Minggu, 14 Juni 2015

KITA PERNAH BERSAMA






Selamat sore, Vi….
Aku pulang dari Negeri Sakura seminggu yang lalu. Namun ada satu hal yang masih kuragukan sebelum aku pulang ke tanah air. Bagaimana aku harus bersikap padamu. Menemuimu atau membiarkanmu tak mengetahui tentang kepulanganku setelah dua tahun meneruskan studiku di negeri Sakura. Demi sepotong masa lalu yang terlanjur tertulis sebagai sebuah cerita pahit bagiku. Tapi keraguan itu menghilang. Tak bersisa. Beganti dengan bermacam rasa yang tak pernah kuduga. Bahkan tak terlintas dalam mimpi burukku sekali pun. Rasa yang menyiksa. Rasa bersalah, rasa kehilangan, rasa menyesal, rasa terluka dan entah rasa apa lagi. Yang bergema memenuhi dadaku hingga napasku terasa sesak. Dan mengubah setitik harapan menjadi butir-butir air mata.
           
Aku mengenalmu di bangku SMA. Sejak semula kamu telah menjadi pusat perhatian semuanya. Nama Vevi Herawati begitu terkenal. Kamu memang memiliki banyak kelebihan. Cantik, smart, berasal dari srata atas dan supel bergaul. Tak heran jika sepertinya keberadaanmu di sekolah kita membuat siswi-siswi lain tak berarti apa pun. Semua mengagumimu, semua senang jika bicara tentangmu.
            Aku juga mengagumimu, Vi. Namun apalah arti kekagumanku. Aku Cuma seorang cowok biasa yang minder dengan keadaanku. Aku seorang anak desa yang datang ke kota dengan segala kesederhanaan untuk meneruskan sekolah. Jauh dibandingkan dengan anak-anak lain yang tampil modis. Apalagi dibandingkan dirimu yang setiap hari diantarjemput dengan mobil mewah.
           Masih kuingat sesuatu yang mengubah segalanya bagiku, Vi. Pagi itu pak Tatang guru fisika kita masuk membawa berkas ulangan minggu lalu. Semua tegang memandang ke arah meja guru menunggu hasil ulangan dibagikan.
            “Mana yang bernama Ario?” suara pak Tatang memecah sepi.
      Aku tersentak kaget. Dengan jantung berdebar-debar aku mengacungkan tangan. Sementara teman-teman sekelas melihat dengan rasa kasihan. Mereka mungkin mengira aku akan kena teguran karena mendapat nilai jeblok. Tatapan mata pak Tatang yang tajam tertuju padaku. Debaran-debaran di dadaku semakin keras. Tapi tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya. Sungguh sikap yang tak biasa.
            “Nilai ulangan kamu sepuluh. Selamat, ya!” kata pak Tatang padaku.
            Semua mata serentak menatap kagum ke arahku. Dengan perasaan tak menentu aku melangkah ke muka kelas mengambil kertas ulanganku. Ketika kembali ke mejaku, secara tak  sengaja kita bertemu pandang dan kau tersenyum padaku. Baru saat itu kurasakan senyummu benar-benar tersungging untukku.

            Aku tengah membaca buku kimia ketika jam istirahat kamu menghampiri mejaku. Aku pura-pura tak mengetahui kehadiranmu dengan berlagak asyik membaca. Padahal sesungguhnya aku sudah tak berkonsentrasi lagi. Kamu duduk di sampingku membuat perasaanku berdebar-debar.
            “Kamu rajin banget,” sapamu lembut.
        “Eh Vevi,” aku menoleh. Dan kutemukan sepasang mata bening milikmu. Relung hatiku bergetar seketika, yang membuat desir-desir indah di seluruh tubuhku.
            “Mengganggu, ya?” katamu.
            “Ah, enggak,” sahutku.
            Kututup buku kimiaku dan kumasukkan ke dalam tas.
           “Boleh nggak minjem buku fisikamu? Aku nggak sempat nyatet pelajaran minggu kemarin,” ujarmu berharap. Hal yang sebelumnya tak pernah kau lakukan padaku.
          Aku heran. Kamu meminjam buku catatanku, padahal kamu bisa meminjamnya kepada Dini teman sebangkumu atau kepada teman-teman dekatmu yang lain. Tapi tak banyak waktuku untuk memikirkan hal itu. Kukeluarkan buku catatan fisika dari dalam tas lalu kuberikan padamu.
            “Terima kasih, Rio,” ucapmu senang.
            Aku hanya mengangguk.
        “Oh ya, katanya teman-teman kita sering belajar di tempat kamu. Aku boleh gabung, nggak?” katamu.
            “Tapi…” aku kaget.
            “Kenapa? Kamu keberatan?” kamu menatapku.
           Kugelengkan kepala untuk tidak menyinggung perasaanmu, sambil berharap kamu tidak bersungguh-sungguh datang ke tempat kosku.
            “Terima kasih,” kamu nampak senang.
         Ternyata kamu serius, Vi. Sore harinya kamu datang ditemani Dini. Dan sejak itu kamu selalu datang ke tempat kosku jika ada jika ada tugas atau ada soal yang sulit. Semakin lama kita bertambah dekat. Kita sering menghabiskan waktu bersama. Di kelas, di kantin, di perpustakaan, di lapangan basket. Kebersamaan itu itu membuat hatiku dipenuhi rasa indah. Rasa yang sulit kucegah. Mengalir begitu kuatnya hingga seluruh ruang batinku hanya dipenuhi satu hal, perasaan sukaku padamu, Vi.

            Study Tour ke Jogja, bagian penting dari cerita kita hingga bergulir sampai saat ini. Ah, kadang kusesali acara itu. Andai saja aku tak mengikuti kegiatan study tour seperti yang semula kuputuskan. Tapi teman-teman mendesak, juga kamu. Malahan kamu yang paling sewot ketika aku bilang tak akan ikut. Akhirnya aku ikut juga, padahl aku telah mengumpulkan bahan kliping tempat-tempat wisata sebagai tugas pengganti bagi yang tidak ikut acara study tour.
            Kamu selalu berada di dekatku. Sejak di bis hingga saat berada di tempta-tempat rekreasi selama di Jogja. Kedekatan kita rupanya jadi perhatian teman-teman. Mereka begitu sering bercanda nyepet kita. Tapi tak sedikit pun rona tak senang di wajah mereka. Sepertinya mereka senang melihat kebersamaan kita. Hanya satu hal yang membuat perasaanku tak enak, tatapan sinis Dini teman sebangkumu. Aku tak mengerti mengapa ia seperti tidak suka melihat kebersamaan kita.
        Jawaban atas sikap Dini akhirnya kudapatkan. Malam itu ketika baru pulang dari Malioboro, aku datang ke penginapan putri untuk mengambil kipas yang kutitipkan padamu. Kipas bergambar kupu-kupu yang kubeli dari penjual lesehan yang bertebaran sepanjang Malioboro.  Aku mengambilnya karena suasana gerah di kamarku.
           Aku hendak mengetuk pintu kamarmu. Tapi kuurungkan ketika mendengar pembicaraan cukup keras di dalam. Entah kenapa aku tertarik untuk mengupingnya.
            “Aku ingin mendengar penjelasan tentang kedekatanmu dengan Ario,” terdengar suara Dini.
Hatiku berdebar-debar mendengar namaku disebut.
            “Apa yang mesti kujelaskan?” sahutmu beberapa saat kemudian.
            “Jangan mengelak, Vi. Kuperhatikan kamu makin dekat aja dengannya, seperti ada sesuatu di antara kalian.”
            “Ya, aku memang dekat dengan Ario. Tapi apa salahnya? Ario baik. Selama ini ia banyak membantu belajarku.”
            “Tapi yang kulihat belakangan ini sudah lain. Seperti ada sesuatu yang istimewa di antara kalian.  Bahkan selama di sini sikapmu padanya semakin berlebihan. Kamu seperti tak ingin jauh darinya. Jangan lupa, Vi. Kamu sudah jadi kekasih kakakku. Jangan mentang-mentang Kak Niko berada di Amerika kamu seenaknya jalan dengan cowok lain.”
            “Din, percayalah. Kedekatanku dengan Ario hanya untuk menolong belajarku. Tanpa bantuan dari dia belum tentu aku masuk tiga besar di kelas. Nggak mungkin aku jatuh cinta padanya.”
            Jelas sekali semuanya. Seakan dihantam oleh benda yang sangat beras, mendadak seluruh tubuhku terasa lesu. Kugigit bibir getir. Ternyata kebersamaan kita selama ini tak berarti apa-apa bagimu. Dengan langkah gontai aku kembali ke penginapan putra. Aku sangat terluka.
Salahku sendiri. Seharusnya sejak dulu aku menyadari perbedaan di antara kita. Seharusnya aku berkaca agar tak berangan-angan untuk memilikimu. Karena mengharapkanmu sama saja dengan mengejar bayangan purnama di atas air.

Sepulang dari study tour aku mulai menjaga jarak denganmu. Di Sekolah aku selalu menghindarimu. Tak ada lagi acara mencari buku berdua ke perpustakaan. Tak ada lagi acara jajan bareng ke kantin. Tak ada lagi acara pulang bareng dari sekolah. Aku selalu mencari alasan. Kubilang sedang nggak mood, sibuk, capek, ada acara lain atau apa saja alasan yang masuk akal jika kamu mengajakku jalan bersama.
Rupanya kamu menyadari perubahan sikapku. Siang itu selesai pelajaran terakhir, kamu mengajakku bicara. Kelas telah sepi. Hanya ada kita berdua.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Vi?” tanyaku memecah kesunyian di antara kita kita.
“Kamu berubah akhir-akhir ini, Rio,” ucapmu lirih.
            “Berubah? Aku tak pernah berubah. Mungkin itu perasaan kamu saja,” sahutku.
            “Kamu selalu menghindariku. Apa salahku padamu, Rio?” tanyamu sambil menatapku dengan mata sendumu. Tatapan yang meluruhkan hatiku. Namun saat teringat kembali apa yang kamu bilang kepada Dini malam itu, tiba-tiba lukaku kembali terkuak. Kamu bertanya tentang kesalahan padaku. Ingin aku mengatakan rasa sakit hatiku. Ingin aku berteriak tentang rasa terlukaku. Tapi aku hanya mampu menggelengkan kepala.
            “Kamu tidak pernah bersalah padaku. Kamu adalah cewek terbaik yang pernah kutemui. Hanya saja aku tak bisa menerima semua kebaikanmu,” ujarku.
            “Kenapa?” tanyamu kecewa dan terluka. Jelas di matamu yang basah.
            “Aku tak pantas menerimanya, Vi,” aku menggelengkan kepala. Lalu aku meninggalkan kamu.
            Hari itu adalah pembicaraan kita yang terakhir. Satu bulan kemudian  acara perpisahan sekolah. Aku tak bisa menghadiri acara itu karena mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke negeri Jepang bersama 10 orang pelajar yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia. Aku tak pernah pamit padamu, tak pernah mengucapkan kata selamat tinggal untukmu. Dua tahun aku berada di negeri Jepang. Ternyata waktu sesingkat itu tak cukup untuk mengubur namamu. Keindahan kota Osaka dan senyum manis gadis-gadis Sakura tak sebanding dengan pesona senyummu. Aku tak bisa menghilangkan bayangan dirimu yang begitu kuat mencengkramku. Hingga kadang aku berurai air mata jika teringat padamu. Padahal aku belum pernah mengeluarkan air mata untuk hal lain.
            Akhirnya tibalah saatnya untuk kembali ke tanah air. Semula aku memilih untuk tak menemuimu. Untuk apa? Kupikir pertemuan kita hanya akan membangkitkan luka lama di dalam jiwaku. Tapi ternyata jauh di lubuk hatiku masih ada rindu yang tersisa. Rindu yang berbaur dengan rasa terluka. Rinduku padamu, Vi. Rindu setelah dua tahun tak bertemu. Rasa rindu itu yang membuatku akhirnya datang menemuimu, sebulan setelah kepulanganku dari Osaka.


            Di depan rumahmu beberapa saat aku terdiam. Suasana dari luar terlihat sepi. Aku melangkah masuk lewat pintu pagar yang sedikit terbuka. Perasaanku berdebar-debar di antara bunga-bunga Anggrek dan Suplir yang kulewati. Hatiku diliputi berbagai pertanyaan. Adakah kamu di rumah? Bagaimana reaksimu jika melihatku? Akankah ada binar rindu di matamu yang bening? Kutarik napas dalam-dalam. Perlahan kupijit bel.
          Mamamu muncul di depan pintu. Ia seperti keheranan melihatku. Aku yakin ia lupa-lupa ingat padaku.
            “Selamat sore, Tante,” sapaku sambil tersenyum.
            “Sore. Ada perlu sama siapa?” tanyanya.
            “Saya mau bertemu dengan Vevi.”
            “Vevi?” ia seperti kaget mendengar namu disebut.
            “Ya. Vevi Herawati,” aku menyebutkan nama lengkapmu.
            “Adik ini siapa?”
            “Saya Ario, teman Vevi waktu di SMA dulu.”
            “Ario? Yang mendapat beasiswa kuliah ke Jepang? Vevi sering cerita tentang kamu. Tapi… apakah Nak Ario belum tahu?” Tiba-tiba kulihat mendung di wajahnya. Aku menggelengkan kepala tak mengerti dengan ucapannya.
            “Vevi, putri kami satu-satunya… telah meninggal setahun yang lalu….”
            “Apa?!” Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Aku menatap mamamu tak percaya dengan apa yang diucapkannya.
            “Jadi Vevi… dia… dia telah….”
            “Dia sakit keras. Entah mengapa penyakitnya tak bisa disembuhkan….”
Ucapan terakhir mamamu yang disertai linangan air mata membuatku tertegun. Mendadak seluruh tubuhku lesu. Tubuhku terasa terbang sesaat, lalu meluncur deras ke bebatuan yang terjal.

               Selamat sore, Vi….
            Telah lama aku di sini. Di depan serumpun bunga Mawar yang tumbuh di atas pusaramu. Sejak mamamu memberi tahu di mana kamu bisa ditemui setelah setahun lalu sakit dan tak bisa disembuhkan. Tapi aku belum ingin pulang. Aku masih ingin menatap nama indahmu yang terukir di batu nisan, sambil mengenang hal-hal indah yang pernah menjadi milik kita bersama.
            Vi, jika saja kamu masih bisa mendengar, ingin kukatakan satu hal padamu. Mungkin aku akan mengalami beberapa cinta dalam hidupku. Tapi cinta pertamaku telah terkubur di sini bersama jasadmu. Menyatu dengan tanah dan mewangi seperti bunga Mawar yang tumbuh di atas pusaramu. Semoga kamu bahagia dalam tidur panjangmu. Amin.

selesai

Kamis, 11 Juni 2015

CINTA BISU





Betapa sulitnya mengungkapkan perasaan kepada seseorang yang kita cintai. Dan betapa tersiksanya jika perasaan hati belum juga terungkapkan dan hanya menjadi cinta bisu. Seperti yang kini terjadi pada diriku.

Pak Danang guru matematika belum juga masuk sehingga keadaan kelas sangat berisik. Dia memang sering terlambat datang ke kelas. Tapi kalau ada murid yang telat masuk sebentar saja pasti nggak masuk absennya.
            “Welly, mumpung guru belum masuk, kita ke perpustakaan yuk!” Astri menyikut bahuku.
            “Kamu mau nyari komik, ya?”
            “Nggak. Pingin nyepi aja sambil baca-baca. Di sini berisik amat.”
            “Kalau Pak Dananng masuk, gimana?” aku memelototinya.
           “Mudah-mudahan Pak Danang lupa hari ini ngajar di kelas kita. Atau mendadak sakit perut. Soalnya aku lagi nggak mood belajar matematik,” sahutnya enteng.
            “Harapan kamu jelek amat sih!” kataku kesal.
            “Ayo ah!” Astri menarik tanganku.
            “Enggak!”
            “Ayo!” Ia memelintir tanganku.
            “Dasar tukang maksa!”
        Astri menggusurku keluar dari kelas. Kalau sudah dipaksa begini, aku tak bisa apa-apa selain menuruti kemauannya.
            Di perpustakaan sepi, hanya ada pak Mamat petugas perpustakaan.
            “Kalian nggak belajar?” tanya pak Mamat menyelidik.
          “Lagi ada ulangan, Pak,” sahut Astri sambil menginjak kakiku. Aku mengangguk mengiyakan. Astri segera menuju ke rak buku fiksi.
           “Tuh kan kamu nyari komik!” aku kesal.
          “Kamu nggak tahu sih asyiknya baca komik. Komik Jepang bagus-bagus loh. Baca aja judulnya. Sweet Dream, Love Hurt, Cinderella Romance,” ujar Astri.
            “Aku nggak suka komik.”
            “Kalau sudah baca sekali pasti ketagihan.”
            “Aku nggak suka komik.”
            “Ceritanya bisa bikin kamu tersenyum atau menangis haru.”
            “Astri, aku nggak suka komik!”
            “Ya udah, aku nggak bakalan maksa. Kamu sukanya baca apa?”
            “Aku nggak suka baca.”
            “Pantasan… tulalit!”
            “Apa kamu bilang?” aku memelototinya dengan rasa gondok.
            “Cuma bercanda aja ngambek.”
            “Cepetan milih bukunya! Kita kembali ke kelas,” aku memperingatkan.
            “Kamu aja yang kembali!” sahut Astri kalem.
            “Kamu mau bolos lagi?”
            “Aku lagi nggak mood ketemu pak Danang.”
            “Biar nilai matematik di raportmu lima
            “Biarin!”
            “Dasar kamu keras kepala! Ya udah, kamu di sini aja baca komik. Aku mau masuk kelas. Baca komik terus sih, pantesan tulalit!”
            “Hey! Pergi sana jangan ngomel terus!”
            “Iya, Miss Astri Komiko!”
            “Brengsek!”

            Namanya Astri. Lengkapnya Astri Nilasari. Tapi aku lebih suka memanggilnya Astri Komiko karena kegilaannya pada komik. Kalau sudah baca komik, jangan harap bisa mengganggunya. Kadang aku dan dia bertengkar gara-gara hal itu. Jika sudah begitu kami saling diam walau duduk sebangku. Tapi hal itu tak akan berlangsung lama. Paling lama satu hari. Setelahnya kami baikan lagi, seolah tak terjadi apa-apa.
            Aku mengenal Astri sejak di SMP. Hingga kini menjelang kenaikan ke kelas 3 SMU. Hampir enam tahun. Sudah cukup lama. Seperti rasa indah yang ada dalam hatiku padanya. Tentu kalian bertanya kenapa aku tak memacari Astri? Kalau ingin tahu jawabannya, mungkin pembicaraan antara Maya dan Ines yang tak sengaja kudengar akan membuat kalian tahu.
            “Heran, mau-maunya Astri dekat sama Si Welly. Apa mungkin dia jatuh cinta sama Si Welly?”
            “Ngggak mungkin dong. Masa Astri yang ngetop dan laris manis di pasaran mau sama Si Welly yang kucel. Aku tahu banget selera Astri yang tinggi kalau urusan cowok. Astri tuh pingin punya pacar yang cakep, gagah, romantis, pokoknya sempurna seperti di cerita komik. Tapi wajar saja karena Astri juga cantik.”
            “Jadi kedekatannya sama Si Welly buat apa?”
            “Buat pengawalnya kali!”
            Mereka tertawa bersamaan.
            “Kasihan ya kalau Si Welly salah terima.”
            “Iya juga sih. Tapi salah dia sendiri kenapa nggak punya wajah cakep.”
            “Mestinya Si Welly tahu diri, jangan deket-deket sama Astri.”
            “Kalau aku jadi Astri, nggak bakal mau gaul sama Si Welly, gengsi! Bisa turun harga!”
            Benar kata mereka. Aku dan Astri memang berbeda. Jauh berbeda. Astri cantik, aku jelek. Astri berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang bos dalam usaha industri pengolahan kulit di kota Garut. Sedangkan orang tuaku cuma pensiunan guru SD. Astri diantarjemput mobil pribadi, aku cuma naik angkot. Bagaikan bumi dan langit.
            Gara-gara aku deket dengan Astri, tak sedikit orang yang mencibir dan mencemooh. Ada juga yang tertawa. Tapi aku sudah terbiasa menghadapi hal itu. Jadi kuterima dengan lapang dada. Selagi Astri tak menunjukkan sikap menghindariku, aku tak akan menjauhinya. Kenapa? Karena di dalam hatiku ada rasa kasih untuknya, dan aku merasa bahagia jadi seseorang yang  bisa dekat dengannya. Walaupun mungkin kalau dia tahu tentang perasaanku padanya akan menertawakanku, bahkan mungkin menyuruhku pergi jauh-jauh.

      “Welly, kamu tahu nggak kenapa sampai saat ini aku belum punya pacar?” pertanyaan Astri mengagetkanku dan membuat hatiku berdebar-debar. Kututup buku kimiaku.
            “Enggak. Emang kenapa?” aku menatap wajahnya yang imut.
            “Kuakui, aku terlalu idealis dalam soal cowok.  Aku ingin punya kekasih  yang  ganteng,
gagah, berkelas tapi romantis dan penuh kasih sayang. Seperti tokoh-tokoh cowok di komik yang kubaca. Tapi itu kan demi kebaikanku juga. Biar bisa memberikan cinta seutuhnya dan nggak tergoda cowok lain lagi.”
           “Cita-cita yang mulia,” komentarku lesu. Aku jauh sekali dari kriteria cowok impiannya.
           “Nggak sedikit kan cewek yang udah punya pacar masih larak-lirik pingin dapat yang lebih. Nah, aku nggak mau hal itu terjadi padaku. Kalau nyari cowok harus benar-benar sesuai dengan selera dan memenuhi syarat. Makanya selama ini aku memilih nggak pacaran dulu.”
            Aku doakan semoga kamu nggak pernah menemukan cowok idaman kamu, ucapku dalam hati.
            “Malam minggu kemarin aku diajak kakakku ke acara ultah temannya. Di sana aku bertemu dengan cowok teman kakak. Namanya Bram. Dia cakep, gagah, penampilannya berkelas… dan dia seorang calon dokter.”
            “Hebat dong!” perasaanku dibakar cemburu.
            “Dia ngajak aku ngobrol, dan nyatain rasa sukanya padaku.”
            “Kamu terima?” aku panik.
            “Kamu mau tahu aja!”
            “Aku kan teman kamu, masa nggak boleh tahu!” aku beralasan.
            “Emh… kupikir dialah cowok impianku. Jadi… aku menerimanya.”
            “Kamu langsung menerimanya?” seluruh tubuhku menegang.
            “Ya. Menurut kakakku, Bram cowok baik. Dia mahasiswa teladan di kampus. Dan uniknya dia sama seperti aku belum pernah pacaran sekali pun.”
            “Ah masa sih?” aku tertegun.
            “Hey! Kamu kenapa Welly?” Astri seperti heran melihatku.
       “Eu… eu… aku senang mendengarnya. Selamat ya!” aku berusaha tersenyum sambil memegang tangannya, menutupi perasaanku yang sesungguhnya.
            “Makasih deh. Oh iya, karena aku lagi hepi berat, aku ingin nraktir kamu di kantin.”
            “Nggak usah deh,” aku menggelengkan kepala.
            “Kenapa? Tumben nggak mau. Lagi banyak duit, ya?”
            “Aku lagi sakit perut. Nih kerasa lagi. Sori ya, aku mau ke toilet dulu. Mau ikut?”
            “Yee… enak aja!”
          Aku setengah berlari keluar dari kelas, lantas mengunci diri di dalam toilet. Aku menangis bagai seorang anak kecil. Meratapi nasib jelekku, meratapi kebahagiaan Astri yang telah menemukan cowok impiannya. Walaupun jauh-jauh hari aku telah menyadari bahwa aku dan dia jauh berbeda, tetapi tetap saja rasa cinta yang dalam padanya membuat perasaanku hancur menerima kenyataan ini. Seperti kapal yang karam di lautan.

            Hari-hari berikutnya aku sering melihat Astri jalan dengan seorang cowok. Nama lengkapnya Ibram Mananta. Dia mahasiswa tingkat akhir di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri di Bandung. Sosoknya ganteng dan gagah serta kelihatan ramah. Pantas saja Astri langsung menerima cintanya. Tapi walau sudah bersama Bram, sikap Astri padaku tak berubah. Ia tetap baik. Ia tetap memintaku untuk menemaninya kalau punya acara pribadi. Dan ia sering bercerita padaku tentang kebaikan-kebaikan Bram. Aku mendengarkannya sambil tersenyum, seolah-olah ikut senang mendengar ceritanya. Padahal jauh di dalam hati aku menangis pilu. Hatiku bagai disayat-sayat dengan pisau yang tajam setiap mendengar kata Bram disebut oleh Astri dengan penuh rasa cinta. Memang sulit menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Tangisan pilu hatiku larut bersama tawa dan senyum Astri.

           Ternyata tidak lebih dari enam bulan Astri bercerita tentang indahnya kebersamaan dengan Bram. Dari bibirnya yang ada kemudian adalah tangisan. Bukan karena Bram yang baik itu telah mengkhianatinya. Bram tidak mungkin melukai gadis secantik dan sebaik Astri. Tapi… Bram meninggalkan Astri untuk selama-lamanya. Mobil yang dikendarainya  mengalami tabrakan berat dengan sebuah bis ketika ia pulang kuliah. Kematian Bram yang mendadak membuat Astri terguncang. Mula-mula ia sering melamun di dalam kelas, selanjutnya sakit keras sehingga sekolahnya berhenti. Selanjutnya Astri sering bicara sendiri dan menangis menjerit-jerit memanggil nama Bram.
            Aku sedih, sangat sedih. Dari awal penderitaannya aku selalu berada di sampingnya. Aku berusaha menghiburnya agar ia tak larut dalam kesedihan dan merelakan Bram. Tapi seperti juga keluarganya, aku gagal membuatnya meninggalkan kesedihan dan melupakan Bram. Hingga kemudian jiwanya terganggu dan jadi penghuni rumah sakit jiwa. Tapi aku tak berputus asa. Seminggu sekali aku mengunjungi Astri di rumah sakit jiwa. Menghiburnya, membawakan makanan yang jadi kesukaannya. Dan hampir tiap malam aku menangis di atas sejadah, berdo’a untuk kesembuhannya.
      “Siapa kamu? Kamu baik sekali,” Astri menatapku dengan matanya yang kosong ketika aku menjenguknya. Ia sama sekali tak mengenaliku. Aku menyeka air mata yang tiba-tiba tergenang di pelupuk mata.
            “Kamu tak ingat? Aku Welly….”
            “Welly?”
            “Ya, aku Welly, teman kamu di sekolah.”
            “Kamu baik, Welly. Seperti Bram. Bram… kemana kamu?”
            “Bram telah tiada. Bram telah meninggal.”
            “Kamu bohong! Bohong!” Astri ngambek padaku.
            “Astri… sadarlah. Bram telah meninggal.”
            “Meninggal? Benarkah? Bram… jangan tinggalkan aku….” Astri menangis.
Mataku terasa panas. Pandanganku kabur oleh air mata.

            Sampai saat ini Astri berada di rumah sakit jiwa, walau kondisinya sudah semakin membaik. Aku tetap rutin mengunjungi dan menghiburnya. Entah sampai kapan. Aku tak akan pernah berhenti berbuat yang terbaik untuknya, seperti juga tak pernah berhenti mencintainya walaupun hanya menjadi cinta bisu. Karena untuk mengatakannya bukanlah waktu yang tepat. Atau mungkin aku tak akan pernah mengatakannya.

selesai