Rabu, 24 Februari 2016

San-san In Memoriam






SAN-SAN IN MEMORIAM

Penulis     : Sandra

Editor       : Arie AM

Produksi   : Rumah Cinta



DEDEN MUHAMAD IRSAN atau biasa dipanggil San-san. Sosoknya tinggi tegap dengan kulit hitam manis. Wajahnya tak terlalu ganteng tapi menarik jika dipandang. Senyuman yang selalu tersungging di bibirnya membuat dia kelihatan ramah dan simpatik. Tapi entah bagaimana mulanya aku tertarik olehnya dan mengukir hari-hari indah bersamanya. Aku bukanlah cewek yang mudah jatuh hati kepada cowok. Aku malah cenderung jadi musuh mereka. Sewaktu di sekolah entah sudah berapa banyak cowok yang kuhajar hingga babak belur. Puncaknya ketika aku kelas dua es-em-a. Hampir semua cowok berandalan di sekolahku pernah merasakan kerasnya kepalan tanganku. Aku memang tomboy. Tapi tak ada yang berani mengatakan aku tomboy karena mereka sadar apa yang akan terjadi jika terdengar olehku. Aku memang kurang suka disebut tomboy. Menginjak kelas tiga es-em-a aku mengenal San-san. Dialah yang kemudian mengubahku menjadi seperti sekarang. Seorang cewek yang lembut dan melankolis. Bukan itu saja, dia telah mengubahku menjadi seorang cewek yang paling berduka.
           
           Siang itu seorang cowok datang ke rumahku dengan penampilan gagah, lengkap dengan motor Harleynya. Aku keluar menemuinya karena terusik melihat dia petantang-petenteng di depan rumahku, seperti mau mencari masalah.
           “Permisi, saya nyari orang bernama Sandra,” katanya.
           “Saya sendiri. Ada apa Bung?” sahutku sambil menatapnya.
         “Ooh, jadi kamu yang bernama Sandra? Kamu yang telah menghajar keponakanku hingga babak belur?” ia menatapku seperti tak percaya.
            “Maaf Bung. Hari ini saya sudah menghajar banyak anak manusia. Bisa Bung sebutkan siapa nama keponakan Bung yang malang itu?”
           “Dani. Kamu telah bikin wajahnya bonyok.”
          “Dia rupanya. Salah sendiri, kenapa memalak teman-teman sekelasku. Untung saja tak kukirim ke rumah sakit. Jadi sekarang apa mau Bung? Mau mengajakku berkelahi?” aku berkacak pinggang.
           “Nanti dulu. Saya mau tahu persoalannya. Kalu dia salah saya tak akan membelanya,” katanya berdiplomasi.
          “Keponakan Bung yang bernama Dani itu sering meminta uang secara paksa kepada teman-teman sekelasku. Untuk menghentikan kebiasaan jeleknya itu aku menghajarnya supaya dia kapok. Perasaan sih Cuma ditonjok lima kali.”
          “Begitu ya ceritanya. Kalu demikian berarti dia yang salah. Maaf deh kalau begitu,” ia berubah lemah.
           “Belum cukup hanya dengan meminta maaf, Bung. Lain kali Bung jangan mudah terhasut oleh orang lain sebelum tahu persolan yang sebenarnya.”
       “Iya deh. Eh ngomong-ngomong boleh kenalan, nggak?” katanya percaya diri. Benar-benar nggak tahu malu.
            “Kenalan?”
       “Iya. Boleh, kan? Nama saya Deden Muhammad Irsan, biasa dipanggil San-san,” ia menyebutkan namnya tanpa kuminta.
        “Biodata saya tanyain aja sama Dani keponakan anda. Maaf Bung, saya mau betulin dulu genteng yang bocor. Sebaiknya Bung pulang deh,” kataku menyuruhnya pergi.
            “Hah? Betulin genteng?” wajahnya nampak kaget.
            Aku mengambil tangga dan tak menghiraukannya lagi.

            Pertemuan sore itu tak memberi kesan apa pun bagiku. Nama cowok itu pun kulupakan begitu saja. Apa sih yang menarik dari seorang cowok yang datang ke rumahku untuk membalas dendam keponakannya? Dia tak lebih dari seorang cowok berandalan. Tapi aku terkejut ketika esok harinya ia telah nangkring di atas sebuah sepeda motor Harley di depan gerbang sekolah. Dan dia tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Persis bajingan tengik yang sering kulihat di film-film Amerika. Aku tak mempedulikannya sedikit pun. Kukira ia hanya akan melindungi Dani keponakannya agar tak dihajar lagi olehku.
           Tapi hari-hari selanjutnya ia makin sering kulihat menungguiku di gerbang sekolah. Malah sering menitip salam lewat teman-temanku. Lama kelamaan hatiku terusik. Diam-diam aku kagum atas usahanya meraih simpatiku. Bahkan dua minggu kemudian ia datang ke rumahku ketika aku tengah nangkring di atas pohon mangga.
          “Permisi! Permisi!” ia sama sekali tak melihatku. Kubiarkan dulu beberapa saat. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Dia terus berdiri di depan pintu sambil mengetuk-ngetuk pintu. Akhirnya aku merasa kasihan juga padanya.
            “Hai! Kamu nyari aku?” teriakku dari atas pohon mangga.
            Ia bengong melihatku. Aku segera turun dan menghampirinya.
            “Kenapa bengong?”
            “Eu… kamu suka manjat pohon?”
            “Kenapa? Nggak boleh cewek naik pohon?”
            “Bukan begitu. Bagaimana kalau kamu jatuh?”
            “kalau jatuh ya ke bawah. Paling juga kepala benjut atau patah tulang,” sahutku tenang.
            “Kamu nekat banget sih!”
           “Ini belum seberapa. Kamu belum pernah lihat bagaimana aku naik tiang listrik untuk ngambil layangan yang nyangkut di kabel.”
            “Masa? Kamu sadar nggak itu pekerjaan berbahaya?”
            “Yang penting aku suka.”
          “Bukan masalah suka atau tidak, tapi menyangkut keselamatanmu. Dan ingat, kamu ini seorang cewek. Nggak pantas melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh cowok, apalagi itu sangat berbahaya.”
            “Hai, kamu datang ke sini mau ngapain sih? Mau nasehatin aku, ya?”
            “Bu-bu-bukan, aku mau bertamu,” ia tergagap.
            “Kalau mau bertamu ayo masuk!”
            “Terima kasih, kamu baik deh,” ucapnya seperti senang.
        “Kadang-kadang aku baik sama cowok. Jarang loh cowok yang kuizinkan menginjak teras rumahku. Kebetulan saja kali ini aku lagi baik.”
            Begitulah awalnya aku menerima kehadiran San-san. Cuma sekedar teman bicara, tidak lebih. Sejak hari itu ia mulai sering datang ke rumah hanya untuk ngobrol denganku. Kadang-kadang ditemani oleh adik-adikku dan orang tuaku. Kemudian San-san menjadi satu-satunya cowok yang kuizinkan untuk mengantarjemputku ke sekolah. Tidak Cuma itu, San-san jadi satu-satunya cowok yang biasa mengajakku keluar rumah untuk jalan-jalan. Lalu seiring bergulirnya waktu, secara perlahan perasaan cinta dan sayang mulai tumbuh di dalam hatiku. Dan ternyata perasaanku tak salah karena suatu malam San-san menyatakan rasa sukanya padaku.
            “Kurasa telah cukup kebersamaan kita sebagai teman. Aku ingin mengubah kebersamaan kita menjadi sangat istimewa. Maukah kamu menerima cin-cin ini sebagai tanda jadi hubungan cinta kita?” San-san menatapku penuh harap dengan sebuah cin-cin di tangannya.
            “Apakah tidak salah kamu mencintai cewek tomboy sepertiku?”
            “Dalam beberapa hal cewek tomboy lebih baik daripada cewek biasa. Dia bisa lebih mandiri dan tidak cengeng. Lagian aku yakin sifatmu bisa berubah. Buktinya setelah berteman denganku kamu tak pernah berkelahi lagi dan tidak suka manjat pohon lagi. Kamu jauh lebih lembut dibandingkan dulu. Maukah kamu memakai cin-cin ini?”
            Aku tak bisa membalas ketulusan cintanya selain dengan anggukkan kepala. Dan membiarkan San-san memasukkan cin-cin itu ke jari manisku. Beberapa saat kemudian aku jatuh ke dalam dekapannya.

            Aku masuk ke perpustakaan untuk meminjam buku novel sastra karena ada tugas dari guru bahasa Indonesia. Namun aku menyurutkan langkah dan bersembunyi di balik lemari buku ketika melihat Dani dan temannya sedang duduk sambil ngobrol di meja besar ruang perpustakaan. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa tahu membicarakan aku.
            “Motor kamu kemana Ni? Sudah dua hari kamu nggak bawa motor,” kata Rana teman Dani.
          “Mulai sekarang aku nggak akan pake motor lagi ke sekolah, motorku sudah jadi milik Om San-san,” sahut Dani.
            “Kenapa bisa begitu?”
            “Aku kalah taruhan.”
            “Taruhan apa?”
            “Ini gara-gara Si Sandra. Dulu aku pernah bilang ke Om San-san, kalau berhasil ngegaet Si Sandra jadi pacarnya, aku akan ngasih motor kesayanganku padanya. Sial! Ternyata Si Sandra berhasil digaet. Dasar Omku playboy pengalaman.”
            “Kasihan dong Si Sandra.”
            “Itu ganjaran karena dia sudah mukulin aku dulu. Walau aku kehilangan motor kesayanganku, tapi aku puas karena Si Sandra bertekuk lutut sama Om San-san.”
            Lututku gemetar mendengar semua itu. Perasaanku hancur. Hatiku bagai tercabik-cabik. Ingin rasanya aku menghajar Dani dan temannya. Tapi aku tak bisa. Aku telah berubah.  San-san telah mengubahku menjadi gadis yang lemah dan perasa. Hanya air mata yang berbicara. Kuurungkan niatku untuk meminjam buku. Diam-diam aku pergi dari perpustakaan dengan membawa rasa sakit yang sangat dan dendam yang menyala-nyala. San-san, tega sekali kamu membohongiku! Aku akan membalas semua ini! Tapi ternyata aku rapuh. Sepulang sekolah aku menangis dan menjerit-jerit di dalam kamarku membuat panik seluruh anggota keluarga.

            Aku tak mau kenal lagi dengan cowok bernama Deden Muhammad Irsan. Aku menutup pintu hatiku rapat-rapat untuknya. Setelah apa yang kudengar di perpustakaan, aku tak punya lagi rasa simpati padanya. Seorang cowok yang berusaha menaklukkan seorang cewek hanya untuk mendapatkan sesuatu bukan untuk meraih cinta yang sesungguhnya, menurutku bukan orang baik-baik.
            Aku memalingkan muka dan tak menghiraukannya ketika ia mencegatku di gerbang sekolah. Ia seperti kaget melihat sikapku.
            “Dra, tunggu!” ia mengejarku hingga berhasil menghalangi langkahku.
            “Dra, kamu kenapa sih?” ia menatapku dengan wajah tanpa dosa.
            “Please, mulai hari ini kamu jangan ganggu aku,” ucapku parau.
            “Kenapa? Aku salah apa?”
         Aku kesal banget dengan sikapnya yang seolah-olah tak memiliki kesalahan apa pun. Aku mendorong tubuhnya lalu melanjutkan langkah setengah berlari naik ke angkot yang sudah menunggu. Membiarkan San-san termanggu di pinggir jalan sambil menatap angkot yang kunaiki menjauh dari halaman sekolah. Itu pula yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Aku tak pernah memberi kesempatan padanya untuk menjelaskan apa pun.
            Hari itu San-san datang ke rumahku. Hampir seharian ia di rumah menungguku. Namun ia hanya bisa ngobrol dengan Mama dan adikku. Aku tak keluar dari kamarku. Aku tak mau menemuinya. Akhirnya ia pergi lagi. Setelah hari itu, aku tak melihatnya lagi. Ia tak terlihat datang ke sekolah atau datang ke rumah untuk menemuiku. Namun seminggu kemudian, pak pos mengantarkan sepucuk surat ke rumahku. Dari San-san untukku. Aku menyimpannya dan tak ingin membukanya. Namun lama-lama aku penasaran ingin tahu apa surat itu. Sebelum tidur aku membuka surat itu.
            Dear, sandra.
            Saat kubikin surat ini, aku sedang berada di Jakarta. Hari ini aku akan memulai pekerjaanku sebagai anak buah kapal pada sebuah perusahaan pelayaran internasional. Sebanarnya berat bagiku untuk meningalkan kota Garut terutama jika aku teringat padamu. Tetapi masih ada impian yang ingin kugapai. Aku ingin punya modal yang cukup demi kebahagiaan masa depanku.
           Dra, sampai detik ini aku bertanya-tanya pada diriku. Apa kesalahan yang kulakukan padamu hingga kamu seperti membenciku. Aku hanya bisa mengira-ngira, mungkin kamu ragu akan ketulusan hatiku mencintaimu.
      Dra, sejujurnya pada awalnya aku tak serius padamu. Aku hanya tertantang ingin menaklukanmu karena kudengar kamu cewek yang angkuh pada cowok. Namun setelah aku mengenalmu, aku jatuh hati pada kebribadianmu. Aku belum pernah menemukan cewek yang baik sepertimu. Aku menginginkan kamu sebagai pelabuhan cinta terakhirku.
            Sandra sayang, aku terikat kontrak selama satu tahun. Saat pulang berlayar nanti, kuharap kamu mau membukakan pintu hatiku untukku. Aku akan selalu merindukanmu.
            Dari aku yang mencintaimu, San-san.
           
           Aku menggigit bibir setelah membaca surat itu. Tiba-tiba aku menyesal dengan apa yang telah kulakukan padanya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Tiba-tiba aku merasa ingin berada di dekatnya. Dan tiba-tiba saja mataku hangat dan terasa basah.
           
Minggu sore itu, lima bulan setelah San-san pergi, Dani datang ke rumahku dengan air mata berderai. Dan ia berkata dengan terbata-bata tentang San-san. Kapal tempat San-san bekerja karam di Laut Atlantik setelah menabrak gunung es. Kapal hancur dan penumpangnya tak ada yang selamat.
      Aku tak percaya mendengar penuturan Dani. Dan aku berharap ini hanya sebuah mimpi. Selanjutnya aku menangis. Sesungguhnya aku masih mencintai dan menyayangi San-san. Aku tak rela kehilangan dirinya. Aku tak pernah membencinya sebagai seorang San-san secara utuh, aku hanya kecewa.

            Hari-hari ini aku tengah bersedih karena kehilangan seorang San-san. Hari-hari ini aku dijejali penyesalan dalam hatiku. Hari-hari ini aku sedang berduka. Hari-hari ini aku mengenang masa lalu. Aku belum bisa menerima  kepergiannya pada saat aku belum sempat meminta maaf padanya. Sampai kapan kesedihan ini berhenti? Dan siapa yang akan menghentikan rasa duka ini? Entahlah….


Tidak ada komentar: