HUJAN LURUH DI KOTA INTAN
Sebuah Novel Tentang Cinta yang Tak Pernah Berhenti Mengalir
Penulis :
Arie Amar Ma'ruf, S.Pd
Editor :
Nabil Arjuna Ma'ruf
Produksi :
Rumah Cinta
Hujan Luruh
di Kota
Intan
1
“Jangan menyatakan cinta di musim hujan karena
cintamu akan bernasib sama dengan air hujan, jatuh ke bumi lalu hanyut dan tak
pernah kembali lagi.”
Kalimat
itu tertulis di dinding kamar Joan. Tapi
Joan tidak pernah percaya hal itu. Dan ia tetap berharap cintanya pada seorang
gadis bernama Yessi akan berakhir dengan kebahagiaan.
Dari jendela kamar, butir-butir hujan nampak makin deras. Sejak tadi Joan
bergeming berdiri di bibir jendela menatap butiran-butiran bening yang berjatuhan
membasahi taman. Entah apa yang menarik. Ia seperti sangat menyukainya. Mungkin
karena ia rindu suasana seperti itu setelah empat tahun tak melakukannya. Selama
di Batam ia memang tak menemukan hal seperti itu. Harinya di sana penuh dengan
pekerjaan. Ia selalu sibuk. Tak ada waktu untuk berleha-leha, apalagi untuk
sekedar termenung sambil menatapi dan mendengarkan rinai hujan, walau hal itu
sangat menyenangkan baginya.
“Kak Joan!”
Teriakan Ade menyadarkan Joan dari
lamunan.
“Kak Joan!”
“Ya,” Joan bangkit membuka pintu
kamarnya. Ade berdiri di depan pintu dengan
wajah
cemberut,
seperti sedang
kesal.
“Ada apa, De?” Joan menatap adiknya.
“Masih hujan juga.”
“Iya. Memangnya kenapa?”
Ade masuk kamar kemudian
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
“Nggak jadi dong acara jalan-jalan
kita,” gerutu Ade.
“Oh itu….” Joan tersenyum. “Kalau
nggak jadi sekarang kan masih ada besok.”
“Nggak mau! Jangan besok!”
“Kok sewot gitu?”
“Pokoknya Ade pingin sekarang!”
tegas Ade.
“Dalam keadaan hujan begini?” alis
Joan berkerut.
“Abis hujannya nggak brenti-brenti sejak tadi pagi!”
“Ya
kalau Ade maksa, Kak Joan bisa apa.”
“Bener nih?” mata Ade berbinar.
“Kak Joan kan sayang sama Ade. Tapi
kalau Kak Joan boleh tahu, ngapain sih ngebet banget ngajak jalan-jalan?” Joan
penasaran dengan sikap adiknya.
Sesaat Ade tak menjawab. Ia seperti
sungkan mengatakannya.
“Kak Joan janji nggak bakal bilangin
ke Mama?” Ade setengah ragu.
“Iya deh.”
“Ade pingin gaun,” ucap Ade pelan.
“Gaun? Cuma gaun? Pake takut
dibilangin ke Mama segala,” Joan heran.
“Soalnya dua minggu lalu Ade baru
saja dibeliin dua potong sama Mama. Kalau Mama tahu Ade minta lagi sama Kak
Joan, bakal dimarahin.”
Joan manggut-manggut.
“Ada gaun bagus deh Kak. Tahu nggak, di Kota Garut baru kali
ini Ade lihat gaun model begitu. Ketika pulang sekolah tadi, Ade lihat tinggal
satu lagi. Kalau nunggu sampai besok bisa keburu dibeli orang!”
Joan
sekarang baru mengerti kenapa Ade memaksanya jalan. Ia tertawa-tawa hingga
tubuhnya tergun-cang-guncang.
Sementara Ade
tersipu-sipu.
“Kita hujan-hujanan aja yuk!” ajak
Joan membuat mata Ade berbinar dan bersorak kegirangan.
“Bener nih Kak?” tanya Ade.
“Ayo!
Sudah lama Kak Joan nggak hujan-hujanan. Dari sini kita naik angkot. Paling
hujan-hujanannya dari tempat angkot sampai ke Pengkolan.”
“Asyiiikk!
Kak Joan baik banget!” Ade menjerit memeluk kakaknya.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
2
Di depan bangunan
Radio Antares, Joan berdiri mematung menatap
bangunan yang nampak sepi itu. Tempat ini adalah bagian dari kenangannya empat
tahun lalu. Beberapa kali ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkah-nya. Akankah
bertemu dengan Yessi? Jantungnya berdebar-debar tak karuan ketika seraut wajah
cantik tergambar di benaknya.
Risa salahseorang penyiar radio
sedang duduk di meja FO sambil membaca
koran. Ia nampak kaget melihat sosok Joan
masuk dan menghampirinya.
“Apa kabar, Ica?” sapa Joan.
“Hai Joan! Apakah aku nggak sedang
bermimpi? Ke mana aja kamu?” Risa menjabat tangan Joan erat.
“Mengelilingi dunia,” sahut Joan.
“Bertahun-tahun kamu menghilang
tanpa kabar berita. Kukira nggak akan bertemu lagi denganmu.”
“Untuk dirindukan perlu waktu yang
lama menghilang,” ucap Joan.
“Dirindukan oleh siapa? Oleh Yessi?”
goda Risa.
Deg! Ada yang membaduk dada Joan.
Risa telah mengingatkannya kembali
kepada Yessi. Ia bisa memahami ucapan Risa karena gadis itu tahu betul tentang
kedekatannya dengan Yessi. Ingin saat itu ia menanyakan tentang kabar Yessi pada Ica, tapi ia segera mengubur
keinginannya itu dalam-dalam.
“Kamu
juga rindu padaku, kan?” Joan bercanda mengalihkan pembicaraan.
Risa
hanya tersenyum.
“Gimana
kabar Jay?” tanya Joan.
“Kabar
baik. Setelah berjuang keras akhirnya ia mendapatkan cewek pujaannya. Sekarang
ia sudah punya dua anak menuju tiga.”
“Oow…”
mulut Joan ternganga, kaget.
“Tuh Jay
lagi siaran. Kamu bisa ngobrol sama dia dan tanyain gimana caranya sukses dalam
bercinta.”
Joan
tersenyum.
“Aku
nemuin Jay dulu ya,” Joan pamit. Ia lantas menuju ke arah ruang siaran.
Di ruang kaca nampak Jay tengah ngomong sendiri sambil
tersenyum-senyum di depan mik. Ia kaget dan
melambaikan tangan ketika melihat Joan. Joan balas melambaikan tangan. Setelah
bicara sesaat kepada pemirsa, Jay mengklik beberapa lagu di layar komputer
lantas keluar menemui Joan. Mereka berpelukan penuh keharuan. Kemudian ngobrol
beberapa saat penuh kehangatan. Ketika lagu hampir habis Jay kembali ke ruang
siaran. Joan tersenyum memandangnya. Ah, ia jadi rindu untuk siaran lagi
seperti dulu. Andai saja seorang Yessi tak membuatnya pergi, mungkin saat ini
ia masih jadi seorang penyiar.
Joan termenung. Seakan terbayang kembali di benaknya
peristiwa empat tahun lalu. Sore itu di ruangan yang didudukinya kini, ketika
di luar turun hujan deras.
“Kamu sudah baca suratku?” ia menatap
Yessi dengan perasaan berdebar.
“Ya,” sahut Yessi pelan.
“Kamu ngerti kan?”
“Ya, aku
mengerti. Tapi Jo….”
“Kenapa, Yes?”
“Kupikir sebaiknya kita tetap
bersahabat.”
“Hanya sahabat?”
“Aku….”
“Kenapa?”
“Kamu… kamu tidak tahu Jo?”
“Apa?”
“Aku… aku sudah punya kekasih.”
“Kamu… jadi kamu?”
“Ya,
Jo….”
“Lantas
apa arti kebersamaan kita selama ini?”
“Sejujurnya…
saat ini aku sedang butuh seorang teman. Teman yang bisa mengerti diriku… dan
kamu adalah teman terbaikku saat ini.”
“Cukup,
Yes! Aku sama sekali tak menyangka jika rasa sayangku, rasa rinduku dan rasa
cemburuku yang selama ini kutunjukkan padamu ternyata tak berarti apa-apa
bagimu! Aku sangat kecewa!”
“Joan
dengarkan dulu! Siapa bilang kamu tak berarti bagiku? Sudah
kukatakan kamu adalah teman terbaikku!”
“Kamu butuh seorang teman yang mau mengerti dirimu?
Bukankah kamu sudah punya kekasih?”
“Kekasihku
tak ada di kota ini. Kami
jarang bertemu. Percayalah Joan, aku betul-betul butuh seorang teman. Aku tak
ingin kehilangan kebersamaan denganmu.”
“Percuma. Kebersamaan kita tak punya
tujuan.”
Joan mengusap
mukanya memupus bayangan
masa lalu itu. Tiba-tiba matanya terasa basah.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
3
Warung Bakso Mas
Edi samping Radio Antares menjadi tempat
ngumpul para penyiar kalau sedang bebas tugas. Joan dan Jay duduk di salahsatu
meja menikmati bakso sambil ngobrol melepas rasa kangen.
“Tak kusangka kamu akan memutuskan
pergi ke Batam. Aku sangat kaget dengan keputusanmu,” ucap Jay.
“Kaget tapi senang kan? Kamu nggak
punya saingan lagi ngegaet fans,” canda Joan.
Jay cuma tersenyum.
“Waktu itu yang ada di benakku hanya
satu hal, aku harus pergi dari kota ini. Bertahan terus di sini sama saja
dengan menyiksa diri. Kebetulan pamanku di Batam nawarin pekerjaan di sana.”
“Kamu pergi karena kecewa oleh
Yessi, kan?”
Joan mendesah.
“Kasihan Yessi. Ia sepertinya sangat
kehilangan.”
Joan menggelengkan kepala. “Tidak
mungkin. Kepergianku tak akan berarti apa-apa baginya.”
“Buktinya ia tak betah lagi berada
di sini,” Jay memberi alasan.
“Maksudmu… Yessi sudah nggak di sini lagi?” Joan
kaget.
“Sebulan setelah kepergianmu Yessi
pindah ke Bandung,” ujar Jay membuat Joan tertegun.
“Kukira ia masih di sini,” Joan
setengah bergumam.
“Padahal ia penyiar favorit di
sini.”
“Kamu tahu nggak alamatnya di Bandung?” tanya Joan penuh harap.
“Aku
tidak tahu. Dan tak ada yang tahu karena ia tak memberitahu alamatnya kepada
kami,” sahut Jay.
Kembali Joan tertegun. Matanya
menerawang. Yessi, kamu di mana? Aku rindu padamu....
Dari Kafe Yogya pemandangan kota Garut sebagian terlihat
jelas. Joan memandang lepas ke luar.
Sementara di bangku lainnya Ade tengah menikmati es krim. Cewek baru gede itu
memang doyan es krim. Makanya ia senang banget ketika diajak kakaknya ke kafe.
Ade menunda
dulu es krimnya
ketika untuk kesekian kalinya melihat kakaknya sedang termenung.
“Apa sih yang lagi dilamunin?”
Joan
sedikit kaget, tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
“Nggak ngelamun. Kak Joan lagi
menikmati keindahan kota kecil ini. Pemandangan di luar sana indah sekali.
Bangunan-bangunan yang tinggi, gunung, pepohonan, jalanan, mobil, kerumunan
manusia, semuanya terlihat dari sini. Dihiasi cahaya matahari senja yang
berwarna keemasan. Indah sekali, De.”
Ade memandang ke luar.
“Kota kecil ini sangat indah.
Presiden Soekarno memberinya gelar Kota Intan, sebagai simbol sebuah kota yang
bersih dan indah. Beliau sangat betah berada di Garut dan sering menyempatkan
diri datang untuk liburan ke sini.”
“Oohh, begitu ya? Baru tahu deh ada Presiden yang sering
datang ke Garut. Hebat banget. Sekarang kan menteri aja jarang yang datang.”
“Sok tau!”
“Bener loh!”
“Pada zaman penjajahan Belanda bahkan para pejabat dari
Batavia banyak yang datang ke Garut untuk istirahat.”
“Nggak
ada kerjaan tuh Belanda pake istirahat di sini, kenapa nggak di rumahnya aja!”
“Ade… mereka datang tuh bukan istirahat tidur aja. Tapi menikmati suasana indah di kota ini. Menurut mereka,
kota ini sangat sejuk, udaranya enak. Dan banyak memiliki pesona alam yang luar
biasa seperti Kawah Papandayan, Kawah Talaga Bodas, Bukit Ngamplang, Pemandian
Cipanas, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, dan masih banyak lagi tempat wisata yang lainnya.”
Ade manggut-manggut.
“Kalau mau melihat keindahan kota ini, Kak Joan sering
datang ke sini. Ade juga sering ke sini sama Mama, kan?”
“Iya sih, tapi… buat jajan es krim
doang. Abis di sini es
krimnya enak,” Ade cengar-cengir.
“Ade,
Ade. Kapan sih bisa putus hubungan sama es krim?” Joan geleng-geleng kepala.
“Mana kutahu?” sahut Ade
asal diikuti tawa
renyahnya.
Gemas Joan mengacak-acak rambut Ade.
Beberapa saat kemudian Ade asyik
menyuapkan es krim ke dalam mulutnya. Sedangkan Joan kembali asyik dengan
lamunannya. Joan masih ingat, dulu Yessi yang pertama mengajaknya ke kafe ini. Sore itu setelah Yessi siaran Acara Gaya Kita Antares
yang jadi favorit remaja kota Garut. Yessi bilang menyukai tempat ini karena
suasana sepi dan pemandangan indahnya. Di sini mereka bicara tentang banyak
hal. Tentang kuliahnya, tentang sekolah Yessi, tentang persahabatan sejati dan
tentang cinta. Dan kini ia ingin mengenang semua itu.
“Kamu
tahu apa arti cinta?” tanya Yessi kala itu.
“Arti
cinta akan berbeda-beda, tergantung siapa yang mengartikannya.”
“Begitu
ya?”
“He-eh. Menurut
orang buta cinta itu sentuhan indah dalam kegelapan. Menurut orang tuli cinta
itu getar-getar indah tanpa suara. Menurut
orang bisu cinta itu getar rasa yang tak terucapkan.”
“Kamu bisa aja!” Yessi tertawa-tawa hingga keluar air
mata.
“Tapi
aku punya pendapat sendiri tentang cinta. Cinta
itu adalah perasaan hati untuk memiliki seorang kekasih.”
“Begitu ya?”
“He-eh. Menurut kamu cinta itu apa?” ia balik bertanya pada
Yessi sambil menatap mata beningnya.
“Cinta itu… apa ya? Emh… cinta itu
adalah perasaan suka kepada seseorang. Dan kita selalu ingin bersama dengan
orang yang kita cintai itu.”
Aku
ingin selalu bersamamu, Yessi, gumam Joan dalam hati.
“Tuh kan. Kak Joan ngelamun lagi.
Udah deh, kalau nggak dimakan es krimnya buat Ade aja!” ucap Ade membuyarkan
kembali lamunan Joan.
“Masih kuat De?”
“Sini!”
Ade mengambil es krim punya Joan.
Joan
geleng-geleng kepala ketika tanpa basa-basi lagi Ade menggarap es krimnya.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
4
Radio
Antares Garut adalah radio paling ngetop di Kota Garut, memiliki fans yang sangat
banyak dan terorganisir dengan baik. Mereka tergabung dalam Antares Fans Club.
Mereka berasal dari semua kalangan, mulai dari masyarakat biasa sampai para
pejabat Garut. Mulai dari anak-anak sampai orang tua. Setiap sebulan sekali
diadakan pertemuan di tempat-tempat rekreasi yang dekat dari pusat kota,
seperti di Bukit Ngamplang Cilawu, Gunung Papandayan Cisurupan, Perkebunan Giri
Awas Cikajang, Curug Orok Cikandang, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, dan
tempat-tempat lainnya yang nyaman untuk acara silaturahmi sambil berwisata.
Biasanya acara diisi dengan perkenalan antar fans, berbagai lomba yang
menghibur serta acara pentas musik.
Seperti
hari itu, para fans Radio Antares Garut mengadakan kegiatan silaturahmi dan
wisata ke Situ Bagendit Banyuresmi. Situ Bagendit merupakan
danau alami yang dikelilingi persawahan dan perkampungan penduduk dengan latar
panorama alam pegunungan di belakangnya, seperti Gunung Guntur, Cikuray, dan
Papandayan yang indah. Gunung-gunung itu menjulang
tinggi berselimutkan awan tipis. Pemandangan yang indah sekaligus memanjakan
mata.
Menurut cerita masyarakat sekitar, Situ Bagendit
berasal dari sebuah legenda yang menceritakan sebuah rombongan Ronggeng Baged
dan Nyi Endit yang tenggelam, yang kemudian oleh masyarakat sekitar, situ
tersebut dinamakan Situ Bagendit.
Suasana yang masih alam dan asri menjadikan objek wisata ini dijadikan
andalan oleh pemerintah Kabupaten Garut. Walaupun ada sebagian pantainya yang
sudah berubah menjadi perkebunan dan persawahan masyarakat setempat. Banyak aktivitas wisata yang bisa dilakukan di area
Situ Bagendit ini, seperti berlayar ke tengah situ dengan menggunakan rakit
bambu, bermain sepeda air, kano, memancing, jet sky dan aktivitas air lainnya.
Setiap tahunnya, Pemda Garut selalu menggelar festival Bagendit yang berisi
tampilan berbagai kesenian daerah seperti Lais, Debus, Hadro dan lomba berbagai
kegiatan wisata air sebagai upaya dalam menarik wisatawan datang ke daerah ini. Kawasan wisata
Situ Bagendit sangat tepat untuk liburan bersama
keluarga. Suasana pemandangan situ yang indah, berbagai kelengkapan fasilitas
umum dan kemudahan-kemudahan layanan wisata menjadikan tempat ini memang sangat
cocok untuk wisata.
Sebenarnya Situ Bagendit sudah dikenal sebagai tempat wisata semenjak zaman
kolonial Belanda. Kala itu, tak hanya wisatawan lokal yang berkunjung, turis
mancanegara juga kerap datang mengunjungi Situ Bagendit. Hal itu ditandai
dengan didirikannya sebuah hotel lengkap dengan fasilitasnya pada tahun 1920.
Akibat Perang Dunia II, kawasan wisata Situ Bagendit hancur, sehingga telaga
ini terbengkalai selama beberapa tahun. Hotel yang sempat berdiri pun hanya
tersisa puing-puingnya saja.
Pada tahun 1980-an pihak pemerintah kembali melirik kawasan ini untuk
dijadikan objek wisata, sehingga dimulailah upaya pembenahan. Telaga seluas
125 hektar ini kemudian dibersihkan dari eceng gondok dan tumbuhan liar.
Berbagai fasilitas ditambahkan serta kegiatan wisata dihidupkan.
Ada sebuah dataran yang
cukup luas yang bisa digunakan untuk menggelar berbagai acara kegiatan masyarakat
yang pinggir-pinggirnya rimbun oleh pepohonan sehingga tempat itu menjadi
terasa nyaman.
Jam delapan pagi para fans mulai
berdatangan. Mereka bercampur dengan para wisatawan lain yang datang untuk
berekreasi di tempat itu. Kalau hari Minggu, Situ Bagendit memang lebih ramai
oleh pengunjung, baik wisatawan lokal maupun yang sengaja datang dari luar
wilayah Garut. Di atas panggung acara Jay dan Joan mulai bercuap-cuap menyambut
kehadiran para fans. Untuk menghangatkan suasana, Jay nekat menyanyikan sebuah
lagu dangdut. Beberapa orang fans langsung berjoget di bawah panggung sehingga
suasana berubah hangat.
Kemudian Jay dan Joan bergantian
menyapa para fans yang tercatat dalam buku katalog. Setelah semuanya disapa
dengan hangat dan penuh suasana keakraban, mereka kemudian membawa-kan acara
kuis pertama. Bagi para fans yang bisa menjawab pertanyaan seputar acara di
Radio Antares, mereka mendapatkan hadiah dari sponsor. Setelah sepuluh hadiah
tahap pertama habis, giliran para artis yang telah disiapkan menggebrak
panggung. Musik dimainkan dan nyanyian merdu dilantunkan. Semua fans yang
datang menikmati suasana hiburan yang meriah.
Setelah lima lagu dinyanyikan,
kembali Jay dan Joan membawakan acara kuis.
“Kalau kalian benar-benar fans sejati
Radio Antares, sebutkan lima orang penyiar wanita Radio Antares yang kamu
kenal?” tanya Joan.
Hampir semua fans menga-cungkan
tangan.
“Kamu yang pakai baju merah! Ayo
naik panggung!” Joan menunjuk seorang gadis.
Gadis itu naik ke atas panggung disoraki
oleh yang lainnya. Malu-malu ia menghampiri Joan dan Jay.
“Siapa nama kamu?” tanya Joan.
“Mitha.”
“Asal kamu dari mana?”
“Dari Tarogong.”
Jay mendekat, “Sudah punya pacar
belum?” tanya Jay.
“Huuuu!” Jay disoraki oleh semuanya.
“Belum,” sahut Mitha malu-malu.
“Awas hati-hati Neng!” teriak Kang
Dedi Raja Molen.
Para penonton bersorak-sorai.
“Tenang! Tenang!” Jay berteriak
kepada para penonton. “Buat para fans yang belum punya pacar, silahkan daftar
nanti di belakang!” katanya sambil cengar-cengir.
“Siaaapp!” sahut para fans yang
masih muda.
Mitha semakin tersipu malu.
“Oke Mitha, sekarang
silahkan
sebutkan
lima penyiar wanita Radio Antares yang kamu kenal!” kata Joan.
“Teh Ica, Teh Ani, Teh Maya, Teh
Sandra...” Mitha selanjutnya nampak berpikir.
“Satu lagi siapa?”
“Emh... Teh Yessi,” katanya.
Joan tertegun mendengar nama Yessi
disebut.
“Betul!” kata Jay tiba-tiba lalu
bertepuk tangan.
“Iya, kamu betul,” kata Joan sambil
tersenyum.
“Tapi sekarang Teh Yessi sudah
pindah ke Bandung. Semoga ia bisa kembali
ke Garut dan bisa siaran lagi di Radio Antares. Ayo kasih hadiahnya
Joan!” kata Jay sambil menoleh kepada Joan.
Joan menyerahkan sebuah bung-kusan
hadiah kepada Mitha.
“Terima kasih,” ucap Mitha sambil
tersenyum pada Joan.
Joan balas tersenyum.
Selanjutnya Jay dan Joan mengajukan
pertanyaan kuis yang lain untuk membagi-bagikan hadiah yang masih tersisa.
“Oke, acara kuis tahap kedua telah
selesai. Kita lanjutkan kembali ke acara hiburan musik. Ada persembahan sebuah
lagu dari salahseorang penyiar Radio Antares. Kita sambut Joan Aditya!” kata
Jay.
Semua
fans menyambut gembira dengan sepuk tangan meriah.
“Ayo
Kak Joan!”
“I
love you!”
Para
fans wanita terutama yang masih abg berteriak-teriak.
“Saya
akan menyanyikan sebuah lagu dari Haji Rhoma Irama, menunggu. Saya persembahan
lagu ini untuk Yessi Eka Darmayanti di mana pun berada. Semoga angin mampu
mengantarkan lagu ini kepadanya,” ucap Joan.
Penonton
beberapa saat terdiam. Musik dimainkan, beberapa saat kemudian Joan mulai
menyanyi dengan suara sendu.
“Sekian
lama aku menunggu, untuk kedatanganmu. Bukankah engkau telah berjanji, kita
jumpa di sini, datanglah... kedatanganmu kutunggu, telah lama... telah lama
kumenunggu....”
Suara
nyanyian Joan mendapat aplaus yang meriah dari para penonton. Joan menyanyikan
lagu itu penuh perasaan hingga matanya nampak berkaca-kaca. Tentu saja ia
bersedih karena ingatannya tertuju kepada Yessi yang sangat ia rindukan.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
5
Joan menelepon
Boim, salahseorang fans Radio Antares
yang dulu sangat dekat dengannya. Joan mendapat nomor HP Boim dari Jay.
“Hallo,”
telepon Joan diangkat oleh Boim.
“Hallo
Boim,” sapa Joan.
“Ya,
saya Boim. Ini dengan siapa ya?”
“Joan.”
“Joan
penyair Antares dulu?” Boim seperti ragu.
“Iya,
Joan Aditya.”
“Hai! Apa kabar Joan?” Boim kegirangan.
“Baik. Kabar kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah. Sekarang di mana? Dari siapa dapat nomor
HP aku?”
“Di Garut, aku dapat nomor kamu dari Jay.”
“Oh ya, syukurlah kalau sudah pulang kandang. Mau siaran
lagi di Antares?”
“Belum tahu. Lihat situasi dulu.”
“Kapan mau ke sini?”
“Besok. Aku kangen mau main ke Curug Orok. Kamu bisa
ngantar aku, kan?”
“Oh siap. Bagaimana Si Acong dan Si Leo ajak?”
“Boleh. Aku kangen sama mereka. Kalian kerja apa
sekarang?” tanya Joan.
“Si Acong dan Leo mengurus ternak sapi. Kalau aku
sekarang punya kios bakso di Pasar. Ditungguin berdua dengan isteriku.”
“Kamu sudah menikah Im?” Joan kaget.
“Sudah dong, anakku berusia dua tahun. Kamu kapan nikah?”
Boim balik bertanya.
“Belum ada jodohnya, Im.”
“Kamu kan dulu banyak peng-gemar waktu jadi penyiar di
Radio Antares, masa di antara mereka tak ada seorang pun yang nyangkut di
hatimu. Atau jangan-jangan... masih menunggu cinta Yessi?” Boim tertawa.
“Aku belum bisa melupakannya, Im,” kata Joan berterus
terang.
“Sudah bertahun-tahun belum bisa melupakan dia? Dengar
ya, kalau kita sakit hati oleh seorang wanita, obatnya harus cepat-cepat dapat
penggantinya.”
“Aku tidak bisa, Im. Hanya dia yang ada di hatiku hingga
saat ini.”
“Luar biasa! Hatimu benar-benar kokoh dalam satu cinta.
Tahu nggak? Si Leo di sini sudah tiga kali kawin!”
“Hah?!” aku kaget.
“Si Leo benar-benar gak tahu malu, kawin cerai melulu
kayak nggak punya hati. Hilang satu ganti dengan yang baru. Sudah kunasehatin
berulangkali, dia cuek saja. Dia malah bilang, suka-suka aku dong! Dasar tak
punya hati tuh anak!”
Joan miris mendengar perkataan Boim tentang Leo
sahabatnya dulu.
“Iya deh, Im. Besok kalau bertemu dengannya, aku akan
nasehatin dia. Tunggu besok ya, sekitar jam delapan pagi.”
“Oke.”
Joan menghentikan acara neleponnya. Ia kemudian
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Terbayang kembali peristiwa beberapa
tahun lalu saat-saat kebersamaan dengan Boim dan fans-fans Antares lain yang
pernah dekat dengannya. Bermain bersama mereka di Perkebunan Giri Awas yang
asri dan ditumbuhi banyak pepohonan sehingga udara yang terhisap terasa segar.
Bermain bersama mereka ke Curug Orok yang indah mempesona. Boim yang
memperkenalkannya kepada Sri mojang Cikajang yang cantik, Boim yang memperkenalkannya
pada Katrin penyiar Radio Best FM yang mempesona. Tapi hatinya telah terpikat
terlalu dalam kepada seorang gadis bernama Yessi Eka Darmayanti. Ia tidak bisa
seperti Leo yang dengan mudahnya berpindah-pindah ke lain hati.
Mata Joan perlahan
terpejam. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Yessi. Yessi
melambaikan tangannya sambil tersenyum. Tapi kemudian senyumnya berubah,
berganti dengan tangisan.
Joan terperanjat terbangun dari tidurnya. Seluruh
tubuhnya berkeringat. Sampai pagi ia tak bisa memejamkan mata kembali.
Boim, Acong dan Leo menyambut kedatangan Joan di depan
rumah Boim. Mereka nampak girang melihat kehadiran Joan. Memang persahabatan
antara penyiar Radio Antares dengan para penggemarnya terjalin begitu kuat. Itu
karena mereka sering melakukan pertemuan dan silaturahmi. Kalau sedang tidak
ada jadwal siaran, para penyiar sering mendatangi para fans ke rumahnya atau
main bersama ke suatu tempat. Walau hanya untuk sekedar minum kopi dan merokok
bareng.
Joan memeluk mereka bergantian dengan perasaan haru.
Hampir lima tahun Joan tak bertemu dengan mereka.
“Leo, katanya kamu sudah tiga kali kawin?” kata Joan pada
Leo.
“Takdir memang kejam. Aku sih inginnya kawin sekali
seumur hidup, tapi selalu ada yang lebih cantik daripada isteriku.”
“Jangan begitu dong. Jangan suka menyakiti hati wanita.”
“Sumpah! Yang sekarang yang terakhir!” Leo mengangkat
tangan kirinya.
“Catat Im! Kalau dia nggak bener lagi, sunatin aja!” kata
Joan.
Semuanya tertawa.
“Acong kamu belum menikah?” tanya Joan pada Acong.
“Belum,” sahut Acong lesu.
“Sip!” Joan mengacungkan jempol sambil tersenyum karena
merasa punya teman.
Kembali mereka tertawa bersama.
Joan masuk dulu ke rumah Boim. Tidak ada siapa-siapa
karena isteri Boim sedang berjualan di Pasar. Mereka beberapa saat ngobrol
sambil minum kopi bersama.
Tak lama kemudian
mereka berempat berangkat ke Perkebunan
Giri Awas yang tak jauh dari rumah Boim. Mereka jalan-jalan di areal
perkebunan yang masih nampak asri seperti dulu. Sesekali mereka berfoto
bersama. Setelah beberapa saat menikmati suasana nyaman Perkebunan Giri
Awas, kemudian mereka menuju ke Curug
Orok. Di Curug Orok yang berair jernih, Joan berbasah-basahan di bawah air
terjun bersama teman-teman lamanya. Sungguh rindunya kepada keindahan alam
wisata Garut terpuaskan di tempat ini.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
6
Hari ini Joan dan Ade adiknya berangkat ke tempat
wisata religius Makam Keramat Godog yang terletak di lereng Gunung Karacak,
tepatnya di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Garut. Makam ini
dipercaya sebagai makam Prabu Kian Santang, anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran. Informasi mengenai keberadaan makam Godog sebagai makan Kian Santang
terdapat dalam beberapa naskah Sunda lama. Di antaranya Babad Godog, Babad
Pasundan, dan Wawacan Prabu Kian Santang Aji. Dalam naskah-naskah tersebut
diceritakan bahwa Kian Santang adalah putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran. Setelah memeluk Islam di Mekah, beliau tinggal di sana selama 7
tahun untuk mendalami ajaran agama Islam. Sepulang dari Mekah, Kian Santang
mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk Islam, tetapi ditolak. Prabu
Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk
agama Islam lebih baik aku meninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum
berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang
indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kian Santang
mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan
Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar
masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah
Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut
Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan
rasa menyesal Kian Santang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu
Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.
Prabu Kian Santang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Allah
tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Kiansantang kembali ke Pajajaran.
Ia diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu
Anapakem I. Namun Prabu Kian Santang tidak lama menjadi raja karena mendapat
ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ke tempat yang sepi. Dalam
uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau
dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ciremai,
Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang
berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat
bertafakur nanti, apabila tiba di satu tempat peti itu berubah, maka di sanalah
tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kian Santang harus diganti dengan Sunan
Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kian Santang menyerahkan tahta kerajaan kepada
Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah
terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kian
Santang meninggalkan Pajajaran. Yang dituju pertama kali adalah gunung Ciremai.
Tiba di sana lalu peti disimpan di atas tanah, namun peti itu tidak berubah. Prabu Kian Santang kemudian berangkat
lagi ke gunung Tasikmalaya, di sana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu
Kian Santang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di
gunung Suci Garut peti itu disimpan di atas tanah secara tiba-tiba berubah.
Dengan
berubahnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kian Santang bahwa
di tempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tempat itu kini diberi nama Makam Godog Suci. Kian Santang bertafakur selama 19
tahun. Sempat mendirikan sebuah Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog
yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kian Santang
namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog
Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan
Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan
Rohmat Suci atau Sunan Godog Suci.
Kini makam
Godog banyak didatangi penziarah. Oleh sebagian orang makam ini memang sangat
dikeramatkan, karena Kian Santang sering disejajarkan dengan para wali yang berjasa
dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Mereka yang datang bukan hanya dari
wilayah Tatar Sunda saja, tetapi banyak pula yang datang dari luar Jawa. Hampir
setiap waktu banyak masyarakat yang
ziarah,
apalagi pada
bulan Maulid.
“Apa yang
kamu pelajari dari tempat ini, De?” tanya Joan kepada adiknya setela
berjalan-jalan di sekitar areal Makam Sunan Godog.
“Apa dong,
Kak?” Ade balik bertanya.
“Prabu
Kiansantang rela mening-galkan tahta kerajaan sebagai simbol kekuasaan di
dunia, untuk mendekatkan diri kepada Allah demi mendapatkan ridha-Nya, sehingga
beliau tercatat sebagai salahsatu wali Allah yang telah menyebarkan agama Islam
di daerah Tatar Sunda, terutama di Garut. Makanya Garut tak akan pernah
kehilangan identitasnya sebagai daerah religius.”
Ade
mengangguk-angguk.
“Ingat ya,
De. Di saat banyak orang seusia kamu yang lalai terhadap ibadah terutama ibadah
shalat, Kakak ingatkan kepada Ade, jangan pernah meninggalkan shalat. Dalam
situasi dan kondisi bagaimana pun, jangan pernah meninggalkan shalat,” ujar
Joan.
“Iya, Kak,’
Ade mengangguk.
Hujan
Luruh
di Kota
Intan
7
Sebuah tembang
manis dari Chrisye, Andai Aku Bisa,
mengawali siaran Joan malam itu setelah bertahun-tahun ia tak siaran. Ia
menggantikan Jay yang sedang melakukan liputan jurnalistik di luar kota.
“Masih bersama kami di saluran suara kebahagiaan Radio
Antares Garut. Selamat malam
Nonoman Kota Intan di mana pun mendengarkan siaran kami. Malam ini saya Joan
Aditya akan menemani anda semua hingga tengah malam nanti di acara Simponi
Malam. Untuk kamu yang mau request bisa hubungi 0262 234972 atau bisa sms
kenomor HP 082214333xxx,” Joan membuka acara siaran dengan suara khasnya.
“Sahabat
semuanya, malam ini hujan turun deras. Suasana begini mengingatkan saya kepada
seorang sahabat lama yang kini entah berada di mana. Selamat Malam Yessi
Damayanti di mana pun kamu berada. Saya persembahkan sebuah lagu untuk
mengenang kebersamaan kita dulu.”
Lagu
Jika dari duet Melly dan Ari Lasso mengudara selesai Joan bicara. Selanjutnya
Joan mendengarkan lagu kenangan itu sambil memilih lagu lain yang akan
diputarnya di layar komputer.
Tiba-tiba
telepon di ruang siaran berdering.
“Hallo, dengan Radio Antares di
sini,” ucap Joan.
“Hallo Joan….” suara seorang cewek
di balik telepon.
“Ya, dengan Joan. Anda mau pesan
lagu?”
“Joan, ini aku.
“Yessi? Kamukah ini?” Joan
tersentak. Suara itu pernah sangat dikenalnya. Hatinya tiba-tiba berdebar
kencang.
“Ya, aku Yessi. Apa kabar, Joan?”
“Yessi! Di mana kamu?” Joan setengah
tak percaya.
“Aku di rumah kakakku. Kapan kamu
datang?”
“Sebulan yang lalu. Yessi, aku rindu padamu. Sangat rindu,” suara
Joan bergetar.
“Aku
juga. Datanglah besok. Aku menunggumu.”
“Sebagai…
seorang sahabat?” Joan cemas.
“Sebagai
apa pun yang kau inginkan.”
Perasaan
Joan lega.
“Aku akan datang besok. Banyak yang
ingin kuceritakan padamu.”
“Aku menunggumu. Aku akan
mendengarkan siaranmu sampai selesai. Selamat malam, Jo.”
“Selamat malam, Yessi.”
Tuhan,
akhirnya kau kabulkan pintaku untuk menemukannya. Terima kasih Ya Tuhan….
Joan menengadahkan tangannya dengan
mata terpejam. Saat matanya terbuka kembali, kedua matanya telah basah. Sementara di luar hujan turun semakin deras.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
8
“Selamat siang,
saya Joan. Saya ingin bertemu dengan Yessi,”
ucap Joan pada wanita yang berdiri di depan pagar rumah bercat hijau.
“Oh, silahkan masuk.”
“Terima kasih, Teh.”
Joan masuk halaman rumah dan mengikuti wanita itu ke teras
rumah dimana terdapat satu set tempat duduk. Hatinya dipenuhi pertanyaan kenapa
Yessi tak menyambutnya di depan rumah.
“Saya Mila,
kakak ipar Yessi. Saya sudah tahu
tentang kamu dari cerita Yessi. Maaf, tadi pagi Yessi dijemput ke Bandung oleh
mamanya. Dan ia memohon maaf tidak bisa menemuimu. Tapi ia menitipkan surat
buatmu. Sebentar, saya ambil dulu suratnya.”
Joan tercekat mendengar Yessi tak ada. Jiwanya mendadak
hampa. Wanita itu bangkit meninggalkan Joan
tertegun sendirian. Beberapa saat kemudian wanita itu datang kembali membawa
minuman dan sebuah surat.
“Ini suratnya.”
Joan menerima surat itu.
“Terima kasih. Emh…
apa boleh saya membuka surat ini?”
“Silahkan.”
Joan merobek sisi amplop lantas mengeluarkan selembar
kertas di dalamnya.
Dear, Joan….
Semalaman aku tak bisa tidur. Semalaman aku menangis, Joan. Oh ya, aku
bahagia bisa mendengar suaramu. Seolah-olah kamu sedang berada di dekatku.
Hingga terbayang kebersamaan kita dulu saat kita masih bersama-sama di Radio
Antares. Indah mengenang semua itu walau aku harus mengakhirinya dengan derai
air mata.
Aku selalu ingin datang ke kota ini dan bertemu denganmu. Dan hari-hari
terakhir ini keinginanku semakin kuat. Dua hari yang lalu aku datang ke sini.
Dan betapa bergemuruhnya jantungku ketika malam tadi aku mendengar kamu siaran
di Antares. Aku kangen kamu, Joan. Dan aku tak sabar menunggu siang agar bisa
segera bertemu denganmu. Sungguh,
betapa ingin aku curhat padamu seperti yang sering kulakukan dulu. Aku
menunggumu. Aku menunggumu, Joan.
Tapi… pagi ini Mama
datang dari Bandung menyusulku. Joan… aku tak pernah tahu akan bertemu kembali
dengan kamu … satu minggu sebelum aku menikah. Ya, Jo… satu minggu lagi aku
menikah dengan Rangga.
Dia laki-laki pertama dalam hidupku yang selalu menungguku hingga aku pernah
menyia-nyiakan cinta putihmu dulu. Maafkan aku, Joan….
Tangan Joan gemetar. Ia tak mampu lagi melanjutkan tatapan
matanya pada isi surat itu karena matanya telah basah.
“Kamu sudah baca surat Yessi. Memang seperti itulah
kenyataannya. Yessi mencintai kamu. Tapi ia tak bisa meninggalkan Rangga yang selalu setia
padanya. Sebaiknya lupakan Yessi kalau kamu menyayangi dan mencintainya,” ujar Mila sendu.
“Teh, tolong saya minta alamat Yessi di Bandung,” ucap Joan
parau.
Mila menggelengkan
kepala.
“Please, jangan lakukan itu. Kamu jangan nemuin Yessi.
Teteh Mohon.”
“Saya hanya ingin bertemu dia untuk yang terakhir
kalinya….” Joan memohon dengan air mata berderai.
“Tapi… Teteh akan dimarahi oleh keluarga kalau ngasih
alamat di Bandung ke kamu.”
“Hari ini saya akan langsung ke Bandung. Apakah Teteh tega
jika saya berhari-hari bahkan berminggu-minggu mencari Yessi seperti orang
gila?”
Mila tertegun.
“Maaf, Joan. Teteh tidak bisa,” ucapnya kemudian.
Joan menggigit bibir.
“Terima kasih, Teh. Saya pamit. Saya yakin tanpa dikasih tahu oleh Teteh pun, akan
menemukan alamat Yessi di Bandung.”
Joan bangkit dari tempat duduknya,
lalu melangkah meninggalkan Mila.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
9
Mencari alamat seorang gadis bernama Yessi di kota Bandung bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.
Tapi Joan tak putus asa. Dirinya merasa yakin akan menemukan Yessi walau entah
berapa lama pencarian itu. Ia duduk di terminal dan mengamati setiap orang yang
berlalu lalang. Sesekali ia mengikuti cewek sambil berharap cewek yang
diikutinya itu adalah Yessi. Tapi ketika
cewek yang diikutinya itu berpaling dan terlihat wajahnya, Joan menghentikan
langkahnya dengan perasaan kecewa. Ia baru menghentikan semua itu setelah malam
hari. Kelelahan setelah seharian di terminal, Joan keluar dari terminal mencari
mesjid. Tak jauh dari terminal ada sebuah mesjid. Tapi sayang, mesjid yang
nampak megah itu terkunci rapat. Joan terpaksa duduk di terasnya. Setelah
istirahat sejenak ia mengambil air wudhu. Kemudian
ia melaksanakan shalat isya di teras mesjid. Setelah shalat ia tiduran
beralaskan tas yang dibawanya. Perlahan ia mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah coklat batangan. Ia
menatap coklat di tangannya, perlahan seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Yessi, ini buat kamu,” gumamnya. Lalu
wajah Yessi terlintas di benaknya dengan senyum terindahnya.
“Entar kalau aku ulang tahun kamu jangan ngasih apa-apa
lagi, kasih aja aku coklat,” ucap Yessi suatu waktu saat melihat anak kecil membawa coklat.
“Ge-er amat, emangnya siapa yang mau ngasih hadiah?”
“Kamu jahat!” jerit Yessi sambil nyubitin Joan.
“Coklat itu makanan anak kecil, bisa bikin gigi rusak!
Entar kamu ompong sebelum jadi manula.”
“Buktinya aku nggak ompong. Lihat gigiku bagus begini.”
“Oh iya. Putih dan bersih. Sering dicuci pake sikat kawat
ya?”
“Joan jahaatt!” Yessi ngambek.
“Dalam beberapa hal kamu mirip Ade, adikku. Suka makan es
krim, suka makan coklat,
bacaannya komik dan masih suka menangis kalau minta jajan.”
“Oh ya? Sama gitu?”
“Iya. Tapi kamu ada kelebihannya.”
“Apa kelebihannya?”
“Kamu lebih tua. Ade
baru kelas
empat
SD, kamu udah kelas dua SMA.”
“Iya dooong…!” Yessi kembali nyubitin Joan hingga
meringis-ringis.
Mata Joan basah. Tangannya menggenggam coklat itu
erat-erat.
“Yessi, kamu di mana? Aku ingin bertemu denganmu walau
hanya dalam mimpi,” Joan bergumam dalam rasa pedih yang menusuk-nusuk jiwanya.
Joan akhirnya tertidur. Tidur di teras mesjid terasa dingin
dan banyak nyamuk. Jam satu dini hari ia terbangun. Dalam rasa dingin ia
bangkit menuju tempat air wudhu. Ia membasuh wajahnya dengan air yang dingin
beberapa kali, lantas berwudhu secara sempurna. Setelah wudhu ia kembali ke
tempat semula dan berniat melaksanakan shalat tahajud. Selanjutnya ia shalat
tahajud dengan khusyu.
Selesai shalat, Joan menengadahkan kedua tangannya dan berdo’a sambil berderai air
mata.
Ya Allah, aku tahu pencarianku terhadap makhluk-Mu yang
bernama Yessi yang sungguh sangat kucintai hampir mustahil berhasil. Tapi jika
Kau berkenan mempertemukan kami berdua, maka Kau akan mengubahnya menjadi
sangat mudah. Walau aku bukan orang yang mulia di hadapan-Mu, tapi dengan
segala kerendahan hati, aku makhluk-Mu yang sering berbuat dosa dan hina ini
memohon petunjuk dari-Mu.
Joan
kembali tiduran beralaskan tas. Tapi ia tak bisa memejamkan mata. Dan tiba-tiba
ia ingat Yessi adalah seorang penyiar radio seperti dirinya. Saat pindah ke Bandung, mungkin Yessi
meneruskan hobinya jadi penyiar radio. Joan tersenyum. Besok ia akan memulai
pencarian ke radio-radio di kota Bandung. Tabir harapan perlahan mulai terkuak.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
10
Esok harinya Joan
masuk dari satu kantor radio ke kantor radio yang lainnya mencari tahu tentang seorang
penyiar bernama Yessi. Setelah sepuluh
kantor radio ia masuki, tak ada penyiar radio bernama Yessi. Hari hampir senja
ketika ia sampai di kantor Radio Ardan. Seorang wanita kira-kira berusia 30
tahun keluar dari kantor, sepertinya seorang penyiar. Joan menyambut wanita itu di pintu keluar.
“Selamat sore, Teh,” sapa Joan sambil tersenyum.
“Sore,” sahutnya ramah.
“Maaf, Teteh penyiar Ardan ya?”
“Iya.”
“Saya
Joan dari Garut. Saya sedang nyari teman saya seorang
penyiar, namanya Yessi. Mungkin Teteh kenal.”
“Yessi? Enggak ada, di Ardan nggak
ada penyiar wanita bernama Yessi,” cewek itu menggelengkan kepala.
Joan menarik napas panjang. Semburat
kecewa nampak di wajahnya yang letih.
“Emi tunggu sebentar!” seseorang
muncul dari kantor. Seorang pria muda.
“Ada apa?” tanya wanita yang bersama
Joan.
“Ini ada undangan pernikahan dari Yessi, mantan penyiar
kita dulu. Kamu nggak akan kenal karena masih baru di sini,” kata pria muda itu
kemudian kembali masuk kantor.
“Makasih.”
Darah Joan berdesir. Emi berpaling
padanya.
“Mungkin Yessi yang kamu tanyakan,”
kata Emi sambil menatap Joan.
“Bisa saya lihat undangannya?” tanya
Joan.
Emi memberikan undangan itu pada
Joan. Joan membacanya.
Menikah Yessi dan Rangga.
Mata Joan nanar.
“Ya, ini Yessi yang saya cari.
Sebentar, saya akan mencatat alamatnya,” Joan membuka tas untuk ngambil pulpen.
“Nggak usah ditulis. Undangannya
buat kamu aja, aku nggak bakal hadir,” kata Emi.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Joan
gembira.
“Sama-sama.”
Joan menggenggam undangan itu. Akhirnya
aku menemukanmu, Yessi. Tuhan, terima kasih….
Tak
terlalu sulit bagi Joan untuk menemukan rumah Yessi karena sudah memiliki
alamatnya. Setengah jam kemudian Joan sampai di depan sebuah rumah yang sesuai
dengan alamat pada kartu undangan.
Joan
membuka pagar rumah yang sedikit terbuka. Ia melangkah masuk menuju pintu
depan. Beberapa saat ia terdiam di depan pintu. Perlahan ia memijit bel rumah.
Seorang
wanita setengah baya membukakan pintu.
“Anda
siapa? Ada perlu apa?” tanya wanita itu.
“Saya
teman Yessi, ingin bertemu dengannya,” sahut Joan.
“Oh,
tunggu sebentar. Saya panggilkan dulu Neng Yessi.”
Wanita
itu pergi.
“Siapa
Bi?” terdengar suara Yessi.
“Katanya
teman Neng Yessi.”
Suara
langkah terdengar mende-kati pintu. Sebuah wajah cantik melongok keluar.
“Joan?”
ia terkesiap melihat Joan. Ia segera keluar menghampiri Joan dengan perasaan haru
biru.
“Yessi,”
panggil Joan lirih. Joan segera memeluk Yessi. Joan sangat rindu pada Yessi
setelah sekian tahun tak bertemu dengannya.
Mereka
bertatapan dengan mata basah. Keduanya sama-sama berurai air mata.
“Dari
mana tahu alamatku? Dari Teh Mila?” tanyanya sendu.
“Aku
mencarimu beberapa hari, Teh Mila tak mau memberitahu alamatmu. Aku menemukan
ini,” Joan memperlihatkan undangan pernikahan Yessi.
“Maafkan
aku, Joan....” mata Yessi makin basah. Ia menarik tangan Joan ke dalam
rumahnya. Lalu ia menangis di dada Joan.
Joan menatap Yessi sendu. “Yessi, katamu cinta adalah
perasaan suka kepada seseorang. Dan kita selalu ingin bersama dengan orang yang
kita cintai itu. Oh ya, aku membawa sebuah coklat untukmu. Mungkin kondisinya
sudah tak bagus lagi karena selama dua hari dua malam kepanasan dan kedinginan.
Ini….” Joan memberikan sebatang coklat pada Yessi.
“Joan, terima kasih,” Yessi tersenyum dalam derai air
matanya.
“Sekarang aku ingin sebuah jawaban darimu. Aku tahu
Rangga telah lama berada dalam hatimu, jauh mengalahkan aku. Tapi setelah kita
berpisah sekian lama... mungkin ada sesuatu yang terjadi dalam dirimu. Apakah
ada sedikit saja rasa cinta di hatimu untukku?”
Yessi menggelengkan kepala, “Bukan sedikit, tetapi sangat
banyak. Seluruh ruang hatiku dipenuhi oleh rasa cinta padamu. Andai saja kamu
tak terlambat hadir kembali dalam kehidupanku, aku tak akan menerima lamaran
Rangga.“
“Terima kasih Yessi. Cintamu adalah semangat hidupku.
Bertahun-tahun aku bertanya-tanya dalam diriku, kini aku telah mendapat
jawaban. Ungkapan cintamu adalah kebahagiaan buatku. Walau kamu tak bisa
kumiliki, tetapi hatimu telah kumiliki.”
Joan menggenggam erat jemari tangan Yessi.
“Maafkan jika aku tak bisa datang dalam acara
pernikahanmu. Aku tak akan kuat melihat orang yang kucintai bersanding dengan
orang lain,” ucap Joan.
Air mata terus berderai dari mata bening Yessi. Andai
saja waktu bisa diulang, Yessi akan menuliskan nama Joan dalam kartu undangan
pernikahannya, bukan Rangga.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
11
Joan makin nampak
murung setelah pulang dari Bandung. Seminggu
lagi pernikahan Yessi. Dunia ini bagaikan bentangan lukisan sedih. Angin
bagaikan nyanyian pilu yang terus
bersenandung setiap waktu. Joan rasanya tak sanggup untuk melanjutkan hidup.
Atau pergi sejauh-jauhnya meninggalkan Garut. Pergi kemana saja, ke tempat yang
bisa membuatnya melupakan kesedihan dan duka yang kini dirasakannya.
Diam-diam
Ade sering memper-hatikan kakaknya. Ade sangat sedih melihat duka yang nampak
di wajah kakaknya. Tapi Ade tak pernah tahu, kenapa kakaknya berduka? Hanya
beberapa waktu saja ia bisa bercanda dengan kakak kesayangannya. Dan ia tidak
tahu bagaimana menghapus duka itu?
Suatu
hari, Joan menelepon seseorang. Ade menguping pembicaraan mereka.
“Hallo
Bang Husen. Ada pekerjaan baru?”
“Oh kamu
Joan, kebetulan nelepon. Ada proyek baru di negara Qatar. Aku perlu beberapa
orang mandor. Gajinya besar. Tetapi harus mau kontrak lima tahun, nggak boleh
pulang ke tanah air. Bagaimana kamu siap?”
“Jangankan
hanya lima tahun, seumur hidup pun aku siap,” kata Joan.
“Hahahaha...
bagus kalau begitu. Siapa tahu kamu dapat jodoh nanti di Qatar. Kita berangkat
sekitar semingguan lagi. Hari Sabtu kamu harus sudah berada di Jakarta. Siapkan
saja dokumen kamu, agar waktu berangkat
gak ribet lagi.”
“Siap,
Bos!”
Joan
menutup telepon.
Jantung
Ade berdebur kencang mendengar pembicaraan itu. Kakaknya akan pergi lagi untuk
waktu yang lebih lama. Dulu ia sangat kehilangan saat kakaknya bekerja di
Batam. Kini akan berangkat ke Qatar, sebuah negeri yang sangat jauh. Diam-diam
Ade menangis. Ade tak mau ditinggalkan lagi oleh kakaknya.
“Ade?
Kamu kenapa menangis?” Mama heran melihat putrinya menangis di kamar.
Tangisannya sangat keras hingga terdengar sampai ke dapur.
“Kak
Joan akan pergi, Ma....” sahut Ade senggukan.
“Pergi?
Pergi kemana?” Mama kaget.
“Ke
tempat yang jauh, katanya mau ke negara Qatar. Ade tahu itu sebuah negara di
Timur Tengah.”
“Kata
siapa?” Mama makin kaget mendengar perkataan Ade.
“Tadi
Kak Joan nelepon seseorang. Ade nggak mau ditinggalkan lagi oleh Kak Joan....”
kemudian Ade menangis lagi tersedu-sedu.
Mama
tertegun. Benarkah anaknya akan pergi lagi meninggalkan keluarga? Kenapa ia
selalu pergi jauh? Bukankah di Garut juga banyak pekerjaan kalau sekedar ingin
bekerja?
Joan
akan pergi ke negara Qatar. Semua anggota keluarga sudah mengetahui hal itu.
Mereka berusaha mencegah kepergian Joan.
“Kak Joan jangan pergi, jangan tinggalkan Ade lagi....”
Ade terus menangis.
“Iya Joan, Mama gak mau kehilangan kamu seperti dulu,”
kata Mama dengan isak tangisnya.
Tetapi Joan tak bergeming. Keputusannya sudah bulat,
pergi ke tempat yang jauh meninggalkan kota Garut beserta sejuta kesedihan yang
ada.
“Kepergianku
adalah sebuah pilihan berat. Beberapa hari lagi gadis yang kucintai sejak dulu
akan menikah. Kira-kira mana pilihan yang lebih baik, diam di sini lalu aku
mati bunuh diri? Atau aku pergi dan melanjutkan hidupku di tempat yang jauh?
Dengan kepergianku, aku berharap bisa mengobati luka hatiku. Di sana aku akan
bekerja keras untuk melupakan kesedihanku dan membahagiakan semuanya. Aku
sayang Mama, aku sayang Ade.... “ Joan memeluk Mama dan Ade sambil menangis.
Hingga semua orang ikut menangis.
Hari
Sabtu pagi, Joan berangkat dari Garut dengan sebuah bus menuju ke Jakarta. Keluarganya
mengantar kepergiannya dengan isak tangis dan derai air mata. Mereka sungguh
tak rela dengan kepergian Joan.
Joan
duduk di jok paling depan. Ia memakai
kaca mata hitam untuk menyembunyikan tangisnya. Tapi air mata yang deras
mengalir membuatnya sesekali menyeka wajahnya dengan tisue.
Selamat
tinggal Garut, aku akan meninggalkanmu untuk waktu yang lama. Entah aku akan
kembali atau tidak... tapi jika aku harus kembali, aku tak ingin ada kesedihan
sedikit pun yang tersisa di dalam hatiku.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
12
Turun dari bus, Joan mencari mesjid untuk shalat dhuhur. Jam di tangannya
menunjukkan pukul 1 siang. Kalau shalat di kantor penampungan tenaga kerja
milik bosnya, ia takut kesorean.
Joan membasuh wajahnya dengan air sebelum wudhu, wajahnya terasa segar. Kemudian
ia berwudhu. Selesai wudhu ia masuk ke dalam mesjid. Ada dua orang yang sedang
shalat. Ia ikut makmum kepada mereka. Selesai shalat, Joan berdo’a.
Ya Tuhan,
berikanlah suatu keajaiban padaku dengan do’aku, seperti keajaiban
yang terjadi kepada Nabi Musa saat ia difitnah oleh Qarun di hadapan kaum Bani
Israil. Lalu Engkau menyelamatkan Nabi Musa dari fitnah Qarun saat itu juga,
hingga bumi terbelah kemudian menelan Qarun beserta seluruh harta kekayaannya.
Aku ingin do’aku diijabah saat ini juga seperti Engkau mengijabah do’a Nabi
Musa. Sesung-guhnya aku tak ingin meninggalkan Mama dan Ade adikku, aku sangat
menyayangi mereka,” Joan berdo’a dengan mata terpejam kuat. Saat terbuka,
matanya nampak basah hingga ia harus menghapusnya dengan tisue yang masih
tersisa.
Ia baru saja keluar dari mesjid, hand phonenya berbunyi.
Dari Yessi. Jantung Joan berdebar-debar.
“Assalaamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum salam. Joan, kamu di mana?” tanya Yessi.
“Aku di Jakarta,” sahut Joan.
“Sedang apa di Jakarta?” tanya Yessi.
“Emh... aku....” Joan tak sanggup mengatakannya.
“Joan, kamu harus datang ke rumahku hari ini juga,” kata
Yessi.
“Kenapa aku harus datang ke rumahmu? Besok kamu akan
menikah dengan Rangga. Aku tak akan datang.”
“Joan, tadi pagi ada seorang wanita yang datang ke
rumahku. Ia mengaku pacar Rangga dan telah hamil dua bulan. Aku memutuskan
untuk menggagalkan pernikahanku dengan Rangga. Tapi besok pernikahan harus
dilangsungkan karena undangan telah disebar. Maukah kamu menggantikan
Rangga untuk
menikah denganku besok?”
Joan sesaat tertegun. Ia tak percaya dengan apa yang
didengarnya.
“Joan? Maukah kamu menikahi aku?” Yessi kembali mengulang
pertanyaannya.
“Aku mau... aku mau....” sahut Joan dengan dada
bergemuruh karena kegembiraan yang meledak menjadi tangis kebahagiaan. Ia
segera kembali ke dalam mesjid setengah berlari. Di dalam mesjid yang kosong ia
bersujud sambil menangis memuji kebesaran Allah.
“Allaaahu Akbar! Terima kasih Ya Allah, setelah kau
biarkan aku bertahun-tahun dalam perih dan pilu, kini kau berikan kebahagiaan
sekaligus dalam hidupku. Maafkan aku yang hampir berprasangka buruk
kepada-Mu....”
Keluar dari mesjid, Joan langsung menelepon Jay temannya.
“Hallo,” Jay mengangkat telepon.
“Jay, kamu mau bantu aku?” tanya Joan.
“Bantuin apa?”
“Aku ingin diantar kawin.”
“Oh, sudah mendapat pengganti Yessi rupanya.”
“Aku menikah dengan Yessi.”
“Hah? Serius nih?” Jay kaget.
“Yah. Ceritanya panjang, nanti kuceritakan. Kalau masih
ngaku teman, aku minta kamu berangkat sekarang ke Bandung. Aku juga masih di
Jakarta, nanti kita ketemu di Bandung. Aku sms-kan alamat rumah Yessi sekarang.
Bisa kan kamu ke Bandung sekarang?”
“Bisa, untuk seorang teman apa sih yang tak bisa?”
“Terima kasih, Jay.”
Joan menutup
telepon. Ia lantas mengirim sms alamat rumah Yessi kepada
Jay.
Selanjutnya Joan menelepon keluarganya. Mamanya yang
pertama ditelepon.
“Assalaamu’alaikum, Ma.”
“Wa’alaikum salam. Joan kamu sudah sampai ke Jakarta?”
tanya Mama.
Sesaat Joan terdiam.
“Sudah Ma. Tapi Joan tidak jadi pergi ke Qatar. Joan
tidak akan pergi ke mana pun lagi, Joan sayang kepada Mama dan Ade,” kata Joan
parau.
“Terima kasih Ya Allah!” kata Mama lalu terdengar ia
menangis.
Joan membiarkan Mama menangis beberapa saat.
“Kenapa Ma?” terdengar suara Ade.
“Kakakmu nggak jadi berangkat
ke Qatar. Ia tak akan meninggalkan kita,”
sahut Mama.
“Kak Joan!” terdengar suara Ade memanggilnya.
“Ya Ade sayang.”
Ade tak berkata apa-apa lagi, yang terdengar kemudian
adalah isak tangisnya. Rasa bahagianya bercampur haru membuatnya tak bisa
berkata-kata.
“Ma, Joan ingin bicara dengan Bapak,” kata Joan.
“Ya, Mama panggilkan dulu ya, Bapak lagi di toko.”
Joan beberapa saat menunggu. Tak lama kemudian terdengar
suara Bapak. Joan lalu berbicara tentang rencana pernikahannya yang mendadak.
Ia menceritakan garis besar apa yang dialaminya hari ini.
Bapak mengerti. Saat itu juga ia mengumpulkan seluruh
keluarga dan kerabatnya untuk membicarakan pernikahan Joan dan Yessi besok di
Bandung.
Hujan Luruh
di Kota
Intan
13
Joan
melangsungkan akad nikah dengan Yessi jam
sebelas siang. Suasana berlangsung haru bagi kedua keluarga itu. Mata mereka
basah menyaksikan acara akad nikah kedua mempelai itu. Perjuangan cinta mereka
sungguh panjang dan berliku. Sesungguhnya jodoh, kematian, kebahagiaan dan
musibah yang menimpa seseorang telah digariskan oleh Tuhan dan berlaku untuk
seluruh makhluk-Nya.
Jay tak berhenti mengabadikan pernikahan Joan dengan
Yessi. Jay tahu betul bagaimana dalamnya cinta Joan kepada Yessi. Sungguh
penderitaan yang berakhir manis. Diam-diam ia merasa iri karena kisah cintanya
biasa-biasa saja, tidak seru seperti cinta Joan dan Yessi. Kisah cinta mereka
kalau difilmkan tentu akan banyak yang menonton. Akan menyaingi film-film
tentang cinta yang telah dibuat sebelumnya.
Joan berhadapan dengan ayah Yessi. Ibu jarinya dipegang
oleh ayah Yessi.
“Nak Joan, aku
nikahkan kamu dengan Yessi putri kandungku dengan mas kawin dua puluh gram emas
ditambah sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dibayar tunai!”
“Saya terima menikah dengan Yessi binti Ahmad dengan mas
kawin dua puluh gram emas ditambah sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dibayar tunai!”
kata Joan mantap.
“Bagaimana sah?” tanya Pak Penghulu.
“Saaahh!” sahut semuanya sambil tersenyum senang.
Penghulu kemudian membacakan do’a yang diamini oleh
semuanya.
Acara
berlanjut ke acara sungkeman. Joan dan Yessi bersimpuh di kaki kedua orang
tuanya. Tangis mereka meledak, tangis sebenarnya bukan tangisan yang
dibuat-buat karena acara seremonial pernikahan. Mereka menangis karena dorongan
dari dalam hati mengingat pernikahan mereka benar-benar sebuah keajaiban.
Tak ada yang menyangka Yessi akan menikah dengan Joan
karena sampai dengan hari kemarin yang akan menikah adalah Yessi dan Rangga.
Setelah
sungkeman kepada kedua orang tua mereka, Joan dan Yessi kemudian sungkeman
kepada seluruh anggota keluarga dan kerabat dekat. Kemudian
acara foto bersama. Sedangkan para tamu undangan menikmati sajian makanan yang
telah disiapkan oleh keluarga mempelai wanita.
Yessi
dan Joan nampak bahagia berfoto bersama keluarga dan kerabat mereka. Jay tak
ketinggalan ikut berfoto bersama mereka.
“Kalian
mau berbulan madu ke mana?” tanya Jay.
Joan dan
Yessi berpandangan. Kemudian keduanya tertawa.
“Kami
sudah punya rencana bulan madu yang asyik dan tak pernah dilakukan oleh orang
lain,” sahut Joan.
“Kemana?”
tanya Jay.
“Mau tahu aja!” sahut Yessi.
Keduanya kembali tertawa.
Seminggu kemudian, Joan membawa Yessi ke Garut. Joan
ingin berbulan madu dengan isterinya di Garut sambil menemui teman-teman mereka
dulu saat masih sama-sama jadi penyiar di Radio Antares.
Beberapa hari setelah mereka berada di Garut, hujan turun
dengan deras mengguyur kota Garut.
“Ayo kita lakukan rencana bulan madu kita,” kata Joan.
“Ayo, siapa takut?” kata Yessi.
Mereka keluar rumah padahal hujan sangat deras. Lalu
mereka berpelukan di bawah hujan deras.
“Cinta adalah perasaan suka kepada seseorang. Dan
kita selalu ingin bersama dengan orang yang kita cintai itu. Kini kita telah bersama. Semoga hujan ini jadi saksi
bahwa cinta kita adalah cinta sejati yang tak akan terpisahkan,” kata Joan.
“Amiiinn,” sahut Yessi.
Suara guntur tiba-tiba berbunyi cukup keras.
Yessi memeluk Joan erat karena ketakutan.
“Tuh kan, Allah mendengar do’a kita, buktinya barusan ada
suara guntur,” kata Joan.
“Aku takut,” ucap Yessi manja.
“Kan ada aku, aku akan selalu melindungi dirimu dari apa
pun,” kata Joan sambil memeluk isterinya makin erat memberikan rasa aman.
Tapi tiba-tiba suara Guntur terdengar lagi. Makin lama
makin sering.
“Ih takut!” Joan melepaskan pelukannya dan segera berlari
ke dalam rumah.
“Joan tunggu!” Yessi berlari mengejar suaminya ketakutan.
“Kutunggu di kamar mandi!” sahut Joan sambil
tertawa-tawa.
“Awas kamu!” jerit Yessi.
Ade tersenyum-senyum melihat kelakuan mereka. Hatinya
diliputi peraasan bahagia yang tak terhingga melihat kebahagiaan kakaknya.
Semoga saja hari-hari penuh kebahagiaan akan menyertai
kehidupan rumah tangga mereka.
SELESAI
Mengenang Sahabatku, Neng Eka Dharmayanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar