SAN-SAN IN MEMORIAM
Penulis : Sandra
Editor : Arie AM
Produksi : Rumah Cinta
DEDEN MUHAMAD IRSAN atau biasa dipanggil San-san.
Sosoknya tinggi tegap dengan kulit hitam manis. Wajahnya tak terlalu ganteng
tapi menarik jika dipandang. Senyuman yang selalu tersungging di bibirnya
membuat dia kelihatan ramah dan simpatik. Tapi entah bagaimana mulanya aku
tertarik olehnya dan mengukir hari-hari indah bersamanya. Aku bukanlah cewek
yang mudah jatuh hati kepada cowok. Aku malah cenderung jadi musuh mereka.
Sewaktu di sekolah entah sudah berapa banyak cowok yang kuhajar hingga babak
belur. Puncaknya ketika aku kelas dua es-em-a. Hampir semua cowok berandalan di
sekolahku pernah merasakan kerasnya kepalan tanganku. Aku memang tomboy. Tapi
tak ada yang berani mengatakan aku tomboy karena mereka sadar apa yang akan
terjadi jika terdengar olehku. Aku memang kurang suka disebut tomboy. Menginjak
kelas tiga es-em-a aku mengenal San-san. Dialah yang kemudian mengubahku
menjadi seperti sekarang. Seorang cewek yang lembut dan melankolis. Bukan itu
saja, dia telah mengubahku menjadi seorang cewek yang paling berduka.
Siang
itu seorang cowok datang ke rumahku dengan penampilan gagah, lengkap dengan
motor Harleynya. Aku keluar menemuinya karena terusik melihat dia
petantang-petenteng di depan rumahku, seperti mau mencari masalah.
“Permisi, saya nyari orang
bernama Sandra,” katanya.
“Saya
sendiri. Ada apa Bung?” sahutku sambil menatapnya.
“Ooh,
jadi kamu yang bernama Sandra? Kamu yang telah menghajar keponakanku hingga
babak belur?” ia menatapku seperti tak percaya.
“Maaf Bung. Hari ini saya sudah menghajar
banyak anak manusia. Bisa Bung sebutkan siapa nama keponakan Bung yang malang
itu?”
“Dani.
Kamu telah bikin wajahnya bonyok.”
“Dia
rupanya. Salah sendiri, kenapa memalak teman-teman sekelasku. Untung saja tak
kukirim ke rumah sakit. Jadi sekarang apa mau Bung? Mau mengajakku berkelahi?”
aku berkacak pinggang.
“Nanti dulu. Saya mau
tahu persoalannya. Kalu dia
salah saya tak akan membelanya,” katanya berdiplomasi.
“Keponakan
Bung yang bernama Dani itu sering meminta uang secara paksa kepada teman-teman
sekelasku. Untuk menghentikan kebiasaan jeleknya itu aku menghajarnya supaya
dia kapok. Perasaan sih Cuma ditonjok lima kali.”
“Begitu
ya ceritanya. Kalu demikian berarti dia yang salah. Maaf deh kalau begitu,” ia
berubah lemah.
“Belum
cukup hanya dengan meminta maaf, Bung. Lain kali Bung jangan mudah terhasut
oleh orang lain sebelum tahu persolan yang sebenarnya.”
“Iya
deh. Eh ngomong-ngomong boleh kenalan, nggak?” katanya percaya diri.
Benar-benar nggak tahu malu.
“Kenalan?”
“Iya.
Boleh, kan? Nama saya Deden Muhammad Irsan, biasa dipanggil San-san,” ia
menyebutkan namnya tanpa kuminta.
“Biodata
saya tanyain aja sama Dani keponakan anda. Maaf Bung, saya mau betulin dulu
genteng yang bocor. Sebaiknya Bung pulang deh,” kataku menyuruhnya pergi.
“Hah?
Betulin genteng?” wajahnya nampak kaget.
Aku
mengambil tangga dan tak menghiraukannya lagi.
Pertemuan
sore itu tak memberi kesan apa pun bagiku. Nama cowok itu pun kulupakan begitu
saja. Apa sih yang menarik dari seorang cowok yang datang ke rumahku untuk
membalas dendam keponakannya? Dia tak lebih dari seorang cowok berandalan. Tapi
aku terkejut ketika esok harinya ia telah nangkring di atas sebuah sepeda motor
Harley di depan gerbang sekolah. Dan dia tersenyum padaku sambil melambaikan
tangan. Persis bajingan tengik yang sering kulihat di film-film Amerika. Aku
tak mempedulikannya sedikit pun. Kukira ia hanya akan melindungi Dani
keponakannya agar tak dihajar lagi olehku.
Tapi
hari-hari selanjutnya ia makin sering kulihat menungguiku di gerbang sekolah.
Malah sering menitip salam lewat teman-temanku. Lama kelamaan hatiku terusik.
Diam-diam aku kagum atas usahanya meraih simpatiku. Bahkan dua minggu kemudian
ia datang ke rumahku ketika aku tengah nangkring di atas pohon mangga.
“Permisi! Permisi!” ia
sama sekali tak melihatku. Kubiarkan dulu beberapa saat. Aku ingin tahu apa
yang akan dilakukannya. Dia terus berdiri di depan pintu sambil mengetuk-ngetuk
pintu. Akhirnya aku merasa kasihan juga padanya.
“Hai!
Kamu nyari aku?” teriakku dari atas pohon mangga.
Ia bengong melihatku. Aku segera turun dan
menghampirinya.
“Kenapa
bengong?”
“Eu… kamu suka manjat
pohon?”
“Kenapa?
Nggak boleh cewek naik pohon?”
“Bukan begitu. Bagaimana kalau kamu jatuh?”
“kalau
jatuh ya ke bawah. Paling juga kepala benjut atau patah tulang,” sahutku tenang.
“Kamu
nekat banget sih!”
“Ini
belum seberapa. Kamu belum pernah lihat bagaimana aku naik tiang listrik untuk
ngambil layangan yang nyangkut di kabel.”
“Masa?
Kamu sadar nggak itu pekerjaan berbahaya?”
“Yang
penting aku suka.”
“Bukan
masalah suka atau tidak, tapi menyangkut keselamatanmu. Dan ingat, kamu ini
seorang cewek. Nggak pantas melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh cowok,
apalagi itu sangat berbahaya.”
“Hai,
kamu datang ke sini mau ngapain sih? Mau nasehatin aku, ya?”
“Bu-bu-bukan,
aku mau bertamu,” ia tergagap.
“Kalau
mau bertamu ayo masuk!”
“Terima
kasih, kamu baik deh,” ucapnya seperti senang.
“Kadang-kadang
aku baik sama cowok. Jarang
loh cowok yang kuizinkan menginjak teras rumahku. Kebetulan saja kali ini aku
lagi baik.”
Begitulah
awalnya aku menerima kehadiran San-san. Cuma sekedar teman bicara, tidak lebih.
Sejak hari itu ia mulai sering datang ke rumah hanya untuk ngobrol denganku.
Kadang-kadang ditemani oleh adik-adikku dan orang tuaku. Kemudian San-san
menjadi satu-satunya cowok yang kuizinkan untuk mengantarjemputku ke sekolah.
Tidak Cuma itu, San-san jadi satu-satunya cowok yang biasa mengajakku keluar
rumah untuk jalan-jalan. Lalu seiring bergulirnya waktu, secara perlahan
perasaan cinta dan sayang mulai tumbuh di dalam hatiku. Dan ternyata perasaanku
tak salah karena suatu malam San-san menyatakan rasa sukanya padaku.
“Kurasa
telah cukup kebersamaan kita sebagai teman. Aku ingin mengubah kebersamaan kita
menjadi sangat istimewa. Maukah kamu menerima cin-cin ini sebagai tanda jadi
hubungan cinta kita?” San-san
menatapku penuh harap dengan sebuah cin-cin di tangannya.
“Apakah
tidak salah kamu mencintai cewek tomboy sepertiku?”
“Dalam
beberapa hal cewek tomboy lebih baik daripada cewek biasa. Dia bisa lebih
mandiri dan tidak cengeng. Lagian aku yakin sifatmu bisa berubah. Buktinya
setelah berteman denganku kamu tak pernah berkelahi lagi dan tidak suka manjat
pohon lagi. Kamu jauh lebih lembut dibandingkan dulu. Maukah kamu memakai cin-cin
ini?”
Aku
tak bisa membalas ketulusan cintanya selain dengan anggukkan kepala. Dan
membiarkan San-san memasukkan cin-cin itu ke jari manisku. Beberapa saat
kemudian aku jatuh ke dalam dekapannya.
Aku
masuk ke perpustakaan untuk meminjam buku novel sastra karena ada tugas dari
guru bahasa Indonesia. Namun aku menyurutkan langkah dan bersembunyi di balik
lemari buku ketika melihat Dani dan temannya sedang duduk sambil ngobrol di
meja besar ruang perpustakaan. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Siapa tahu membicarakan aku.
“Motor
kamu kemana Ni? Sudah dua hari kamu nggak bawa motor,” kata Rana teman Dani.
“Mulai
sekarang aku nggak akan pake motor lagi ke sekolah, motorku sudah jadi milik Om
San-san,” sahut Dani.
“Kenapa
bisa begitu?”
“Aku
kalah taruhan.”
“Taruhan apa?”
“Ini
gara-gara Si Sandra. Dulu aku pernah bilang ke Om San-san, kalau berhasil
ngegaet Si Sandra jadi pacarnya, aku akan ngasih motor kesayanganku padanya.
Sial! Ternyata Si Sandra berhasil digaet. Dasar Omku playboy pengalaman.”
“Kasihan
dong Si Sandra.”
“Itu
ganjaran karena dia sudah mukulin aku dulu. Walau aku kehilangan motor kesayanganku, tapi aku puas
karena Si Sandra bertekuk lutut sama Om San-san.”
Lututku gemetar mendengar
semua itu. Perasaanku hancur. Hatiku bagai tercabik-cabik. Ingin rasanya aku
menghajar Dani dan temannya. Tapi
aku tak bisa. Aku telah berubah. San-san
telah mengubahku menjadi gadis yang lemah dan perasa. Hanya air mata yang
berbicara. Kuurungkan niatku untuk meminjam buku. Diam-diam aku pergi dari
perpustakaan dengan membawa rasa sakit yang sangat dan dendam yang
menyala-nyala. San-san, tega sekali kamu membohongiku! Aku akan membalas semua
ini! Tapi ternyata aku rapuh. Sepulang sekolah aku menangis dan menjerit-jerit
di dalam kamarku membuat panik seluruh anggota keluarga.
Aku
tak mau kenal lagi dengan cowok bernama Deden Muhammad Irsan. Aku menutup pintu
hatiku rapat-rapat untuknya. Setelah apa yang kudengar di perpustakaan, aku tak
punya lagi rasa simpati padanya. Seorang cowok yang berusaha menaklukkan
seorang cewek hanya untuk mendapatkan sesuatu bukan untuk meraih cinta yang
sesungguhnya, menurutku bukan orang baik-baik.
Aku
memalingkan muka dan tak menghiraukannya ketika ia mencegatku di gerbang
sekolah. Ia seperti kaget melihat sikapku.
“Dra,
tunggu!” ia mengejarku hingga berhasil menghalangi langkahku.
“Dra,
kamu kenapa sih?” ia menatapku dengan wajah tanpa dosa.
“Please, mulai hari ini
kamu jangan ganggu aku,” ucapku parau.
“Kenapa?
Aku salah apa?”
Aku
kesal banget dengan sikapnya yang seolah-olah tak memiliki kesalahan apa pun.
Aku mendorong tubuhnya lalu melanjutkan langkah setengah berlari naik ke angkot
yang sudah menunggu. Membiarkan San-san termanggu di pinggir jalan sambil
menatap angkot yang kunaiki menjauh dari halaman sekolah. Itu pula yang terjadi
pada hari-hari berikutnya. Aku tak pernah memberi kesempatan padanya untuk
menjelaskan apa pun.
Hari itu San-san datang ke rumahku. Hampir
seharian ia di rumah menungguku. Namun ia hanya bisa ngobrol dengan Mama dan
adikku. Aku tak keluar dari kamarku. Aku tak mau menemuinya. Akhirnya ia pergi
lagi. Setelah hari itu, aku tak melihatnya lagi. Ia tak terlihat datang ke
sekolah atau datang ke rumah untuk menemuiku. Namun seminggu kemudian, pak pos
mengantarkan sepucuk surat ke rumahku. Dari San-san untukku. Aku menyimpannya
dan tak ingin membukanya. Namun lama-lama aku penasaran ingin tahu apa surat
itu. Sebelum tidur aku membuka surat itu.
Dear, sandra.
Saat
kubikin surat ini, aku sedang berada di Jakarta. Hari ini aku akan memulai
pekerjaanku sebagai anak buah kapal pada sebuah perusahaan pelayaran
internasional. Sebanarnya berat bagiku untuk meningalkan kota Garut terutama
jika aku teringat padamu. Tetapi masih ada impian yang ingin kugapai. Aku ingin
punya modal yang cukup demi kebahagiaan masa depanku.
Dra,
sampai detik ini aku bertanya-tanya pada diriku. Apa kesalahan yang kulakukan
padamu hingga kamu seperti membenciku. Aku hanya bisa mengira-ngira, mungkin
kamu ragu akan ketulusan hatiku mencintaimu.
Dra,
sejujurnya pada awalnya aku tak serius padamu. Aku hanya tertantang ingin
menaklukanmu karena kudengar kamu cewek yang angkuh pada cowok. Namun setelah
aku mengenalmu, aku jatuh hati pada kebribadianmu. Aku belum pernah menemukan
cewek yang baik sepertimu. Aku menginginkan kamu sebagai pelabuhan cinta
terakhirku.
Sandra
sayang, aku terikat kontrak selama satu tahun. Saat pulang berlayar nanti,
kuharap kamu mau membukakan pintu hatiku untukku. Aku akan selalu merindukanmu.
Dari aku yang mencintaimu, San-san.
Aku
menggigit bibir setelah membaca surat itu. Tiba-tiba aku menyesal dengan apa
yang telah kulakukan padanya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Tiba-tiba aku
merasa ingin berada di dekatnya. Dan tiba-tiba saja mataku hangat dan terasa
basah.
Minggu sore itu, lima bulan setelah San-san
pergi, Dani datang ke rumahku dengan air mata berderai. Dan ia berkata dengan
terbata-bata tentang San-san. Kapal tempat San-san bekerja karam di Laut
Atlantik setelah menabrak gunung es. Kapal hancur dan penumpangnya tak ada yang
selamat.
Aku
tak percaya mendengar penuturan Dani. Dan aku berharap ini hanya sebuah mimpi.
Selanjutnya aku menangis. Sesungguhnya aku masih mencintai dan menyayangi
San-san. Aku tak rela kehilangan dirinya. Aku tak pernah membencinya sebagai
seorang San-san secara utuh, aku hanya kecewa.
Hari-hari
ini aku tengah bersedih karena kehilangan seorang San-san. Hari-hari ini aku
dijejali penyesalan dalam hatiku. Hari-hari ini aku sedang berduka. Hari-hari
ini aku mengenang masa lalu. Aku belum bisa menerima kepergiannya pada saat aku belum sempat
meminta maaf padanya. Sampai kapan kesedihan ini berhenti? Dan siapa yang akan
menghentikan rasa duka ini? Entahlah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar