiga mata pelajaran itu
jadi hal yang dibenci oleh teman-teman sekelasku,” sahutku.
“Aku sering kasihan kepada
mereka. Ketiga pelajaran itu jadi beban buat mereka. Kadang ada teman-temanku
yang bolos untuk menghindari tiga mata pelajaran itu. Ada juga beberapa orang
yang ikut bimbingan belajar, hasilnya lumayan, mereka tidak terlalu tertinggal.
Memang sebaiknya ikut bimbel, tetapi bagi mereka yang tidak punya uang untuk
membayar bimbel, kondisi mereka tetap saja tertinggal. Aku kepikiran ingin
mendirikan klub belajar untuk membantu mereka,” ujar Dinda Kamila.
“Ide yang bagus, Dinda,”
komentarku.
“Bagaimana kalau kita
bergabung mendirikan klub belajar? Maksudku anak-anak di kelasku dan kelas kamu
bergabung, terus aku dan kamu yang membimbing mereka. Bila perlu sesekali kita
mendatangkan guru.”
“Aku setuju. Tapi di mana
tempatnya?” aku bertanya.
“Aku punya sebuah ruangan di
rumahku yang tidak dipakai, hanya dipakai setahun sekali untuk acara pertemuan
keluarga. Tempatnya leluasa bisa menampung sampai lima puluh orang.”
“Keluargamu gak akan
keberatan?”
“Kurasa tidak. Aku pernah
bicara pada Umi soal ruangan itu. Umi tidak keberatan kalau digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Nanti aku akan bicara lagi pada Umi.”
Aku senang mendengarnya.
Tapi kamu harus bantuin aku
bicara pada Umi,” kata Dinda Kamila.
“Kapan?” tanyaku.
“Nanti pulang sekolah, kita
langsung ke rumahku, ya?”
“Oke,” aku mengangguk.
Kami lantas keluar dari
ruangan perpustakaan karena terdengar bel masuk berbunyi.
Ketika jam pelajaran siang itu
berakhir, aku keluar dari dalam kelas untuk menunggu Dinda Kamila keluar dari
dalam kelasnya. Beberapa saat kemudian ia nampak di antara teman-temannya. Aku
tidak menghampirinya, soalnya aku suka digodain oleh teman-temannya. Aku
berjalan ke luar lingkungan sekolah, menunggu Dinda Kamila di bawah pohon
sambil membeli dua buah minuman jus jeruk ke dalam plastik. Beberapa saat
kemudian Dinda Kamila datang, aku memberikan satu buah jus jeruk untuknya.
“Terima kasih,” ucapnya.
“Kita naik angkot atau naik
becak?” tanyaku.
“Naik becak aja, biar jalannya
gak muter-muter,” sahut Dinda Kamila. Ia melambaikan tangan kepada tukang becak
yang ada di seberang jalan.
Tukang becak itu membawa
becaknya ke arah kami. Aku naik becak duluan, kemudian Dinda Kamila. Beberapa
saat kemudian becak itu bergerak meninggalkan halaman sekolah. Tukang becak itu
sudah tahu karena ia sering mengantar Dinda Kamila pulang sekolah. Sepuluh
menit kemudian kami sampai di depan rumah Dinda Kamila.
Aku turun lebih dulu.
Kuulurkan tanganku agar Dinda Kamila berpegangan saat ia turun dari dalam
becak.
Dinda Kamila memberikan uang
sepuluh ribu membayar tukang becak itu.
“Terima kasih, Mang,” kata
Dinda Kamila.
“Sama-sama, Neng,” sahut
tukang becak.
Aku mengikuti Dinda Kamila
masuk ke dalam rumahnya.
“Assalaamu’alaikum Umi!” ucap
Dinda Kamila kepada Umi Nisa.
“Wa’alaikum salam,”
sahut Umi Nisa yang berada di depan pintu.
Dinda Kamila mencium tangan
ibunya.
“Eh ada Nak Adit,” ia
tersenyum padaku.
“Iya Umi, nih ngantarin Dinda
katanya takut di jalan,” kataku bercanda.
“Takut apa? Biasanya juga
pergi dan pulang sendiri,” Umi Nisa heran.
“Ah dasar Adit bercanda!” kata
Dinda Kamila.
Aku ikut shalat di rumah
mereka. Setelah shalat, aku telah ditunggu oleh mereka di ruang makan.
“Makan dulu, Nak Adit,” kata
Umi Nisa.
“Aduh Umi maaf, saya sedang
puasa,” sahutku.
“Puasa apa? Tadi makan jus
jeruk sama aku di dalam becak,” kata Dinda Kamila.
Aku malu-malu duduk di meja
makan. Umi Nisa mengambilkan nasi untukku.
“Ih Mama nasinya kekecilan,
Adit makannya banyak,” kata Dinda Kamila sambil menambahkan nasi ke piringku.
Mataku terbelalak, bagaimana
aku harus menghabiskannya?
Dinda Kamila dan Umi Nisa
tersenyum-senyum.
“Kamu kan baru kali ini makan
begini bareng kami, sekali makan harus banyak!” kata Dinda Kamila.
Aku diam saja. Aku makan
dengan berbagai perasaan dalam hatiku. Aku bingung, mau kuhabiskan takut dikira
si gembul, kalau tidak dihabiskan rasanya kurang sopan, menampik rezeki. Tapi
akhirnya kuhabiskan karena memang perutku sedang lapar.
Selesai makan, kami ngobrol
bertiga di ruang keluarga sambil nonton tivi.
“Adit, makasih kamu sudah
ngasih Al-Qur’an kepada Dinda, setiap malam dan pagi ia membacanya. Padahal
dulu sebelum dikasih oleh kamu, ia malas membaca Al-Qur’an,” kata Umi Nisa.
“Dari dulu juga sudah rajin
baca Qur’an, Umi ngarang aja!” Dinda Kamila tersipu.
“Umi senang banget di rumah
ini banyak yang membaca Al-Qur’an. Katanya jika di sebuah rumah ada yang
membaca Al-Qur’an, rumah itu akan bercahaya terang benderang sampai ke langit.”
“Betul Umi, saya mendengar
tentang hal itu dari guru ngaji waktu kecil di kampung,” sahutku.
“Memangnya kamu pernah tinggal
di kampung?” tanya Umi Nisa.
“Orang tua saya di kampung,
Umi. Saya di sini kost,” kataku.
“Oh begitu ya?” Umi Nisa
nampak kaget.
“Iya, Umi. Di kampung saya
tidak ada sekolah setingkat SMA. Terpaksa untuk melanjutkan harus ke kota.”
“Terus kamu makan sehari-hari,
beli ya?”
“Saya masak sendiri, Umi. Tapi
lauknya kadang beli.”
“Kalau ada cucian? Piring,
pakaian....”
“Saya cuci sendiri.”
“Kamu hebat Adit, kamu sudah
mandiri di usia kamu yang masih belia. Jauh dari orang tua, masak sendiri,
nyuci sendiri.”
Aku tersenyum getir. Terpaksa
Umi, untuk mengejar cita-cita harus berkorban, kataku dalam hati.
“Umi, Dinda ngajak Adit ke
sini karena ada yang ingin kami bicarakan dengan Umi,” kata Dinda Kamila.
“Oh ya? Memangnya ada apa?”
“Begini Umi, kami berencana akan membentuk klub belajar
untuk membantu teman-teman kami yang tertinggal dalam berbagai mata pelajaran.
Kami butuh tempat. Kan ada ruangan tempat acara kumpul keluarga setahun sekali,
kami ingin menggunakannya untuk kegiatan klub belajar,” ujar Dinda Kamila
menjelaskan.
“Betul begitu, Adit?” Umi Nisa menatapku.
“Betul, Umi,” sahutku.
“Dulu tempat itu diminta oleh
Indra kakak Dinda untuk kegiatan latihan band dengan teman-temannya. Tapi Umi
tolak. Tapi karena kalian yang minta, dan digunakan untuk hal yang bermanfaat,
Umi setuju.”
“Asyik! Umi baik deh!” Dinda
Kamila memeluk Umi Nisa dan menciumnya penuh sayang.
Umi Nisa tersenyum.
Hatiku senang. Perasaanku
lega.
“Terima kasih, Umi. Kami akan
memanfaatkan tempat itu sebaik-baiknya, kami tak akan menyia-nyiakan
kepercayaan dari Umi,” kataku.
“Umi percaya kepada kalian.
Kapan mau dimulai?” kata Umi Nisa.
“Kami akan bicarakan dulu hal
ini dengan teman-teman di sekolah. Kalau sudah sepakat, mungkin minggu ini juga
akan dimulai,” sahut Dinda Kamila.
Setelah beberapa
lama di rumah Dinda Kamila, aku
pamit. Umi Nisa membekaliku buah-buahan segar dan aneka jenis kue. Aku tentu
saja senang.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
4
Aku mendata teman-teman sekelasku yang ingin bergabung dalam klub belajar. Hampir semuanya
mendaftar ingin menjadi anggota, kecuali beberapa orang yang sudah masuk ke
lembaga bimbingan belajar profesional. Dinda Kamila juga melakukan hal yang
sama denganku, mendata teman-temnnya yang akan bergabung dalam klub belajar.
Dari kelasku ada dua puluh orang yang mendaftar, dari kelas Dinda Kamila ada
dua puluh lima orang.
Kegiatan belajar disepakati
jam dua sampai jam empat sore setiap hari Rabu, Jum’at dan Sabtu. Dengan
ketentuan, mereka datang kalau ada kesulitan dalam materi pelajaran terutama
untuk mata pelajaran fisika, kimia dan matematika. Bagi yang sudah merasa cukup
dengan penjelasan dari guru di dalam kelas, mereka tidak wajib datang. Dengan
demikian mereka tidak terbebani untuk selalu datang.
Ruangan tempat pertemuan
keluarga Dinda Kamila ditata menjadi sebuah ruangan yang asyik untuk kegiatan
klub belajar. Kami membeli sebuah board kecil dan berbagai perlengkapan dengan
cara iuran. Tetapi tidak ada kursi dan meja. Kami duduk di lantai yang sudah
dilapisi permadani.
Tak ada keraguan dan rasa malu
dalam diri teman-temanku saat menanyakan materi pelajaran yang tak mereka
mengerti, mungkin karena suasana akrab dan santai yang tercipta di antara kami,
serta pembimbingnya teman mereka sendiri. Di klub belajar, Kami banyak bercanda
dan tertawa. Berbeda dengan situasi di
dalam kelas yang
kaku sehingga membuat mereka malu dan takut untuk
bertanya.
Hasilnya sungguh luar biasa.
Setelah beberapa bulan kami bergabung di klub belajar, di kelasku tak ada lagi
murid yang mendapatkan hasil ulangan di bawah tujuh untuk mata pelajaran
Fisika, Kimia dan Matematika. Padahal biasanya banyak yang mendapatkan nilai 5
dan 6. Satu-satunya murid di kelasku yang mendapatkan nilai 6 hanya Eka, dia
anak baru pindahan dari Bandung. Dia memang tidak ikut klub belajar bersama
kami dan tidak ikut bimbingan belajar di tempat lain. Pokoknya ia bersolo
karier. Hehe.
Siang itu jam istirahat Eka
mendatangi mejaku.
“Adit, hasil ulangan fisika
kamu paling bagus. Kamu hebat bisa dapat nilai sepuluh,” kata Eka.
“Ah biasanya juga dapat
sepuluh.”
“Bagaimana caranya?”
“Belajar dong.”
“Aku sejak
dua hari yang
lalu sudah
belajar setengah mati, tapi
hasilnya tetap saja enam. Aku heran. Di sekolahku yang dulu aku merasa paling
pintar. Aku selalu dapat ranking satu. Tapi masuk ke sekolah ini, rasanya aku
jadi murid paling bodoh!” Eka menepuk jidatnya yang lebar dan berkilat.
“Kamu nggak ikut bimbingan
belajar?”
“Ah buat apa?”
“Biar lebih pintar. Kamu tuh
sudah pintar, makanya di sekolah kamu yang dulu selalu ranking satu. Di sekolah
ini beda lagi, semua anaknya sudah pintar, ditambah lagi ikutan bimbingan
belajar, maka mereka tambah pintar.”
“Ada tempat bimbingan belajar
yang bagus?” tanya Eka.
“Banyak. Mau yang mahal, yang
murah atau yang gratis?” tanyaku.
“Yang gratis ada?” matanya
berbinar.
“Ada. Aku punya klub belajar
gratis.”
“Ikutan dong.”
“Boleh.”
Ditambah Eka, anggota klub
belajar kami bertambah satu orang menjadi empat puluh enam orang. Eka membawa
warna baru dalam klub belajar kami. Ia pandai sekali main catur. Di antara kami
teman-temannya tak ada yang kuat mengalahkannya. Aku juga dibuat tak berdaya.
Suatu hari ia ngajak aku main
ke Pengkolan, kawasan pusat belanja di Garut. Ia berhenti di depan tukang catur
yang memasang taruhan rokok. Siapa yang bisa mengalahkannya dalam tiga langkah
atau dua langkah, ia berhak mendapatkan sebungkus rokok.
Eka berjongkok untuk ikutan
bermain catur. Ia membayar seribu rupiah, lalu mulai bermain. Dalam tiga
langkah ia menang. Eka mendapat hadiah sebungkus rokok. Ia kembali bermain.
Dalam dua langkah ia kembali menang. Kembali ia mendapatkan sebungkus rokok. Ia
kembali bermain. Ia terus menang sampai
lima kali. Si
Pemilik Lapak nampak berkeringat.
Saat Eka mau main lagi, Si
Pemilik Lapak mendekat, lalu berkata pada Eka, “Jang, sudah sana pulang, nanti
aku gak bisa makan,” katanya.
Eka mengajak aku pulang sambil
membawa lima bungkus rokok. Ia benar-benar jago bermain catur. Aku kagum pada
kemampuannya bermain catur.
“Ka, kamu pandai sekali main
catur,” pujiku.
“Ah, biasa saja. Si Emang tadi
yang bodoh. Pasangan caturnya sudah jadul, ada di buku semua. Aku tahu kunci
jawabannya dari buku,” sahut Eka.
“Tapi tetap saja kamu pintar,
kami tak ada yang menang melawan kamu.”
“Aku memang pintar di antara
orang-orang bodoh. Kalau aku melawan master pasti gak ada apa-apanya. Kamu mau
rokok, nggak?” Eka mengeluarkan rokok dari dalam tasnya.
“Aku gak pernah merokok,”
kataku.
“Aku juga sama. Ini rokok buat
orang tuaku,” Eka memasukkan kembali rokoknya ke dalam tas.
“Eh Adit, benar kamu pacaran
sama Dinda Kamila?” tanya Eka tiba-tiba.
“Ah tidak, kami cuma sahabat
biasa,” sahutku.
“Jangan bohong, kalian dekat
banget.”
“Deket sih iya, tapi tidak
pacaran. Kenapa? Kamu suka sama dia, ya?” tanyaku dengan hati berdebar-debar.
“Siapa sih laki-laki yang
nggak suka sama dia? Tapi kebanyakan minder karena ia pintar. Kalau aku lebih
pintar dari dia, aku pasti mendekatinya. Oh Iya, tiga hari lagi kan ada ulangan
fisika. Aku ingin ngajak kamu saingan. Kalau aku dapat nilai lebih besar
daripada kamu, kamu jangan marah padaku kalau deketin Dinda Kamila. Kalau nilai
kamu lebih besar, kamu akan kutraktir makan bakso. Bagaimana?” Eka menatapku.
“Boleh,” aku menyetujui.
Aku belajar keras karena tak
mau dikalahkan oleh Eka. Aku tak rela ia mendekati Dinda Kamila.
Tiga hari kemudian
dilaksanakan ulangan mata pelajaran Fisika di kelasku. Sebelumnya beberapa hari aku belajar keras
karena tak mau dikalahkan oleh Eka. Aku tak rela ia mendekati Dinda Kamila.
Hasil ulangan, aku dapat nilai 10. Eka dapat nilai 7.
Pulang sekolah Eka nraktir aku
bakso.
“Aku ngaku kalah. Kamu memang paling pintar di kelas
kita. Kamu layak mendapatkan Dinda Kamila,” kata Eka.
Aku cuma tersenyum.
◦◦ ♥ ◦◦
Persahabatan dengan Dinda
Kamila sungguh terasa indah. Kebersamaan kami diisi dengan hal-hal bermanfaat.
Di sekolah kami memelopori kegiatan pengajian bulanan. Selain itu kami
membangun kepedulian untuk bantuan sosial dengan mengumpulkan dana untuk
disalurkan kepada murid-murid yang sakit atau kurang mampu kondisi ekonomi
keluarganya. Kadang-kadang disalurkan ke panti. Kami juga melakukan kegiatan
donor darah secara berkala untuk membantu Palang Merah Indonesia.
Kegiatan-kegiatan itu makin mendekatkan aku dengan Dinda Kamila. Aku sering
merasa risi kalau teringat perbedaan status yang sangat jauh antara aku
dengannya. Seharusnya aku tak sedekat ini dengan Dinda Kamila. Walau aku telah
berusaha membungkus perasaan hati agar tak terjatuh dalam perasaan cinta, tapi
tetap saja getar-getar hati makin terasa setiap berada di dekatnya. Semakin hari semakin bertambah besar perasaan cinta
dan sayang di hatiku padanya.
Banyak
orang yang menyangka aku dan Dinda Kamila adalah sepasang kekasih. Aku senang
orang lain menyangka demikian. Aku merasa bangga menjadi orang paling dekat
dengan Dinda Kamila. Tapi hatiku kecilku sering berkata bahwa aku tak boleh
mencintainya lebih dari seorang sahabat. Tidak boleh, kamu bukan orang yang
pantas untuknya. Penantianmu akan berakhir dengan kecewa.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
5
Suatu hari seperti biasa aku datang ke rumah Dinda Kamila untuk mengikuti
kegiatan klub belajar. Ada yang aneh, semua teman-teman mengenakan busana
muslim. Cowok memakai baju koko, cewek memakai kerudung dan pakaian tertutup.
Seperti mau mengikuti acara pengajian. Hanya aku yang memakai kemeja. Mereka
tersenyum-senyum melihatku. Aneh!
Sampai akhirnya Dinda Kamila datang ditemani mamanya dan
seorang wanita seusia mama Dinda. Aku tahu dia seorang ustadzah. Kami pernah
mengundangnya di acara pengajian bulanan sekolah.
“Teman-teman, hari ini gak ada kegiatan bimbingan karena
hari ini kita punya acara spesial,” ucap Dinda Kamila.
Teman-temanku
bertepuk tangan gembira. Aku makin heran.
“Hari ini tanggal tiga
September….” Dinda memotong ucapannya sambil memandangku.
Aku terkesiap. Tanggal 3 September? Aku baru sadar hari
ini adalah....
“Hari ini adalah hari berbahagia bagi teman kita
tercinta. Hari ini adalah hari ulang tahun Aditya!”
Semua
bertepuk tangan riuh sambil berteriak-teriak menyebut namaku.
Air
mata bergulir di wajahku saat Dinda Kamila menyalamiku dan memberi ucapan
selamat ulang tahun padaku, diikuti oleh semua temanku. Ah, benar-benar indah
apa yang telah dilakukan Dinda Kamila dan teman-teman hari ini dalam hidupku. Sejujurnya, aku belum pernah
merayakan acara ulang tahunku, selain karena budaya di kampung yang tak begitu
mengenal acara ulang tahun, juga karena aku tak punya kemampuan untuk merayakan
acara ulang tahun seperti orang lain. Kali ini ada orang yang sangat perhatian
sehingga di hari kelahiranku yang ke-17 ia membuatkan acara untukku. Aku sangat
terharu.
Kebaikan
Dinda Kamila dan
ibunya
sangat terasa olehku. Mereka menganggap aku seperti keluarga sendiri.
Dinda sering datang ke tempat kost aku hanya untuk mengantarkan makanan.
Sesekali digantikan oleh bi Ningsih pembantunya. Hal itu yang membuatku semakin
hormat dan segan kepada mereka. Hal itu yang membuatku mengubur dalam-dalam
rasa cinta yang bergelora dalam hatiku.
◦◦ ♥ ◦◦
Suatu hari sebulan sebelum acara ujian nasional kami
ngobrol di perpustakaan.
“Dit, setelah lulus nanti kamu mau
nerusin kuliah kemana?” tanya Dinda.
“Belum tau.”
“Hey! Cita-cita kamu mau jadi apa sih?”
“Belum tau.”
“Jangan gitu dong, kamu harus punya cita-cita.”
“Kira-kira menurutmu, aku cocok jadi apa?”
“Kok nanya ke aku? Harusnya kamu dong yang ngerencanain
masa depan kamu.”
“Kehidupan
banyak yang tidak sesuai dengan rencana. Yang penting aku menjadi orang yang
berguna bagi orang banyak. Sebaik-baiknya orang adalah yang bisa memberikan
manfaat kepada sesamanya,” kataku.
“Aku
juga ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, karena itu aku ingin jadi
dokter,” ucap Dinda Kamila.
“Wah,
cocok tuh kalau kamu jadi dokter. Orang yang sakit apalagi laki-laki akan
langsung sembuh begitu melihat dokter yang cantik, kamu gak perlu ngeluarin
alat suntik atau ngasih obat, cukup tersenyum manis. Anggaran Negara untuk
pengadaan obat bisa dipangkas.”
“Dasar ya!” mata indahnya
mendelik.
Oh! Aku suka sekali
melihatnya. Mata
indahnya itu sungguh membuat jantungku berdebar tak karuan.
“Eh,
sebentar lagi kan ujian nasional, aku punya satu tantangan buat kamu,” kata
Dinda Kamila.
“Tantangan
apa?” aku menatapnya penuh rasa penasaran.
“Siapa
yang mendapatkan nilai ujian tertinggi di antara kita berdua, boleh meminta
satu hal yang harus dipenuhi oleh yang kalah.”
“Maksud
kamu… jika aku menang, aku boleh meminta apa pun dari kamu dan kamu wajib
menepatinya. Jika kamu menang, kamu boleh meminta apa pun dari aku dan aku
wajib menepatinya?” tanyaku.
“He-eh,” sahutnya.
“Sepakat.
Salaman dulu dong,” aku mengulurkan tangan.
Kami
berjabat tangan erat. Dalam hati aku bertekad akan mengalahkannya agar bisa meminta sesuatu yang
istimewa padanya.
Masa
satu bulan itu kugunakan untuk belajar sebaik-baiknya. Aku menambah jam
belajarku dengan mengurangi acara main dan memajukan tidur malamku. Aku harus
kembali mengalahkan Dinda Kamila. Bukan karena ia adalah sainganku, tapi karena
aku ingin meminta satu hal darinya yang wajib dipenuhi olehnya.
Ujian nasional akhirnya tiba.
Aku melewatinya penuh semangat. Beberapa minggu kemudian hasilnya diumumkan. Nilai ujianku dengan Dinda
Kamila hanya beda 1 poin, aku menjadi pemenang.
“Aku mengakui kekalahanku. Sekarang kamu boleh meminta
satu hal dariku,” kata Dinda Kamila pada acara perpisahan sekolah.
“Setelah acara perpisahan ini, kita mungkin meneruskan
kuliah di tempat yang berbeda. Kita akan jarang bertemu bahkan tak akan bertemu
dalam jangka waktu yang lama. Setiap tanggal 3 September, aku akan menunggumu di sini, di depan sekolah
kita. Aku meminta kamu meluangkan waktu untuk menemuiku walau cuma sesaat.”
“Benar, Adit. Kalau aku jadi
kuliah di Bandung, keluargaku akan pindah ke Bandung. Soalnya keluarga besar
kami ada di Bandung. Aku akan berusaha menepati janjiku, setiap tanggal 3
September, aku akan datang ke Garut untuk menemuimu,” sahut Dinda Kamila.
“Bagaimana jika sesuatu hal
membuatmu tidak bisa datang?”
“Aku pasti datang.”
“Jika tak bisa datang?”
“Kamu ragu pada janjiku?”
Sesaat aku terdiam.
“Bukan, ada saatnya kita tak
bisa menepati janji karena seuatu yang tak terduga terjadi pada diri kita.”
“Emh... jika ada hal yang tak
terduga terjadi pada diriku hingga aku tak bisa datang, aku akan menyuruh seseorang
yang kupercaya.”
Aku tersenyum setuju.
“Oh ya, ada satu hal yang
ingin kutanyakan. Apa yang membuat kamu begitu bersemangat sehingga tiga
semester terakhir kamu bisa mengalahkanku?”
Aku
tersenyum. Aku begitu bersemangat karena di dalam hatiku ada rasa cinta yang
demikian besar pada dirimu, Dinda Kamila. Tapi aku tak mengatakannya.
“Aku
hanya berusaha semampuku,” kataku.
Ah,
kenapa aku tak pernah berani mengucapkan rasa cintaku pada Dinda Kamila. Dalam hati aku menyesal,
kenapa aku tak memintanya untuk menjadi kekasihku?
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
6
Suatu pagi yang cerah di Desa Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut.
Aku sedang menadatangani berkas-berkas penting di meja
kerjaku.
“Selamat pagi Pak Lurah, ada tamu dari Garut,” ucap Pak
Holil stafku.
“Suruh masuk aja,” sahutku.
Tak lama kemudian dua orang laki-laki masuk ke ruanganku.
“Assalaamu’alaikum, Pak Lurah.”
“Wa’alaikum salam.”
Setelah berjabat tangan, aku mempersilahkan mereka duduk
di kursi tamu.
“Kami
tim sukses Ceng Fikri dan Diki Chandra ingin meminta izin untuk melakukan
kampanye di desa ini. Kalau tidak ada halangan Kang Diki akan langsung datang
untuk bertemu dengan warga desa ini, Desa
Haurkoneng ya?”
“Desa
Cihaurkuning, Pak,” kataku meluruskan.
“Oh
iya, maksudnya Desa Cihaur-kuning.
Bagaimana Pak Lurah, apakah kami diberikan izin?”
Aku
tersenyum. “Semua calon bupati dan wakil bupati beserta tim suksesnya bebas
untuk melakukan kampanye sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh KPU. Kami
tentu saja dengan senang hati akan menerima kehadiran mereka selama hal itu
sesuai dengan aturan yang berlaku. Kapan kira-kira Pak Diki bisa datang ke
sini?”
“Minggu
depan, Pak Lurah. Tanggal dan harinya akan kami lakukan pemberitahuan lebih
lanjut.”
“Baik,
kami tunggu kedatangan beliau.”
Kami
ngobrol beberapa saat sambil menikmati teh hangat dan sedikit makanan ringan
yang disajikan oleh stafku. Aku memang mengajarkan kepada anak buahku agar
menghargai semua tamu dan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya. Tak lama kemudian dua orang
tim sukses dari pasangan calon bupati Aceng Fikri dan Dicky Chandra itu pamit.
Ya, aku sekarang adalah seorang kepala desa di Desa
Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut, sebuah desa terpencil di Garut
Selatan. Perjalanan hidup akhirnya membawaku kembali ke kampung halaman. Hatiku
terpanggil untuk mengabdi di desa setelah melihat kondisi desaku yang
tertinggal dalam segala hal. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai penggarap
lahan di lingkungan perkebunan dan perhutani. Mereka tak mendapatkan penghasilan yang layak.
Marhaenis kata Bung Karno. Pendidikan
mereka kebanyakan hanya tamat SD. Hanya sedikit yang tamat SMP dan SMA, apalagi
sampai tamat perguruan tinggi. Tak ada penduduk setempat yang menjadi pegawai
negeri. Guru, bidan dan mantri kesehatan desa semuanya berasal dari luar
daerah. Kondisi jalan desa masih berbatu bahkan ada yang masih jalan tanah. Hanya
sesekali ada kendaraan roda empat yang masuk, itu pun jika jalan kering dan
harus mogok di jalan-jalan tanjakan. Masyarakat harus berjalan kaki sepuluh kilometer jika hendak belanja atau
punya kepentingan lain ke kota kecamatan.
Perlahan-lahan
aku mengubah wajah desaku. Hal yang pertama kulakukan adalah menggaungkan
gerakan cinta desa kepada masyarakat. Kutanamkan dalam hati wargaku agar mereka
mencintai desanya. Sedih hatiku mendapati kenyataan banyak orang desa yang
telah sukses di kota menjadi pengusaha, pejabat eksekutif atau legislatif, tapi mereka melupakan desanya. Tak secuil pun harta mereka yang disumbangkan untuk membantu
desanya, padahal di desa banyak jalan yang rusak, jembatan yang putus, irigasi
yang tak berfungsi, bangunan sekolah yang tak layak pakai serta tempat ibadah
yang kumuh. Dan banyak lagi. Mereka telah berkhianat kepada sanak saudaranya, mereka
telah berkhianat kepada warga kampung yang telah membantu membesarkannya, dan
mereka telah berkhianat kepada tanah kelahirannya.
Setelah
bermusyawarah dengan semua unsur pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat,
kami memulai kegiatan perbaikan jalan desa. Dananya berasal dari swadaya
masyarakat dan berbagai pendapatan desa. Semua tanjakan dicor, jalan yang masih
sempit diperlebar, jalan yang masih kondisi tanah diperkeras. Kami bergotong
royong penuh semangat. Hasilnya, dalam waktu enam bulan kendaraan roda empat
masuk ke seluruh pelosok desaku. Mobil-mobil truk yang mengangkut hasil
pertanian
dan perdagangan berlalu-lalang di wilayah desaku.
Langkah
penting yang kulakukan selanjutnya adalah melakukan gerakan perlindungan sungai
dan mata air. Aku tak ingin di musim kemarau desaku menjadi desa yang rawan air
bersih. Tak mudah menyadarkan masyarakat agar peduli pada lingkungan, apalagi
alasan mereka melakukan penebangan liar demi mengisi perut yang lapar. Yang
kusesalkan adalah banyak oknum aparat pemerintah yang terlibat dalam illegal
loging sehingga Garut Selatan menjadi daerah gersang. Dalam satu tahun, gerakan
perlindungan sungai dan mata air di desaku mulai kelihatan hasilnya. Hampir tak
ada lagi kegiatan penebangan pohon di lingkungan sungai dan mata air. Dan tak
ada lagi warga yang mencari ikan di sungai dengan potasium atau insektisida
berbahaya.
Aku juga membangun lumbung
desa dan koperasi. Aku ingin menciptakan ketahanan pangan agar pada musim
kemarau wargaku tak mengalami rawan pangan. Sedangkan koperasi sebagai suatu
gerakan untuk mempersatukan kepentingan warga untuk menumbuhkan kemampuan
pereko-nomian masyarakat desaku.
Sadar akan rendahnya sumber
daya manusia di desaku, aku membentuk tim yang terdiri dari para guru, ibu-ibu
kader PKK dan kader karang taruna untuk menyukseskan wajib belajar Sembilan
tahun. Kugerakkan ibu-ibu kader PKK untuk mendirikan pusat pendidikan anak usia
dini di lingkungan masing-masing. Mula-mula ada dua pusat PAUD, kemudian
berkembang hingga di tiap RW berdiri pusat PAUD. Tak lama kemudian berdiri pula
sebuah yayasan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.
Masih banyak hal lain yang
harus kulakukan untuk mewujudkan desaku menjadi sebuah desa yang maju dengan
kehidupan masyarakat yang sejahtera,
cukup sandang pangan dan papan. Aku akan terus berjuang sesuai dengan
kemampuanku. Dulu aku mencalonkan diri menjadi kepala desa di usiaku yang masih
sangat muda, 27 tahun, dengan tekad kuat
untuk membangun desaku. Dan dalam perjalananku sebagai kepala desa, ternyata
mewujudkan kemajuan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
7
Garut adalah sebuah kabupaten di Jawa Barat yang namanya sangat terkenal ke seluruh
pelosok Nusantara. Kabupaten
Garut terbentuk akibat pembubaran Kabupaten Limbangan tahun 1811 oleh Daendles.
Pembubaran tersebut, karena produksi kopi Kabupaten Limbangan menurun sampai 0%. Daendles kemudian memberikan perintah
untuk menaman Nila, tetapi ditolak oleh bupatinya sehingga kabupaten tersebut
dibubarkan.
Tanggal 16 Februari 1813, Letnan
Gubernur di Indonesia yang dijabat oleh Raffles
mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten
Limbangan dengan ibu kota di Suci, tetapi sebagi kota kabupaten, Suci dinilai tidak
memenuhi syarat, karena wilayahnya sempit.
Pada tahun 1813, Bupati Limbangan yaitu
Adipati Adiwijaya (1813 - 1831) membentuk panitia untuk mencari lokasi yang
cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Akhirnya panitia menemukan lokasi ke arah Barat Suci,
sekitar 5 Km. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki sumber mata air
dan sungai yaitu
Sungai Cimanuk dengan
pemandangan yang indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur,
Gunung Galunggung, Gunung Talaga
Bodas dan Gunung Karacak.
Pada saat itu terdapat situ kecil yang tertutup semak
belukar berduri. Seorang panitia tergores tangannya sampai berdarah. Dalam
rombongan panitia, ikut pula seorang bule yang ikut membuka tempat tersebut.
Begitu melihat tangan salahseorang panitia berdarah, ia langsung bertanya,
“Kenapa tangan kamu berdarah?” Orang yang tanganya tergores menjawab dengan
bahasa Sunda, “Kakarut.” Bule tersebut menirukan kata “kakarut” dengan lidah
yang tidak fasih sehingga ucapannya menjadi “gagarut”. Sejak saat itu, para
pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri itu dengan sebutan “Ki
Garut”. Sehingga daerah baru tersebut akhirnya diberi nama Garut. Cetusan nama
Garut itu direstui oleh Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya dan selanjutnya akan
dijadikan ibu kota Kabupaten Limbangan yang baru.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakan batu
pertama pembangunan sarana dan prasarana ibu kota seperti pendopo, kantor
asisten residen, mesjid dan alun-alun. Di depan pendopo terdapat “Babancong”
tempat bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di
hadapan masyarakat.
Akhirnya ibu kota Kabupaten Limbangan pindah ke Garut
sekitar tahun 1821. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 60 tertanggal
7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dengan ibu
kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Bupati yang menjabat adalah RAA
Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut meliputi tiga desa yaitu Desa Kota Kulon,
Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Serta terdiri dari distrik Garut,
Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang
dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915 RAA Wiratanudatar diganti oleh Adipati
Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada tanggal 14 Agustus 1925 Gubernur Jenderal
memutuskan Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri
sendiri (otonom). Pada tahun 1929 Adipati Suria Karta Legawa diganti oleh
Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1930-1942).
Pada awal abad ke-20 dilakukan usaha-usaha perkebunan dan
objek wisata di daerah Garut. Dengan dikembangkannya Garut sebagai kota wisata,
maka pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan
hotel-hotel pada tahun 1917.
Garut memang sebuah surga kecil di
Jawa Barat, sehingga mendapat julukan ‘Garut Swiss van Java’ atau Swissnya Jawa
yang mulai popular sekitar awal abad ke-20. Saat itu, Garut dikenal sebagai
tujuan wisata yang paling menarik di dunia. Banyak orang besar datang ke Garut
untuk berlibur. Hotel-hotel mewah didirikan, tempat-tempat wisata dikelola dan
dikembangkan dengan baik. Buku-buku petunjuk (guide) perjalanan dicetak dengan
mewah dan agen-agen traveling giat mempromosikan usahanya. Di depan stasiun
Garut, juga didirikan “Tourist Bureau” untuk melayani para pelancong.
Garut juga memiliki panorama alam
yang keindahannya tak kalah mengagumkan. Pemandangan pegunungan terhampar luas
di Garut. Dengan hawa sejuk, serta suasana kota yang asri semakin menambah
kenyamanan kota ini. Garut yang permai, digambarkan dalam Encyclopedie van
Nederlands-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda) terbitan tahun 1917, “….Garut
adalah salah satu tempat terindah di Jawa dengan iklim nyaman (tinggi 700m)
dengan lingkungan yang sangat indah, tempat pesiar yang sangat disukai orang
Batavia yang banyak datang di musim kemarau….”
Di Garut, terletak
Gunung Sadahurip yang berbentuk seperti Piramida. Gunung Sadaruhip menarik perhatian masyarakat dan arkeolog
karena bentuknya yang menyerupai piramida, bahkan ada dugaan kalau dibalik
gunung ini ada piramida yang lebih tua dari piramida yang terdapat di Mesir.
Garut adalah satu
dari empat tempat di Indonesia yang memiliki gunung tempat menikmati indahnya
bunga Edelweis. Para pendaki
gunung pasti akrab dengan Edelweis yang “dipegang boleh, dipetik jangan”. Di
Garut, wisatawan bisa menikmati indahnya Edelweis di Gunung Papandayan,
tepatnya di Tegal Alun yang merupakan padang Edelweis yang terluas di
Papandayan dengan luas hampir 80 hektar. Selain di Gunung Papandayan,
Edelweis hanya bisa ditemukan di tiga tempat lainnya di Indonesia, yaitu Gunung
Rinjani, Gunung Gede dan Gunung Pangrango.
Di Garut ada spesies domba lokal
terbaik di Indonesia. Domba Garut sangat istimewa karena penampakannnya yang
lebih gagah dibanding domba lainnya. Domba Garut merupakan campuran perkawinan
dari domba lokal dengan domba jenis Capstaad dari Afrika Selatan dan domba
Merino dari Autralia. Dari ketiga jenis domba itulah maka lahir varietas baru
yang kemudian disebut Domba Garut. Penampilannya begitu gagah dan penuh
keberanian, namun tetap kalem dan berwibawa. Tidak heran jika Domba Garut lebih
banyak dimanfaatkan untuk hobi atau domba adu, daripada menjadi ternak
peliharaan biasa. Harga domba Garut bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Karena letaknya yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia, Garut memiliki 10 pantai indah yaitu Pantai
Cijeruk Indah, Pantai Karang Paranje, Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo,
Pantai Karang Papak, Pantai Gunung Geder, Pantai Manalusu , Pantai Cicalobak,
Puncak Guha, dan Pantai Rancabuaya.
Di Garut ada
sebuah resort romantis yang disebut Kampung Sampireun. Di Kampung Sampireun, panca indera dibawa menikmati pengalaman
tak terlupakan di atas danau yang berada pada ketinggian 1000 mdpl. Ada banyak
bungalow yang berdiri di atas danau. Danau bersih ini dihuni oleh ikan-ikan Mas,
dengan pepohonan yang rimbun di sekelilingnya. Memilih Kampung Sampireun
sebagai tempat peristirahatan adalah sebuah keputusan yang tak akan pernah
disesali. Suasana tenang, sejuk, dipadu dengan suara desir angin dan gemercik
air serta pemandangan yang asri di setiap sudut tempat itu akan melupakan beban
hati dan pikiran.
Garut juga memiliki daerah mistis
penuh sejarah yaitu Sancang yang terletak di Kecamatan Cibalong Garut Selatan,
tempat menghilangnya Prabu Siliwangi beserta bala tentaranya karena terdesak
oleh Prabu Kian Santang dan pasukannya. Konon, mereka semua berubah menjadi
harimau yang hanya sesekali menampakkan diri. Sancang menjadi sebuah daerah
tempat berguru ilmu kebatinan.
Di Garut juga terdapat sebuah gunung
kecil bernama Gunung Cupu, sebuah tempat bermeditasi orang-orang yang mencari
ilmu ma’rifat. Tepatnya di Desa Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Garut Selatan.
Di tempat ini, orang-orang yang memiliki penyakit lahir dan batin dengan izin
Allah bisa disembuhkan. Setiap minggu di tempat ini diadakan acara tawasulan
Syech Romli Tamim.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
8
Dicky Chandra, calon wakil bupati dari independen menepati janjinya datang ke desaku. Aku
menyambut kedatangannya secara wajar seperti yang kulakukan kepada calon-calon
yang lainnya yang pernah datang ke desaku. Tapi warga masyarakat terutama
ibu-ibu menyambut kehadiran Dicky Chandra dengan antusias, mungkin karena Dicky
Chandra adalah seorang artis terkenal. Petugas linmas desa kerepotan
mengamankan jalanan yang penuh sesak.
“Aku mau
pura-pura pingsan ah,
biar dapat perhatian dari
Diki Chandra,” kata seorang ibu
yang masih muda.
“Paling-paling kamu digotong
sama anggota linmas desa,” kata temannya.
“Sumpah deh! Aku akan
memilih Diki Chandra!”
“Loh? Suami kamu kan
pengurus partai politik.”
“Suka-suka aku dong!”
“Kamu mau pilih siapa?”
“Tentu aku pilih Aa Diki
dong!”
“Kenapa?”
“Ih kamu buta ya? Lihat
ganteng begitu!”
“Hey! Milih Bupati jangan
karena gantengnya doang!”
“Suka-suka aku deh, jangan
intervensi begitu. Kita bebas memilih siapa pun.”
“Moga-moga aja kalau Pak Diki
jadi bupati akan sayang kepada rakyatnya.”
“Pa Diki bukan calon bupati,
tapi calon wakil bupati.”
“Ah masa sih?”
“Bener, kamu gak lihat ya di
poster?”
“Gak penting jadi bupati atau
wakil bupati, pokoknya aku mau milih Diki Chandra. Aku sudah jatuh hati sejak
dulu. Kalau aku melahirkan nanti, akan kunamai anakku Diki Chandra.”
“Kalau anak kamu perempuan
gimana?”
“Emh…. Nama istrinya siapa
sih?”
“Bu Rani Permata.”
“Nah itu, Rani Permata.”
Berbagai macam komentar masyarakat menyambut kedatangan
Dicky Chandra. Mereka begitu antusias dengan kehadiran sosok idola yang selama
ini hanya bias dilihat di televisi. Dicky Chandra memang sangat popular sebagai
seorang aktor terutama di kalangan kaum
hawa. Ganteng, murah senyum dan nampak rendah hati. Kesan itu begitu kuat
melekat pada dirinya.
Pada suatu kesempatan di
sela-sela acara kampanye, aku berbincang dengan Dicky Chandra.
“Terima kasih Pak Diki sudah
datang ke Desa Cihaurkuning. Beginilah keadaan desa kami, masih belum maju.
Jika saja Allah menakdirkan Pak Diki menjadi Wakil Bupati Garut, jangan lupa di
Kabupaten Garut masih banyak desa yang tertinggal dalam berbagai bidang. Harus
mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Garut.”
Dicky Chandra tersenyum.
“Insya Allah, Pak Lurah.
Jika saya terpilih, saya akan berupaya untuk menyumbangkan hal terbaik untuk
masyarakat Garut. Saya ingin memajukan Kabupaten Garut dan menjadikannya sebuah daerah yang
lebih cantik dan mempesona,” katanya.
Setelah hampir seharian berada
di desaku, akhirnya Dicky Chandra beserta timnya pamit.
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Garut harus melalui dua
putaran. Pasangan Rudi Gunawan dan Oim Abdurrohim yang merupakan koalisi antara
Partai Golkar dengan PDI Perjuangan lolos ke putaran kedua mendampingi pasangan
Aceng Fikri dan Dicky Chandra dari pasangan independen. Hasilnya, pasangan
Aceng Fikri dan Dicky Chandra mendapat suara terbanyak dan memenangkan pilihan
Bupati dan Wakil Bupati Garut periode 2009 – 2014.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
9
Tanggal
2 September 2009,
gempa meluluh-lantakkan sebagian wilayah Garut Selatan. Ribuan
rumah milik warga roboh. Di desaku 200 rumah mengalami kerusakan cukup parah.
Masyarakat mengungsi ke tempat-tempat
yang aman. Mereka meninggalkan rumah dan mendirikan tenda-tenda darurat karena
gempa susulan terus terjadi. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG),
gempa berkekuatan 7,3 skala richter dengan pusat gempa berada pada koordinat
7,77 LS dan 107,32 BT, kedalaman 49 km dan berjarak sekitar 142 km dari Barat
Daya Tasikmalaya.
Aku mendatangi warga yang
rumahnya rusak karena gempa. Kuperintahkan kepada seluruh ketua RT dan Ketua RW
untuk melakukan pendataan rumah warga yang rusak untuk dilaporkan ke Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Daerah.
Tanggal 3 September 2009,
sehari setelah kejadian bencana gempa bumi aku berangkat ke Garut. Aku bertemu
dengan Bupati dan Wakil Bupati Garut untuk melaporkan kondisi warga desaku
setelah kejadian bencana.
“Kami turut prihatin dengan
kejadian bencana gempa bumi di Garut Selatan. Kami akan segera membantu sesuai
dengan kemampuan. Hari ini kami telah mengirimkan bantuan tenda, selimut dan
sembako untuk warga di pengungsian. Dan besok kami akan berangkat ke Garut
Selatan menemui warga yang terkena dampak bencana gempa bumi,” ujar Dicky
Chandra membesarkan hatiku.
“Terima kasih atas perhatian
dari Pemerintah Kabupaten Garut khususnya Pak Wakil Bupati. Kalau besok jadi
berangkat ke Garut Selatan, jangan lupa mampir ke Desa Cihaurkuning,” kataku
berharap.
“Insya Allah, Pak Lurah,”
sahut Dicky Chandra.
Sore harinya aku bertemu
dengan Dinda Kamila di depan SMA 11 Garut. Rasa lelah dan letihku karena kurang
tidur setelah kejadian bencana gempa bumi di daerahku mendadak lenyap setelah
bertemu Dinda kamila. Aku sangat bahagia bertemu dengannya.
“Aku lihat di tivi, daerah
Garut Selatan terkena dampak bencana gempa bumi paling parah di wilayah
Kabupaten Garut. Benar demikian?” ia menatapku cemas.
“Ya, ribuan rumah roboh. Di
desaku sebanyak dua ratus rumah mengalami kerusakan parah. Tapi tak ada korban
jiwa.”
“Aku turut prihatin. Aku dan
teman-teman kuliahku dari kedokteran UNPAD akan melaksanakan kegiatan bhakti sosial di Garut Selatan.”
“Benarkah?” aku menatapnya
tak percaya.
“Hey! Kamu masih inget kan?
Dulu waktu di SMA kita sering melakukan kegiatan sosial untuk membantu sesama.
Masa aku tak peduli kepada daerah kamu yang sekarang sedang mengalami musibah.
Kami akan memberikan pelayanan pengobatan gratis kepada warga paska bencana
gempa bumi.”
“Makasih, Dinda. Aku bahagia
jika kamu dan teman-teman kamu benar-benar datang.”
“Adit, kapan sih aku tak
menepati janji padamu?”
“Tidak pernah.”
“Tunggu aku, dua hari lagi
aku akan datang ke desa kamu.”
Benar, dua hari kemudian
Dinda kamila dan empat orang temannya dari Kedokteran UNPAD datang untuk
melakukan kegiatan sosial di desaku. Aku bahagia, sangat bahagia. Mereka memberikan pelayanan pengobatan
gratis kepada warga. Masyarakat pun senang.
“Di sinilah aku, Dinda. Di
sebuah desa terpencil. Aku memutuskan tinggal di sini karena banyak yang harus
kuperjuangkan untuk kemajuan desaku dan kesejahteraan rakyatku,” kataku pada
Dinda Kamila saat kami ngobrol berdua.
“Aku bangga padamu, Adit. Tak
banyak orang yang mau memikirkan kemajuan desanya dan kesejahteraan rakyatnya.
Kebanyakan hanya memikirkan kehidupan diri sendiri. Bukankah kamu pernah
bilang? Sebaik-baiknya
orang adalah yang bisa memberikan manfaat kepada sesamanya. Aku iri padamu yang
sudah berbuat banyak untuk rakyat kamu.”
“Aku merasa belum melakukan
apa-apa untuk rakyatku.”
“Seorang pahlawan sejati tak
pernah berteriak-teriak tentang jasa-jasa yang pernah dilakukannya untuk
negerinya. Teruslah berjuang untuk rakyatmu, aku mendukungmu,
Adit.”
“Terima kasih, Dinda.”
Setelah dua hari melakukan
pelayanan kesehatan gratis di desaku, Dinda Kamila dan teman-temannya pulang.
Aku mengantar kepergian mereka dengan berat hati. Ah, andai saja Dinda Kamila
menemaniku di sini selamanya, aku akan sangat berbahagia. Tapi aku segera
menepis khayalan itu jauh-jauh.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
10
Wakil Bupati Garut datang ke desaku setelah sebelumnya selama beberapa hari berkeliling di
wilayah Garut Selatan untuk menemui warga yang terkena dampak bencana gemba
bumi sambil memberikan bantuan alakadarnya kepada para pengungsi.
Aku dan Tim Desa Siaga di
desaku menemani Dicky Chandra dan beberapa anggota timnya terjun langsung
menemui masyarakat yang terkena dampak bencana gempa bumi. Kami berkeliling ke
beberapa kampung yang terkena dampak bencana paling parah yaitu Kampung
Cirongsok, Kampung Cikadu dan Kampung Citeureup. Dicky Chandra nampak
dikerumuni oleh warga yang sejak dari tadi menunggu kehadirannya. Mereka curhat
soal rumah mereka yang rusak parah karena bencana gempa bumi.
“Sabar Bapak-bapak, Ibu-ibu,
ini adalah cobaan dari Allah kepada kita. Silahkan laporkan kerusakan rumahnya
kepada para petugas di tingkat desa. Nanti Bapak Kepala Desa dan petugas
penanggulangan bencana di tingkat desa akan melaporkannya ke Badan
Penanggulangan Bencana Daerah tingkat kabupaten. Pemerintah akan membantu
memperbaiki rumah-rumah yang rusak sesuai tingkat kerusakannya,” kata Dicky
Chandra kepada seluruh warga.
“Apakah Pak Wakil Bupati tidak
membawa dananya sekarang untuk memperbaiki rumah kami?” tanya seorang warga.
“Oh tidak, nanti ada yang
khusus menangani masalah dana bencana. Saya hanya membawa bantuan tanggap
darurat ala kadarnya. Nanti pasti dibagikan oleh petugas,” sahut Dicky Chandra.
Hampir seharian aku dan Dicky
Chandra meninjau lokasi bencana. Selain ratusan rumah yang rusak berat dan
sedang, beberapa infrastruktur juga mengalami kerusakan. Dua buah jembatan
rusak, satu buah pustu dan dua gedung SD hampir roboh.
Dicky Chandra menginap di
desaku sehingga kami leluasa mengobrol tentang banyak hal. Beberapa orang tokoh
masyarakat ikut hadir menemani kami. Dicky Chandra mengungkapkan keinginannya
berbuat banyak untuk masyarakat Garut.
“Kabupaten Garut ini bagaikan
seorang gadis cantik yang memiliki banyak potensi. Tidak akan berkembang kalau
dibiarkan, apalagi dirusak, apalagi dikuasai oleh para penyamun. Saya sedang
berusaha untuk mewujudkan kampung Domba Garut agar Domba Garut menjadi komoditi
andalan yang bisa dijual ke luar daerah. Saya juga ingin memproduksi iklan
budaya yang akan mengangkat dunia pariwisata di Garut sehingga Garut menjadi
salahsatu tujuan wisata nasional. Selanjutnya membuat iklan jeruk, iklan jaket
kulit, informasi center dan art center. Sedangkan program bagi desa, saya ingin
membuat program budi daya tanaman dan peternakan yang sesuai dengan potensi
yang ada di masing-masing desa.”
Masyarakat mendengarkan penuh
perhatian. Kadang-kadang diselingi dengan tawa dan canda yang makin
mengakrabkan Dicky Chandra dengan masyarakat. Kami terus mengobrol hingga larut
malam sambil menikmati kopi dan singkong bakar.
Beberapa orang membuat api
unggun di halaman rumahku untuk membakar daging ayam kampung dan menanak nasi
liwet. Sekitar jam 1 malam kami makan bersama. Setelah acara makan, kami tidur
nyenyak. Tapi beberapa orang melanjutkan dengan acara bermain kartu remi.
Esoknya, jam 8 pagi Dicky
Chandra meninggalkan desaku karena masih ada jadwal kegiatan kunjungan ke desa
lainnya yang terkena dampak bencana gempa bumi.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
11
Jika ada acara ke kota kabupaten, aku kadang menyempatkan diri untuk singgah ke rumah
dinas wakil bupati. Selalu banyak orang di sana. Mereka berasal dari berbagai
lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat. Wakil bupati
nampak sangat dekat dengan mereka. Aku ikut bergabung membicarakan berbagai hal
tentang permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan kabupaten Garut serta
berbagai cara pemecahannya. Salahsatunya Kabupaten Garut memiliki wilayah yang
sangat luas. Saat ini ada lebih dari empat puluh kecamatan dan lebih dari empat
ratus desa. Dengan anggaran pembangunan yang terbatas, sangat sulit untuk
melaksanakan pembangunan yang layak di setiap desa. Apalagi untuk wilayah Garut
Selatan yang medannya berat dan masih banyak desa tertinggal. Maka sebaiknya
dilakukan pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten, Kabupaten Garut dan
Kabupaten Garut Selatan. Sejak aku mahasiswa, wacana pemekaran kabupaten itu
telah diwacanakan. Perhimpunan Mahasiswa Selatan dan Forum Mahasiswa Garut
Selatan menjadi pelopor bagi perjuangan untuk pembentukan Kabupaten Garut
Selatan. Jika Garut Selatan berdiri menjadi sebuah kabupaten baru, percepatan
pembangunan akan segera bisa dilakukan sehingga masyarakat di wilayah itu akan
terbebas dari berbagai ketertinggalan.
Suatu hari aku berkesempatan untuk berbicara berdua
dengan Dicky Chandra di rumah dinas wakil bupati.
“Bagaimana
kabar masyarakat Desa Cihaurkuning?”
“Alhamdulillah Pak Diki, saat ini dalam kondisi yang
baik.”
“Kebetulan Pak Lurah datang ke sini. Saya punya program
untuk desa di sekitar kawasan hutan berupa pembibitan kayu Jabon dan budidaya
ayam kampung. Hanya untuk beberapa desa, salahsatunya Desa Cihaurkuning. Pak
Lurah silahkan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan, karena program ini berada
di wilayah kerja Dinas Kehutanan.”
“Ya, saya akan segera berkoordinasi dengan Dinas
Kehutanan. Terima kasih Pak Wakil Bupati, masyarakat saya akan senang mendengar
kabar ini.”
“Semoga program ini bermanfaat bagi masyarakat Desa
Cihaurkuning. Tapi tidak semuanya akan kebagian, hanya untuk satu kelompok di
satu lingkungan DKM. Nanti ke depannya harus bisa dikembangkan ke lingkungan
DKM yang lain. Suatu hari nanti saya berharap Desa Cihaurkuning menjadi sebuah
desa penghasil ayam kampung dengan kualitas terbaik. Nanti pemasarannya kami
bantu.”
“Insya Allah, Pak Diki. Saya akan berusaha
mengembangkannya.”
Selanjutnya kami berbicara banyak seputar program yang
akan turun ke desaku dan berbagai program lain yang telah dirancang oleh Dicky
Chandra sebagai wakil bupati untuk kemajuan masyarakat Kabupaten Garut.
◦◦ ♥ ◦◦
Aku menetapkan kampung Cintamukti sebagai lokasi kegiatan
program pembibitan tanaman Jabon dan budidaya ternak ayam kampung. Warga
kampung tersebut sibuk membuat kandang ayam. Yang sudah punya kandang ayam
sebelumnya segera memperbaiki kandang ayam mereka. Warga nampak antusias
menyambut program tersebut.
Para petugas dari Dinas Kehutanan beberapa kali datang
untuk melakukan sosialisasi program kepada warga.
“Program ini adalah program Pemerintah Kabupaten Garut
untuk desa-desa di sekitar hutan yang dirintis oleh Pak Wakil Bupati. Hanya
beberapa desa yang mendapat program ini. Karena itu kami meminta kepada semua
warga untuk menyukseskan program ini,” kata mereka mewanti-wanti.
“Apakah semuanya siap menyukseskan program ini?” tanya
petugas.
“Siaaapp!” sahut masyarakat.
“Kalau sudah siap, program ini akan segera kami
turunkan.”
“Kapan Pak?” tanya perwakilan warga.
“Minggu depan.”
Seminggu kemudian datang dua buah truk membawa dua puluh
ribu bibit pohon Jabon yang sudah siap tanam. Dan beberapa hari kemudian ketua
kelompok membagikan uang untuk pembelian ternak ayam kampung. Kami menyambut bantuan tersebut penuh sukacita dan
bersyukur atas kepedulian Wakil Bupati Garut
kepada desa kami.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
12
Ada seorang warga desa yang meninggal dunia,
namanya Haji Husni. Seminggu yang lalu aku menjenguknya saat ia masih terbaring
sakit. Aku sempat berbincang dengannya walau bicaranya terpatah-patah dan
sebagian tidak dapat dimengerti. Aku sempat menasehatinya untuk bersabar
menghadapi sakit yang dideritanya, karena kesabaran bisa menghapus dosa-dosa
dan menghantarkan seseorang kepada ridho Allah. Aku pun sempat meminta maaf
kepadanya bila ada kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Bukannya aku tahu tentang rahasia kematian seseorang sehingga meminta maaf
kepada orang yang sakit, tapi aku takut peristiwa pahit yang pernah terjadi
padaku terulang kembali.
Beberapa
tahun yang lalu, ayahku terserang stroke dan langsung koma. Aku berharap dia
sembuh karena aku belum meminta maaf. Sejak aku kecil sampai dewasa, aku telah
menyusahkannya. Aku masih ingat bagaimana saat ayah menggendongku,
membangunkanku saat aku terjatuh sambil mengusap-usap tubuhku yang sakit,
menceritakan berbagai dongeng saat mau tidur, menemaniku saat aku sakit sambil
sesekali meraba keningku yang panas, lalu mengompresnya. Jika ada masalah apa
pun, ayah menjadi tempatku mengadu. Ayah akan menasehatiku dan memberi jalan
keluar yang baik. Banyak sekali yang ayah lakukan untukku.
Aku
juga tak akan lupa pengorbanan ayahku dalam memberikan pendidikan kepada
anak-anaknya. Di saat para orang tua yang lain lebih suka membeli sawah, kebun
dan perhiasan daripada menyekolahkan anaknya, ayahku malah menjual sawah dan
kebun untuk membiayai sekolahku sejak SMP hingga perguruan tinggi. Kultur
masyarakat di desaku waktu itu sama sekali tak memperhatikan urusan pendidikan.
Para orang tua hanya menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat sekolah dasar. Selanjutnya
anak-anak dituntut bekerja membantu orang tua mereka bekerja di sawah dan
kebun, menggembala ternak. Ada juga yang pergi ke kota untuk menjadi buruh
kasar. Paling bagus nasibnya dikirim ke pesantren untuk menuntut ilmu agama,
kemudian setelah sekian tahun pulang kampung. Ada yang jadi ustad, tapi
kebanyakan pergi lagi ke kota untuk menjadi buruh bangunan.
Saat
itu, keluarga yang menyekolahkan anaknya dicemooh, untuk apa menyekolahkan anak
tinggi-tinggi, belum tentu sekolah tinggi menjadi orang kaya. Ibuku sempat
terpengaruh dengan omongan mereka, dan lebih cenderung mengirimku ke pesantren.
Tetapi ayahku tidak peduli dengan omongan mereka. Beliau ingin aku menjadi
orang yang berilmu, setelah dapat ilmu bisa memberikan manfaat kepada orang
banyak. Begitulah yang dikatakan ayah kepadaku.
Ayahku
adalah pahlawan bagiku. Beliau adalah tokoh teladan dalam kehidupanku. Namun
sebelum aku membalas kebaikan-kebaikan beliau, ayahku meninggal. Aku menyesal,
sangat menyesal belum bisa membalas jasa-jasa beliau. Aku pun tak sempat
meminta maaf kepada beliau. Beliau mendadak terkena stroke dan langsung koma.
Setelah koma selama seminggu, beliau tersadar selama beberapa detik. Aku masih
ingat apa yang beliau ucapkan saat tersadar, “Allaahu Akbar... Allaahu Akbar...
Allahu Akbar.” Lalu napas beliau melambat. Saat tarikan yang ketiga napas
beliau makin lambat, kemudian terhenti. Aku menangis di dada ayahku. Ayah...
aku belum meminta maaf... kenapa ayah menghembuskan napas terakhir?
Kejadian
beberapa tahun lalu itu masih tercatat di hati dan pikiranku. Aku berjanji tak
ingin ada penyesalan lagi. Aku harus meminta maaf kepada semua orang di
sekitarku, apalagi kepada orang yang sakit. Meminta maaf sambil memberikan
nasehat agar bersabar atas rasa sakit yang dideritanya.
Dalam sebuah hadits
diceritakan, “Jika seseorang terkena penyakit, kekhawatiran, kesedihan,
kesengsaraan, atau tertusuk duri, tetapi ia bersabar, maka akan diampuni
dosa-dosanya oleh Allah.”
Selanjutnya dalam sebuah
hadits qudsi Allah berfirman, “Jika Kami memberikan cobaan kepada seorang
manusia, matanya dibuat buta kemudian ia bersabar, maka Allah akan menggantinya
dengan Surga.”
Pada saat sakit,
seseorang dalam kondisi labil, menasehatinya agar bersabar adalah sebuah
perbuatan mulia. Karena jika orang yang sakit itu berputus asa, maka sakitnya
akan bertambah parah, dan jika meninggal dalam keadaan berputus asa, celakalah
dia.
Beberapa tahun belakangan
ini, aku berusaha mengunjungi wargaku yang sedang sakit untuk memberikan
semangat dan sedikit nasehat kepadanya agar bersabar. Aku berharap apa yang
kulakukan ini bisa memberikan manfaat dan mengobati rasa bersalahku atas
kepergian ayahku tanpa sempat memohon maaf
kepada beliau.
◦◦ ♥ ◦◦
Kematian itu
pasti akan datang
menemui setiap orang. Seperti yang disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an
Surat Al-Jumu’ah ayat 8. Katakanlah:
"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya
kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah),
yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan."
Jika manusia mati, ia
akan masuk ke alam kubur. Maka putus
sudah segala amalannya, kecuali ada tiga perkara. Yang pertama shadaqah jariah,
kedua ilmu yang berguna, ketiga do’a anak yang shaleh.
Aku termenung membayangkan liang lahat tempat mengubur
mayat tadi. Jika diriku yang terbaring di liang lahat itu, lalu ditutup dengan
papan yang rapat, selanjutnya diurug dengan tanah. Betapa sempitnya, dan betapa
gelapnya tempat diriku dibaringkan. Kemudian datanglah Malaikat Munkar dan
Nakir yang menyeramkan. Berkata dengan suara yang keras seperti suara geledek.
“Selamat datang di alam kubur!
Tempat persinggahan pertama dalam perjalanan menuju akherat! Bersiaplah
menjawab pertanyaanku! Jika kamu bisa menjawabnya, kamu akan selamat! Jika kamu
tidak bisa menjawabnya! Kuburan ini akan menjadi tempat siksaan bagimu!”
Aku tak
sanggup membayangkannya. Tubuhku menggigil. Keringat dingin merembes
membasahi tubuhku.
Alam kubur adalah alam yang
menakutkan bagi orang-orang yang meyakini adanya siksa kubur. Kedahsyatan siksa
kubur sungguh menggetarkan jantung dan membuat bulu kuduk merinding. Sayidina
Umar r.a. setiap kali menziarahi kubur selalu menangis terisak-isak sehingga
janggutnya basah dengan air mata. Seseorang bertanya kepada beliau, “Tuan tidak
pernah menangis ketika mendengar berita-berita tentang surga dan neraka, tetapi
mengapa Tuan menangis ketika menziarahi kuburan?”
Beliau menjawab, “Kubur adalah
tempat persinggahan pertama dalam perjalanan menuju alam akherat. Barangsiapa
selamat di tempat persinggahan pertama ini, maka persinggahan-persinggahan
berikutnya akan mudah. Sebaliknya barangsiapa gagal di tempat persinggahan
pertama ini, maka akan
menerima berbagai kesulitan
di persinggahan-persinggahan berikutnya.”
Selanjutnya beliau berkata,
“Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak pernah aku menyaksikan
suatu kejadian yang lebih menakutkan daripada peristiwa yang terjadi di alam
kubur’.”
Siti Aisyah r.a. meriwayatkan,
“Setiap selesai shalat Rasulullah SAW selalu memohon perlindungan dari siksa
kubur.”
Sabda Rasulullah, “Aku
khawatir kamu tidak akan menguburkan mayat-mayat karena gentar dan takut jika
aku berdo’a kepada Allah SWT supaya memperlihatkan kepada kalian keadaan azab
kubur. Setiap makhluk pernah mendengar suara siksa kubur, kecuali manusia dan
jin.”
Dalam sebuah hadits
diceritakan, suatu waktu Rasulullah sedang berada dalam sebuah perjalanan,
tiba-tiba Unta yang dikendarai beliau tidak mau melanjutkan perjalanan.
Seseorang bertanya, “Mengapa
begini ya Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Ada
seseorang yang sedang disiksa di alam kuburnya, suara siksaan kubur itu
terdengar oleh Unta ini, itulah yang menyebabkan ia takut dan tak mau berjalan
melintasi tempat itu.”
Alam kubur
adalah alam yang membatasi
antara dunia dan akherat. Alam
kubur adalah tempat persinggahan sementara sebelum kejadian kiamah. Di alam
kubur, manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya selama hidup di
dunia.
Jika seorang manusia mati
dalam keadaan baik, maka tanah pekuburan akan memberikan sambutan yang
menyenangkan.
“Hai manusia, waktu di dunia kamu termasuk
orang shaleh, giat beribadah, suka menolong, maka aku sangat sayang kepadamu.
Sekarang kamu sudah masuk ke alam kubur, aku akan lebih sayang kepadamu.”
Selanjutnya alam kubur menjadi luas, serta dihiasi dengan taman surga.
Jika seorang manusia mati
dalam keadaan durhaka, maka tanah pekuburan akan memberikan sambutan yang
bengis.
“Hai manusia, celakalah kamu!
Kamu melupakan alam kubur. Apakah kamu tidak mengetahui kalau alam kubur itu
adalah rumah yang penuh dengan fitnah!? Rumah yang gelap! Rumah untuk
sendirian! Rumah yang penuh dengan cacing! Dahulu kamu kalau melewati pekuburan
suka berbicara kasar! Tidak punya sopan santun! Aku dahulu benci kepadamu!
Sekarang aku lebih benci kepadamu! Tunggu siksa kubur untuk dirimu!”
Selanjutnya tanah kuburan menyeret jasad si mayat, digencet sampai
tulang-tulangnya berbunyi, tulang rusuk yang kiri dan yang kanan beradu
kemudian hancur berantakan. Tulang dan daging terpisah. Tulangnya bersatu,
dagingnya menjadi santapan cacing, kalajengking, dan segala macam binatang di
dalam tanah yang sudah dipersiapkan untuk menyiksa mayat orang durhaka.
Siksa kubur sangat berat bagi
orang yang berdosa. Menurut keterangan, banyak yang disiksa di alam kubur
karena tidak menjaga najisnya. Saat buang air kecil gegabah sehingga mengenai
celana atau kain yang dipakainya. Atau setelah buang air, kemaluannya tidak
dicuci dengan benar sehingga mengotori celana yang dipakainya. Selain itu siksa
kubur menimpa orang yang suka membicarakan keburukan orang lain (ghibah), iri,
dengki, hasud, suka terlewat waktu shalat, suka melakukan perbuatan maksiat,
serta dosa-dosa lainnya.
Ya
Allah, maafkan segala
dosa-dosaku, sesungguhnya aku
termasuk manusia yang menganiaya diri sendiri, tetapi aku tak akan pernah
berhenti memohon rahmat dan ampunan dari-Mu. Mudahkan kematianku, selamatkan
aku dari siksa kubur, bahagiakan aku di kehidupan akherat nanti.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
13
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tahun berganti tahun. Aku masih tetap berhubungan
baik dengan Dinda Kamila. Setiap tanggal 3 September kami bertemu di Garut. Ia
kini sudah diangkat menjadi seorang dokter di rumah sakit terkenal di Bandung.
Aku masih tetap menjadi seorang kepala desa. Dan status kami tak berubah, hanya
sebatas dua orang sahabat. Aku tak pernah berani untuk mengubah hubungan kami
menjadi lebih dari itu, aku takut, aku minder dengan keadaanku. Aku hanya
seorang kepala desa di sebuah daerah tertinggal. Penghasilanku tak seberapa.
Sampai saat ini aku tak bisa membeli tanah sejengkal pun. Aku membangun rumah
sederhana di tanah milik orang tuaku. Kendaraan yang kumiliki hanya sebuah
sepeda motor inventaris pemerintah provinsi. Dibandingkan dengan Dinda Kamila
yang memiliki segalanya, sungguh jauh berbeda.
Tetapi, aku tak ingin meninggalkan desaku. Aku ingin
mengubah desaku menjadi lebih maju sebelum kelak meninggalkannya. Masih banyak
hal yang harus kuperjuangkan untuk masyarakat desaku.
Sebagai seorang kepala desa, aku masih sering
berkomunikasi dengan Dicky Chandra sebagai wakil bupati dan sesekali bertemu
jika ada undangan bagi para kepala desa ke kabupaten. Aku sangat berterima
kasih karena program bibit pohon dan ternak ayam kampung darinya sangat
bermanfaat bagi wargaku.
◦◦ ♥ ◦◦
Pagi itu
sebelum berangkat ke kantor desa aku kedatangan warga yang
melaporkan kejadian runtuhnya bangunan SD Cihaur-kuning 1. Aku segera berangkat melihat lokasi bangunan SD
yang runtuh. Benar saja, bangunan SD yang sebelumnya rusak karena bencana gempa
bumi tanggal 2 September 2009 itu sekarang runtuh. Hanya tersisa dua kelas.
Aku mengurut dada. Aku sudah
melaporkan kerusakan bangunan SD ini sejak dua tahun yang lalu. Bersamaan
dengan laporan rusaknya bangunan puskesmas pembantu dan kantor desa yang hingga
saat ini tak bisa digunakan. Tapi begitu susahnya mendapat perhatian dari
pihak-pihak terkait. Proposal demi proposal dibuat dan diajukan tetapi tak
ketahuan rimbanya. Prioritas usulan hasil musyawarah rencana pembangunan
masyarakat desa yang dituangkan lewat rencana pembangunan tahunan kecamatan
lenyap entah kemana, digantikan oleh program-program dadakan para mafia
anggaran. Seolah-olah dana pemerintah adalah milik mbah buyut mereka, bukan
sebuah amanah yang harus disampaikan kepada rakyat. Kulihat anak-anak SD yang
masih polos berkerumun menyaksikan bangunan sekolah mereka yang roboh. Mereka
tidak tahu bahwa pemerintah harus menjamin agar mereka mendapatkan fasilitas
pendidikan yang layak. Mereka tidak tahu bahwa mereka berhak untuk mendapatkan
bangunan sekolah yang bagus dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Aku sedih. Sangat sedih. Aku
malu pada Ki Hajar Dewantoro Bapak Pendidikan Nasional, aku malu pada KH Ahmad
Dahlan Tokoh Modernisasi Pendidikan Nasional, aku malu pada RA Kartini Tokoh
Wanita Pendidikan Nasional. Aku malu pada diriku sendiri karena di desaku ada
bangunan SD yang telah lama rusak dan dibiarkan roboh. Aku merasa tak berarti apa-apa
bagi pendidikan anak-anak di desaku.
Kepala sekolah yang baru
datang mengmenghampiriku, lalu
menyalamiku.
“Bagaimana Bu, kegiatan
pembelajaran setelah runtuhnya bangunan sekolah ini, apa akan diliburkan
sementara?” tanyaku.
“Tidak mungkin diliburkan Pak
Lurah, karena minggu depan ulangan umum. Terpaksa kami menggunakan dua kelas
yang masih ada,” sahut kepala sekolah.
Aku mengangguk.
“Jumlah murid seluruhnya,
berapa Bu?” kembali aku bertanya.
“Seluruhnya dari mulai kelas
satu sampai kelas enam ada seratus enam puluh delapan orang.”
“Oh.”
Aku menarik napas panjang.
Tak terbayang murid sebanyak 168 orang harus
mengikuti kegiatan belajar bergiliran dengan hanya menggunakan dua kelas.
“Baiklah Bu, saya akan
melaporkan kejadian robohnya sekolah ini ke pihak terkait
di kabupaten, mudah-mudahan bangunan sekolah ini segera
dibangun kembali.
Saya pamit dulu,” ujarku.
“Terima kasih atas
kedatangan Pak Lurah,” kata kepala sekolah.
Aku melambaikan tangan
kepada anak-anak yang nampak kebingungan karena bangunan sekolah mereka roboh.
Hari itu aku kembali membuat
proposal rehabilitasi bangunan SD Cihaurkuning 1 yang roboh, rehabilitasi
puskesmas pembantu dan kantor desa yang sudah tak bisa digunakan. Semoga saja
masih ada pejabat Garut yang punya hati nurani dan mau membantuku tanpa
harus masuk dalam permainan birokrasi
yang kotor.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
14
Sudah 3 jam aku menunggu di depan gerbang SMA 11 Garut. Tapi Dinda Kamila belum
datang. Setiap tanggal 3 September, dia selalu datang menepati janjinya.
Setelah bertemu di tempat ini, biasanya kami jalan-jalan ke Pengkolan menikmati
suasana senja yang indah di kota kecil ini. Setelah jalan-jalan lalu mampir ke
pasar ceplak untuk makan nasi timbel dan ayam goreng kesukaan kami. Hubungan
kami masih sebatas sahabat, belum ada komitmen apa pun. Kadang aku bingung
menjawab pertanyaan warga desaku. Pak Lurah kapan menikah? Mau mencari wanita
yang bagaimana? Sejujurnya, aku sangat mengharapkan Dinda kamila menjadi
pendampingku. Tapi… apakah ia mau menjadi istriku? Seorang kepala desa di
daerah terpencil? Sedangkan kini ia adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di
Bandung. Kami berbeda, jauh berbeda. Ia seperti bintang yang berada di langit,
sedangkan aku bagaikan sebuah batu di pegunungan gersang.
Tapi hari ini aku akan
membuka rahasia hatiku pada Dinda Kamila. Aku akan mengungkapkan rasa
hati ini apa pun yang akan terjadi. Aku sudah tak kuat lagi membendung gelora
cinta dalam hati yang dari hari ke hari bergemuruh bagai ombak laut selatan.
Kulirik jam tangan, sudah
jam empat sore. Aku memutuskan untuk shalat ashar dulu di Mesjid Agung.
Aku melangkah menuju mesjid sambil tak henti mengagumi
bangunan kebanggaan warga Garut itu. Seperti halnya Mesjid Agung yang ada di
kota-kota yang lainnya, Mesjid Agung Garut juga sering dijadikan tempat transit
bagi para pendatang untuk sekedar beristirahat sejenak dan melaksanakan shalat.
Memang tepat memilih tempat beristirahat di sekitar Mesjid Agung Garut, karena
di area halaman mesjid dan sekitar alun-alun Garut terdapat sejumlah pedagang
makanan yang bisa dipilih untuk mengisi
perut setelah lelah menempuh perjalanan.
Mesjid Agung Garut adalah mesjid
tertua yang ada di alun-alun Kota Garut. Selain penuh sejarah mesjid ini pun
indah. Menempati lahan seluas 4.480 m2, terletak di Jalan Ahamd Yani Garut sebelah
utara Alun-alun Garut. Mesjid ini menjadi sentral kegiatan keagamaan, dan
menjadi mesjid utama di Kabupaten Garut.
Mesjid Agung Garut tidak bisa
dilepaskan dari tapak-tapak sejarah Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah,
pada tanggal 15 September 1813 pertama kali dibangun sarana dan prasarana
ibukota yaitu pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara, dan alun-alun.
Tetapi jika melihat nisan kuburan yang terletak di samping Mesjid Agung, mesjid
ini diperkirakan dibangun pada tahun 1809 atau bahkan sebelumnya. Jika dilihat
dari catatan sejarah, Mesjid Agung Garut termasuk mesjid tertua di bumi
Priangan.
Mesjid Agung Garut yang nampak sekarang tidak sama dengan Mesjid Agung pada awal abad 19. Perubahan yang mencolok terletak pada bentuk kubah. Mesjid Agung Garut pada masa itu menganut konsep tajuk tumpang tiga atau lebih dikenal dengan atap nyungcung.Mengalami beberapa kali renovasi, dan renovasi terakhir secara menyeluruh dilakukan pada tanggal 10 November 1994 dan diselesaikan pada tanggal 25 Agustus tahun 1998, dengan mengacau pada bentuk masjid di Timur Tengah.
Aku melepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian menuju ke tempat wudhu. Kubuka kran air sehingga air yang bening mengucur dan segera kusambut dengan kedua tanganku. Kemudian kubasuh wajahku hingga dinginnya air terasa di wajahku. Sejenak aku merasakan kesegaran yang merambat ke seluruh tubuhku. Selanjutnya aku berwudhu. Kemudian masuk ke dalam mesjid untuk melaksanakan shalat Ashar.
Dalam sujud aku berdo’a agar
impianku menjadi pendamping hidup Dinda Kamila segera menjadi kenyataan.
Setelah shalat, aku kembali menunggu di
depan gerbang SMA 11 Garut.
Jam lima, sebuah mobil
berhenti di depanku. Seorang wanita keluar. Bukan Dinda Kamila. Ternyata Kak Nita, kakak ipar
Dinda Kamila. Kami pernah bertemu sebelumnya beberapa kali. Kami kemudian bersalaman.
“Adit, sudah lama nunggu
ya?”
“Belum, Teh. Dinda mana?”
tanyaku dengan perasaan berdebar.
“Emh… Dinda nggak bisa
datang ke Garut karena ada urusan keluarga di Bandung. Dia cuma nitip surat
buat kamu.”
“Oohh….” Mendadak tubuhku
lesu.
“Ini suratnya.”
Aku menerima surat itu.
“Terima kasih. Emh… Maaf, saya akan membuka surat ini di sini.”
“Silahkan.”
Aku merobek sisi amplop lantas mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalamnya. Kemudian kubaca dengan
perasaan tak menentu.
Dear, Adit….
Aku selalu ingin datang ke kota Garut dan bertemu
denganmu setiap tanggal 3 September sesuai janjiku padamu. Tapi hari ini aku
tak bisa menepati janjiku. Ada acara yang sangat penting dalam hidupku sehingga
aku tak bisa menemuimu.
Adit, berat bagiku untuk mengatakan semua ini, tapi aku harus
mengatakannya. Aku mencintaimu lebih dari sekedar seorang sahabat. Aku selalu
menunggu kata cinta darimu tapi tak pernah kau ucapkan. Hingga akhirnya aku
menerima cinta Andi
rekan kerjaku. Dia laki-laki yang selalu menungguku dan berulangkali menyatakan
rasa cintanya hingga aku merasa yakin ia sangat mencintaiku. Hari ini kami akan
bertunangan.
Senang telah mengenalmu selama bertahun-tahun. Kamu adalah sahabat
terbaikku. Datanglah ke acara pernikahan kami nanti. Kami menunggumu.
Tanganku gemetar. Aku tak
mampu lagi melanjutkan tatapan pada isi
surat itu karena mataku telah basah.
“Teh, terima kasih sudah
datang menemui saya di sini. Tolong sampaikan pada Dinda, saya ikut bahagia dengan
pertunangannya. Insya Allah saya akan datang pada acara pernikahannya,” kataku
berusaha tegar.
Teh Nita mengangguk. Ia lantas meninggalkanku masuk ke
dalam mobilnya. Perlahan mobil itu bergerak meninggalkanku.
Beberapa saat aku berdiri
mematung. Pandanganku kabur oleh air mata. Hatiku pedih bagai diiris sembilu. Tubuhku mendadak lemah
lunglai. Betapa pahit kenyataan hidup yang kualami.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
15
Masih
Berharap
Bila
kamu datang padaku lewat
mimpi terindah
Lalu tentang dirimu memenuhi pikiranku
Maka rindu mengalir bersama derai air mata
Tak
bisa kupupus senyum terindahmu
Aku
menyerah kepada cinta
Dalam perjalanan hidupku
Aku
tak bisa memiliki cintamu
Namun
masih berharap
Cinta
padamu tetap terjaga
Karena
takdir bagiku adalah mencintaimu
Itu adalah sebuah puisi yang kutulis mewakili perasaanku
saat ini. Kugantung di atas meja kerjaku. Diam-diam adikku Neneng membacanya
saat membereskan kamarku.
“Bagus
banget puisinya, buatku ya Kak!” ia meminta.
“Itu
puisi galau, buat apa?” sahutku balik bertanya.
“Ada
lomba bikin puisi di sekolah, siapa tahu juara.”
“Gak
boleh, itu buatan Kakak. Kalau untuk dilombakan harus bikinan kamu sendiri.”
“Ah
Kakak,” adikku nampak kecewa.
“Nanti
Kakak bikinin puisi yang lain,” aku mengobati kekecewaan adikku.
“Janji
ya, Kak!” mata adikku berbinar.
“Iya.”
“Tapi...
kapan selesainya?”
“Nanti
Subuh, kan harus shalat Istikharah dulu.”
“Ah
Kakak! Bikin puisi kok harus shalat Istikharah dulu, kayak mau nyari jodoh
aja!” Neneng bengong.
“Biar
ada petunjuk,” sahutku asal.
“Ya
udah, ditunggu pagi-pagi besok,” kata Neneng. Ia lantas keluar
kamarku karena pekerjaannya sudah selesai.
Kuraih
puisi itu dan kembali kubaca. Mataku tiba-tiba terasa panas kemudian
berkaca-kaca.
Aku
berjalan menuju tempat tidur, lalu berbaring tertelentang, memandang
langit-langit kamar yang putih. Beberapa saat kemudian aku mendapatkan wajah
Dinda Kamila di atas sana.
“Adit!
Dicariin Dinda Kamila tuh!” Rian memegang tanganku sehingga aku berhenti
berjalan.
Aku
menoleh ke belakang, nampak Dinda Kamila bareng Nia teman sekelasnya berjalan
tergesa-gesa ke arahku. Aku menunggu hingga mereka berdua mendekat.
“Nia,
kamu jalan dulu ya sama Rian, aku ada perlu sama Adit,” kata Dinda Kamila.
“Aku...
“ Nia kaget.
Rian
senyum-senyum senang.
“Dengan
senang hati,” kata Rian.
Nia
nampak salah tingkah.
“Adit,
aku ada perlu sama kamu,” kata Dinda Kamila.
“Ada
apa?”
“Kita
ngomong di perpustakaan saja.”
“Oke,”
aku mengangguk.
Kami
berdua menuju perpustakaan sekolah, sedangkan Rian nampak membujuk Nia yang
nampak malu-malu untuk jajan ke kantin.
“Aku
yang nraktir,” sempat kudengar suara Rian.
“Awas
jangan mengganggu uang SPP kamu!” teriakku pada Rian membuat dia tersipu-sipu
malu.
Dinda
Kamila tersenyum mendengarnya.
“Jangan
digangguin dong, kamu ngiri aja!” ucapnya.
Kami
sampai di dalam perpustakaan, lalu mengambil tempat di sebuah meja yang masih
kosong.
“Nanti
malam Kak Indra bertunangan dengan Teh Nita, aku ingin kamu ikut,” kata Dinda
Kamila mengawali pembicaraan kami.
“Aku?
Aku harus ikut?” aku kaget dan merasa cemas.
“Iya.”
“Kayaknya...
aku gak akan bisa,” aku menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
Dinda Kamila menatapku.
“Dinda...
aku ini siapa? Aku hanya teman kamu, bukan bagian dari keluarga kamu.”
“Adit...
kok gitu sih? Selama ini aku dan Umi menganggap kamu bagian dari kehidupan
kami. Tega banget kamu ngomong begitu,” kata Dinda Kamila dengan suara
tercekat.
Aku
diam. Baru kali ini melihat Dinda Kamila nampak seperti itu.
“Maafkan
aku Dinda... tapi kenyataannya memang aku bukan bagian dari keluarga kamu. Kita
hanya teman.”
Dinda
Kamila terdiam. Ia lantas bangkit kemudian pergi meninggalkanku. Namun aku
segera mengejarnya.
“Dinda
tunggu!”
Ia terus
berjalan setengah berlari. Aku meraih tangannya dan menahan langkahnya.
“Apakah
perkataanku salah? Kalau salah maafkan aku...” aku menatapnya penuh rasa cemas
dan penyesalan.
Ia diam,
namun mata dan gerak bibirnya seperti menahan tangis.
“Aku
akan datang... aku akan ikut ke
acara
pertunangan Kak Indra,” kataku spontan.
Ia
nampak tenang. Wajahnya berubah cerah.
“Aku
tunggu di rumah jam 3 sore. Pakaian buat kamu sudah disiapin,” ucapnya.
Kami
kemudian berjalan bareng hingga berpisah menjelang masuk ke kelas
masing-masing.
Kenangan
itu menghilang. Aku bangkit dari tempat tidur.
“Aku
yakin! Aku yakin Dinda Kamila sangat mencintaiku! Aku yang minder! Aku yang
bodoh! Tak mengerti perasaan hati wanita!”
Aku
menangis terisak menyalahkan diri sendiri.
Aku
harus datang menemui Dinda Kamila. Aku tak peduli dia telah bertunangan dan
akan segera menikah dengan Andi. Aku harus mengatakan perasaan hatiku padanya!
“Dinda
Kamila! Aku mencintaimu...!”
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
16
Setelah perjalanan selama lima jam dengan kendaraan umum,
jam 5 sore aku
sampai di depan rumah Dinda Kamila di sebuah kompleks perumahan di Bandung.
Setelah beberapa saat memperhatikan rumah itu, aku melangkah memasuki halaman
rumah lewat pintu pagar yang terbuka. Setelah menarik napas beberapa kali, aku
memencet bel.
Sesorang membuka pintu dari
dalam. Dinda Kamila berdiri di depan pintu.
“Adit...” Ia menyebut namaku
lirih.
“Dinda...” bibirku gemetar menyebut
namanya.
“Adit!” Dinda
menghambur ke dalam pelukanku.
“Dinda, aku rindu...” aku
memeluknya.
“Aku juga....”
“Dinda, mungkin aku terlambat,
tapi aku harus mengatakan rahasia hatiku padamu yang telah lama kupendam, Aku
mencintaimu, Dinda... sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kau
begitu berarti dalam hidupku.”
Kami menangis berpelukan.
Ada rasa penyesalan dalam
diriku, kenapa tidak sejak dulu aku menyatakan rasa cintaku padanya.
“Dinda!” tiba-tiba terdengar
suara teriakan seseorang. Aku dan Dinda serentak berpaling ke arah suara itu.
Nampak Indra kakak Dinda dan Umi Nisa Mama Dinda menghampiri kami.
“Kakak,” ucap Dinda.
“Memalukan kamu! Di rumah ini
di hadapan kakak dan ibumu, kamu berpelukan dengan seorang laki-laki padahal
kamu akan segera menikah dengan Andi! Kamu punya etika nggak?”
“Kak... ini Adit....” sahut
Dinda.
Indra menarik Dinda menjauh
dariku.
“Kamu untuk apa datang ke
sini?” Indra menatap tajam padaku.
“Saya ingin bertemu dengan
Dinda untuk terakhir kali sebelum dia menikah,” kataku tegar.
“Sebaiknya begitu, karena tak
lama lagi adik saya akan menikah dengan Andi. Saya harap kamu jangan mengganggu
kebahagiaan mereka. Sekarang kamu sudah bertemu dengan Dinda. Sebaiknya segera
pulang,” ujar Indra.
“Indra jangan begitu, kasihan
Adit baru datang,” kata Umi Nisa. “Biarkan ia istirahat dulu,” Umi Nisa
memandang putranya penuh permohonan.
“Tidak, Umi! Kalau Andi datang
dan melihat ada seorang laki-laki bersama Dinda, semuanya akan kacau. Umi tidak
mau kan pernikahan mereka batal?” sahut
Indra.
Umi Nisa terdiam sambil
menatap penuh kebimbangan.
“Saya sudah bahagia bisa
bertemu dengan Dinda walau sesaat,” ucapku. Lalu aku menatap Dinda. “Dinda, aku
menyayangi, aku mencintaimu dengan segenap rasa cinta yang ada dalam diriku. Jika
kamu mencintai aku, menikahlah denganku. Tapi jika memang kamu mencintai Andi,
menikahlah dengan Andi. Jika kamu berbahagia, aku akan turut berbahagia. Aku
pulang, kabari aku apa pun keputusanmu. Selamat tinggal Dinda....”
Aku menatap wajah Dinda lekat-lekat,
lalu berpaling meninggalkannya.
“Adiiitt....” Dinda menangis
memanggil namaku.
Sekali lagi aku menoleh ke
belakang. Umi Nisa nampak memeluk Dinda sambil berurai air mata.
Aku berjalan dengan hati yang hancur meninggalkan rumah Dinda
Kamila. Aku hampir tak mampu melangkah karena tubuhku seperti
dihempas-hempaskan ke jurang terjal yang menyakitkan. Aku hampir tak mampu
melihat karena mataku terhalang air mata yang tak mau berhenti mengalir.
Langkahku goyah. Hingga aku tersungkur di tepi jalan raya yang mulai sepi.
“Ya Tuhan... dalam kehidupan
yang kulalui, aku telah mengalami berbagai peristiwa pahit dan menyakitkan.
Tapi kali ini aku tak kuat. Lebih baik kau ambil nyawaku daripada kau patahkan
hatiku dengan memisahkan aku dari bidadari hatiku. Bagaimana aku akan melalui
hidup dengan bahagia jika kau ambil sumber kebahagiaan itu dariku?”
Aku berteriak! Meraung!
Menangis... menangis tersedu-sedu seperti seorang anak yang ditinggalkan oleh
orang tuanya di sebuah tempat yang sepi.
Sakit Ya Tuhan! Apa yang Kau
berikan hari ini padaku sangat menyakitkan. Kenapa? Tuhanku Yang Maha Pengasih?
Selama ini aku selalu berbuat baik kepada orang-orang di sekitarku. Aku selalu
jadi dewa penolong bagi orang-orang si sekelilingku. Aku tak pernah menyakiti
siapa pun makhluk-Mu di muka bumi ini. Aku hampir selalu mengorbankan diri
untuk kebahagiaan orang lain. Aku hampir kehabisan tenaga dan waktu untuk
melayani orang-orang. Aku hampir kehilangan harga diri untuk memperjuangkan
kepentingan rakyatku. Aku kadang jadi pengemis untuk mewujudkan harapan
masyarakat di desaku. Aku sering menghiba-hiba kepada para pejabat agar mereka
kasihan kepada orang-orang di kampungku
yang menginginkan kemajuan. Kadang tidurku tak nyenyak karena dalam tidurku aku
masih berpikir bagaimana memajukan desaku.
Belum cukupkah semua itu untuk
menebus cinta seorang bidadari di hatiku? Belum cukupkah semua itu untuk
mengantarkan aku pada kebahagiaan
memiliki seorang Dinda Kamila?
Ya Tuhanku, jika Kau ingin
membalas semua kebaikanku selama hidup di dunia ini, dengan cara-Mu, maka
satukan aku dengan Dinda Kamila! Satukan aku dengan dia! Aku tak akan meminta
hal yang lain lagi.
Aku menengadahkan kedua tangan
berharap ada sebuah bintang yang melintas di atas langit. Katanya jika
seseorang memohon lalu melihat ada sebuah bintang yang melintas di atas langit,
keinginannya akan terkabul. Tapi setelah sekian lama aku tak melihat apa pun.
Aku bangkit berjalan
tertatih-tatih. Aku harus kuat. Aku harus kembali. Kulirik jam di tanganku.
Sudah jam 9 malam. Berarti telah 3 jam aku di tempat ini.
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
17
Pengunduran diri Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra akhirnya dikabulkan oleh Menteri Dalam
Negeri, dan telah mendapatkan persetujuan dari DPRD Kabupaten Garut. Hari ini
aku datang pada acara perpisahan Wakil Bupati Garut dengan para pendukungnya
yang dilaksanakan di Gedung Bale Paminton.
Ketika memasuki Gedung Bale
Paminton, sebuah bentangan spanduk nampak terlihat mencolok mata, “BERTARUNG
SEGAGAH DOMBA, BERPIKIR SEKEMILAU INTAN, BERSIKAP SEMANIS DODOL.” Sebuah
ungkapan dari para pendukung untuk Dicky Chandra sebagai pemimpin yang pernah
berjuang dengan segala ide cemerlangnya untuk memajukan Kabupaten Garut.
Ribuan pendukung dan
simpatisan Dicky Chandra datang memenuhi gedung. Mereka berasal dari berbagai
lapisan masyarakat, mulai dari guru, petani, nelayan, pedagang kaki lima hingga
masyarakat biasa.
Perwakilan dari berbagai
kelompok masyarakat menyampaikan pesan dan kesannya untuk sang wakil bupati
yang memilih mundur.
Hingga akhirnya Dicky Chandra
naik ke atas mimbar untuk menyampaikan kata-kata perpisahan.
“Semula saya tiga kali menolak
diajak Aceng HM Fikri untuk menjadi wakil bupati melalui telepon. Tapi saya
menolak. Keempat kalinya bukan telepon, tapi Aceng datang tengah malam, hingga
akhirnya tawaran itu saya terima. Saya menerimanya karena Aceng berjanji
menjadi pemimpin dengan niat ibadah, berangkat dari jalur independen serta
berjanji tak akan memperkaya diri. Dalam perjalanan berikutnya, setelah kami
menjadi bupati dan wakil bupati, komunikasi kami berlangsung tidak baik.
Saya menginginkan pola
kepemimpinan yang tawadhu dan berahlaqul karimah agar bisa dijadikan panutan
yang baik dengan menggunakan kereta independen. Pemimpin yang mengutamakan
kesederhanaan dan tidak memperkaya diri. Saya bangga menjadi pemimpin miskin,
karena itu saya marah kepada pejabat Garut yang ingin memperkaya diri sendiri.
Saya sering mengkritisi sistem
yang tidak sesuai dengan janji dahulu kepada masyarakat. Belakangan komunikasi
kami semakin buruk. Lebih baik saya mundur daripada berkhianat. Saya memohon
maaf kepada masyarakat Garut karena tidak bisa menyelesaikan amanah sampai masa
jabatan berakhir. Tuhan tidak
akan memaafkan saya jika masyarakat tidak memaafkan saya.”
Banyak orang yang bersedih.
Isak tangis dan suasana haru mewarnai acara perpisahan itu. banyak orang yang
histeris. Kadang
sesuatu yang terjadi tidak bisa diterima
hingga mengurai kesedihan. Tapi kenyataan berbicara lain. Kenyataan adalah
suatu hal yang harus dilalui dan sering bertentangan dengan keinginan.
Dicky Chandra belum bisa
berbuat banyak untuk masyarakat Garut. Masa dua tahun dengan kewenangan yang
terbatas sebagai wakil bupati membuatnya tak bisa berbuat sesuai keinginan.
Hatinya ingin berbuat banyak untuk masyarakat Garut, tapi kenyataan membuatnya
terkurung dalam kegelisahan yang panjang hingga akhirnya ia memutuskan
mengundurkan diri.
Aku dan puluhan ribu warga
Garut kecewa dengan pengunduran dirinya. Kenapa Dicky Chandra harus mengundurkan diri? Padahal
kami sangat mencintainya. Kami memilihnya dengan ikhlas tak menginginkan apa
pun. Kami hanya berharap ia akan membawa Kabupaten Garut menjadi sebuah daerah
yang damai tidak hiruk pikuk oleh berbagai kepentingan elit kekuasaan yang
selalu mengorbankan kepentingan
masyarakat. Kami akan terus bersamanya hingga ia menyelesaikan tugasnya
sebagai orang kedua di tampuk kepemimpiann Kabupaten Garut. Sungguh kami tak
akan pernah meninggalkannya walaupun ia diterpa berbagai kesulitan. Tapi
ternyata ia memilih mundur. Ia berfikiran lebih baik mundur daripada tidak bisa
berbuat apa-apa untuk rakyatnya. Dia berani mengatakan tidak ketika lingkungan
di sekitarnya tertunduk pasrah pada kebiasaan yang mencabik hati nurani.
Masyarakat Garut tak hanya
kehilangan Dicky Chandra, tetapi juga sosok Rani Permata, isteri Dicky Chandra
yang telah menjadi ratu hati warga Garut. Ia telah mengangkat nama Garut karena
selama mengabdi di Garut ia berhasil mendapatkan penghargaan Satya Lencana
Kebaktian Sosial dari Presiden Republik Indonesia atas perannya di bidang sosial.
Rani dengan legowo menerima keputusan sang suami untuk mengundurkan diri.
“Bagi saya berbakti pada
masyarakat tidak harus melalui kedudukan saya sebagai isteri pejabat. Ada
banyak jalan yang bisa dilakukan. Dengan kembali menjadi rakyat biasa pun kita masih
bisa berperan. Apalagi selama ini saya beraktifitas sosial banyak menggunakan
dana pribadi. Jadi tidak duduk di posisi pemerintahan pun tetap akan berkarya,”
ungkap Rani kepada semua pendukungnya yang didengar oleh mereka dengan air mata
berderai.
“Saya tak akan melepaskan
tanggung jawab saya sebagai aktifis sosial. Masyarakat Garut sudah menjadi
bagian dari hidup saya. Tak mungkin saya meninggalkannya begitu saja. Saat ini
saya menduduki jabatan di beberapa lembaga sosial. Saya sebagai ketua Yayasan Thalasemia
Indonesia Cabang Garut, dan pendiri Lembaga Konsorsium Gerakan Rela untu Mereka
yang memfasilitasi anak-anak yang membutuhkan bantuan kesehatan. Saya malah
berniat untuk meningkatkan cakupan aktivitas tidak hanya di Garut, tapi juga di
seluruh Indonesia kalau mungkin.”
Semua yang mendengarkan
bertepuk tangan dalam suasana haru.
Ketika acara berakhir, Aku
berpelukan dengan Dicky Chandra.
“Sampaikan maaf Saya kepada
masyarakat Garut. Saya berjanji walau sudah tidak menjadi Wakil Bupati Garut…
akan tetap mencintai masyarakat Garut dan berbuat yang terbaik untuk masyarakat
Garut.”
“Kami juga masih mencintai Pak
Diki. Sering-seringlah datang ke Garut, kami akan selalu merindukan Pak Diki.
Tak perlu khawatir, masih ada cinta di langit Garut.”
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
18
Aku menyukai
gunung,
sungai dan pantai. Aku sering menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat
tersebut saat libur kerja atau sedang galau. Seperti hari ini, aku sedang
berada di Puncak Guha, sebuah tempat wisata pantai yang berada di Kecamatan
Bungbulang Garut Selatan.
Puncak
Guha merupakan sebuah semenanjung kecil berupa tebing yang di bawahnya terdapat
goa tempat ribuan kelelawar hidup yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.
Biasanya para kelelawar itu mulai keluar goa untuk mencari makanan saat senja.
Keluarnya kelelawar dari goa menjadi sebuah atraksi mengagumkan selain indahnya
pemandangan sunset di tempat ini. Karena itu, jika datang ke tempat ini, aku
tak lupa membawa kamera untuk mengabadikan semua keindahan di tempat ini.
Akses
menuju lokasi Puncak Guha berjarak sekitar 130 km dari Garut kota melewati
jalur Cikajang – Pameungpeuk – Cikelet –
Puncak Guha. Jalur ini jalannya lumayan bagus. Bisa juga melewati jalur
Cikajang-Bungbulang yang berjarak 90 km, tetapi jalannya berlubang dan naik
turun. Jika melewati jalur Pameungpeuk akan melalui beberapa pantai dan
pemandangan yang sangat indah karena menyusuri pesisir pantai selatan yaitu
Pantai Santolo, Pantai Manalusu, Pantai Karang Papak dan Pantai Cicalobak.
Selain itu akan melewati puluhan jembatan baja yang tinggi dan panjang dengan
pemandangan yang luar biasa indah, perpaduan sungai, sawah dan pesisir pantai.
Menjelang sampai
di Puncak Guha, ada padang rumput yang luas yang berujung di tempat parkir
yang menghadap ke Samudera Hindia. Setelah berjalan menanjak beberapa saat,
sampailah di Puncak Guha. Di tempat ini ada ketenangan dan keheningan.
Memandang ke laut lepas yang nampak biru seperti tak berbatas, sambil menikmati
pemandangan pantai yang eksostis, tebing yang curam dan sesekali menyaksikan
gulungan ombak besar, dan merasakan hembusan angin laut. Tempat ini adalah
surga wisata di Garut Selatan.
Ini
adalah untuk yang ketiga kalinya aku datang ke tempat ini. Kedatanganku yang
dulu bersama beberapa orang teman dalam suasana ceria. Kali ini aku datang
membawa hati yang galau. Bagaimana tidak galau? Cinta sejatiku, bidadari hatiku
akan menikah dengan orang lain.
Sejak
aku mengenal Dinda
kamila di usiaku yang masih sangat muda, 16 tahun... aku sering berdo’a kepada
Allah, begini do’aku... “Ya Allah... betapa aku ingin selalu bersamanya.
Jodohkan aku dengan dia, karena dia adalah bidadariku. Jadikan kami pasangan di
dunia dan akherat....”
Do’a itu seingatku tak pernah lupa kubaca setiap selesai
shalat. Sampai hari ini, lebih dari sepuluh tahun lamanya aku berdo’a.
Kadang-kadang aku sampai menangis di atas sajadahku meminta hal itu. Aku yakin
Allah melihatku saat berdo’a. Dan aku yakin do’aku didengar oleh Allah. Kenapa
aku yakin? Karena Allah adalah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Itu ada dalam
Asma’ul Husna yang sering kubaca.
Hari-hari ini tiba-tiba aku merasa gundah. Tiba-tiba ada
ketakutan dalam diriku bahwa Allah tak akan mengabulkan do’aku. Kenyataan yang
kuhadapi saat ini menggoyahkan keyakinanku. Betapa tidak, setelah sepuluh tahun
lebih do’a itu kupanjatkan, aku mendapat jawaban yang menyakitkan, Dinda
Kamila, bidadari hatiku itu
beberapa hari lagi
akan menikah dengan orang lain.
Aku seperti orang linglung. Sering bicara sendiri, sering
tersenyum dan menangis sendiri. Kadang tak sadar aku memeluk pohon sambil
menyebut nama Dinda Kamila. Aku sering bermain sendiri ke pantai, ke sungai, ke
gunung. Di sana aku berteriak-teriak memanggil nama Dinda Kamila. Sampai
tenggorokanku terasa serak.
Aku pun sering
bertanya kepada Allah, kenapa
do’aku tak dikabulkan? Kenapa justru jawaban pedih yang kudapatkan dari do’a
yang telah sekian lama kuucapkan? Mana janji-Mu Ya Allah? Bukankah Kau
menyayangi orang-orang yang berdo’a kepada-Mu? Bukankah Kau akan mengabulkan
do’a orang-orang yang memohon kepada-Mu? Salah satu nama-Mu di dalam Asma’ul
Husna adalah Al Mujib, Maha Pengabul do’a-do’a hamba-Mu...
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
19
Beberapa hari lagi pernikahan Dinda Kamila akan
berlangsung di rumahnya di Bandung. Entah sudah berapa juta helaan napasku yang
terasa berat dan menyesakkan dada karena
rasa kecewaku. Entah sudah berapa dalam cekungan mataku karena tidurku
tak pernah nyenyak lagi sejak mendengar kabar rencana pernikahannya. Entah
sudah berapa banyak desiran darah di tubuhku yang membuat tubuh ini terasa
lemah. Entah berapa sering namanya kusebut dengan bibir yang bergetar karena
rasa cinta dan tak rela ia menjadi isteri orang lain. Dan entah berapa banyak
air mata yang keluar karena rasa takut kehilangan bidadari pujaanku yang telah
sekian lama kurindukan dan kudambakan.
Malam ini, ketika orang lain sedang tidur nyenyak di rumah
mereka yang nyaman, aku berada di Puncak Gunung Cupu, sebuah gunung kecil
tempat biasanya orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah
memanjatkan do’anya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku berada di tempat ini.
Dulu aku sering datang bersama ayah untuk menikmati pemandangan indah dari
puncak gunung. Dari sana aku bisa melihat pemandangan indah ke segala arah.
Perumahan penduduk yang bertebaran, pesawahan yang luas, sungai-sungai kecil
yang mengalir dari atas pegunungan,
bahkan aku bisa melihat laut selatan di kejauhan, berwarna biru dan
putih beserta kapal-kapal yang sedang berlayar, seperti lukisan indah yang tak
berfigura, tidak berbatas. Tapi jika malam hari, yang terlihat hanya warna
hitam, bunyi desiran angin gunung dan suara binatang malam yang berbeda-beda
saling bersahutan seakan ingin mengatakan bahwa merekalah penghuni tempat itu.
Atau mungkin mereka sedang berdzikir memuji kebesaran Allah yang telah
menciptakan gunung dan memberi mereka kehidupan.
Ayah pernah mengajakku beberapa kali pada malam hari ke
tempat ini yang letaknya memang tidak jauh dari rumah kami. Ayah membawa tikar
dan sejadah. Lalu di atas puncak gunung beliau shalat kemudian berdo’a dan
berdzikir.
“Ayah, kenapa
harus melaksanakan shalat dan berdzikir di atas gunung yang dingin dan
mencekam seperti ini? Bukannya lebih enak di rumah?” tanyaku pada suatu saat.
“Beribadah dan berdzikir bisa dimana saja. Bukankah Syeh
Sunan Rahmat Godog Suci Garut beribadah di atas Gunung Suci? Demikian juga Syeh
Muhyidin Pamijahan Tasikmalaya beribadah di dalam guha? Bukan untuk memuja
gunung atau guha, tetapi untuk mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan
dan kedamaian dalam beribadah. Coba kamu rasakan suasana tempat ini. Kita
berada di sebuah puncak gunung. Mendengarkan suara alam, melihat ke langit yang
penuh bintang. Betapa kecilnya kita di hadapan gunung ini, betapa kecilnya kita
di bawah langit, apalagi di hadapan Allah Sang Pencipta, kita tidak ada
apa-apanya. Lalu untuk apa kita menyombongkan diri di hadapan mahkluk Allah
yang lainnya?”
Aku terdiam, mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Ayah.
“Malam ini Ayah ingin mengajak
kamu berdo’a. Ketahuilah, kekuatan do’a seorang hamba bisa menembus langit, bahkan sampai mengguncang
Arasy sehingga dengan seketika Allah SWT mengabulkannya. Kita yang memiliki
banyak keinginan, banyak harapan, banyak kekurangan, ingin sekali meraih apa
yang kita inginkan. Maka Allah adalah satu-satunya pemberi harapan, Allah
adalah adalah satu-satunya tempat curhat, Allah adalah satu-satunya tempat
bergantung, Allah adalah satu-satunya tempat meminta pertolongan, karena
Allahlah satu-satunya Maha Pemberi Pertolongan.”
Aku terdiam dengan perasaan kagum dengan
apa yang diucapkan oleh ayahku. Tubuhku terasa hangat dan mendadak semangat
hidupku seakan bangkit. Berjuta harapan memenuhi pikiranku. Allah... jika di
dalam hati kita ada kata Allah, mengapa harus takut menghadapi kekidupan?
“Sekarang
berdzikirlah, Nak... berdzikirlah dengan mengucapkan nama-nama Allah, kamu
hapal Asma’ul Husna yang berjumlah 99 kan?”
“Tidak semuanya, Ayah,” sahutku.
“Apakah kamu hapal nama-nama teman kamu mulai sekolah
dasar sampai perguruan tinggi sekarang?”
“Emh... semuanya hapal,” sahutku.
“Kamu bisa ingat nama teman-teman kamu, padahal tidak
semuanya baik padamu, dan tidak bisa menjamin kehidupan kamu. Kenapa nama-nama
Allah kamu tidak hapal? Padahal Dia yang memberi kamu kehidupan selama ini. Dia
yang memberi rezeki, Dia yang memberi kamu panca indera sehingga bisa melihat,
mendengar dan merasakan berbagai kenikmatan.”
Aku tertegun. Kamu benar, Ayah... aku melupakan nama-nama
Allah. Mulai hari ini aku akan menghapal semua nama Allah, janjiku dalam hati.
“Allah mempunyai Asma’ul Husna yaitu nama-nama Allah yang
sesuai dengan sifta-sifat Allah, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
Asma’ul Husna itu, demikian disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat
Al-A’raf ayat 180. Sekarang berdzikirlah dengan nama-nama Allah yang kamu
hapal,” kata Ayah.
“Ya, Ayah...” sahutku.
Beberapa saat kemudian aku larut dalam dzikir Asma’ul
Husna di belakang Ayah.
Itu kenanganku beberapa tahun yang lalu bersama
Ayah, saat aku
masih menjadi
mahasiswa.
Kini aku datang sendirian ke puncak Gunung Cupu. Di
tempat ini aku ingin curhat kepada Allah, dengan harapan yang masih tersisa di
dalam hati.
Di atas sebuah tikar yang dilapisi sebuah sejadah, aku
melaksanakan shalat beberapa raka’at, dilanjutkan dengan dzikir Asma’ul Husna.
“Ya Rahmaan.” (Yang Maha Pengasih).
“Ya Rahiim.” (Yang Maha Penyayang).
“Ya Sami’u.” (Yang Maha Mendengar).
“Ya Bashiir.” (Yang Maha Melihat).
“Ya Mujiib.” (Yang Maha Mengabulkan).
“Ya Shamad.” (Yang Maha Dibutuhkan).
“Ya Qadir.” (Yang Maha Menentukan).
Selesai berdzikir, aku kemudian berdo’a dengan penuh
kekhusyuan dan penuh harapan disertai derai air mata.
“Ya Allah... aku bermohon pada-Mu dengan rahmat-Mu
yang meliputi segala sesuatu, dengan kekuatan-Mu yang bisa menaklukkan segala
sesuatu, merunduk segala sesuatu dan merendah segala sesuatu. Dengan
keperkasaan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu, dengan kemuliaan-Mu yang tak
tertahankan oleh segala sesuatu, dengan keagungan-Mu yang memenuhi segala
sesuatu, dengan kekuasaan-Mu yang mengatasi segala sesuatu.
Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan
penjagaan, ampunilah dosa-dosaku yang mengakibatkan siksaan, ampunilah
dosa-dosaku yang mengubah nikmat menjadi bala, ampunilah dosa-dosaku yang
merintangi do’a, ampunilah dosa-dosaku yang memutuskan tali harapan. Aku
mengakui betapa banyak dosa-dosaku, telah banyak ketentuan-Mu yang kulanggar. Sedikit
sekali perbuatan baikku, berat sekali belenggu kemalasanku, besar sekali nafsu
amarahku, betapa panjang angan-anganku. Aku telah terpedaya oleh dunia sehingga
lalai terhadap kematian, lalai terhadap alam kubur dan kehidupan akherat yang
menungguku. Aku menyesal Ya Allah, dengan hati yang luluh, dengan perasaan
jera, mengharap ampunan,
menginsafi kesalahan, tidak
kutemui tempat berlindung agar
terlepas dari segala
noda dan beban, melainkan Engkau....
Ya Allah, aku datang menghampiri-Mu dengan menyebut
asma-Mu. Aku bermohon kepada-Mu dengan penuh kerendahan, kehinaan dan
kekhusyuan. Aku memohon pertolongan. Aku memohon kepada-Mu sebagai permohonan
orang-orang yang terdesak oleh kesulitan, yang menghampiri-Mu ketika terpojok
urusannya, dan yang besar dambaannya untuk meraih apa yang ada di sisi-Mu.
Ya Allah, kasihanilah beratnya beban kepedihanku,
kasihanilah kelemahan tubuhku, kasihanilah derai air mataku, kasihanilah
kehancuran hatiku. Aku mohon kepada-Mu dengan kodrat yang telah Engkau
tentukan, dengan qadha yang telah Engkau tetapkan dan putuskan, jika aku dan
Dinda Kamila telah tertulis dalam takdir-Mu harus bersatu, maka satukan aku dan
dia. Jika tak tertulis dalam takdir-Mu, maka dengan kekuatan do’aku malam ini,
rubahlah agar kami ditakdirkan hidup bersama. Tiada yang tak mungkin bagimu, Ya
Allah...
Wahai yang maha cepat ridha-Nya, ampunilah orang yang tidak memiliki apa pun
kecuali do’a, karena sesungguhnya Engkau akan melakukan apa-apa yang Engkau
kehendaki, wahai yang asma-Nya adalah penawar dan dzikir pada-Nya adalah obat,
dan keta’atan pada-Nya adalah kekayaan, sayangilah orang yang modalnya hanya
harapan, dan senjatanya adalah tangisan...
Amin... Ya Rabbal ‘aalamiin....
◦◦ ♥ ◦◦
Masih Ada Cinta
di Langit
Garut
20
Hari ini adalah hari
pernikahan Dinda
Kamila dengan Andi. Aku tak bisa hadir pada pernikahan mereka. Aku tak mau
melihat seorang gadis yang menjadi cinta sejatiku bersanding dengan pria lain.
Sudah beberapa hari aku sakit. Kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang
sangat menyakitkan. Seperti kehilangan sebagian nyawa karena keadaan tubuh
menjadi rapuh. Hilang sebagian rasa di dalam tubuh. Masih hidup tapi jiwa
seperti sudah mati. Betapa parahnya luka karena cinta.
Seharian aku
mengurung diri di dalam
kamar. Aku hanya termenung di
depan jendela memandangi pepohonan.
“Adit! Buka pintu! Ibu bikin
makanan enak buat kamu!” terdengar teriakan ibuku di balik pintu.
Aku diam. Tak ada nafsu makan
sedikit pun dalam diriku. Percuma Ibu membuatkan makanan untukku.
“Kak Adit! Buka pintunya!
Sudah dua hari Kakak nggak makan, entar sakit!” terdengar suara Neneng adikku
beberapa saat setelah ibuku pergi.
Aku diam tak menjawab, hingga
akhirnya kudengar suara langkah adikku menjauh dari pintu kamarku.
Rasa luka di hati membuatku
seperti patung batu. Penantian panjangku untuk seorang Dinda Kamila telah
kandas. Apakah cinta sejati pantas berujung penderitaan? Aku tak bisa menerima
kenyataan ini. Karena cinta sejati seharusnya berakhir dengan tangis
kebahagiaan, bukan tangis penderitaan.
Aku membaringkan tubuh di atas
tempat tidur. Kupejamkan mata kuat-kuat. Aku ingin tidur setelah beberapa hari
ini tak bisa tidur. Aku ingin tidur yang panjang dan tak bangun kembali.
“Adit! Buka pintu. Ini
aku....”
Samar-samar terdengar suara
seseorang. Telingaku seperti mendapat panggilan dari Surga mendengar suara
merdu itu. Suara itu begitu akrab di telingaku. Suara siapa? Seperti suara
Dinda Kamila. Tapi tidak mungkin! Hari
ini ia sedang melangsungkan pernikahan dengan Andi di Bandung. Apakah rohku
sudah terbang dipanggil Tuhan dan bertemu dengan roh Dinda Kamila di langit?
Tidak! Aku masih hidup. Aku yakin itu suara Dinda Kamila.
Aku bangkit dari pembaringan
dan bergegas menuju pintu kamar, lalu kubuka.
“Dinda,” gumamku tak percaya
melihat ia berada di hadapanku.
“Adit...” Dinda Kamila
menghambur ke dalam pelukanku dan menangis di dadaku.
“Ohh... aku tak percaya hal
ini,” aku memeluknya dengan segenap rasa bahagia. Aku seperti berada di atas awan, tubuhku
terbang melayang sambil melepaskan seluruh beban hatiku.
“Adit, aku mencintaimu. Aku
tak ingin hidupku dipenuhi dengan penderitaan karena tak bisa bersama dengan
orang yang kucintai. Aku bicara sejujurnya pada Andi. Ia mengerti dan merelakan
aku bersamamu,” ucap Dinda Kamila.
Aku melepaskan pelukanku,
kemudian aku bersimpuh di hadapan Dinda Kamila, memegang kedua tangannya dan
menciumnya. Sejak dulu sampai sekarang, dia adalah sosok wanita yang kuhormati,
kuhargai, dan kucintai selain ibuku. Aku tak pernah sekali pun berpaling ke
lain hati. Kini ia menghantarkan kebahagiaan untukku.
Aku bangkit kembali untuk
berdiri di hadapan Dinda Kamila. Kami bertatapan dengan mata basah.
“Aku yakin cinta sejati akan berakhir dengan
tangis kebahagiaan,” ucapku.
Dinda Kamila tersenyum, ia
lantas menyandarkan kepalanya di bahuku beberapa saat.
“Keluargaku ikut ke sini
bersamaku. Umi, Kak Indra dan Teh Nita beserta anak-anaknya. Mereka akan maksa
kamu agar segera menikahi aku,” katanya malu-malu.
“Siapa takut menikahi seorang
bidadari?” sahutku sambil menatapnya penuh cinta.
Matanya mengerling indah
sambil mencubit tanganku mesra.
Ya Allah, terima kasih. Kini aku telah bersama dengan bidadariku.
◦◦ ♥ ◦◦
KATA PENULIS
__________________________________________
Alhamdulillah... rasanya plong
setelah menyelesaikan cerita ini. Beban jiwa yang demikian lama menyesakkan
dada tuntas sudah. Akhirnya aku bisa mempersembahkan cerita berjudul Masih Ada Cinta
di Langit Garut kepada orang-orang tercinta, dan kepada kalian semua penggemar cerita cinta
sejati.
Pembuatan cerita ini sungguh
menguras emosi. Setiap kata adalah ungkapan dari berbagai rasa hati. Rasa
cinta, rasa rindu, rasa sayang, rasa galau, rasa sedih, rasa kecewa, dan
berbagai rasa lainnya. Hingga kalimat yang tersusun menyentuh sampai ke dasar
hati. Bohong jika kalian tidak menangis saat membaca buku ini. Aku saja yang
menulis cerita ini sering menangis terisak-isak sendirian di beberapa bagian
cerita ini.
Ide nulis buku ini mulai
muncul di tahun 2011 saat Pak Dicky Chandra mengundurkan diri jadi Wakil Bupati
Garut. Langsung ditulis garis besarnya dulu. Tapi belum kepikiran endingnya
harus bagaimana. Sampai dengan Bab 17, kubiarkan naskah cerita ini selama
bertahun-tahun. Lagian aku sibuk banget ngurusin rakyatku di desa yang banyak
banget keinginannya.
Di bulan Maret 2015 jabatanku
sebagai kepala desa habis. Baru deh kepikiran untuk menyelesaikan naskah ini.
Di bulan Desember 2015, cerita ini selesai dengan ending yang menurutku sangat
manis dan mengharukan, tidak mengecewakan pembaca. Aku ingin menunjukkan kepada
kalian para pembaca, jangan berhenti berdo’a dan berharap untuk kebahagiaan
yang kita impikan.
Aku berharap cerita ini
menjadi sebuah sejarah kebangkitan para penulis asal Garut. Cerita ini adalah master piece bagi dunia cerita fiksi di
Garut. Aku pun akan berusaha agar cerita ini bisa diangkat ke layar film,
minimal film televisi.
Sebelum cerita berjudul Masih
Ada Cinta di Langit Garut ini, aku telah menulis cerita-cerita lain yang bisa
menguras air mata, tapi masih kusimpan di file laptopku. Insya Allah akan
segera kuterbitkan awal tahun 2016. Diantaranya : Hujan Luruh di Kota Intan,
Tunggu Aku di Kota Garut, Cinta di Garut (Kumpulan Cerpen Para Penulis Asal
Garut), Edelwaiss Terakhir, dan beberapa cerita lainnya.
Oh ya, aku bukan cuma nulis
cerita yang bisa bikin kalian menguraikan air mata, aku juga menulis buku yang
bisa bikin ketawa terus, dua yang sudah selesai adalah Ustadz Kabayan dan Si
Kabayan Mencari Tahta & Cinta. Kalau belum ada di toko buku, kalau mau
baca, ada di Perpustakaan Daerah depan RSU dr. Slamet dan di Perpustakaan STKIP
Garut.
Aku sekarang mendirikan Rumah Cinta
Production untuk menunjukkan eksistensiku di dunia tulis menulis. Aku
akan terus berkarya menghasilkan buku kumpulan cerpen, buku kumpulan puisi,
novel dan naskah skenario film. Kenapa? Karena menulis adalah duniaku. Aku akan
bersenang hati jika kalian ngasih komentar untuk karya-karyaku. Bisa sms ke nomor
HP aku, bisa ngirim ke e-mailku amarmaruf.0309@gmail.com
atau ke blog aku di cintaamarmaruf.blogspot.com
With Love,
Arie AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar