Jumat, 12 Februari 2016

Masih Ada Cinta di Langit Garut





           Masih Ada Cinta
di Langit Garut

1



Tanggal berapa sekarang? Aku terperanjat melihat kalender di atas meja. Tanggal 3 September. Kulirik jam dinding di atas tempat tidur, sudah jam 9 siang. Aku bergegas mengambil handuk dan menyiapkan pakaian. Kupilih celana jeans dan sebuah kemeja putih bergaris coklat. Hari ini hari istimewaku. Hari kelahiranku, sekaligus hari penantian untuk kebahagiaan hidupku.  Penantian yang telah bertahun-tahun kulalui dengan penuh harapan. Penantian pada seorang belahan jiwa yang namanya telah menjadi prasasti di dalam hatiku. Ya, setiap tanggal 3 September aku selalu datang ke sebuah tempat istimewa untuk bertemu dengan seseorang dari masa laluku. Karena ia telah berjanji padaku untuk datang menemuiku.
◦◦ ♥ ◦◦

Alun-alun Garut hari ini sepi. Aku berjalan di atas trotoar. Tempat ini menyimpan banyak kenangan karena berdekatan dengan sekolahku, SMA 1 Garut yang kini telah berubah menjadi SMA 11 Garut. Boleh dibilang kawasan alun-alun adalah tempat nongkrong anak-anak SMA 1 Garut.
            Langkahku terhenti di depan lapak penjual koran.
            “Silahkan Kang, ada berita baru, Wakil Bupati Garut mengundurkan diri!” kata Si Penjual koran.
            Aku tersentak kaget mendengar ucapan laki-laki bertopi itu.
            “Hus! Ngaco ah!” aku membentak sambil menatapnya tak percaya.
            “Serius. Nih hampir semua koran memuat beritanya,” ucap Si Penjual koran meyakinkan sambil menunjuk judul berita yang ditulis dengan hurup berukuran besar.
            Aku terkesiap. Ternyata benar, beberapa media cetak terkenal menulis judul berita tentang pengunduran diri Dicky Chandra. Aku merogoh uang dari saku celana lalu membeli sebuah koran nasional.
            “Sayang ya Pak Diki mundur, padahal dia telah menjadi kebanggaan warga Garut,” ucap Si Penjual koran sambil memberikan uang kembalian.
           Aku tak mempedulikan ocehannya, pikiranku fokus membaca isi berita. Ada rasa sesak di dadaku, sejujurnya aku tak bisa menerima isi berita itu. Dicky Chandra adalah wakil bupati dari independen. Kemenangan Dicky Chandra adalah kemenangan demokrasi rakyat atas hegemoni partai politik yang selama ini menjadi gunung es dalam demokrasi Indonesia. Beberapa waktu lalu rakyat Garut telah membuktikan bahwa partai politik bukanlah satu-satunya alat untuk mencapai kekuasaan, sekaligus memberi pelajaran kepada elit partai politik di negeri ini atas kurangnya kepercayaan rakyat kepada partai politik yang sering melupakan kepentingan rakyat.
        “Kacau Garut ini. Dulu bupatinya dipaksa mundur hingga dipenjara, sekarang wakil bupati mengundurkan diri, pasti ada sesuatu di balik semua ini,” Si Penjual koran tak berhenti mengoceh.
            “Tidak perlu menduga macam-macam,” sahutku jengkel dengan gayanya yang sok tahu.
            Aku melangkah meninggalkan Si Penjual koran yang kembali berteriak-teriak menawarkan dagangannya.
            “Ayo siapa lagi? Berita baru! Diki Chandra mengundurkan diri!”
            Penasaran, aku menelepon Jay temanku yang bekerja sebagai wartawan, ia adalah orang dekat wakil bupati. Jay membenarkan pengunduran diri Dicky Chandra. Berkas pengunduran dirinya sudah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Ada tiga alasan mundurnya Dicky Chandra. Merasa sudah tidak sejalan dengan bupati, keterbatasan kewenangan sebagai wakil bupati, dan mahalnya biaya operasi politik yang menjadi beban wakil bupati selama menjalankan tugas.
            Aku menarik napas panjang, ada rasa kecewa yang menyeruak di dalam hatiku mendengar kepastian pengunduran diri wakil bupati. Aku berharap, semoga saja hal itu tidak benar-benar terjadi.
       Langkahku berhenti di depan gerbang SMU 11 Garut. Aku terpaku memandang bangunan di depanku.
            Di benakku tergambar bayangan masa lalu seperti deretan gambar yang silih berganti menampakkan diri, dan berhenti pada deretan gambar seorang gadis pemilik senyum indah. Dinda Kamila, aku bergumam lirih.
            Semua orang di lingkungan SMA 1 Garut pasti mengenal Dinda Kamila. Mulai dari anak-anak kelas satu sampai kelas tiga, mulai dari tukang sapu sampai kepala sekolah. Begitu terkenalnya dia. Dinda Kamila, siswi kelas 2 Biologi 2, anggota Paskibra Kabupaten Garut, bendahara OSIS SMA 1 Garut, juara umum dalam prestasi belajar SMA 1 Garut, pemilik seraut wajah cantik yang senyumnya begitu indah. Jilbab yang menutupi tubuhnya membuat pesona luar biasa. Sempurna, Dinda Kamila memang diciptakan oleh Tuhan begitu sempurna.
◦◦ ♥ ◦◦
         



Masih Ada Cinta
di Langit Garut

2



Beberapa tahun lalu...
Aku berdiri di samping Dinda Kamila, di atas panggung acara kenaikan kelas untuk mendengarkan pengumuman murid-murid terbaik dalam prestasi belajar. Sepuluh orang murid kelas dua telah berada di atas panggung. Perasaanku tak menentu. Selama ini aku telah berusaha keras untuk bisa bersaing dengan Dinda Kamila. Selama tiga semester aku selalu berada di peringkat kedua, di bawah Dinda Kamila. Apakah pada semester keempat ini aku akan mengalahkan Dinda Kamila? Semoga saja, Tuhan.
 Tibalah saatnya pembacaan peringkat murid-murid terbaik untuk kelas dua. Mulai dari peringkat kesepuluh sampai peringkat keempat perasaanku biasa-biasa saja. Namun saat peringkat ketiga dibacakan perasaanku tak menentu. Jantungku berdebar-debar tak karuan.
“Peringkat ketiga murid terbaik SMA 1 Garut semester ini… Beni Nugraha dari kelas dua fisika satu!”
            Serentak semua bertepuk tangan.
Aku tersenyum pada Beni yang semester lalu berada di peringkat kelima.
            “Peringkat kedua….”
           Aku menarik napas panjang menenang-kan diri. Aku berharap bukan diriku yang disebut. Aku lelah menjadi orang kedua di bawah Dinda Kamila. Aku ingin menjadi yang pertama.
            “Dinda Kamila dari kelas dua biologi dua!”
        Rasaku terbang mengawang-awang. Dadaku seakan meledak karena gemuruh kebahagiaan yang membahana ke seluruh rongga dada. Akhirnya aku menjadi yang pertama. Aku berhasil mengalahkan Dinda Kamila yang selama ini menjadi obsesiku.
“Dengan demikian... peringkat pertama murid terbaik SMA 1 Garut semester ini adalah Aditya dari kelas dua biologi satu!”
 Dan ketika namaku disebut sebagai peringkat pertama, semua mata seolah-olah tertuju ke arahku. Kulihat mereka bertepuk tangan sambil berteriak-teriak gembira menyerukan namaku.
            “Aditya! Aditya! Aditya!”
            Aku sangat terharu. Mataku berkaca-kaca dibuatnya. Namun aku tak mau berlebihan, kutahan air mataku dengan berusaha tersenyum semanis-manisnya kepada semuanya.
          “Selamat ya, Aditya…” Beni dan Dinda Kamila menyalamiku dengan sportif.
            “Sama-sama....” sahutku.
Kepala sekolah naik ke atas panggung menyalami para murid berprestasi diikuti oleh para guru.
            Teman-teman sekelas menyambut keberhasilanku. Mereka mengerubutiku senang sambil bergantian menyalami bahkan ada yang memelukku. Sejak dulu kelasku dengan kelas Dinda Kamila selalu bersaing dalam prestasi belajar. Kali ini kami berhasil memenangkan persaingan itu.
◦◦ ♥ ◦◦
           
Isirahat sekolah siang itu aku menerima kartu undangan ulang tahun Dinda Kamila.
            “Luar biasa! Sekarang Aditya udah jadi teman spesial buat Dinda Kamila,” Rian geleng-geleng kepala melihat kartu ultah di tanganku.
Aku tersenyum, “Nih kalau mau!” aku memberikannya pada Rian.
            Rian menciumi kartu ultah itu saking bahagianya sambil menyebut-nyebut nama Dinda Kamila. Aku meninggalkannya sambil senyum-senyum. Dasar Rian memang peng-gemar berat Dinda Kamila.
Waktu aku kembali ke dalam kelas, kulihat Rian masih asyik melihat-lihat kartu ultah itu.
            “Kenapa bengong terus?” tanyaku.
            “Aku mau banget datang ke acara ultah Dinda, tapi di undangan ini tertera nama kamu,” katanya.
            “Hapus aja namaku, ganti dengan nama kamu,” ucapku.
Rian tersenyum. Ia mengambil tipe-x lalu mengganti namaku dengan namanya.
            “Kamu gak nyesel ngasih kartu ini padaku?” tanyanya.
            “Enggak, aku nggak suka acara ulang tahun. Paling-paling diisi dengan acara hura-hura, mendingan belajar di rumah,” sahutku tak peduli.
            “Ya udah, biar aku yang gantiin kamu,” kata Rian senang.
            Walau   sempat   diliputi   perasaan  bimbang, akhirnya aku memutuskan tidak datang pada acara ulang tahun Dinda Kamila. Aku tidak terbiasa mengikuti acara seperti itu. Malam itu kuhabiskan waktu dengan membaca buku yang kupinjam siang tadi di perpustakaan.
Esok harinya, Rian nampak bersemangat menceritakan pengalamannya hadir di acara ultah Dinda Kamila.
            “Wah, acara tadi malam seru banget!” celotehnya.
            “Seru gimana?”
            “Aku mau berantem dengan panitia gara-gara kartu ultahnya ditipe-x. Untung Dinda datang dan mau masukin aku ke rumahnya.”
            Aku tertawa lucu mendengar cerita Rian.
            “Dinda nanya padaku, mana Adit gak datang?”
            “Kamu jawab apa?” aku penasaran ingin
tahu jawaban Rian.
            “Adit lagi bisulan.”
            “Brengseeekk!” aku melotot.
            “Becanda dong Dit!” Rian panik. “Kujawab gini, Adit nggak suka acara hura-hura, mendingan belajar atau baca buku di rumah.”
            “Itu baru bener.”
            “Tapi Dit, tadi malam nggak ada acara hura-hura, cuma acara pengajian terus potong tumpeng.”
            “Ah masa sih?” aku menatap Rian tak percaya.
            “Bener.”
            Aku tertegun.
            Pulang sekolah aku menuju perpus-takaan untuk mengembalikan buku dan meminjam buku baru. Mendadak perasaanku berdebar melihat Dinda Kamila di dalam perpustakaan. Ia melihat kehadiranku lantas menghampiriku.
            “Adit, aku ada perlu sama kamu,”  ucapnya.
            “Emh… boleh.”
            Kami duduk berhadapan terhalang meja baca.
            “Dari semua orang yang kuundang, hanya kamu yang tidak datang. Kenapa?” ia menatapku. 
“Aku gak suka acara ulang tahun, hanya hura-hura dan gak sesuai dengan ajaran agama kita,” sahutku.
            “Acara ulang tahunku gak diisi dengan acara hura-hura, aku mengadakan acara pengajian di rumahku. Aku benar-benar kecewa karena kamu gak datang.”
            “Maaf aku mengecewakanmu,” aku merasa bersalah.
            “Begini saja, aku akan ngasih kamu kesempatan. Jika sampai nanti malam kamu nggak datang ke rumahku dan ngasih kado ultah buatku, aku nggak mau mengenal kamu lagi untuk selama-lamanya,” ujar Dinda. Kemudian ia bangkit meninggalkanku.
            Aku tertegun. Sama sekali tak  menyangka Dinda Kamila akan mengatakan hal seperti itu. Tiba-tiba aku merasa takut kehilangan dirinya.
            Pulang sekolah aku langsung ke toko Kamus, toko buku terbesar di Garut. Aku membeli sebuah al-Qur’an sebagai hadiah ulang tahun untuk Dinda Kamila.
Sore harinya aku datang ke rumah Dinda Kamila sendirian untuk mengantarkan kado untuknya.
            Dinda Kamila membuka hadiah ultah dariku. Ia tersenyum melihat sebuah al-Qur’an di balik kertas kado.
            “Wow, sebuah al-Qur’an,” gumamnya.
            “Kamu ingin tahu kenapa aku ngasih sebuah al-Qur’an?”
            “Emangnya kenapa?”
            “Benda paling berharga di dunia ini adalah al-Qur’an. Di dalamnya ada pedoman hidup bagi manusia agar selamat di dunia dan akherat, begitu kata orang tuaku. Aku punya sebuah al-Qur’an pemberian dari orang tuaku. Warna dan rupanya sama dengan yang kuberikan padamu.”
            “Makasih Adit, dari sekian banyak hadiah ultah yang kuterima, al-Qur’an ini yang terindah dan sangat berkesan di hatiku.
            Aku tersenyum. Dalam hati aku bersyukur karena aku telah memberikan hadiah ulang tahun yang tepat untuknya, dan ia tak meremehkan Kitab Suci Al-Qur’an yang kuberikan. Aku yakin dia adalah seorang gadis yang istimewa yang memiliki kecantikan luar dalam. Dia adalah keturunan orang-orang yang mengenal Al-Qur’an dalam kehidupannya.
◦◦ ♥ ◦◦
           



Masih Ada Cinta
di Langit Garut

3



Aku sering bertemu Dinda Kamila di perpustakaan sekolah. Boleh dibilang tempat itu adalah tempat yang paling sering mempertemukan aku dengannya. Kami sama-sama maniak buku, terutama buku mengenai ilmu pengetahuan. Kadang-kadang kami bentrok mencari buku yang sama. Terpaksa kami meminjamnya bergantian. Setiap selesai membaca buku, kami sering membicarakan isi buku tersebut.
Suatu hari, selesai mencari buku, kami ngobrol di ruang perpustakaan.
“Adit,  di  kelasku  banyak  teman-teman
yang tertinggal dalam beberapa mata pelajaran, terutama fisika, kimia dan matematika,” kata Dinda Kamila.
“Sama. Tiga mata pelajaran itu jadi hal yang dibenci oleh teman-teman sekelasku,” sahutku.
“Aku sering kasihan kepada mereka. Ketiga pelajaran itu jadi beban buat mereka. Kadang ada teman-temanku yang bolos untuk menghindari tiga mata pelajaran itu. Ada juga beberapa orang yang ikut bimbingan belajar, hasilnya lumayan, mereka tidak terlalu tertinggal. Memang sebaiknya ikut bimbel, tetapi bagi mereka yang tidak punya uang untuk membayar bimbel, kondisi mereka tetap saja tertinggal. Aku kepikiran ingin mendirikan klub belajar untuk membantu mereka,” ujar Dinda Kamila.
“Ide yang bagus, Dinda,” komentarku.
“Bagaimana kalau kita bergabung mendirikan klub belajar? Maksudku anak-anak di kelasku dan kelas kamu bergabung, terus aku dan kamu yang membimbing mereka. Bila perlu sesekali kita mendatangkan guru.”
“Aku setuju. Tapi di mana tempatnya?” aku bertanya.
“Aku punya sebuah ruangan di rumahku yang tidak dipakai, hanya dipakai setahun sekali untuk acara pertemuan keluarga. Tempatnya leluasa bisa menampung sampai lima puluh orang.”
“Keluargamu gak akan keberatan?”
“Kurasa tidak. Aku pernah bicara pada Umi soal ruangan itu. Umi tidak keberatan kalau digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Nanti aku akan bicara lagi pada Umi.”
Aku senang mendengarnya.
Tapi kamu harus bantuin aku bicara pada Umi,” kata Dinda Kamila.
“Kapan?” tanyaku.
“Nanti pulang sekolah, kita langsung ke rumahku, ya?”
“Oke,” aku mengangguk.
Kami lantas keluar dari ruangan perpustakaan karena terdengar bel masuk berbunyi.
Ketika jam pelajaran siang itu berakhir, aku keluar dari dalam kelas untuk menunggu Dinda Kamila keluar dari dalam kelasnya. Beberapa saat kemudian ia nampak di antara teman-temannya. Aku tidak menghampirinya, soalnya aku suka digodain oleh teman-temannya. Aku berjalan ke luar lingkungan sekolah, menunggu Dinda Kamila di bawah pohon sambil membeli dua buah minuman jus jeruk ke dalam plastik. Beberapa saat kemudian Dinda Kamila datang, aku memberikan satu buah jus jeruk untuknya.
“Terima kasih,” ucapnya.
“Kita naik angkot atau naik becak?” tanyaku.
“Naik becak aja, biar jalannya gak muter-muter,” sahut Dinda Kamila. Ia melambaikan tangan kepada tukang becak yang ada di seberang jalan.
Tukang becak itu membawa becaknya ke arah kami. Aku naik becak duluan, kemudian Dinda Kamila. Beberapa saat kemudian becak itu bergerak meninggalkan halaman sekolah. Tukang becak itu sudah tahu karena ia sering mengantar Dinda Kamila pulang sekolah. Sepuluh menit kemudian kami sampai di depan rumah Dinda Kamila.
Aku turun lebih dulu. Kuulurkan tanganku agar Dinda Kamila berpegangan saat ia turun dari dalam becak.
Dinda Kamila memberikan uang sepuluh ribu membayar tukang becak itu.
“Terima kasih, Mang,” kata Dinda Kamila.
“Sama-sama, Neng,” sahut tukang becak.
Aku mengikuti Dinda Kamila masuk ke dalam rumahnya.
“Assalaamu’alaikum Umi!” ucap Dinda Kamila kepada Umi Nisa.
“Wa’alaikum  salam,”  sahut   Umi   Nisa yang berada di depan pintu.
Dinda Kamila mencium tangan ibunya.
“Eh ada Nak Adit,” ia tersenyum padaku.
“Iya Umi, nih ngantarin Dinda katanya takut di jalan,” kataku bercanda.
“Takut apa? Biasanya juga pergi dan pulang sendiri,” Umi Nisa heran.
“Ah dasar Adit bercanda!” kata Dinda Kamila.
Aku ikut shalat di rumah mereka. Setelah shalat, aku telah ditunggu oleh mereka di ruang makan.
“Makan dulu, Nak Adit,” kata Umi Nisa.
“Aduh Umi maaf, saya sedang puasa,” sahutku.
“Puasa apa? Tadi makan jus jeruk sama aku di dalam becak,” kata Dinda Kamila.
Aku malu-malu duduk di meja makan. Umi Nisa mengambilkan nasi untukku.
“Ih Mama nasinya kekecilan, Adit makannya banyak,” kata  Dinda  Kamila sambil menambahkan nasi ke piringku.
Mataku terbelalak, bagaimana aku harus menghabiskannya?
Dinda Kamila dan Umi Nisa tersenyum-senyum.
“Kamu kan baru kali ini makan begini bareng kami, sekali makan harus banyak!” kata Dinda Kamila.
Aku diam saja. Aku makan dengan berbagai perasaan dalam hatiku. Aku bingung, mau kuhabiskan takut dikira si gembul, kalau tidak dihabiskan rasanya kurang sopan, menampik rezeki. Tapi akhirnya kuhabiskan karena memang perutku sedang lapar.
Selesai makan, kami ngobrol bertiga di ruang keluarga sambil nonton tivi.
“Adit, makasih kamu sudah ngasih Al-Qur’an kepada Dinda, setiap malam dan pagi ia membacanya. Padahal dulu sebelum dikasih oleh kamu, ia malas membaca Al-Qur’an,” kata Umi Nisa.
“Dari dulu juga sudah rajin baca Qur’an, Umi ngarang aja!” Dinda Kamila tersipu.
“Umi senang banget di rumah ini banyak yang membaca Al-Qur’an. Katanya jika di sebuah rumah ada yang membaca Al-Qur’an, rumah itu akan bercahaya terang benderang sampai ke langit.”
“Betul Umi, saya mendengar tentang hal itu dari guru ngaji waktu kecil di kampung,” sahutku.
“Memangnya kamu pernah tinggal di kampung?” tanya Umi Nisa.
“Orang tua saya di kampung, Umi. Saya di sini kost,” kataku.
“Oh begitu ya?” Umi Nisa nampak kaget.
“Iya, Umi. Di kampung saya tidak ada sekolah setingkat SMA. Terpaksa untuk melanjutkan harus ke kota.”
“Terus kamu makan sehari-hari, beli ya?”
“Saya masak sendiri, Umi. Tapi lauknya kadang beli.”
“Kalau ada cucian? Piring, pakaian....”
“Saya cuci sendiri.”
“Kamu hebat Adit, kamu sudah mandiri di usia kamu yang masih belia. Jauh dari orang tua, masak sendiri, nyuci sendiri.”
Aku tersenyum getir. Terpaksa Umi, untuk mengejar cita-cita harus berkorban, kataku dalam hati.
“Umi, Dinda ngajak Adit ke sini karena ada yang ingin kami bicarakan dengan Umi,” kata Dinda Kamila.
“Oh ya? Memangnya ada apa?”
            “Begini Umi, kami berencana akan membentuk klub belajar untuk membantu teman-teman kami yang tertinggal dalam berbagai mata pelajaran. Kami butuh tempat. Kan ada ruangan tempat acara kumpul keluarga setahun sekali, kami ingin menggunakannya untuk kegiatan klub belajar,” ujar Dinda Kamila menjelaskan.
            “Betul begitu, Adit?” Umi Nisa menatapku.
            “Betul, Umi,” sahutku.
“Dulu tempat itu diminta oleh Indra kakak Dinda untuk kegiatan latihan band dengan teman-temannya. Tapi Umi tolak. Tapi karena kalian yang minta, dan digunakan untuk hal yang bermanfaat, Umi setuju.”
“Asyik! Umi baik deh!” Dinda Kamila memeluk Umi Nisa dan menciumnya penuh sayang.
Umi Nisa tersenyum.
Hatiku senang. Perasaanku lega.
“Terima kasih, Umi. Kami akan memanfaatkan tempat itu sebaik-baiknya, kami tak akan menyia-nyiakan kepercayaan dari Umi,” kataku.
“Umi percaya kepada kalian. Kapan mau dimulai?” kata Umi Nisa.
“Kami akan bicarakan dulu hal ini dengan teman-teman di sekolah. Kalau sudah sepakat, mungkin minggu ini juga akan dimulai,” sahut Dinda Kamila.
Setelah  beberapa  lama  di rumah Dinda Kamila, aku pamit. Umi Nisa membekaliku buah-buahan segar dan aneka jenis kue. Aku tentu saja senang.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

4



Aku mendata teman-teman sekelasku yang ingin bergabung dalam klub belajar. Hampir semuanya mendaftar ingin menjadi anggota, kecuali beberapa orang yang sudah masuk ke lembaga bimbingan belajar profesional. Dinda Kamila juga melakukan hal yang sama denganku, mendata teman-temnnya yang akan bergabung dalam klub belajar. Dari kelasku ada dua puluh orang yang mendaftar, dari kelas Dinda Kamila ada dua puluh lima orang.
Kegiatan belajar disepakati jam dua sampai jam empat sore setiap hari Rabu, Jum’at dan Sabtu. Dengan ketentuan, mereka datang kalau ada kesulitan dalam materi pelajaran terutama untuk mata pelajaran fisika, kimia dan matematika. Bagi yang sudah merasa cukup dengan penjelasan dari guru di dalam kelas, mereka tidak wajib datang. Dengan demikian mereka tidak terbebani untuk selalu datang.
Ruangan tempat pertemuan keluarga Dinda Kamila ditata menjadi sebuah ruangan yang asyik untuk kegiatan klub belajar. Kami membeli sebuah board kecil dan berbagai perlengkapan dengan cara iuran. Tetapi tidak ada kursi dan meja. Kami duduk di lantai yang sudah dilapisi permadani.
Tak ada keraguan dan rasa malu dalam diri teman-temanku saat menanyakan materi pelajaran yang tak mereka mengerti, mungkin karena suasana akrab dan santai yang tercipta di antara kami, serta pembimbingnya teman mereka sendiri. Di klub belajar, Kami banyak bercanda dan tertawa. Berbeda dengan situasi di  dalam  kelas  yang  kaku sehingga membuat mereka malu dan takut untuk bertanya.
Hasilnya sungguh luar biasa. Setelah beberapa bulan kami bergabung di klub belajar, di kelasku tak ada lagi murid yang mendapatkan hasil ulangan di bawah tujuh untuk mata pelajaran Fisika, Kimia dan Matematika. Padahal biasanya banyak yang mendapatkan nilai 5 dan 6. Satu-satunya murid di kelasku yang mendapatkan nilai 6 hanya Eka, dia anak baru pindahan dari Bandung. Dia memang tidak ikut klub belajar bersama kami dan tidak ikut bimbingan belajar di tempat lain. Pokoknya ia bersolo karier. Hehe.
Siang itu jam istirahat Eka mendatangi mejaku.
“Adit, hasil ulangan fisika kamu paling bagus. Kamu hebat bisa dapat nilai sepuluh,” kata Eka.
“Ah biasanya juga dapat sepuluh.”
“Bagaimana caranya?”
“Belajar dong.”
“Aku   sejak   dua  hari  yang  lalu  sudah
belajar setengah mati, tapi hasilnya tetap saja enam. Aku heran. Di sekolahku yang dulu aku merasa paling pintar. Aku selalu dapat ranking satu. Tapi masuk ke sekolah ini, rasanya aku jadi murid paling bodoh!” Eka menepuk jidatnya yang lebar dan berkilat.
“Kamu nggak ikut bimbingan belajar?”
“Ah buat  apa?”
“Biar lebih pintar. Kamu tuh sudah pintar, makanya di sekolah kamu yang dulu selalu ranking satu. Di sekolah ini beda lagi, semua anaknya sudah pintar, ditambah lagi ikutan bimbingan belajar, maka mereka tambah pintar.”
“Ada tempat bimbingan belajar yang bagus?” tanya Eka.
“Banyak. Mau yang mahal, yang murah atau yang gratis?” tanyaku.
“Yang gratis ada?” matanya berbinar.
“Ada. Aku punya klub belajar gratis.”
“Ikutan dong.”
“Boleh.”
Ditambah Eka, anggota klub belajar kami bertambah satu orang menjadi empat puluh enam orang. Eka membawa warna baru dalam klub belajar kami. Ia pandai sekali main catur. Di antara kami teman-temannya tak ada yang kuat mengalahkannya. Aku juga dibuat tak berdaya.
Suatu hari ia ngajak aku main ke Pengkolan, kawasan pusat belanja di Garut. Ia berhenti di depan tukang catur yang memasang taruhan rokok. Siapa yang bisa mengalahkannya dalam tiga langkah atau dua langkah, ia berhak mendapatkan sebungkus rokok.
Eka berjongkok untuk ikutan bermain catur. Ia membayar seribu rupiah, lalu mulai bermain. Dalam tiga langkah ia menang. Eka mendapat hadiah sebungkus rokok. Ia kembali bermain. Dalam dua langkah ia kembali menang. Kembali ia mendapatkan sebungkus rokok. Ia kembali bermain. Ia terus menang sampai  lima  kali.  Si  Pemilik   Lapak   nampak berkeringat.
Saat Eka mau main lagi, Si Pemilik Lapak mendekat, lalu berkata pada Eka, “Jang, sudah sana pulang, nanti aku gak bisa makan,” katanya.
Eka mengajak aku pulang sambil membawa lima bungkus rokok. Ia benar-benar jago bermain catur. Aku kagum pada kemampuannya bermain catur.
“Ka, kamu pandai sekali main catur,” pujiku.
“Ah, biasa saja. Si Emang tadi yang bodoh. Pasangan caturnya sudah jadul, ada di buku semua. Aku tahu kunci jawabannya dari buku,” sahut Eka.
“Tapi tetap saja kamu pintar, kami tak ada yang menang melawan kamu.”
“Aku memang pintar di antara orang-orang bodoh. Kalau aku melawan master pasti gak ada apa-apanya. Kamu mau rokok, nggak?” Eka mengeluarkan rokok dari dalam tasnya.
“Aku gak pernah merokok,” kataku.
“Aku juga sama. Ini rokok buat orang tuaku,” Eka memasukkan kembali rokoknya ke dalam tas.
“Eh Adit, benar kamu pacaran sama Dinda Kamila?” tanya Eka tiba-tiba.
“Ah tidak, kami cuma sahabat biasa,” sahutku.
“Jangan bohong, kalian dekat banget.”
“Deket sih iya, tapi tidak pacaran. Kenapa? Kamu suka sama dia, ya?” tanyaku dengan hati berdebar-debar.
“Siapa sih laki-laki yang nggak suka sama dia? Tapi kebanyakan minder karena ia pintar. Kalau aku lebih pintar dari dia, aku pasti mendekatinya. Oh Iya, tiga hari lagi kan ada ulangan fisika. Aku ingin ngajak kamu saingan. Kalau aku dapat nilai lebih besar daripada kamu, kamu jangan marah padaku kalau deketin Dinda Kamila. Kalau nilai kamu lebih besar, kamu akan kutraktir makan bakso. Bagaimana?” Eka menatapku.
“Boleh,” aku menyetujui.
Aku belajar keras karena tak mau dikalahkan oleh Eka. Aku tak rela ia mendekati Dinda Kamila.
Tiga hari kemudian dilaksanakan ulangan mata pelajaran Fisika di kelasku.  Sebelumnya beberapa hari aku belajar keras karena tak mau dikalahkan oleh Eka. Aku tak rela ia mendekati Dinda Kamila. Hasil ulangan, aku dapat nilai 10. Eka dapat nilai 7.
Pulang sekolah Eka nraktir aku bakso.
            “Aku ngaku kalah. Kamu memang paling pintar di kelas kita. Kamu layak mendapatkan Dinda Kamila,” kata Eka.
            Aku cuma tersenyum.
◦◦ ♥ ◦◦

Persahabatan dengan Dinda Kamila sungguh terasa indah. Kebersamaan kami diisi dengan hal-hal bermanfaat. Di sekolah kami memelopori kegiatan pengajian bulanan. Selain itu kami membangun kepedulian untuk bantuan sosial dengan mengumpulkan dana untuk disalurkan kepada murid-murid yang sakit atau kurang mampu kondisi ekonomi keluarganya. Kadang-kadang disalurkan ke panti. Kami juga melakukan kegiatan donor darah secara berkala untuk membantu Palang Merah Indonesia. Kegiatan-kegiatan itu makin mendekatkan aku dengan Dinda Kamila. Aku sering merasa risi kalau teringat perbedaan status yang sangat jauh antara aku dengannya. Seharusnya aku tak sedekat ini dengan Dinda Kamila. Walau aku telah berusaha membungkus perasaan hati agar tak terjatuh dalam perasaan cinta, tapi tetap saja getar-getar hati makin terasa setiap berada di dekatnya. Semakin hari semakin bertambah besar perasaan cinta dan sayang di hatiku padanya.
            Banyak orang yang menyangka aku dan Dinda Kamila adalah sepasang kekasih. Aku senang orang lain menyangka demikian. Aku merasa bangga menjadi orang paling dekat dengan Dinda Kamila. Tapi hatiku kecilku sering berkata bahwa aku tak boleh mencintainya lebih dari seorang sahabat. Tidak boleh, kamu bukan orang yang pantas untuknya. Penantianmu akan berakhir dengan kecewa.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

5



Suatu hari seperti biasa aku datang ke rumah Dinda Kamila untuk mengikuti kegiatan klub belajar. Ada yang aneh, semua teman-teman mengenakan busana muslim. Cowok memakai baju koko, cewek memakai kerudung dan pakaian tertutup. Seperti mau mengikuti acara pengajian. Hanya aku yang memakai kemeja. Mereka tersenyum-senyum melihatku. Aneh!
            Sampai akhirnya Dinda Kamila datang ditemani mamanya dan seorang wanita seusia mama Dinda. Aku tahu dia seorang ustadzah. Kami pernah mengundangnya di acara pengajian bulanan sekolah.
            “Teman-teman, hari ini gak ada kegiatan bimbingan karena hari ini kita punya acara spesial,” ucap Dinda Kamila.
            Teman-temanku bertepuk tangan gembira. Aku makin heran.
            “Hari ini tanggal tiga September….” Dinda memotong ucapannya sambil memandangku.
            Aku terkesiap. Tanggal 3 September? Aku baru sadar hari ini adalah....
            “Hari ini adalah hari berbahagia bagi teman kita tercinta. Hari ini adalah hari ulang tahun Aditya!”
            Semua bertepuk tangan riuh sambil berteriak-teriak menyebut namaku.
           Air mata bergulir di wajahku saat Dinda Kamila menyalamiku dan memberi ucapan selamat ulang tahun padaku, diikuti oleh semua temanku. Ah, benar-benar indah apa yang telah dilakukan Dinda Kamila dan teman-teman hari ini dalam hidupku. Sejujurnya, aku belum pernah merayakan acara ulang tahunku, selain karena budaya di kampung yang tak begitu mengenal acara ulang tahun, juga karena aku tak punya kemampuan untuk merayakan acara ulang tahun seperti orang lain. Kali ini ada orang yang sangat perhatian sehingga di hari kelahiranku yang ke-17 ia membuatkan acara untukku. Aku sangat terharu.
            Kebaikan   Dinda  Kamila    dan    ibunya
sangat terasa olehku. Mereka menganggap aku seperti keluarga sendiri. Dinda sering datang ke tempat kost aku hanya untuk mengantarkan makanan. Sesekali digantikan oleh bi Ningsih pembantunya. Hal itu yang membuatku semakin hormat dan segan kepada mereka. Hal itu yang membuatku mengubur dalam-dalam rasa cinta yang bergelora dalam hatiku.
◦◦ ♥ ◦◦

       Suatu hari sebulan sebelum acara ujian nasional kami ngobrol di perpustakaan.
            “Dit,   setelah    lulus    nanti   kamu   mau
nerusin kuliah kemana?” tanya Dinda.
            “Belum tau.”
            “Hey! Cita-cita kamu mau jadi apa sih?”
            “Belum tau.”
            “Jangan gitu dong, kamu harus punya cita-cita.”
            “Kira-kira menurutmu, aku cocok jadi apa?”
            “Kok nanya ke aku? Harusnya kamu dong yang ngerencanain masa depan kamu.”
            “Kehidupan banyak yang tidak sesuai dengan rencana. Yang penting aku menjadi orang yang berguna bagi orang banyak. Sebaik-baiknya orang adalah yang bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kataku.
            “Aku juga ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, karena itu aku ingin jadi dokter,” ucap Dinda Kamila.
            “Wah, cocok tuh kalau kamu jadi dokter. Orang yang sakit apalagi laki-laki akan langsung sembuh begitu melihat dokter yang cantik, kamu gak perlu ngeluarin alat suntik atau ngasih obat, cukup tersenyum manis. Anggaran Negara untuk pengadaan obat bisa dipangkas.”
“Dasar ya!” mata indahnya mendelik.
Oh! Aku suka sekali melihatnya. Mata indahnya itu sungguh membuat jantungku berdebar tak karuan.
            “Eh, sebentar lagi kan ujian nasional, aku punya satu tantangan buat kamu,” kata Dinda Kamila.
            “Tantangan apa?” aku menatapnya penuh rasa penasaran.
            “Siapa yang mendapatkan nilai ujian tertinggi di antara kita berdua, boleh meminta satu hal yang harus dipenuhi oleh yang kalah.”
            “Maksud kamu… jika aku menang, aku boleh meminta apa pun dari kamu dan kamu wajib menepatinya. Jika kamu menang, kamu boleh meminta apa pun dari aku dan aku wajib menepatinya?” tanyaku.
            “He-eh, sahutnya.
            “Sepakat. Salaman dulu dong, aku  mengulurkan tangan.
            Kami berjabat tangan erat. Dalam hati aku bertekad akan mengalahkannya agar bisa meminta sesuatu yang istimewa padanya.
        Masa satu bulan itu kugunakan untuk belajar sebaik-baiknya. Aku menambah jam belajarku dengan mengurangi acara main dan memajukan tidur malamku. Aku harus kembali mengalahkan Dinda Kamila. Bukan karena ia adalah sainganku, tapi karena aku ingin meminta satu hal darinya yang wajib dipenuhi olehnya.
Ujian nasional akhirnya tiba. Aku melewatinya penuh semangat. Beberapa minggu kemudian hasilnya diumumkan. Nilai ujianku dengan Dinda Kamila hanya beda 1 poin, aku menjadi pemenang.
            “Aku mengakui kekalahanku. Sekarang kamu boleh meminta satu hal dariku,” kata Dinda Kamila pada acara perpisahan sekolah.
            “Setelah acara perpisahan ini, kita mungkin meneruskan kuliah di tempat yang berbeda. Kita akan jarang bertemu bahkan tak akan bertemu dalam jangka waktu yang lama. Setiap tanggal 3 September, aku akan menunggumu di sini, di depan sekolah kita. Aku meminta kamu meluangkan waktu untuk menemuiku walau cuma sesaat.”
“Benar, Adit. Kalau aku jadi kuliah di Bandung, keluargaku akan pindah ke Bandung. Soalnya keluarga besar kami ada di Bandung. Aku akan berusaha menepati janjiku, setiap tanggal 3 September, aku akan datang ke Garut untuk menemuimu,” sahut Dinda Kamila.
“Bagaimana jika sesuatu hal membuatmu tidak bisa datang?”
“Aku pasti datang.”
“Jika tak bisa datang?”
“Kamu ragu pada janjiku?”
Sesaat aku terdiam.
“Bukan, ada saatnya kita tak bisa menepati janji karena seuatu yang tak terduga terjadi pada diri kita.”
“Emh... jika ada hal yang tak terduga terjadi pada diriku hingga aku tak bisa datang, aku akan menyuruh seseorang yang kupercaya.”
Aku tersenyum setuju.
“Oh ya, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apa yang membuat kamu begitu bersemangat sehingga tiga semester terakhir kamu bisa mengalahkanku?”
            Aku tersenyum. Aku begitu bersemangat karena di dalam hatiku ada rasa cinta yang demikian besar pada dirimu, Dinda Kamila. Tapi aku tak mengatakannya.
            “Aku hanya berusaha semampuku,” kataku.
            Ah, kenapa aku tak pernah berani mengucapkan rasa cintaku pada Dinda Kamila. Dalam hati aku menyesal, kenapa aku tak memintanya untuk menjadi kekasihku?
◦◦ ♥ ◦◦
           



Masih Ada Cinta
di Langit Garut

6



Suatu pagi yang cerah di Desa Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut.
            Aku sedang menadatangani berkas-berkas penting di meja kerjaku.
            “Selamat pagi Pak Lurah, ada tamu dari Garut,” ucap Pak Holil stafku.
            “Suruh masuk aja,” sahutku.
            Tak lama kemudian dua orang laki-laki masuk ke ruanganku.
            “Assalaamu’alaikum, Pak Lurah.”
            “Wa’alaikum salam.”
            Setelah berjabat tangan, aku mempersilahkan mereka duduk di kursi tamu.
            “Kami tim sukses Ceng Fikri dan Diki Chandra ingin meminta izin untuk melakukan kampanye di desa ini. Kalau tidak ada halangan Kang Diki akan langsung datang untuk bertemu dengan warga desa ini, Desa Haurkoneng ya?”
            “Desa Cihaurkuning, Pak,” kataku meluruskan.
            “Oh iya, maksudnya Desa Cihaur-kuning. Bagaimana Pak Lurah, apakah kami diberikan izin?”
         Aku tersenyum. “Semua calon bupati dan wakil bupati beserta tim suksesnya bebas untuk melakukan kampanye sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh KPU. Kami tentu saja dengan senang hati akan menerima kehadiran mereka selama hal itu sesuai dengan aturan yang berlaku. Kapan kira-kira Pak Diki bisa datang ke sini?”
            “Minggu depan, Pak Lurah. Tanggal dan harinya akan kami lakukan pemberitahuan lebih lanjut.”
            “Baik, kami tunggu kedatangan beliau.”
            Kami ngobrol beberapa saat sambil menikmati teh hangat dan sedikit makanan ringan yang disajikan oleh stafku. Aku memang mengajarkan kepada anak buahku agar menghargai semua tamu dan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya. Tak lama kemudian dua orang tim sukses dari pasangan calon bupati Aceng Fikri dan Dicky Chandra itu pamit.
            Ya, aku sekarang adalah seorang kepala desa di Desa Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut, sebuah desa terpencil di Garut Selatan. Perjalanan hidup akhirnya membawaku kembali ke kampung halaman. Hatiku terpanggil untuk mengabdi di desa setelah melihat kondisi desaku yang tertinggal dalam segala hal. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai penggarap lahan di lingkungan perkebunan dan perhutani. Mereka tak mendapatkan penghasilan yang layak. Marhaenis kata Bung Karno.  Pendidikan mereka kebanyakan hanya tamat SD. Hanya sedikit yang tamat SMP dan SMA, apalagi sampai tamat perguruan tinggi. Tak ada penduduk setempat yang menjadi pegawai negeri. Guru, bidan dan mantri kesehatan desa semuanya berasal dari luar daerah. Kondisi jalan desa masih berbatu bahkan ada yang masih jalan tanah. Hanya sesekali ada kendaraan roda empat yang masuk, itu pun jika jalan kering dan harus mogok di jalan-jalan tanjakan. Masyarakat harus berjalan kaki sepuluh kilometer jika hendak belanja atau punya kepentingan lain ke kota kecamatan.
            Perlahan-lahan aku mengubah wajah desaku. Hal yang pertama kulakukan adalah menggaungkan gerakan cinta desa kepada masyarakat. Kutanamkan dalam hati wargaku agar mereka mencintai desanya. Sedih hatiku mendapati kenyataan banyak orang desa yang telah sukses di kota menjadi pengusaha, pejabat eksekutif atau legislatif, tapi mereka melupakan desanya. Tak secuil pun harta mereka yang disumbangkan untuk membantu desanya, padahal di desa banyak jalan yang rusak, jembatan yang putus, irigasi yang tak berfungsi, bangunan sekolah yang tak layak pakai serta tempat ibadah yang kumuh. Dan banyak lagi. Mereka telah berkhianat kepada sanak saudaranya, mereka telah berkhianat kepada warga kampung yang telah membantu membesarkannya, dan mereka telah berkhianat kepada tanah kelahirannya.
            Setelah bermusyawarah dengan semua unsur pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat, kami memulai kegiatan perbaikan jalan desa. Dananya berasal dari swadaya masyarakat dan berbagai pendapatan desa. Semua tanjakan dicor, jalan yang masih sempit diperlebar, jalan yang masih kondisi tanah diperkeras. Kami bergotong royong penuh semangat. Hasilnya, dalam waktu enam bulan kendaraan roda empat masuk ke seluruh pelosok desaku. Mobil-mobil truk yang mengangkut  hasil  pertanian dan perdagangan berlalu-lalang di wilayah desaku.
            Langkah penting yang kulakukan selanjutnya adalah melakukan gerakan perlindungan sungai dan mata air. Aku tak ingin di musim kemarau desaku menjadi desa yang rawan air bersih. Tak mudah menyadarkan masyarakat agar peduli pada lingkungan, apalagi alasan mereka melakukan penebangan liar demi mengisi perut yang lapar. Yang kusesalkan adalah banyak oknum aparat pemerintah yang terlibat dalam illegal loging sehingga Garut Selatan menjadi daerah gersang. Dalam satu tahun, gerakan perlindungan sungai dan mata air di desaku mulai kelihatan hasilnya. Hampir tak ada lagi kegiatan penebangan pohon di lingkungan sungai dan mata air. Dan tak ada lagi warga yang mencari ikan di sungai dengan potasium atau insektisida berbahaya.
Aku juga membangun lumbung desa dan koperasi. Aku ingin menciptakan ketahanan pangan agar pada musim kemarau wargaku tak mengalami rawan pangan. Sedangkan koperasi sebagai suatu gerakan untuk mempersatukan kepentingan warga untuk menumbuhkan kemampuan pereko-nomian masyarakat desaku.
Sadar akan rendahnya sumber daya manusia di desaku, aku membentuk tim yang terdiri dari para guru, ibu-ibu kader PKK dan kader karang taruna untuk menyukseskan wajib belajar Sembilan tahun. Kugerakkan ibu-ibu kader PKK untuk mendirikan pusat pendidikan anak usia dini di lingkungan masing-masing. Mula-mula ada dua pusat PAUD, kemudian berkembang hingga di tiap RW berdiri pusat PAUD. Tak lama kemudian berdiri pula sebuah yayasan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan setingkat SMP dan SMA.
Masih banyak hal lain yang harus kulakukan untuk mewujudkan desaku menjadi sebuah desa yang maju dengan kehidupan  masyarakat yang sejahtera, cukup sandang pangan dan papan. Aku akan terus berjuang sesuai dengan kemampuanku. Dulu aku mencalonkan diri menjadi kepala desa di usiaku yang masih sangat  muda, 27 tahun, dengan tekad kuat untuk membangun desaku. Dan dalam perjalananku sebagai kepala desa, ternyata mewujudkan kemajuan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

7



Garut adalah sebuah kabupaten di Jawa Barat yang namanya sangat terkenal ke seluruh pelosok Nusantara. Kabupaten Garut terbentuk akibat pembubaran Kabupaten Limbangan tahun 1811 oleh Daendles. Pembubaran tersebut, karena produksi kopi Kabupaten Limbangan menurun sampai 0%. Daendles kemudian memberikan perintah untuk menaman Nila, tetapi ditolak oleh bupatinya sehingga kabupaten tersebut dibubarkan.
Tanggal 16 Februari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang dijabat oleh Raffles  mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan dengan ibu kota di Suci, tetapi sebagi kota kabupaten, Suci dinilai tidak memenuhi syarat, karena wilayahnya sempit.
Pada tahun 1813, Bupati Limbangan yaitu Adipati Adiwijaya (1813 - 1831) membentuk panitia untuk mencari lokasi yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Akhirnya panitia menemukan lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki sumber mata air dan sungai yaitu Sungai Cimanuk dengan pemandangan yang indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.
Pada saat itu terdapat situ kecil yang tertutup semak belukar berduri. Seorang panitia tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, ikut pula seorang bule yang ikut membuka tempat tersebut. Begitu melihat tangan salahseorang panitia berdarah, ia langsung bertanya, “Kenapa tangan kamu berdarah?” Orang yang tanganya tergores menjawab dengan bahasa Sunda, “Kakarut.” Bule tersebut menirukan kata “kakarut” dengan lidah yang tidak fasih sehingga ucapannya menjadi “gagarut”. Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri itu dengan sebutan “Ki Garut”. Sehingga daerah baru tersebut akhirnya diberi nama Garut. Cetusan nama Garut itu direstui oleh Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya dan selanjutnya akan dijadikan ibu kota Kabupaten Limbangan yang baru.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibu kota seperti pendopo, kantor asisten residen, mesjid dan alun-alun. Di depan pendopo terdapat “Babancong” tempat bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di hadapan masyarakat.
Akhirnya ibu kota Kabupaten Limbangan pindah ke Garut sekitar tahun 1821. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dengan ibu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Bupati yang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut meliputi tiga desa yaitu Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Serta terdiri dari distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915 RAA Wiratanudatar diganti oleh Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada tanggal 14 Agustus 1925 Gubernur Jenderal memutuskan Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Pada tahun 1929 Adipati Suria Karta Legawa diganti oleh Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1930-1942).
Pada awal abad ke-20 dilakukan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut. Dengan dikembangkannya Garut sebagai kota wisata, maka pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada tahun 1917.
Garut memang sebuah surga kecil di Jawa Barat, sehingga mendapat julukan ‘Garut Swiss van Java’ atau Swissnya Jawa yang mulai popular sekitar awal abad ke-20. Saat itu, Garut dikenal sebagai tujuan wisata yang paling menarik di dunia. Banyak orang besar datang ke Garut untuk berlibur. Hotel-hotel mewah didirikan, tempat-tempat wisata dikelola dan dikembangkan dengan baik. Buku-buku petunjuk (guide) perjalanan dicetak dengan mewah dan agen-agen traveling giat mempromosikan usahanya. Di depan stasiun Garut, juga didirikan “Tourist Bureau” untuk melayani para pelancong.
Garut juga memiliki panorama alam yang keindahannya tak kalah mengagumkan. Pemandangan pegunungan terhampar luas di Garut. Dengan hawa sejuk, serta suasana kota yang asri semakin menambah kenyamanan kota ini. Garut yang permai, digambarkan dalam Encyclopedie van Nederlands-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda) terbitan tahun 1917, “….Garut adalah salah satu tempat terindah di Jawa dengan iklim nyaman (tinggi 700m) dengan lingkungan yang sangat indah, tempat pesiar yang sangat disukai orang Batavia yang banyak datang di musim kemarau….”
Di Garut, terletak Gunung Sadahurip yang berbentuk seperti Piramida. Gunung Sadaruhip menarik perhatian masyarakat dan arkeolog karena bentuknya yang menyerupai piramida, bahkan ada dugaan kalau dibalik gunung ini ada piramida yang lebih tua dari piramida yang terdapat di Mesir.
Garut adalah satu dari empat tempat di Indonesia yang memiliki gunung tempat menikmati indahnya bunga Edelweis. Para pendaki gunung pasti akrab dengan Edelweis yang “dipegang boleh, dipetik jangan”. Di Garut, wisatawan bisa menikmati indahnya Edelweis di Gunung Papandayan, tepatnya di Tegal Alun yang merupakan padang Edelweis yang terluas di Papandayan dengan luas hampir 80 hektar. Selain di Gunung Papandayan, Edelweis hanya bisa ditemukan di tiga tempat lainnya di Indonesia, yaitu Gunung Rinjani, Gunung Gede dan Gunung Pangrango.
Di Garut ada spesies domba lokal terbaik di Indonesia. Domba Garut sangat istimewa karena penampakannnya yang lebih gagah dibanding domba lainnya. Domba Garut merupakan campuran perkawinan dari domba lokal dengan domba jenis Capstaad dari Afrika Selatan dan domba Merino dari Autralia. Dari ketiga jenis domba itulah maka lahir varietas baru yang kemudian disebut Domba Garut. Penampilannya begitu gagah dan penuh keberanian, namun tetap kalem dan berwibawa. Tidak heran jika Domba Garut lebih banyak dimanfaatkan untuk hobi atau domba adu, daripada menjadi ternak peliharaan biasa. Harga domba Garut bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Garut memiliki 10 pantai indah yaitu Pantai Cijeruk Indah, Pantai Karang Paranje, Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo, Pantai Karang Papak, Pantai Gunung Geder, Pantai Manalusu , Pantai Cicalobak, Puncak Guha, dan Pantai Rancabuaya.
Di Garut ada sebuah resort romantis yang disebut Kampung Sampireun. Di Kampung Sampireun, panca indera dibawa menikmati pengalaman tak terlupakan di atas danau yang berada pada ketinggian 1000 mdpl. Ada banyak bungalow yang berdiri di atas danau. Danau bersih ini dihuni oleh ikan-ikan Mas, dengan pepohonan yang rimbun di sekelilingnya. Memilih Kampung Sampireun sebagai tempat peristirahatan adalah sebuah keputusan yang tak akan pernah disesali. Suasana tenang, sejuk, dipadu dengan suara desir angin dan gemercik air serta pemandangan yang asri di setiap sudut tempat itu akan melupakan beban hati dan pikiran.
Garut juga memiliki daerah mistis penuh sejarah yaitu Sancang yang terletak di Kecamatan Cibalong Garut Selatan, tempat menghilangnya Prabu Siliwangi beserta bala tentaranya karena terdesak oleh Prabu Kian Santang dan pasukannya. Konon, mereka semua berubah menjadi harimau yang hanya sesekali menampakkan diri. Sancang menjadi sebuah daerah tempat berguru ilmu kebatinan.
Di Garut juga terdapat sebuah gunung kecil bernama Gunung Cupu, sebuah tempat bermeditasi orang-orang yang mencari ilmu ma’rifat. Tepatnya di Desa Cihaurkuning Kecamatan Cisompet Garut Selatan. Di tempat ini, orang-orang yang memiliki penyakit lahir dan batin dengan izin Allah bisa disembuhkan. Setiap minggu di tempat ini diadakan acara tawasulan Syech Romli Tamim.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

8



Dicky Chandra, calon wakil bupati dari independen menepati janjinya datang ke desaku. Aku menyambut kedatangannya secara wajar seperti yang kulakukan kepada calon-calon yang lainnya yang pernah datang ke desaku. Tapi warga masyarakat terutama ibu-ibu menyambut kehadiran Dicky Chandra dengan antusias, mungkin karena Dicky Chandra adalah seorang artis terkenal. Petugas linmas desa kerepotan mengamankan jalanan yang penuh sesak.
“Aku  mau  pura-pura  pingsan  ah,  biar dapat   perhatian  dari  Diki  Chandra,” kata seorang ibu yang masih muda.
“Paling-paling kamu digotong sama anggota linmas desa,” kata temannya.
“Sumpah deh! Aku akan memilih Diki Chandra!”
“Loh? Suami kamu kan pengurus partai politik.”
“Suka-suka aku dong!”
“Kamu mau pilih siapa?”
“Tentu aku pilih Aa Diki dong!”
“Kenapa?”
“Ih kamu buta ya? Lihat ganteng begitu!”
“Hey! Milih Bupati jangan karena gantengnya doang!”
“Suka-suka aku deh, jangan intervensi begitu. Kita bebas memilih siapa pun.”
“Moga-moga aja kalau Pak Diki jadi bupati akan sayang kepada rakyatnya.”
“Pa Diki bukan calon bupati, tapi calon wakil bupati.”
“Ah masa sih?”
“Bener, kamu gak lihat ya di poster?”
“Gak penting jadi bupati atau wakil bupati, pokoknya aku mau milih Diki Chandra. Aku sudah jatuh hati sejak dulu. Kalau aku melahirkan nanti, akan kunamai anakku Diki Chandra.”
“Kalau anak kamu perempuan gimana?”
“Emh…. Nama istrinya siapa sih?”
“Bu Rani Permata.”
“Nah itu, Rani Permata.”
Berbagai macam komentar masyarakat menyambut kedatangan Dicky Chandra. Mereka begitu antusias dengan kehadiran sosok idola yang selama ini hanya bias dilihat di televisi. Dicky Chandra memang sangat popular sebagai seorang aktor terutama di kalangan kaum hawa. Ganteng, murah senyum dan nampak rendah hati. Kesan itu begitu kuat melekat pada dirinya.
Pada suatu kesempatan di sela-sela acara kampanye, aku berbincang dengan  Dicky Chandra.
“Terima kasih Pak Diki sudah datang ke Desa Cihaurkuning. Beginilah keadaan desa kami, masih belum maju. Jika saja Allah menakdirkan Pak Diki menjadi Wakil Bupati Garut, jangan lupa di Kabupaten Garut masih banyak desa yang tertinggal dalam berbagai bidang. Harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Garut.”
Dicky Chandra tersenyum.
“Insya Allah, Pak Lurah. Jika saya terpilih, saya akan berupaya untuk menyumbangkan hal terbaik untuk masyarakat Garut. Saya ingin memajukan Kabupaten Garut dan menjadikannya sebuah daerah yang lebih cantik dan mempesona,” katanya.
Setelah hampir seharian berada di desaku, akhirnya Dicky Chandra beserta timnya pamit.
Pemilihan Bupati   dan Wakil Bupati Garut harus melalui dua putaran. Pasangan Rudi Gunawan dan Oim Abdurrohim yang merupakan koalisi antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan lolos ke putaran kedua mendampingi pasangan Aceng Fikri dan Dicky Chandra dari pasangan independen. Hasilnya, pasangan Aceng Fikri dan Dicky Chandra mendapat suara terbanyak dan memenangkan pilihan Bupati dan Wakil Bupati Garut periode 2009 – 2014.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

9



Tanggal 2 September 2009, gempa meluluh-lantakkan sebagian wilayah Garut Selatan. Ribuan rumah milik warga roboh. Di desaku 200 rumah mengalami kerusakan cukup parah. Masyarakat mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Mereka meninggalkan rumah dan mendirikan tenda-tenda darurat karena gempa susulan terus terjadi. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa berkekuatan 7,3 skala richter dengan pusat gempa berada pada koordinat 7,77 LS dan 107,32 BT, kedalaman 49 km dan berjarak sekitar 142 km dari Barat Daya Tasikmalaya.
Aku mendatangi warga yang rumahnya rusak karena gempa. Kuperintahkan kepada seluruh ketua RT dan Ketua RW untuk melakukan pendataan rumah warga yang rusak untuk dilaporkan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah.
Tanggal 3 September 2009, sehari setelah kejadian bencana gempa bumi aku berangkat ke Garut. Aku bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati Garut untuk melaporkan kondisi warga desaku setelah kejadian bencana.
“Kami turut prihatin dengan kejadian bencana gempa bumi di Garut Selatan. Kami akan segera membantu sesuai dengan kemampuan. Hari ini kami telah mengirimkan bantuan tenda, selimut dan sembako untuk warga di pengungsian. Dan besok kami akan berangkat ke Garut Selatan menemui warga yang terkena dampak bencana gempa bumi,” ujar Dicky Chandra membesarkan hatiku.
“Terima kasih atas perhatian dari Pemerintah Kabupaten Garut khususnya Pak Wakil Bupati. Kalau besok jadi berangkat ke Garut Selatan, jangan lupa mampir ke Desa Cihaurkuning,” kataku berharap.
“Insya Allah, Pak Lurah,” sahut Dicky Chandra.
Sore harinya aku bertemu dengan Dinda Kamila di depan SMA 11 Garut. Rasa lelah dan letihku karena kurang tidur setelah kejadian bencana gempa bumi di daerahku mendadak lenyap setelah bertemu Dinda kamila. Aku sangat bahagia bertemu dengannya.
“Aku lihat di tivi, daerah Garut Selatan terkena dampak bencana gempa bumi paling parah di wilayah Kabupaten Garut. Benar demikian?” ia menatapku cemas.
“Ya, ribuan rumah roboh. Di desaku sebanyak dua ratus rumah mengalami kerusakan parah. Tapi tak ada korban jiwa.”
“Aku turut prihatin. Aku dan teman-teman kuliahku dari kedokteran UNPAD akan melaksanakan kegiatan bhakti sosial di Garut Selatan.”
“Benarkah?” aku menatapnya tak percaya.
“Hey! Kamu masih inget kan? Dulu waktu di SMA kita sering melakukan kegiatan sosial untuk membantu sesama. Masa aku tak peduli kepada daerah kamu yang sekarang sedang mengalami musibah. Kami akan memberikan pelayanan pengobatan gratis kepada warga paska bencana gempa bumi.”
“Makasih, Dinda. Aku bahagia jika kamu dan teman-teman kamu benar-benar datang.”
“Adit, kapan sih aku tak menepati janji padamu?”
“Tidak pernah.”
“Tunggu aku, dua hari lagi aku akan datang ke desa kamu.”
Benar, dua hari kemudian Dinda kamila dan empat orang temannya dari Kedokteran UNPAD datang untuk melakukan kegiatan sosial di desaku. Aku bahagia, sangat bahagia. Mereka   memberikan   pelayanan   pengobatan
gratis kepada warga. Masyarakat pun senang.
“Di sinilah aku, Dinda. Di sebuah desa terpencil. Aku memutuskan tinggal di sini karena banyak yang harus kuperjuangkan untuk kemajuan desaku dan kesejahteraan rakyatku,” kataku pada Dinda Kamila saat kami ngobrol berdua.
“Aku bangga padamu, Adit. Tak banyak orang yang mau memikirkan kemajuan desanya dan kesejahteraan rakyatnya. Kebanyakan hanya memikirkan kehidupan diri sendiri. Bukankah kamu pernah bilang? Sebaik-baiknya orang adalah yang bisa memberikan manfaat kepada sesamanya. Aku iri padamu yang sudah berbuat banyak untuk rakyat kamu.”
“Aku merasa belum melakukan apa-apa untuk rakyatku.”
“Seorang pahlawan sejati tak pernah berteriak-teriak tentang jasa-jasa yang pernah dilakukannya untuk negerinya. Teruslah berjuang untuk rakyatmu, aku mendukungmu,
Adit.”
“Terima kasih, Dinda.”
Setelah dua hari melakukan pelayanan kesehatan gratis di desaku, Dinda Kamila dan teman-temannya pulang. Aku mengantar kepergian mereka dengan berat hati. Ah, andai saja Dinda Kamila menemaniku di sini selamanya, aku akan sangat berbahagia. Tapi aku segera menepis khayalan itu jauh-jauh.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

10



Wakil Bupati Garut datang ke desaku setelah sebelumnya selama beberapa hari berkeliling di wilayah Garut Selatan untuk menemui warga yang terkena dampak bencana gemba bumi sambil memberikan bantuan alakadarnya kepada para pengungsi.
Aku dan Tim Desa Siaga di desaku menemani Dicky Chandra dan beberapa anggota timnya terjun langsung menemui masyarakat yang terkena dampak bencana gempa bumi. Kami berkeliling ke beberapa kampung yang terkena dampak bencana paling parah yaitu Kampung Cirongsok, Kampung Cikadu dan Kampung Citeureup. Dicky Chandra nampak dikerumuni oleh warga yang sejak dari tadi menunggu kehadirannya. Mereka curhat soal rumah mereka yang rusak parah karena bencana gempa bumi.
“Sabar Bapak-bapak, Ibu-ibu, ini adalah cobaan dari Allah kepada kita. Silahkan laporkan kerusakan rumahnya kepada para petugas di tingkat desa. Nanti Bapak Kepala Desa dan petugas penanggulangan bencana di tingkat desa akan melaporkannya ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah tingkat kabupaten. Pemerintah akan membantu memperbaiki rumah-rumah yang rusak sesuai tingkat kerusakannya,” kata Dicky Chandra kepada seluruh warga.
“Apakah Pak Wakil Bupati tidak membawa dananya sekarang untuk memperbaiki rumah kami?” tanya seorang warga.
“Oh tidak, nanti ada yang khusus menangani masalah dana bencana. Saya hanya membawa bantuan tanggap darurat ala kadarnya. Nanti pasti dibagikan oleh petugas,” sahut Dicky Chandra.
Hampir seharian aku dan Dicky Chandra meninjau lokasi bencana. Selain ratusan rumah yang rusak berat dan sedang, beberapa infrastruktur juga mengalami kerusakan. Dua buah jembatan rusak, satu buah pustu dan dua gedung SD hampir roboh.
Dicky Chandra menginap di desaku sehingga kami leluasa mengobrol tentang banyak hal. Beberapa orang tokoh masyarakat ikut hadir menemani kami. Dicky Chandra mengungkapkan keinginannya berbuat banyak untuk masyarakat Garut.
“Kabupaten Garut ini bagaikan seorang gadis cantik yang memiliki banyak potensi. Tidak akan berkembang kalau dibiarkan, apalagi dirusak, apalagi dikuasai oleh para penyamun. Saya sedang berusaha untuk mewujudkan kampung Domba Garut agar Domba Garut menjadi komoditi andalan yang bisa dijual ke luar daerah. Saya juga ingin memproduksi iklan budaya yang akan mengangkat dunia pariwisata di Garut sehingga Garut menjadi salahsatu tujuan wisata nasional. Selanjutnya membuat iklan jeruk, iklan jaket kulit, informasi center dan art center. Sedangkan program bagi desa, saya ingin membuat program budi daya tanaman dan peternakan yang sesuai dengan potensi yang ada di masing-masing desa.”
Masyarakat mendengarkan penuh perhatian. Kadang-kadang diselingi dengan tawa dan canda yang makin mengakrabkan Dicky Chandra dengan masyarakat. Kami terus mengobrol hingga larut malam sambil menikmati kopi dan singkong bakar.
Beberapa orang membuat api unggun di halaman rumahku untuk membakar daging ayam kampung dan menanak nasi liwet. Sekitar jam 1 malam kami makan bersama. Setelah acara makan, kami tidur nyenyak. Tapi beberapa orang melanjutkan dengan acara  bermain kartu remi.
Esoknya, jam 8 pagi Dicky Chandra meninggalkan desaku karena masih ada jadwal kegiatan kunjungan ke desa lainnya yang terkena dampak bencana gempa bumi.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

11



Jika ada acara ke kota kabupaten, aku kadang menyempatkan diri untuk singgah ke rumah dinas wakil bupati. Selalu banyak orang di sana. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat. Wakil bupati nampak sangat dekat dengan mereka. Aku ikut bergabung membicarakan berbagai hal tentang permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan kabupaten Garut serta berbagai cara pemecahannya. Salahsatunya Kabupaten Garut memiliki wilayah yang sangat luas. Saat ini ada lebih dari empat puluh kecamatan dan lebih dari empat ratus desa. Dengan anggaran pembangunan yang terbatas, sangat sulit untuk melaksanakan pembangunan yang layak di setiap desa. Apalagi untuk wilayah Garut Selatan yang medannya berat dan masih banyak desa tertinggal. Maka sebaiknya dilakukan pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten, Kabupaten Garut dan Kabupaten Garut Selatan. Sejak aku mahasiswa, wacana pemekaran kabupaten itu telah diwacanakan. Perhimpunan Mahasiswa Selatan dan Forum Mahasiswa Garut Selatan menjadi pelopor bagi perjuangan untuk pembentukan Kabupaten Garut Selatan. Jika Garut Selatan berdiri menjadi sebuah kabupaten baru, percepatan pembangunan akan segera bisa dilakukan sehingga masyarakat di wilayah itu akan terbebas dari berbagai ketertinggalan.
            Suatu hari aku berkesempatan untuk berbicara berdua dengan Dicky Chandra di rumah dinas wakil bupati.
            “Bagaimana  kabar  masyarakat Desa Cihaurkuning?”
            “Alhamdulillah Pak Diki, saat ini dalam kondisi yang baik.”
            “Kebetulan Pak Lurah datang ke sini. Saya punya program untuk desa di sekitar kawasan hutan berupa pembibitan kayu Jabon dan budidaya ayam kampung. Hanya untuk beberapa desa, salahsatunya Desa Cihaurkuning. Pak Lurah silahkan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan, karena program ini berada di wilayah kerja Dinas Kehutanan.”
            “Ya, saya akan segera berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan. Terima kasih Pak Wakil Bupati, masyarakat saya akan senang mendengar kabar ini.”
            “Semoga program ini bermanfaat bagi masyarakat Desa Cihaurkuning. Tapi tidak semuanya akan kebagian, hanya untuk satu kelompok di satu lingkungan DKM. Nanti ke depannya harus bisa dikembangkan ke lingkungan DKM yang lain. Suatu hari nanti saya berharap Desa Cihaurkuning menjadi sebuah desa penghasil ayam kampung dengan kualitas terbaik. Nanti pemasarannya kami bantu.”
            “Insya Allah, Pak Diki. Saya akan berusaha mengembangkannya.”
            Selanjutnya kami berbicara banyak seputar program yang akan turun ke desaku dan berbagai program lain yang telah dirancang oleh Dicky Chandra sebagai wakil bupati untuk kemajuan masyarakat Kabupaten Garut.
◦◦ ♥ ◦◦
           
            Aku menetapkan kampung Cintamukti sebagai lokasi kegiatan program pembibitan tanaman Jabon dan budidaya ternak ayam kampung. Warga kampung tersebut sibuk membuat kandang ayam. Yang sudah punya kandang ayam sebelumnya segera memperbaiki kandang ayam mereka. Warga nampak antusias menyambut program tersebut.
            Para petugas dari Dinas Kehutanan beberapa kali datang untuk melakukan sosialisasi program kepada warga.
            “Program ini adalah program Pemerintah Kabupaten Garut untuk desa-desa di sekitar hutan yang dirintis oleh Pak Wakil Bupati. Hanya beberapa desa yang mendapat program ini. Karena itu kami meminta kepada semua warga untuk menyukseskan program ini,” kata mereka mewanti-wanti.
            “Apakah semuanya siap menyukseskan program ini?” tanya petugas.
            “Siaaapp!” sahut masyarakat.
            “Kalau sudah siap, program ini akan segera kami turunkan.”
            “Kapan Pak?” tanya perwakilan warga.
            “Minggu depan.”
            Seminggu kemudian datang dua buah truk membawa dua puluh ribu bibit pohon Jabon yang sudah siap tanam. Dan beberapa hari kemudian ketua kelompok membagikan uang untuk pembelian ternak ayam kampung. Kami menyambut bantuan tersebut penuh sukacita dan bersyukur atas kepedulian Wakil Bupati Garut kepada desa kami.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

12



Ada seorang warga desa yang meninggal dunia, namanya Haji Husni. Seminggu yang lalu aku menjenguknya saat ia masih terbaring sakit. Aku sempat berbincang dengannya walau bicaranya terpatah-patah dan sebagian tidak dapat dimengerti. Aku sempat menasehatinya untuk bersabar menghadapi sakit yang dideritanya, karena kesabaran bisa menghapus dosa-dosa dan menghantarkan seseorang kepada ridho Allah. Aku pun sempat meminta maaf kepadanya bila ada kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Bukannya aku tahu tentang rahasia kematian seseorang sehingga meminta maaf kepada orang yang sakit, tapi aku takut peristiwa pahit yang pernah terjadi padaku terulang kembali.
            Beberapa tahun yang lalu, ayahku terserang stroke dan langsung koma. Aku berharap dia sembuh karena aku belum meminta maaf. Sejak aku kecil sampai dewasa, aku telah menyusahkannya. Aku masih ingat bagaimana saat ayah menggendongku, membangunkanku saat aku terjatuh sambil mengusap-usap tubuhku yang sakit, menceritakan berbagai dongeng saat mau tidur, menemaniku saat aku sakit sambil sesekali meraba keningku yang panas, lalu mengompresnya. Jika ada masalah apa pun, ayah menjadi tempatku mengadu. Ayah akan menasehatiku dan memberi jalan keluar yang baik. Banyak sekali yang ayah lakukan untukku.
            Aku juga tak akan lupa pengorbanan ayahku dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Di saat para orang tua yang lain lebih suka membeli sawah, kebun dan perhiasan daripada menyekolahkan anaknya, ayahku malah menjual sawah dan kebun untuk membiayai sekolahku sejak SMP hingga perguruan tinggi. Kultur masyarakat di desaku waktu itu sama sekali tak memperhatikan urusan pendidikan. Para orang tua hanya menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat sekolah dasar. Selanjutnya anak-anak dituntut bekerja membantu orang tua mereka bekerja di sawah dan kebun, menggembala ternak. Ada juga yang pergi ke kota untuk menjadi buruh kasar. Paling bagus nasibnya dikirim ke pesantren untuk menuntut ilmu agama, kemudian setelah sekian tahun pulang kampung. Ada yang jadi ustad, tapi kebanyakan pergi lagi ke kota untuk menjadi buruh bangunan.
            Saat itu, keluarga yang menyekolahkan anaknya dicemooh, untuk apa menyekolahkan anak tinggi-tinggi, belum tentu sekolah tinggi menjadi orang kaya. Ibuku sempat terpengaruh dengan omongan mereka, dan lebih cenderung mengirimku ke pesantren. Tetapi ayahku tidak peduli dengan omongan mereka. Beliau ingin aku menjadi orang yang berilmu, setelah dapat ilmu bisa memberikan manfaat kepada orang banyak. Begitulah yang dikatakan ayah kepadaku.
            Ayahku adalah pahlawan bagiku. Beliau adalah tokoh teladan dalam kehidupanku. Namun sebelum aku membalas kebaikan-kebaikan beliau, ayahku meninggal. Aku menyesal, sangat menyesal belum bisa membalas jasa-jasa beliau. Aku pun tak sempat meminta maaf kepada beliau. Beliau mendadak terkena stroke dan langsung koma. Setelah koma selama seminggu, beliau tersadar selama beberapa detik. Aku masih ingat apa yang beliau ucapkan saat tersadar, “Allaahu Akbar... Allaahu Akbar... Allahu Akbar.” Lalu napas beliau melambat. Saat tarikan yang ketiga napas beliau makin lambat, kemudian terhenti. Aku menangis di dada ayahku. Ayah... aku belum meminta maaf... kenapa ayah menghembuskan napas terakhir?
            Kejadian beberapa tahun lalu itu masih tercatat di hati dan pikiranku. Aku berjanji tak ingin ada penyesalan lagi. Aku harus meminta maaf kepada semua orang di sekitarku, apalagi kepada orang yang sakit. Meminta maaf sambil memberikan nasehat agar bersabar atas rasa sakit yang dideritanya.
Dalam sebuah hadits diceritakan, “Jika seseorang terkena penyakit, kekhawatiran, kesedihan, kesengsaraan, atau tertusuk duri, tetapi ia bersabar, maka akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah.”
Selanjutnya dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Jika Kami memberikan cobaan kepada seorang manusia, matanya dibuat buta kemudian ia bersabar, maka Allah akan menggantinya dengan Surga.”
Pada saat sakit, seseorang dalam kondisi labil, menasehatinya agar bersabar adalah sebuah perbuatan mulia. Karena jika orang yang sakit itu berputus asa, maka sakitnya akan bertambah parah, dan jika meninggal dalam keadaan berputus asa, celakalah dia.
Beberapa tahun belakangan ini, aku berusaha mengunjungi wargaku yang sedang sakit untuk memberikan semangat dan sedikit nasehat kepadanya agar bersabar. Aku berharap apa yang kulakukan ini bisa memberikan manfaat dan mengobati rasa bersalahku atas kepergian ayahku tanpa sempat memohon maaf  kepada beliau.
◦◦ ♥ ◦◦

Kematian  itu  pasti  akan  datang   menemui setiap orang. Seperti yang disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 8. Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
Jika manusia mati, ia akan  masuk ke alam kubur. Maka putus sudah segala amalannya, kecuali ada tiga perkara. Yang pertama shadaqah jariah, kedua ilmu yang berguna, ketiga do’a anak yang shaleh. 
Aku termenung  membayangkan liang lahat tempat mengubur mayat tadi. Jika diriku yang terbaring di liang lahat itu, lalu ditutup dengan papan yang rapat, selanjutnya diurug dengan tanah. Betapa sempitnya, dan betapa gelapnya tempat diriku dibaringkan. Kemudian datanglah Malaikat Munkar dan Nakir yang menyeramkan. Berkata dengan suara yang keras seperti suara geledek.
“Selamat datang di alam kubur! Tempat persinggahan pertama dalam perjalanan menuju akherat! Bersiaplah menjawab pertanyaanku! Jika kamu bisa menjawabnya, kamu akan selamat! Jika kamu tidak bisa menjawabnya! Kuburan ini akan menjadi tempat siksaan bagimu!”
Aku  tak  sanggup  membayangkannya.  Tubuhku menggigil. Keringat dingin merembes membasahi tubuhku.
Alam kubur adalah alam yang menakutkan bagi orang-orang yang meyakini adanya siksa kubur. Kedahsyatan siksa kubur sungguh menggetarkan jantung dan membuat bulu kuduk merinding. Sayidina Umar r.a. setiap kali menziarahi kubur selalu menangis terisak-isak sehingga janggutnya basah dengan air mata. Seseorang bertanya kepada beliau, “Tuan tidak pernah menangis ketika mendengar berita-berita tentang surga dan neraka, tetapi mengapa Tuan menangis ketika menziarahi kuburan?”
Beliau menjawab, “Kubur adalah tempat persinggahan pertama dalam perjalanan menuju alam akherat. Barangsiapa selamat di tempat persinggahan pertama ini, maka persinggahan-persinggahan berikutnya akan mudah. Sebaliknya barangsiapa gagal di tempat persinggahan pertama ini,   maka   akan   menerima  berbagai  kesulitan  di persinggahan-persinggahan berikutnya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak pernah aku menyaksikan suatu kejadian yang lebih menakutkan daripada peristiwa yang terjadi di alam kubur’.”
Siti Aisyah r.a. meriwayatkan, “Setiap selesai shalat Rasulullah SAW selalu memohon perlindungan dari siksa kubur.”
Sabda Rasulullah, “Aku khawatir kamu tidak akan menguburkan mayat-mayat karena gentar dan takut jika aku berdo’a kepada Allah SWT supaya memperlihatkan kepada kalian keadaan azab kubur. Setiap makhluk pernah mendengar suara siksa kubur, kecuali manusia dan jin.”
Dalam sebuah hadits diceritakan, suatu waktu Rasulullah sedang berada dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba Unta yang dikendarai beliau tidak mau melanjutkan perjalanan.
Seseorang bertanya, “Mengapa begini ya Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Ada seseorang yang sedang disiksa di alam kuburnya, suara siksaan kubur itu terdengar oleh Unta ini, itulah yang menyebabkan ia takut dan tak mau berjalan melintasi tempat itu.”
Alam  kubur  adalah   alam  yang membatasi
antara dunia dan akherat. Alam kubur adalah tempat persinggahan sementara sebelum kejadian kiamah. Di alam kubur, manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
Jika seorang manusia mati dalam keadaan baik, maka tanah pekuburan akan memberikan sambutan yang menyenangkan.
 “Hai manusia, waktu di dunia kamu termasuk orang shaleh, giat beribadah, suka menolong, maka aku sangat sayang kepadamu. Sekarang kamu sudah masuk ke alam kubur, aku akan lebih sayang kepadamu.” Selanjutnya alam kubur menjadi luas, serta dihiasi dengan taman surga.
Jika seorang manusia mati dalam keadaan durhaka, maka tanah pekuburan akan memberikan sambutan yang bengis.
“Hai manusia, celakalah kamu! Kamu melupakan alam kubur. Apakah kamu tidak mengetahui kalau alam kubur itu adalah rumah yang penuh dengan fitnah!? Rumah yang gelap! Rumah untuk sendirian! Rumah yang penuh dengan cacing! Dahulu kamu kalau melewati pekuburan suka berbicara kasar! Tidak punya sopan santun! Aku dahulu benci kepadamu! Sekarang aku lebih benci kepadamu! Tunggu siksa kubur untuk dirimu!” Selanjutnya tanah kuburan menyeret jasad si mayat, digencet sampai tulang-tulangnya berbunyi, tulang rusuk yang kiri dan yang kanan beradu kemudian hancur berantakan. Tulang dan daging terpisah. Tulangnya bersatu, dagingnya menjadi santapan cacing, kalajengking, dan segala macam binatang di dalam tanah yang sudah dipersiapkan untuk menyiksa mayat orang durhaka.
Siksa kubur sangat berat bagi orang yang berdosa. Menurut keterangan, banyak yang disiksa di alam kubur karena tidak menjaga najisnya. Saat buang air kecil gegabah sehingga mengenai celana atau kain yang dipakainya. Atau setelah buang air, kemaluannya tidak dicuci dengan benar sehingga mengotori celana yang dipakainya. Selain itu siksa kubur menimpa orang yang suka membicarakan keburukan orang lain (ghibah), iri, dengki, hasud, suka terlewat waktu shalat, suka melakukan perbuatan maksiat, serta dosa-dosa lainnya.
Ya Allah,   maafkan  segala  dosa-dosaku,  sesungguhnya aku termasuk manusia yang menganiaya diri sendiri, tetapi aku tak akan pernah berhenti memohon rahmat dan ampunan dari-Mu. Mudahkan kematianku, selamatkan aku dari siksa kubur, bahagiakan aku di kehidupan akherat nanti.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

13



Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tahun berganti tahun. Aku masih tetap berhubungan baik dengan Dinda Kamila. Setiap tanggal 3 September kami bertemu di Garut. Ia kini sudah diangkat menjadi seorang dokter di rumah sakit terkenal di Bandung. Aku masih tetap menjadi seorang kepala desa. Dan status kami tak berubah, hanya sebatas dua orang sahabat. Aku tak pernah berani untuk mengubah hubungan kami menjadi lebih dari itu, aku takut, aku minder dengan keadaanku. Aku hanya seorang kepala desa di sebuah daerah tertinggal. Penghasilanku tak seberapa. Sampai saat ini aku tak bisa membeli tanah sejengkal pun. Aku membangun rumah sederhana di tanah milik orang tuaku. Kendaraan yang kumiliki hanya sebuah sepeda motor inventaris pemerintah provinsi. Dibandingkan dengan Dinda Kamila yang memiliki segalanya, sungguh jauh berbeda.
            Tetapi, aku tak ingin meninggalkan desaku. Aku ingin mengubah desaku menjadi lebih maju sebelum kelak meninggalkannya. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan untuk masyarakat desaku.
            Sebagai seorang kepala desa, aku masih sering berkomunikasi dengan Dicky Chandra sebagai wakil bupati dan sesekali bertemu jika ada undangan bagi para kepala desa ke kabupaten. Aku sangat berterima kasih karena program bibit pohon dan ternak ayam kampung darinya sangat bermanfaat bagi wargaku.
◦◦ ♥ ◦◦

Pagi  itu  sebelum   berangkat  ke  kantor desa aku kedatangan warga yang melaporkan kejadian runtuhnya bangunan SD Cihaur-kuning 1. Aku segera berangkat melihat lokasi bangunan SD yang runtuh. Benar saja, bangunan SD yang sebelumnya rusak karena bencana gempa bumi tanggal 2 September 2009 itu sekarang runtuh. Hanya tersisa dua kelas.
Aku mengurut dada. Aku sudah melaporkan kerusakan bangunan SD ini sejak dua tahun yang lalu. Bersamaan dengan laporan rusaknya bangunan puskesmas pembantu dan kantor desa yang hingga saat ini tak bisa digunakan. Tapi begitu susahnya mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait. Proposal demi proposal dibuat dan diajukan tetapi tak ketahuan rimbanya. Prioritas usulan hasil musyawarah rencana pembangunan masyarakat desa yang dituangkan lewat rencana pembangunan tahunan kecamatan lenyap entah kemana, digantikan oleh program-program dadakan para mafia anggaran. Seolah-olah dana pemerintah adalah milik mbah buyut mereka, bukan sebuah amanah yang harus disampaikan kepada rakyat. Kulihat anak-anak SD yang masih polos berkerumun menyaksikan bangunan sekolah mereka yang roboh. Mereka tidak tahu bahwa pemerintah harus menjamin agar mereka mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak. Mereka tidak tahu bahwa mereka berhak untuk mendapatkan bangunan sekolah yang bagus dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Aku sedih. Sangat sedih. Aku malu pada Ki Hajar Dewantoro Bapak Pendidikan Nasional, aku malu pada KH Ahmad Dahlan Tokoh Modernisasi Pendidikan Nasional, aku malu pada RA Kartini Tokoh Wanita Pendidikan Nasional. Aku malu pada diriku sendiri karena di desaku ada bangunan SD yang telah lama rusak dan dibiarkan roboh. Aku merasa tak berarti apa-apa bagi pendidikan anak-anak di desaku.
Kepala sekolah yang baru datang  mengmenghampiriku, lalu menyalamiku.
“Bagaimana Bu, kegiatan pembelajaran setelah runtuhnya bangunan sekolah ini, apa akan diliburkan sementara?” tanyaku.
“Tidak mungkin diliburkan Pak Lurah, karena minggu depan ulangan umum. Terpaksa kami menggunakan dua kelas yang masih ada,” sahut kepala sekolah.
Aku mengangguk.
“Jumlah murid seluruhnya, berapa Bu?” kembali aku bertanya.
“Seluruhnya dari mulai kelas satu sampai kelas enam ada seratus enam puluh delapan orang.”
“Oh.”
Aku menarik napas panjang. Tak terbayang murid sebanyak 168 orang harus mengikuti kegiatan belajar bergiliran dengan hanya menggunakan dua kelas.
“Baiklah Bu, saya akan melaporkan kejadian  robohnya  sekolah ini ke pihak terkait
di  kabupaten,  mudah-mudahan  bangunan sekolah   ini   segera   dibangun   kembali.  Saya pamit dulu,” ujarku.
“Terima kasih atas kedatangan Pak Lurah,” kata kepala sekolah.
Aku melambaikan tangan kepada anak-anak yang nampak kebingungan karena bangunan sekolah mereka roboh.
Hari itu aku kembali membuat proposal rehabilitasi bangunan SD Cihaurkuning 1 yang roboh, rehabilitasi puskesmas pembantu dan kantor desa yang sudah tak bisa digunakan. Semoga saja masih ada pejabat Garut yang punya hati nurani dan mau membantuku tanpa harus  masuk dalam permainan birokrasi yang kotor.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

14



Sudah 3 jam aku menunggu di depan gerbang SMA 11 Garut. Tapi Dinda Kamila belum datang. Setiap tanggal 3 September, dia selalu datang menepati janjinya. Setelah bertemu di tempat ini, biasanya kami jalan-jalan ke Pengkolan menikmati suasana senja yang indah di kota kecil ini. Setelah jalan-jalan lalu mampir ke pasar ceplak untuk makan nasi timbel dan ayam goreng kesukaan kami. Hubungan kami masih sebatas sahabat, belum ada komitmen apa pun. Kadang aku bingung menjawab pertanyaan warga desaku. Pak Lurah kapan menikah? Mau mencari wanita yang bagaimana? Sejujurnya, aku sangat mengharapkan Dinda kamila menjadi pendampingku. Tapi… apakah ia mau menjadi istriku? Seorang kepala desa di daerah terpencil? Sedangkan kini ia adalah seorang dokter yang  bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di Bandung. Kami berbeda, jauh berbeda. Ia seperti bintang yang berada di langit, sedangkan aku bagaikan sebuah batu di pegunungan gersang.
Tapi hari ini aku akan membuka rahasia hatiku pada Dinda Kamila. Aku akan mengungkapkan rasa hati ini apa pun yang akan terjadi. Aku sudah tak kuat lagi membendung gelora cinta dalam hati yang dari hari ke hari bergemuruh bagai ombak laut selatan.
Kulirik jam tangan, sudah jam empat sore. Aku memutuskan untuk shalat ashar dulu di Mesjid Agung.
Aku melangkah menuju mesjid sambil tak henti mengagumi bangunan kebanggaan warga Garut itu. Seperti halnya Mesjid Agung yang ada di kota-kota yang lainnya, Mesjid Agung Garut juga sering dijadikan tempat transit bagi para pendatang untuk sekedar beristirahat sejenak dan melaksanakan shalat. Memang tepat memilih tempat beristirahat di sekitar Mesjid Agung Garut, karena di area halaman mesjid dan sekitar alun-alun Garut terdapat sejumlah pedagang makanan yang bisa  dipilih untuk mengisi perut setelah lelah menempuh perjalanan.     

Mesjid Agung Garut adalah mesjid tertua yang ada di alun-alun Kota Garut. Selain penuh sejarah mesjid ini pun indah. Menempati lahan seluas 4.480 m2, terletak di Jalan Ahamd Yani Garut sebelah utara Alun-alun Garut. Mesjid ini menjadi sentral kegiatan keagamaan, dan menjadi mesjid utama di Kabupaten Garut.

Mesjid Agung Garut tidak bisa dilepaskan dari tapak-tapak sejarah Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 15 September 1813 pertama kali dibangun sarana dan prasarana ibukota yaitu pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara, dan alun-alun. Tetapi jika melihat nisan kuburan yang terletak di samping Mesjid Agung, mesjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1809 atau bahkan sebelumnya. Jika dilihat dari catatan sejarah, Mesjid Agung Garut termasuk mesjid tertua di bumi Priangan.

Mesjid Agung Garut yang nampak sekarang tidak sama dengan Mesjid Agung pada awal abad 19. Perubahan yang mencolok terletak pada bentuk kubah. Mesjid Agung Garut pada masa itu menganut konsep tajuk tumpang tiga atau lebih dikenal dengan atap nyungcung.Mengalami beberapa kali renovasi, dan renovasi terakhir secara menyeluruh dilakukan pada tanggal 10 November 1994 dan diselesaikan pada tanggal 25 Agustus tahun 1998, dengan mengacau pada bentuk masjid di Timur Tengah.

Aku melepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian menuju ke tempat wudhu. Kubuka kran air sehingga air yang bening mengucur dan segera kusambut dengan kedua tanganku. Kemudian kubasuh wajahku hingga dinginnya air terasa di wajahku. Sejenak aku merasakan kesegaran yang merambat ke seluruh tubuhku. Selanjutnya aku berwudhu. Kemudian masuk ke dalam mesjid untuk melaksanakan shalat Ashar.

Dalam sujud aku berdo’a agar impianku menjadi pendamping hidup Dinda Kamila segera menjadi kenyataan. Setelah shalat,  aku kembali menunggu di depan gerbang SMA 11 Garut.
Jam lima, sebuah mobil berhenti di depanku. Seorang wanita keluar. Bukan Dinda Kamila. Ternyata Kak Nita, kakak ipar Dinda Kamila. Kami pernah bertemu sebelumnya beberapa kali. Kami kemudian bersalaman.
“Adit, sudah lama nunggu ya?”
“Belum, Teh. Dinda mana?” tanyaku dengan perasaan berdebar.
“Emh… Dinda nggak bisa datang ke Garut karena ada urusan keluarga di Bandung. Dia cuma nitip surat buat kamu.”
“Oohh….” Mendadak tubuhku lesu.
 “Ini suratnya.”
Aku menerima surat itu.
 “Terima kasih. Emh… Maaf, saya akan membuka surat ini di sini.”
“Silahkan.”
Aku merobek sisi amplop lantas mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalamnya. Kemudian kubaca dengan perasaan tak menentu.
Dear, Adit….
Aku selalu ingin datang ke kota Garut dan bertemu denganmu setiap tanggal 3 September sesuai janjiku padamu. Tapi hari ini aku tak bisa menepati janjiku. Ada acara yang sangat penting dalam hidupku sehingga aku tak bisa menemuimu.
Adit, berat bagiku untuk mengatakan semua ini, tapi aku harus mengatakannya. Aku mencintaimu lebih dari sekedar seorang sahabat. Aku selalu menunggu kata cinta darimu tapi tak pernah kau ucapkan. Hingga akhirnya aku menerima cinta Andi rekan kerjaku. Dia laki-laki yang selalu menungguku dan berulangkali menyatakan rasa cintanya hingga aku merasa yakin ia sangat mencintaiku. Hari ini kami akan bertunangan.
Senang telah mengenalmu selama bertahun-tahun. Kamu adalah sahabat terbaikku. Datanglah ke acara pernikahan kami nanti. Kami menunggumu.
Tanganku gemetar. Aku tak mampu lagi melanjutkan tatapan  pada isi surat itu karena mataku telah basah.
“Teh, terima kasih sudah datang menemui saya di sini. Tolong sampaikan pada Dinda, saya ikut bahagia dengan pertunangannya. Insya Allah saya akan datang pada acara pernikahannya,” kataku berusaha tegar.
Teh Nita mengangguk. Ia lantas meninggalkanku masuk ke dalam mobilnya. Perlahan mobil itu bergerak meninggalkanku.
Beberapa saat aku berdiri mematung. Pandanganku kabur oleh air mata. Hatiku pedih bagai diiris sembilu. Tubuhku mendadak lemah lunglai. Betapa pahit kenyataan hidup yang kualami.
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

15



Masih Berharap

Bila kamu datang padaku  lewat mimpi terindah
Lalu tentang dirimu memenuhi pikiranku
Maka rindu mengalir bersama derai air mata
Tak bisa kupupus senyum terindahmu
Aku menyerah kepada cinta

Dalam perjalanan hidupku
Aku tak bisa memiliki cintamu
Namun masih berharap
Cinta padamu tetap terjaga
Karena takdir bagiku adalah mencintaimu

Itu adalah sebuah puisi yang kutulis mewakili perasaanku saat ini. Kugantung di atas meja kerjaku. Diam-diam adikku Neneng membacanya saat membereskan kamarku.
            “Bagus banget puisinya, buatku ya Kak!” ia meminta.
            “Itu puisi galau, buat apa?” sahutku balik bertanya.
            “Ada lomba bikin puisi di sekolah, siapa tahu juara.”
            “Gak boleh, itu buatan Kakak. Kalau untuk dilombakan harus bikinan kamu sendiri.”
            “Ah Kakak,” adikku nampak kecewa.
            “Nanti Kakak bikinin puisi yang lain,” aku mengobati kekecewaan adikku.
            “Janji ya, Kak!” mata adikku berbinar.
            “Iya.”
            “Tapi... kapan selesainya?”
            “Nanti Subuh, kan harus shalat Istikharah dulu.”
            “Ah Kakak! Bikin puisi kok harus shalat Istikharah dulu, kayak mau nyari jodoh aja!” Neneng bengong.
            “Biar ada petunjuk,” sahutku asal.
       “Ya udah, ditunggu pagi-pagi besok,” kata Neneng. Ia lantas  keluar  kamarku  karena  pekerjaannya sudah selesai.
         Kuraih puisi itu dan kembali kubaca. Mataku tiba-tiba terasa panas kemudian berkaca-kaca.
            Aku berjalan menuju tempat tidur, lalu berbaring tertelentang, memandang langit-langit kamar yang putih. Beberapa saat kemudian aku mendapatkan wajah Dinda Kamila di atas sana.
            “Adit! Dicariin Dinda Kamila tuh!” Rian memegang tanganku sehingga aku berhenti berjalan.
      Aku menoleh ke belakang, nampak Dinda Kamila bareng Nia teman sekelasnya berjalan tergesa-gesa ke arahku. Aku menunggu hingga mereka berdua mendekat.
            “Nia, kamu jalan dulu ya sama Rian, aku ada perlu sama Adit,” kata Dinda Kamila.
            “Aku... “ Nia kaget.
            Rian senyum-senyum senang.
            “Dengan senang hati,” kata Rian.
            Nia nampak salah tingkah.
            “Adit, aku ada perlu sama kamu,” kata Dinda Kamila.
            “Ada apa?”
            “Kita ngomong di perpustakaan saja.”
            “Oke,” aku mengangguk.
     Kami berdua menuju perpustakaan sekolah, sedangkan Rian nampak membujuk Nia yang nampak malu-malu untuk jajan ke kantin.
            “Aku yang nraktir,” sempat kudengar suara Rian.
            “Awas jangan mengganggu uang SPP kamu!” teriakku pada Rian membuat dia tersipu-sipu malu.
            Dinda Kamila tersenyum mendengarnya.
            “Jangan digangguin dong, kamu ngiri aja!” ucapnya.
           Kami sampai di dalam perpustakaan, lalu mengambil tempat di sebuah meja yang masih kosong.
        “Nanti malam Kak Indra bertunangan dengan Teh Nita, aku ingin kamu ikut,” kata Dinda Kamila mengawali pembicaraan kami.
            “Aku? Aku harus ikut?” aku kaget dan merasa cemas.
            “Iya.”
            “Kayaknya... aku gak akan bisa,” aku menggelengkan kepala.
            “Kenapa?” Dinda Kamila menatapku.
           “Dinda... aku ini siapa? Aku hanya teman kamu, bukan bagian dari keluarga kamu.”
            “Adit... kok gitu sih? Selama ini aku dan Umi menganggap kamu bagian dari kehidupan kami. Tega banget kamu ngomong begitu,” kata Dinda Kamila dengan suara tercekat.
            Aku diam. Baru kali ini melihat Dinda Kamila nampak seperti itu.
         “Maafkan aku Dinda... tapi kenyataannya memang aku bukan bagian dari keluarga kamu. Kita hanya teman.”
            Dinda Kamila terdiam. Ia lantas bangkit kemudian pergi meninggalkanku. Namun aku segera mengejarnya.
            “Dinda tunggu!”
       Ia terus berjalan setengah berlari. Aku meraih tangannya dan menahan langkahnya.
            “Apakah perkataanku salah? Kalau salah maafkan aku...” aku menatapnya penuh rasa cemas dan penyesalan.
            Ia diam, namun mata dan gerak bibirnya seperti menahan tangis.
            “Aku akan datang... aku  akan ikut  ke  acara
pertunangan Kak Indra,” kataku spontan.
            Ia nampak tenang. Wajahnya berubah cerah.
       “Aku tunggu di rumah jam 3 sore. Pakaian buat kamu sudah disiapin,” ucapnya.
            Kami kemudian berjalan bareng hingga berpisah menjelang masuk ke kelas masing-masing.
            Kenangan itu menghilang. Aku bangkit dari tempat tidur.
         “Aku yakin! Aku yakin Dinda Kamila sangat mencintaiku! Aku yang minder! Aku yang bodoh! Tak mengerti perasaan hati wanita!”
            Aku menangis terisak menyalahkan diri sendiri.
     Aku harus datang menemui Dinda Kamila. Aku tak peduli dia telah bertunangan dan akan segera menikah dengan Andi. Aku harus mengatakan perasaan hatiku padanya!
            “Dinda Kamila! Aku mencintaimu...!”
◦◦ ♥ ◦◦





Masih Ada Cinta
di Langit Garut

16



Setelah perjalanan selama lima jam dengan kendaraan umum, jam 5 sore aku sampai di depan rumah Dinda Kamila di sebuah kompleks perumahan di Bandung. Setelah beberapa saat memperhatikan rumah itu, aku melangkah memasuki halaman rumah lewat pintu pagar yang terbuka. Setelah menarik napas beberapa kali, aku memencet bel.
Sesorang membuka pintu dari dalam. Dinda Kamila berdiri di depan pintu.
“Adit...” Ia menyebut namaku lirih.
“Dinda...” bibirku gemetar menyebut namanya.
“Adit!”  Dinda   menghambur   ke dalam pelukanku.
“Dinda, aku rindu...” aku memeluknya.
“Aku juga....”
“Dinda, mungkin aku terlambat, tapi aku harus mengatakan rahasia hatiku padamu yang telah lama kupendam, Aku mencintaimu, Dinda... sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kau begitu berarti dalam hidupku.”
Kami menangis berpelukan.
Ada rasa penyesalan dalam diriku, kenapa tidak sejak dulu aku menyatakan rasa cintaku padanya.
“Dinda!” tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang. Aku dan Dinda serentak berpaling ke arah suara itu. Nampak Indra kakak Dinda dan Umi Nisa Mama Dinda menghampiri kami.
“Kakak,” ucap Dinda.
“Memalukan kamu! Di rumah ini di hadapan kakak dan ibumu, kamu berpelukan dengan seorang laki-laki padahal kamu akan segera menikah dengan Andi! Kamu punya etika nggak?”
“Kak... ini Adit....” sahut Dinda.
Indra menarik Dinda menjauh dariku.
“Kamu untuk apa datang ke sini?” Indra menatap tajam padaku.
“Saya ingin bertemu dengan Dinda untuk terakhir kali sebelum dia menikah,” kataku tegar.
“Sebaiknya begitu, karena tak lama lagi adik saya akan menikah dengan Andi. Saya harap kamu jangan mengganggu kebahagiaan mereka. Sekarang kamu sudah bertemu dengan Dinda. Sebaiknya segera pulang,” ujar Indra.
“Indra jangan begitu, kasihan Adit baru datang,” kata Umi Nisa. “Biarkan ia istirahat dulu,” Umi Nisa memandang putranya penuh permohonan.
“Tidak, Umi! Kalau Andi datang dan melihat ada seorang laki-laki bersama Dinda, semuanya akan kacau. Umi tidak mau kan  pernikahan mereka batal?” sahut Indra.
Umi Nisa terdiam sambil menatap penuh kebimbangan.
“Saya sudah bahagia bisa bertemu dengan Dinda walau sesaat,” ucapku. Lalu aku menatap Dinda. “Dinda, aku menyayangi, aku mencintaimu dengan segenap rasa cinta yang ada dalam diriku. Jika kamu mencintai aku, menikahlah denganku. Tapi jika memang kamu mencintai Andi, menikahlah dengan Andi. Jika kamu berbahagia, aku akan turut berbahagia. Aku pulang, kabari aku apa pun keputusanmu. Selamat tinggal Dinda....”
Aku menatap wajah Dinda lekat-lekat, lalu berpaling meninggalkannya.
“Adiiitt....” Dinda menangis memanggil namaku.
Sekali lagi aku menoleh ke belakang. Umi Nisa nampak memeluk Dinda sambil berurai air mata.
Aku berjalan dengan  hati yang hancur meninggalkan rumah Dinda Kamila. Aku hampir tak mampu melangkah karena tubuhku seperti dihempas-hempaskan ke jurang terjal yang menyakitkan. Aku hampir tak mampu melihat karena mataku terhalang air mata yang tak mau berhenti mengalir. Langkahku goyah. Hingga aku tersungkur di tepi jalan raya yang mulai sepi.
“Ya Tuhan... dalam kehidupan yang kulalui, aku telah mengalami berbagai peristiwa pahit dan menyakitkan. Tapi kali ini aku tak kuat. Lebih baik kau ambil nyawaku daripada kau patahkan hatiku dengan memisahkan aku dari bidadari hatiku. Bagaimana aku akan melalui hidup dengan bahagia jika kau ambil sumber kebahagiaan itu dariku?”
Aku berteriak! Meraung! Menangis... menangis tersedu-sedu seperti seorang anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya di sebuah tempat yang sepi.
Sakit Ya Tuhan! Apa yang Kau berikan hari ini padaku sangat menyakitkan. Kenapa? Tuhanku Yang Maha Pengasih? Selama ini aku selalu berbuat baik kepada orang-orang di sekitarku. Aku selalu jadi dewa penolong bagi orang-orang si sekelilingku. Aku tak pernah menyakiti siapa pun makhluk-Mu di muka bumi ini. Aku hampir selalu mengorbankan diri untuk kebahagiaan orang lain. Aku hampir kehabisan tenaga dan waktu untuk melayani orang-orang. Aku hampir kehilangan harga diri untuk memperjuangkan kepentingan rakyatku. Aku kadang jadi pengemis untuk mewujudkan harapan masyarakat di desaku. Aku sering menghiba-hiba kepada para pejabat agar mereka kasihan  kepada orang-orang di kampungku yang menginginkan kemajuan. Kadang tidurku tak nyenyak karena dalam tidurku aku masih berpikir bagaimana memajukan desaku.
Belum cukupkah semua itu untuk menebus cinta seorang bidadari di hatiku? Belum cukupkah semua itu untuk mengantarkan aku  pada kebahagiaan memiliki seorang Dinda Kamila?
Ya Tuhanku, jika Kau ingin membalas semua kebaikanku selama hidup di dunia ini, dengan cara-Mu, maka satukan aku dengan Dinda Kamila! Satukan aku dengan dia! Aku tak akan meminta hal yang lain lagi.
Aku menengadahkan kedua tangan berharap ada sebuah bintang yang melintas di atas langit. Katanya jika seseorang memohon lalu melihat ada sebuah bintang yang melintas di atas langit, keinginannya akan terkabul. Tapi setelah sekian lama aku tak melihat apa pun.
Aku bangkit berjalan tertatih-tatih. Aku harus kuat. Aku harus kembali. Kulirik jam di tanganku. Sudah jam 9 malam. Berarti telah 3 jam aku di tempat ini.
◦◦ ♥ ◦◦






Masih Ada Cinta
di Langit Garut

17



Pengunduran diri Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra akhirnya dikabulkan oleh Menteri Dalam Negeri, dan telah mendapatkan persetujuan dari DPRD Kabupaten Garut. Hari ini aku datang pada acara perpisahan Wakil Bupati Garut dengan para pendukungnya yang dilaksanakan di Gedung Bale Paminton.
Ketika memasuki Gedung Bale Paminton, sebuah bentangan spanduk nampak terlihat mencolok mata, “BERTARUNG SEGAGAH DOMBA, BERPIKIR SEKEMILAU INTAN, BERSIKAP SEMANIS DODOL.” Sebuah ungkapan dari para pendukung untuk Dicky Chandra sebagai pemimpin yang pernah berjuang dengan segala ide cemerlangnya untuk memajukan Kabupaten Garut.
Ribuan pendukung dan simpatisan Dicky Chandra datang memenuhi gedung. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari guru, petani, nelayan, pedagang kaki lima hingga masyarakat biasa.
Perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat menyampaikan pesan dan kesannya untuk sang wakil bupati yang  memilih mundur.
Hingga akhirnya Dicky Chandra naik ke atas mimbar untuk menyampaikan kata-kata perpisahan.
“Semula saya tiga kali menolak diajak Aceng HM Fikri untuk menjadi wakil bupati melalui telepon. Tapi saya menolak. Keempat kalinya bukan telepon, tapi Aceng datang tengah malam, hingga akhirnya tawaran itu saya terima. Saya menerimanya karena Aceng berjanji menjadi pemimpin dengan niat ibadah, berangkat dari jalur independen serta berjanji tak akan memperkaya diri. Dalam perjalanan berikutnya, setelah kami menjadi bupati dan wakil bupati, komunikasi kami berlangsung tidak baik.
Saya menginginkan pola kepemimpinan yang tawadhu dan berahlaqul karimah agar bisa dijadikan panutan yang baik dengan menggunakan kereta independen. Pemimpin yang mengutamakan kesederhanaan dan tidak memperkaya diri. Saya bangga menjadi pemimpin miskin, karena itu saya marah kepada pejabat Garut yang ingin memperkaya diri sendiri.
Saya sering mengkritisi sistem yang tidak sesuai dengan janji dahulu kepada masyarakat. Belakangan komunikasi kami semakin buruk. Lebih baik saya mundur daripada berkhianat. Saya memohon maaf kepada masyarakat Garut karena tidak bisa menyelesaikan amanah sampai masa jabatan berakhir.  Tuhan  tidak  akan  memaafkan  saya jika masyarakat tidak memaafkan saya.”
Banyak orang yang bersedih. Isak tangis dan suasana haru mewarnai acara perpisahan itu. banyak orang yang histeris. Kadang sesuatu  yang terjadi tidak bisa diterima hingga mengurai kesedihan. Tapi kenyataan berbicara lain. Kenyataan adalah suatu hal yang harus dilalui dan sering bertentangan dengan keinginan.
Dicky Chandra belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat Garut. Masa dua tahun dengan kewenangan yang terbatas sebagai wakil bupati membuatnya tak bisa berbuat sesuai keinginan. Hatinya ingin berbuat banyak untuk masyarakat Garut, tapi kenyataan membuatnya terkurung dalam kegelisahan yang panjang hingga akhirnya ia memutuskan mengundurkan diri.
Aku dan puluhan ribu warga Garut kecewa dengan pengunduran dirinya. Kenapa Dicky Chandra harus mengundurkan diri? Padahal kami sangat mencintainya. Kami memilihnya dengan ikhlas tak menginginkan apa pun. Kami hanya berharap ia akan membawa Kabupaten Garut menjadi sebuah daerah yang damai tidak hiruk pikuk oleh berbagai kepentingan elit kekuasaan yang selalu mengorbankan kepentingan  masyarakat. Kami akan terus bersamanya hingga ia menyelesaikan tugasnya sebagai orang kedua di tampuk kepemimpiann Kabupaten Garut. Sungguh kami tak akan pernah meninggalkannya walaupun ia diterpa berbagai kesulitan. Tapi ternyata ia memilih mundur. Ia berfikiran lebih baik mundur daripada tidak bisa berbuat apa-apa untuk rakyatnya. Dia berani mengatakan tidak ketika lingkungan di sekitarnya tertunduk pasrah pada kebiasaan yang mencabik hati nurani.
Masyarakat Garut tak hanya kehilangan Dicky Chandra, tetapi juga sosok Rani Permata, isteri Dicky Chandra yang telah menjadi ratu hati warga Garut. Ia telah mengangkat nama Garut karena selama mengabdi di Garut ia berhasil mendapatkan penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Presiden Republik Indonesia atas perannya di bidang sosial. Rani dengan legowo menerima keputusan sang suami untuk mengundurkan diri.
“Bagi saya berbakti pada masyarakat tidak harus melalui kedudukan saya sebagai isteri pejabat. Ada banyak jalan yang bisa dilakukan. Dengan kembali menjadi rakyat biasa pun kita masih bisa berperan. Apalagi selama ini saya beraktifitas sosial banyak menggunakan dana pribadi. Jadi tidak duduk di posisi pemerintahan pun tetap akan berkarya,” ungkap Rani kepada semua pendukungnya yang didengar oleh mereka dengan air mata berderai.
“Saya tak akan melepaskan tanggung jawab saya sebagai aktifis sosial. Masyarakat Garut sudah menjadi bagian dari hidup saya. Tak mungkin saya meninggalkannya begitu saja. Saat ini saya menduduki jabatan di beberapa lembaga sosial. Saya sebagai ketua Yayasan Thalasemia Indonesia Cabang Garut, dan pendiri Lembaga Konsorsium Gerakan Rela untu Mereka yang memfasilitasi anak-anak yang membutuhkan bantuan kesehatan. Saya malah berniat untuk meningkatkan cakupan aktivitas tidak hanya di Garut, tapi juga di seluruh Indonesia kalau mungkin.”
Semua yang mendengarkan bertepuk tangan dalam suasana haru.
Ketika acara berakhir, Aku berpelukan dengan Dicky Chandra.
“Sampaikan maaf Saya kepada masyarakat Garut. Saya berjanji walau sudah tidak menjadi Wakil Bupati Garut… akan tetap mencintai masyarakat Garut dan berbuat yang terbaik untuk masyarakat Garut.”
“Kami juga masih mencintai Pak Diki. Sering-seringlah datang ke Garut, kami akan selalu merindukan Pak Diki. Tak perlu khawatir, masih ada cinta di langit Garut.”
◦◦ ♥ ◦◦





Masih Ada Cinta
di Langit Garut

18


Aku menyukai gunung, sungai dan pantai. Aku sering menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut saat libur kerja atau sedang galau. Seperti hari ini, aku sedang berada di Puncak Guha, sebuah tempat wisata pantai yang berada di Kecamatan Bungbulang Garut Selatan.
Puncak Guha merupakan sebuah semenanjung kecil berupa tebing yang di bawahnya terdapat goa tempat ribuan kelelawar hidup yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Biasanya para kelelawar itu mulai keluar goa untuk mencari makanan saat senja. Keluarnya kelelawar dari goa menjadi sebuah atraksi mengagumkan selain indahnya pemandangan sunset di tempat ini. Karena itu, jika datang ke tempat ini, aku tak lupa membawa kamera untuk mengabadikan semua keindahan di tempat ini.
Akses menuju lokasi Puncak Guha berjarak sekitar 130 km dari Garut kota melewati jalur  Cikajang – Pameungpeuk – Cikelet – Puncak Guha. Jalur ini jalannya lumayan bagus. Bisa juga melewati jalur Cikajang-Bungbulang yang berjarak 90 km, tetapi jalannya berlubang dan naik turun. Jika melewati jalur Pameungpeuk akan melalui beberapa pantai dan pemandangan yang sangat indah karena menyusuri pesisir pantai selatan yaitu Pantai Santolo, Pantai Manalusu, Pantai Karang Papak dan Pantai Cicalobak. Selain itu akan melewati puluhan jembatan baja yang tinggi dan panjang dengan pemandangan yang luar biasa indah, perpaduan sungai, sawah dan pesisir pantai.
Menjelang  sampai  di Puncak Guha, ada padang rumput yang luas yang berujung di tempat parkir yang menghadap ke Samudera Hindia. Setelah berjalan menanjak beberapa saat, sampailah di Puncak Guha. Di tempat ini ada ketenangan dan keheningan. Memandang ke laut lepas yang nampak biru seperti tak berbatas, sambil menikmati pemandangan pantai yang eksostis, tebing yang curam dan sesekali menyaksikan gulungan ombak besar, dan merasakan hembusan angin laut. Tempat ini adalah surga wisata di Garut Selatan.
Ini adalah untuk yang ketiga kalinya aku datang ke tempat ini. Kedatanganku yang dulu bersama beberapa orang teman dalam suasana ceria. Kali ini aku datang membawa hati yang galau. Bagaimana tidak galau? Cinta sejatiku, bidadari hatiku akan menikah dengan orang lain.
Sejak aku mengenal Dinda kamila di usiaku yang masih sangat muda, 16 tahun... aku sering berdo’a kepada Allah, begini do’aku... “Ya Allah... betapa aku ingin selalu bersamanya. Jodohkan aku dengan dia, karena dia adalah bidadariku. Jadikan kami pasangan di dunia dan akherat....”
            Do’a itu seingatku tak pernah lupa kubaca setiap selesai shalat. Sampai hari ini, lebih dari sepuluh tahun lamanya aku berdo’a. Kadang-kadang aku sampai menangis di atas sajadahku meminta hal itu. Aku yakin Allah melihatku saat berdo’a. Dan aku yakin do’aku didengar oleh Allah. Kenapa aku yakin? Karena Allah adalah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Itu ada dalam Asma’ul Husna yang sering kubaca.
       Hari-hari ini tiba-tiba aku merasa gundah. Tiba-tiba ada ketakutan dalam diriku bahwa Allah tak akan mengabulkan do’aku. Kenyataan yang kuhadapi saat ini menggoyahkan keyakinanku. Betapa tidak, setelah sepuluh tahun lebih do’a itu kupanjatkan, aku mendapat jawaban yang menyakitkan, Dinda Kamila, bidadari hatiku itu  beberapa   hari  lagi  akan menikah  dengan orang lain.
     Aku seperti orang linglung. Sering bicara sendiri, sering tersenyum dan menangis sendiri. Kadang tak sadar aku memeluk pohon sambil menyebut nama Dinda Kamila. Aku sering bermain sendiri ke pantai, ke sungai, ke gunung. Di sana aku berteriak-teriak memanggil nama Dinda Kamila. Sampai tenggorokanku terasa serak.
Aku pun  sering  bertanya kepada Allah, kenapa do’aku tak dikabulkan? Kenapa justru jawaban pedih yang kudapatkan dari do’a yang telah sekian lama kuucapkan? Mana janji-Mu Ya Allah? Bukankah Kau menyayangi orang-orang yang berdo’a kepada-Mu? Bukankah Kau akan mengabulkan do’a orang-orang yang memohon kepada-Mu? Salah satu nama-Mu di dalam Asma’ul Husna adalah Al Mujib, Maha Pengabul do’a-do’a hamba-Mu...
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

19


Beberapa hari lagi pernikahan Dinda Kamila akan berlangsung di rumahnya di Bandung. Entah sudah berapa juta helaan napasku yang terasa berat dan menyesakkan dada karena  rasa kecewaku. Entah sudah berapa dalam cekungan mataku karena tidurku tak pernah nyenyak lagi sejak mendengar kabar rencana pernikahannya. Entah sudah berapa banyak desiran darah di tubuhku yang membuat tubuh ini terasa lemah. Entah berapa sering namanya kusebut dengan bibir yang bergetar karena rasa cinta dan tak rela ia menjadi isteri orang lain. Dan entah berapa banyak air mata yang keluar karena rasa takut kehilangan bidadari pujaanku yang telah sekian lama kurindukan dan kudambakan.
            Malam ini, ketika orang lain sedang tidur nyenyak di rumah mereka yang nyaman, aku berada di Puncak Gunung Cupu, sebuah gunung kecil tempat biasanya orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah memanjatkan do’anya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku berada di tempat ini. Dulu aku sering datang bersama ayah untuk menikmati pemandangan indah dari puncak gunung. Dari sana aku bisa melihat pemandangan indah ke segala arah. Perumahan penduduk yang bertebaran, pesawahan yang luas, sungai-sungai kecil yang mengalir dari atas pegunungan,  bahkan aku bisa melihat laut selatan di kejauhan, berwarna biru dan putih beserta kapal-kapal yang sedang berlayar, seperti lukisan indah yang tak berfigura, tidak berbatas. Tapi jika malam hari, yang terlihat hanya warna hitam, bunyi desiran angin gunung dan suara binatang malam yang berbeda-beda saling bersahutan seakan ingin mengatakan bahwa merekalah penghuni tempat itu. Atau mungkin mereka sedang berdzikir memuji kebesaran Allah yang telah menciptakan gunung dan memberi mereka kehidupan.
            Ayah pernah mengajakku beberapa kali pada malam hari ke tempat ini yang letaknya memang tidak jauh dari rumah kami. Ayah membawa tikar dan sejadah. Lalu di atas puncak gunung beliau shalat kemudian berdo’a dan berdzikir.
            “Ayah, kenapa  harus melaksanakan shalat dan berdzikir di atas gunung yang dingin dan mencekam seperti ini? Bukannya lebih enak di rumah?” tanyaku pada suatu saat.
            “Beribadah dan berdzikir bisa dimana saja. Bukankah Syeh Sunan Rahmat Godog Suci Garut beribadah di atas Gunung Suci? Demikian juga Syeh Muhyidin Pamijahan Tasikmalaya beribadah di dalam guha? Bukan untuk memuja gunung atau guha, tetapi untuk mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan dan kedamaian dalam beribadah. Coba kamu rasakan suasana tempat ini. Kita berada di sebuah puncak gunung. Mendengarkan suara alam, melihat ke langit yang penuh bintang. Betapa kecilnya kita di hadapan gunung ini, betapa kecilnya kita di bawah langit, apalagi di hadapan Allah Sang Pencipta, kita tidak ada apa-apanya. Lalu untuk apa kita menyombongkan diri di hadapan mahkluk Allah yang lainnya?”
            Aku terdiam, mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Ayah.
“Malam ini Ayah ingin mengajak kamu berdo’a. Ketahuilah, kekuatan do’a seorang hamba bisa menembus langit, bahkan sampai mengguncang Arasy sehingga dengan seketika Allah SWT mengabulkannya. Kita yang memiliki banyak keinginan, banyak harapan, banyak kekurangan, ingin sekali meraih apa yang kita inginkan. Maka Allah adalah satu-satunya pemberi harapan, Allah adalah adalah satu-satunya tempat curhat, Allah adalah satu-satunya tempat bergantung, Allah adalah satu-satunya tempat meminta pertolongan, karena Allahlah satu-satunya Maha Pemberi Pertolongan.”
Aku terdiam dengan perasaan kagum dengan apa yang diucapkan oleh ayahku. Tubuhku terasa hangat dan mendadak semangat hidupku seakan bangkit. Berjuta harapan memenuhi pikiranku. Allah... jika di dalam hati kita ada kata Allah, mengapa harus takut menghadapi kekidupan?
             “Sekarang berdzikirlah, Nak... berdzikirlah dengan mengucapkan nama-nama Allah, kamu hapal Asma’ul Husna yang berjumlah 99 kan?”
            “Tidak semuanya, Ayah,” sahutku.
            “Apakah kamu hapal nama-nama teman kamu mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi sekarang?”
            “Emh... semuanya hapal,” sahutku.
            “Kamu bisa ingat nama teman-teman kamu, padahal tidak semuanya baik padamu, dan tidak bisa menjamin kehidupan kamu. Kenapa nama-nama Allah kamu tidak hapal? Padahal Dia yang memberi kamu kehidupan selama ini. Dia yang memberi rezeki, Dia yang memberi kamu panca indera sehingga bisa melihat, mendengar dan merasakan berbagai kenikmatan.”
           Aku tertegun. Kamu benar, Ayah... aku melupakan nama-nama Allah. Mulai hari ini aku akan menghapal semua nama Allah, janjiku dalam hati.
      “Allah mempunyai Asma’ul Husna yaitu nama-nama Allah yang sesuai dengan sifta-sifat Allah, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu, demikian disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 180. Sekarang berdzikirlah dengan nama-nama Allah yang kamu hapal,” kata Ayah.
            “Ya, Ayah...” sahutku.
            Beberapa saat kemudian aku larut dalam dzikir Asma’ul Husna di belakang Ayah.
           Itu kenanganku beberapa tahun yang lalu  bersama   Ayah,  saat  aku  masih  menjadi
mahasiswa.
            Kini aku datang sendirian ke puncak Gunung Cupu. Di tempat ini aku ingin curhat kepada Allah, dengan harapan yang masih tersisa di dalam hati.
            Di atas sebuah tikar yang dilapisi sebuah sejadah, aku melaksanakan shalat beberapa raka’at, dilanjutkan dengan dzikir Asma’ul Husna.
            “Ya Rahmaan.” (Yang Maha Pengasih).
            “Ya Rahiim.” (Yang Maha Penyayang).
            “Ya Sami’u.” (Yang Maha Mendengar).
            “Ya Bashiir.” (Yang Maha Melihat).
            “Ya Mujiib.” (Yang Maha Mengabulkan).
            “Ya Shamad.” (Yang Maha Dibutuhkan).
            “Ya Qadir.” (Yang Maha Menentukan).
            Selesai berdzikir, aku kemudian berdo’a dengan penuh kekhusyuan dan penuh harapan disertai derai air mata.
            “Ya Allah... aku bermohon pada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, dengan kekuatan-Mu yang bisa menaklukkan segala sesuatu, merunduk segala sesuatu dan merendah segala sesuatu. Dengan keperkasaan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu, dengan kemuliaan-Mu yang tak tertahankan oleh segala sesuatu, dengan keagungan-Mu yang memenuhi segala sesuatu, dengan kekuasaan-Mu yang mengatasi segala sesuatu.
            Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan, ampunilah dosa-dosaku yang mengakibatkan siksaan, ampunilah dosa-dosaku yang mengubah nikmat menjadi bala, ampunilah dosa-dosaku yang merintangi do’a, ampunilah dosa-dosaku yang memutuskan tali harapan. Aku mengakui betapa banyak dosa-dosaku, telah banyak ketentuan-Mu yang kulanggar. Sedikit sekali perbuatan baikku, berat sekali belenggu kemalasanku, besar sekali nafsu amarahku, betapa panjang angan-anganku. Aku telah terpedaya oleh dunia sehingga lalai terhadap kematian, lalai terhadap alam kubur dan kehidupan akherat yang menungguku. Aku menyesal Ya Allah, dengan hati yang luluh, dengan perasaan jera, mengharap ampunan,   menginsafi   kesalahan,   tidak   kutemui tempat  berlindung  agar  terlepas  dari  segala  noda dan beban, melainkan Engkau....
           Ya Allah, aku datang menghampiri-Mu dengan menyebut asma-Mu. Aku bermohon kepada-Mu dengan penuh kerendahan, kehinaan dan kekhusyuan. Aku memohon pertolongan. Aku memohon kepada-Mu sebagai permohonan orang-orang yang terdesak oleh kesulitan, yang menghampiri-Mu ketika terpojok urusannya, dan yang besar dambaannya untuk meraih apa yang ada di sisi-Mu.
            Ya Allah, kasihanilah beratnya beban kepedihanku, kasihanilah kelemahan tubuhku, kasihanilah derai air mataku, kasihanilah kehancuran hatiku. Aku mohon kepada-Mu dengan kodrat yang telah Engkau tentukan, dengan qadha yang telah Engkau tetapkan dan putuskan, jika aku dan Dinda Kamila telah tertulis dalam takdir-Mu harus bersatu, maka satukan aku dan dia. Jika tak tertulis dalam takdir-Mu, maka dengan kekuatan do’aku malam ini, rubahlah agar kami ditakdirkan hidup bersama. Tiada yang tak mungkin bagimu, Ya Allah...
            Wahai yang maha cepat ridha-Nya,  ampunilah orang yang tidak memiliki apa pun kecuali do’a, karena sesungguhnya Engkau akan melakukan apa-apa yang Engkau kehendaki, wahai yang asma-Nya adalah penawar dan dzikir pada-Nya adalah obat, dan keta’atan pada-Nya adalah kekayaan, sayangilah orang yang modalnya hanya harapan, dan senjatanya adalah tangisan...
            Amin... Ya Rabbal ‘aalamiin....
◦◦ ♥ ◦◦




Masih Ada Cinta
di Langit Garut

20


Hari ini adalah hari pernikahan Dinda Kamila dengan Andi. Aku tak bisa hadir pada pernikahan mereka. Aku tak mau melihat seorang gadis yang menjadi cinta sejatiku bersanding dengan pria lain. Sudah beberapa hari aku sakit. Kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang sangat menyakitkan. Seperti kehilangan sebagian nyawa karena keadaan tubuh menjadi rapuh. Hilang sebagian rasa di dalam tubuh. Masih hidup tapi jiwa seperti sudah mati. Betapa parahnya luka karena cinta.
Seharian  aku  mengurung  diri di dalam
kamar. Aku hanya termenung di depan jendela memandangi pepohonan.
“Adit! Buka pintu! Ibu bikin makanan enak buat kamu!” terdengar teriakan ibuku di balik pintu.
Aku diam. Tak ada nafsu makan sedikit pun dalam diriku. Percuma Ibu membuatkan makanan untukku.
“Kak Adit! Buka pintunya! Sudah dua hari Kakak nggak makan, entar sakit!” terdengar suara Neneng adikku beberapa saat setelah ibuku pergi.
Aku diam tak menjawab, hingga akhirnya kudengar suara langkah adikku menjauh dari pintu kamarku.
Rasa luka di hati membuatku seperti patung batu. Penantian panjangku untuk seorang Dinda Kamila telah kandas. Apakah cinta sejati pantas berujung penderitaan? Aku tak bisa menerima kenyataan ini. Karena cinta sejati seharusnya berakhir dengan tangis kebahagiaan, bukan tangis penderitaan.
Aku membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Kupejamkan mata kuat-kuat. Aku ingin tidur setelah beberapa hari ini tak bisa tidur. Aku ingin tidur yang panjang dan tak bangun kembali.
“Adit! Buka pintu. Ini aku....”
Samar-samar terdengar suara seseorang. Telingaku seperti mendapat panggilan dari Surga mendengar suara merdu itu. Suara itu begitu akrab di telingaku. Suara siapa? Seperti suara Dinda Kamila.  Tapi tidak mungkin! Hari ini ia sedang melangsungkan pernikahan dengan Andi di Bandung. Apakah rohku sudah terbang dipanggil Tuhan dan bertemu dengan roh Dinda Kamila di langit? Tidak! Aku masih hidup. Aku yakin itu suara Dinda Kamila.
Aku bangkit dari pembaringan dan bergegas menuju pintu kamar, lalu kubuka.
“Dinda,” gumamku tak percaya melihat ia berada di hadapanku.
“Adit...” Dinda Kamila menghambur ke dalam pelukanku dan menangis di dadaku.
“Ohh... aku tak percaya hal ini,” aku memeluknya dengan segenap rasa bahagia.  Aku seperti berada di atas awan, tubuhku terbang melayang sambil melepaskan seluruh beban hatiku.
“Adit, aku mencintaimu. Aku tak ingin hidupku dipenuhi dengan penderitaan karena tak bisa bersama dengan orang yang kucintai. Aku bicara sejujurnya pada Andi. Ia mengerti dan merelakan aku bersamamu,” ucap Dinda Kamila.
Aku melepaskan pelukanku, kemudian aku bersimpuh di hadapan Dinda Kamila, memegang kedua tangannya dan menciumnya. Sejak dulu sampai sekarang, dia adalah sosok wanita yang kuhormati, kuhargai, dan kucintai selain ibuku. Aku tak pernah sekali pun berpaling ke lain hati. Kini ia menghantarkan kebahagiaan untukku.
Aku bangkit kembali untuk berdiri di hadapan Dinda Kamila. Kami bertatapan dengan mata basah.
 “Aku yakin cinta sejati akan berakhir dengan tangis kebahagiaan,” ucapku.
Dinda Kamila tersenyum, ia lantas menyandarkan kepalanya di bahuku beberapa saat.
“Keluargaku ikut ke sini bersamaku. Umi, Kak Indra dan Teh Nita beserta anak-anaknya. Mereka akan maksa kamu agar segera menikahi aku,” katanya malu-malu.
“Siapa takut menikahi seorang bidadari?” sahutku sambil menatapnya penuh cinta.
Matanya mengerling indah sambil mencubit tanganku mesra.
Ya Allah, terima kasih. Kini aku telah  bersama dengan bidadariku.
◦◦ ♥ ◦◦




KATA PENULIS
__________________________________________


Alhamdulillah... rasanya plong setelah menyelesaikan cerita ini. Beban jiwa yang demikian lama menyesakkan dada tuntas sudah. Akhirnya aku bisa mempersembahkan cerita berjudul Masih Ada Cinta di Langit Garut kepada orang-orang tercinta, dan  kepada kalian semua penggemar cerita cinta sejati. 
Pembuatan cerita ini sungguh menguras emosi. Setiap kata adalah ungkapan dari berbagai rasa hati. Rasa cinta, rasa rindu, rasa sayang, rasa galau, rasa sedih, rasa kecewa, dan berbagai rasa lainnya. Hingga kalimat yang tersusun menyentuh sampai ke dasar hati. Bohong jika kalian tidak menangis saat membaca buku ini. Aku saja yang menulis cerita ini sering menangis terisak-isak sendirian di beberapa bagian cerita ini.
Ide nulis buku ini mulai muncul di tahun 2011 saat Pak Dicky Chandra mengundurkan diri jadi Wakil Bupati Garut. Langsung ditulis garis besarnya dulu. Tapi belum kepikiran endingnya harus bagaimana. Sampai dengan Bab 17, kubiarkan naskah cerita ini selama bertahun-tahun. Lagian aku sibuk banget ngurusin rakyatku di desa yang banyak banget keinginannya.
Di bulan Maret 2015 jabatanku sebagai kepala desa habis. Baru deh kepikiran untuk menyelesaikan naskah ini. Di bulan Desember 2015, cerita ini selesai dengan ending yang menurutku sangat manis dan mengharukan, tidak mengecewakan pembaca. Aku ingin menunjukkan kepada kalian para pembaca, jangan berhenti berdo’a dan berharap untuk kebahagiaan yang kita impikan.
Aku berharap cerita ini menjadi sebuah sejarah kebangkitan para penulis asal Garut. Cerita ini adalah master piece bagi dunia cerita fiksi di Garut. Aku pun akan berusaha agar cerita ini bisa diangkat ke layar film, minimal film televisi.
Sebelum cerita berjudul Masih Ada Cinta di Langit Garut ini, aku telah menulis cerita-cerita lain yang bisa menguras air mata, tapi masih kusimpan di file laptopku. Insya Allah akan segera kuterbitkan awal tahun 2016. Diantaranya : Hujan Luruh di Kota Intan, Tunggu Aku di Kota Garut, Cinta di Garut (Kumpulan Cerpen Para Penulis Asal Garut), Edelwaiss Terakhir, dan beberapa cerita lainnya.
Oh ya, aku bukan cuma nulis cerita yang bisa bikin kalian menguraikan air mata, aku juga menulis buku yang bisa bikin ketawa terus, dua yang sudah selesai adalah Ustadz Kabayan dan Si Kabayan Mencari Tahta & Cinta. Kalau belum ada di toko buku, kalau mau baca, ada di Perpustakaan Daerah depan RSU dr. Slamet dan di Perpustakaan STKIP Garut.
Aku sekarang mendirikan  Rumah Cinta  Production untuk menunjukkan eksistensiku di dunia tulis menulis. Aku akan terus berkarya menghasilkan buku kumpulan cerpen, buku kumpulan puisi, novel dan naskah skenario film. Kenapa? Karena menulis adalah duniaku. Aku akan bersenang hati jika kalian ngasih komentar untuk karya-karyaku. Bisa sms ke nomor HP aku, bisa ngirim ke e-mailku amarmaruf.0309@gmail.com atau ke blog aku di cintaamarmaruf.blogspot.com

  With Love,

    Arie AM

Tidak ada komentar: