Kamis, 11 Juni 2015

HUJAN LURUH DI KOTA INTAN









HUJAN LURUH DI KOTA INTAN
Sebuah Novel Tentang Cinta yang Tak Pernah Berhenti Mengalir


Penulis :
Arie Amar Ma'ruf, S.Pd

Editor :
Nabil Arjuna Ma'ruf

Produksi :
Rumah Cinta 







Hujan Luruh
di Kota Intan

1

 Jangan menyatakan cinta di musim hujan karena cintamu akan bernasib sama dengan air hujan, jatuh ke bumi lalu hanyut dan tak pernah kembali lagi.”

Kalimat itu tertulis di dinding kamar Joan. Tapi Joan tidak pernah percaya hal itu. Dan ia tetap berharap cintanya pada seorang gadis bernama Yessi akan berakhir dengan kebahagiaan.
           
Dari  jendela kamar, butir-butir hujan nampak makin deras. Sejak tadi Joan bergeming berdiri di bibir jendela menatap butiran-butiran bening yang berjatuhan membasahi taman. Entah apa yang menarik. Ia seperti sangat menyukainya. Mungkin karena ia rindu suasana seperti itu setelah empat tahun tak melakukannya. Selama di Batam ia memang tak menemukan hal seperti itu. Harinya di sana penuh dengan pekerjaan. Ia selalu sibuk. Tak ada waktu untuk berleha-leha, apalagi untuk sekedar termenung sambil menatapi dan mendengarkan rinai hujan, walau hal itu sangat menyenangkan baginya.
 “Kak Joan!”
 Teriakan Ade menyadarkan Joan dari lamunan.
 “Kak Joan!”
 “Ya,” Joan bangkit membuka pintu kamarnya. Ade berdiri di depan pintu  dengan     wajah   cemberut,  seperti sedang kesal.
  “Ada apa, De?” Joan menatap adiknya.
  “Masih hujan juga.”
  “Iya. Memangnya kenapa?”
   Ade masuk kamar kemudian menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
   “Nggak jadi dong acara jalan-jalan kita,” gerutu Ade.
   “Oh itu….” Joan tersenyum. “Kalau nggak jadi sekarang kan masih ada besok.”
   “Nggak mau! Jangan besok!”
   “Kok sewot gitu?”
   “Pokoknya Ade pingin sekarang!” tegas Ade.
   “Dalam keadaan hujan begini?” alis Joan berkerut.
   “Abis hujannya nggak brenti-brenti sejak tadi pagi!”
   “Ya kalau Ade maksa, Kak Joan bisa apa.”
    “Bener nih?” mata Ade berbinar.
   “Kak Joan kan sayang sama Ade. Tapi kalau Kak Joan boleh tahu, ngapain sih ngebet banget ngajak jalan-jalan?” Joan penasaran dengan sikap adiknya.
     Sesaat Ade tak menjawab. Ia seperti sungkan mengatakannya.
     “Kak Joan janji nggak bakal bilangin ke Mama?” Ade setengah ragu.
      “Iya deh.”
      “Ade pingin gaun,” ucap Ade pelan.
      “Gaun? Cuma gaun? Pake takut dibilangin ke Mama segala,” Joan heran.
     “Soalnya dua minggu lalu Ade baru saja dibeliin dua potong sama Mama. Kalau Mama tahu Ade minta lagi sama Kak Joan, bakal dimarahin.”
       Joan manggut-manggut.
     “Ada gaun bagus deh Kak. Tahu nggak, di Kota Garut baru kali ini Ade lihat gaun model begitu. Ketika pulang sekolah tadi, Ade lihat tinggal satu lagi. Kalau nunggu sampai besok bisa keburu dibeli orang!”
   Joan sekarang baru mengerti kenapa Ade memaksanya jalan. Ia tertawa-tawa hingga tubuhnya tergun-cang-guncang.
      Sementara Ade tersipu-sipu.
    “Kita hujan-hujanan aja yuk!” ajak Joan membuat mata Ade berbinar dan bersorak kegirangan.
    “Bener nih Kak?” tanya Ade.
   “Ayo! Sudah lama Kak Joan nggak hujan-hujanan. Dari sini kita naik angkot. Paling hujan-hujanannya dari tempat angkot sampai ke Pengkolan.”
     “Asyiiikk! Kak Joan baik banget!” Ade menjerit memeluk kakaknya.





Hujan Luruh
di Kota Intan

2

Di depan bangunan Radio Antares, Joan berdiri mematung menatap bangunan yang nampak sepi itu. Tempat ini adalah bagian dari kenangannya empat tahun lalu. Beberapa kali ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkah-nya. Akankah bertemu dengan Yessi? Jantungnya berdebar-debar tak karuan ketika seraut wajah cantik tergambar di benaknya.
Risa salahseorang penyiar radio sedang duduk di meja FO sambil membaca koran. Ia nampak kaget melihat sosok Joan masuk dan menghampirinya.
“Apa kabar, Ica?” sapa Joan.
“Hai Joan! Apakah aku nggak sedang bermimpi? Ke mana aja kamu?” Risa menjabat tangan Joan erat.
 “Mengelilingi dunia,” sahut Joan.
 “Bertahun-tahun kamu menghilang tanpa kabar berita. Kukira nggak akan bertemu lagi denganmu.”
 “Untuk dirindukan perlu waktu yang lama menghilang,” ucap Joan.
 “Dirindukan oleh siapa? Oleh Yessi?” goda Risa.
 Deg! Ada yang membaduk dada Joan. Risa telah  mengingatkannya kembali kepada Yessi. Ia bisa memahami ucapan Risa karena gadis itu tahu betul tentang kedekatannya dengan Yessi. Ingin saat itu ia menanyakan tentang kabar Yessi pada Ica,  tapi ia segera  mengubur keinginannya itu dalam-dalam.
 “Kamu juga rindu padaku, kan?” Joan bercanda mengalihkan pembicaraan.
 Risa hanya tersenyum.
 “Gimana kabar Jay?” tanya Joan.
“Kabar baik. Setelah berjuang keras akhirnya ia mendapatkan cewek pujaannya. Sekarang ia sudah punya dua anak menuju tiga.”
“Oow…” mulut Joan ternganga, kaget.
“Tuh Jay lagi siaran. Kamu bisa ngobrol sama dia dan tanyain gimana caranya sukses dalam bercinta.”
Joan tersenyum.
“Aku nemuin Jay dulu ya,” Joan pamit. Ia lantas menuju ke arah ruang siaran.
Di ruang kaca nampak Jay tengah ngomong sendiri sambil tersenyum-senyum di depan mik. Ia kaget dan melambaikan tangan ketika melihat Joan. Joan balas melambaikan tangan. Setelah bicara sesaat kepada pemirsa, Jay mengklik beberapa lagu di layar komputer lantas keluar menemui Joan. Mereka berpelukan penuh keharuan. Kemudian ngobrol beberapa saat penuh kehangatan. Ketika lagu hampir habis Jay kembali ke ruang siaran. Joan tersenyum memandangnya. Ah, ia jadi rindu untuk siaran lagi seperti dulu. Andai saja seorang Yessi tak membuatnya pergi, mungkin saat ini ia masih jadi seorang penyiar.
Joan termenung. Seakan terbayang kembali di benaknya peristiwa empat tahun lalu. Sore itu di ruangan yang didudukinya kini, ketika di luar turun hujan deras.
“Kamu sudah baca suratku?” ia menatap Yessi dengan perasaan berdebar.
“Ya,” sahut Yessi pelan.
“Kamu ngerti kan?”
“Ya, aku mengerti. Tapi Jo….”
“Kenapa, Yes?”
“Kupikir sebaiknya kita tetap bersahabat.”
“Hanya sahabat?”
“Aku….”
“Kenapa?”
“Kamu… kamu tidak tahu Jo?”
“Apa?”
“Aku… aku sudah punya kekasih.”
“Kamu… jadi kamu?”
“Ya, Jo….”
“Lantas apa arti kebersamaan kita selama ini?”
“Sejujurnya… saat ini aku sedang butuh seorang teman. Teman yang bisa mengerti diriku… dan kamu adalah teman terbaikku saat ini.”
“Cukup, Yes! Aku sama sekali tak menyangka jika rasa sayangku, rasa rinduku dan rasa cemburuku yang selama ini kutunjukkan padamu ternyata tak berarti apa-apa bagimu! Aku sangat kecewa!”
“Joan dengarkan dulu! Siapa bilang kamu tak berarti bagiku? Sudah kukatakan kamu adalah teman terbaikku!”
“Kamu butuh seorang teman yang mau mengerti dirimu? Bukankah kamu sudah punya kekasih?”
“Kekasihku tak  ada  di  kota  ini. Kami jarang bertemu. Percayalah Joan, aku betul-betul butuh seorang teman. Aku tak ingin kehilangan kebersamaan denganmu.”
“Percuma. Kebersamaan kita tak punya tujuan.”
Joan  mengusap mukanya  memupus bayangan masa lalu itu. Tiba-tiba matanya terasa basah.





Hujan Luruh
di Kota Intan

3

Warung Bakso Mas Edi samping Radio Antares menjadi tempat ngumpul para penyiar kalau sedang bebas tugas. Joan dan Jay duduk di salahsatu meja menikmati bakso sambil ngobrol melepas rasa kangen.
“Tak kusangka kamu akan memutuskan pergi ke Batam. Aku sangat kaget dengan keputusanmu,” ucap Jay.
 “Kaget tapi senang kan? Kamu nggak punya saingan lagi ngegaet fans,” canda Joan.
 Jay cuma tersenyum.
“Waktu itu yang ada di benakku hanya satu hal, aku harus pergi dari kota ini. Bertahan terus di sini sama saja dengan menyiksa diri. Kebetulan pamanku di Batam nawarin pekerjaan di sana.”
“Kamu pergi karena kecewa oleh Yessi, kan?”
Joan mendesah.
“Kasihan Yessi. Ia sepertinya sangat kehilangan.”
Joan menggelengkan kepala. “Tidak mungkin. Kepergianku tak akan berarti apa-apa baginya.”
“Buktinya ia tak betah lagi berada di sini,” Jay memberi alasan.
“Maksudmu… Yessi sudah nggak di sini lagi?” Joan kaget.
“Sebulan setelah kepergianmu Yessi pindah ke Bandung,” ujar Jay membuat Joan tertegun.
“Kukira ia masih di sini,” Joan setengah bergumam.
“Padahal ia penyiar favorit di sini.”
“Kamu tahu nggak alamatnya  di Bandung?” tanya Joan penuh harap.
“Aku tidak tahu. Dan tak ada yang tahu karena ia tak memberitahu alamatnya kepada kami,” sahut Jay.
Kembali Joan tertegun. Matanya menerawang. Yessi,  kamu di mana? Aku rindu padamu....
           
Dari Kafe Yogya pemandangan kota Garut sebagian terlihat jelas. Joan memandang lepas ke luar. Sementara di bangku lainnya Ade tengah menikmati es krim. Cewek baru gede itu memang doyan es krim. Makanya ia senang banget ketika diajak kakaknya ke kafe. 
Ade  menunda  dulu  es  krimnya ketika untuk kesekian kalinya melihat kakaknya sedang termenung.
“Apa sih yang lagi dilamunin?”
 Joan sedikit kaget, tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
“Nggak ngelamun. Kak Joan lagi menikmati keindahan kota kecil ini. Pemandangan di luar sana indah sekali. Bangunan-bangunan yang tinggi, gunung, pepohonan, jalanan, mobil, kerumunan manusia, semuanya terlihat dari sini. Dihiasi cahaya matahari senja yang berwarna keemasan. Indah sekali, De.”
Ade memandang ke luar.
“Kota kecil ini sangat indah. Presiden Soekarno memberinya gelar Kota Intan, sebagai simbol sebuah kota yang bersih dan indah. Beliau sangat betah berada di Garut dan sering menyempatkan diri datang untuk liburan ke sini.”
“Oohh, begitu ya? Baru tahu deh ada Presiden yang sering datang ke Garut. Hebat banget. Sekarang kan menteri aja jarang yang datang.”
“Sok tau!”
“Bener loh!”
“Pada zaman penjajahan Belanda bahkan para pejabat dari Batavia banyak yang datang ke Garut untuk istirahat.”
“Nggak ada kerjaan tuh Belanda pake istirahat di sini, kenapa nggak di rumahnya aja!”
“Ade… mereka datang tuh bukan istirahat tidur aja. Tapi menikmati suasana indah di kota ini. Menurut mereka, kota ini sangat sejuk, udaranya enak. Dan banyak memiliki pesona alam yang luar biasa seperti Kawah Papandayan, Kawah Talaga Bodas, Bukit Ngamplang, Pemandian Cipanas, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, dan masih banyak lagi tempat wisata yang lainnya.”
Ade manggut-manggut.
“Kalau mau melihat keindahan kota ini, Kak Joan sering datang ke sini. Ade juga sering ke sini sama Mama, kan?”
“Iya sih, tapi… buat jajan es krim doang. Abis di sini es krimnya enak,” Ade cengar-cengir.
“Ade, Ade. Kapan sih bisa putus hubungan sama es krim?” Joan geleng-geleng kepala.
“Mana kutahu?” sahut  Ade  asal diikuti tawa renyahnya.
Gemas Joan mengacak-acak rambut Ade.
Beberapa saat kemudian Ade asyik menyuapkan es krim ke dalam mulutnya. Sedangkan Joan kembali asyik dengan lamunannya. Joan masih ingat, dulu Yessi yang pertama mengajaknya ke kafe ini. Sore itu setelah Yessi siaran Acara Gaya Kita Antares yang jadi favorit remaja kota Garut. Yessi bilang menyukai tempat ini karena suasana sepi dan pemandangan indahnya. Di sini mereka bicara tentang banyak hal. Tentang kuliahnya, tentang sekolah Yessi, tentang persahabatan sejati dan tentang cinta. Dan kini ia ingin mengenang semua itu.
“Kamu tahu apa arti cinta?” tanya Yessi kala itu.
“Arti cinta akan berbeda-beda, tergantung siapa yang mengartikannya.”
“Begitu ya?”
“He-eh. Menurut orang buta cinta itu sentuhan indah dalam kegelapan. Menurut orang tuli cinta itu getar-getar indah tanpa suara. Menurut orang bisu cinta itu getar rasa yang tak terucapkan.”
“Kamu bisa aja!” Yessi tertawa-tawa hingga keluar air mata.
“Tapi aku punya pendapat sendiri tentang cinta. Cinta itu adalah perasaan hati untuk memiliki seorang kekasih.”
“Begitu ya?”
“He-eh. Menurut kamu cinta itu apa?” ia balik bertanya pada Yessi sambil menatap mata beningnya.
 “Cinta itu… apa ya? Emh… cinta itu adalah perasaan suka kepada seseorang. Dan kita selalu ingin bersama dengan orang yang kita cintai itu.”
 Aku ingin selalu bersamamu, Yessi, gumam Joan dalam hati.      
“Tuh kan. Kak Joan ngelamun lagi. Udah deh, kalau nggak dimakan es krimnya buat Ade aja!” ucap Ade membuyarkan kembali lamunan Joan.
“Masih kuat De?”
“Sini!” Ade  mengambil  es  krim punya Joan.
 Joan geleng-geleng kepala ketika tanpa basa-basi lagi Ade menggarap es krimnya.





Hujan Luruh
di Kota Intan

4

Radio Antares Garut adalah radio paling ngetop di Kota Garut, memiliki fans yang sangat banyak dan terorganisir dengan baik. Mereka tergabung dalam Antares Fans Club. Mereka berasal dari semua kalangan, mulai dari masyarakat biasa sampai para pejabat Garut. Mulai dari anak-anak sampai orang tua. Setiap sebulan sekali diadakan pertemuan di tempat-tempat rekreasi yang dekat dari pusat kota, seperti di Bukit Ngamplang Cilawu, Gunung Papandayan Cisurupan, Perkebunan Giri Awas Cikajang, Curug Orok Cikandang, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, dan tempat-tempat lainnya yang nyaman untuk acara silaturahmi sambil berwisata. Biasanya acara diisi dengan perkenalan antar fans, berbagai lomba yang menghibur serta acara pentas musik.
Seperti hari itu, para fans Radio Antares Garut mengadakan kegiatan silaturahmi dan wisata ke Situ Bagendit Banyuresmi. Situ Bagendit merupakan danau alami yang dikelilingi persawahan dan perkampungan penduduk dengan latar panorama alam pegunungan di belakangnya, seperti Gunung Guntur, Cikuray, dan Papandayan yang indah. Gunung-gunung itu menjulang tinggi berselimutkan awan tipis. Pemandangan yang indah sekaligus memanjakan mata.
Menurut cerita masyarakat sekitar, Situ Bagendit berasal dari sebuah legenda yang menceritakan sebuah rombongan Ronggeng Baged dan Nyi Endit yang tenggelam, yang kemudian oleh masyarakat sekitar, situ tersebut dinamakan Situ Bagendit.
Suasana yang masih alam dan asri menjadikan objek wisata ini dijadikan andalan oleh pemerintah Kabupaten Garut. Walaupun ada sebagian pantainya yang sudah berubah menjadi perkebunan dan persawahan masyarakat setempat. Banyak aktivitas wisata yang bisa dilakukan di area Situ Bagendit ini, seperti berlayar ke tengah situ dengan menggunakan rakit bambu, bermain sepeda air, kano, memancing, jet sky dan aktivitas air lainnya.
Setiap tahunnya, Pemda Garut selalu menggelar festival Bagendit yang berisi tampilan berbagai kesenian daerah seperti Lais, Debus, Hadro dan lomba berbagai kegiatan wisata air sebagai upaya dalam menarik wisatawan datang ke daerah ini. Kawasan wisata Situ Bagendit sangat tepat untuk liburan bersama keluarga. Suasana pemandangan situ yang indah, berbagai kelengkapan fasilitas umum dan kemudahan-kemudahan layanan wisata menjadikan tempat ini memang sangat cocok untuk wisata.
Sebenarnya Situ Bagendit sudah dikenal sebagai tempat wisata semenjak zaman kolonial Belanda. Kala itu, tak hanya wisatawan lokal yang berkunjung, turis mancanegara juga kerap datang mengunjungi Situ Bagendit. Hal itu ditandai dengan didirikannya sebuah hotel lengkap dengan fasilitasnya pada tahun 1920. Akibat Perang Dunia II, kawasan wisata Situ Bagendit hancur, sehingga telaga ini terbengkalai selama beberapa tahun. Hotel yang sempat berdiri pun hanya tersisa puing-puingnya saja.
Pada tahun 1980-an pihak pemerintah kembali melirik kawasan ini untuk dijadikan objek wisata, sehingga dimulailah upaya pembenahan. Telaga seluas 125 hektar ini kemudian dibersihkan dari eceng gondok dan tumbuhan liar. Berbagai fasilitas ditambahkan serta kegiatan wisata dihidupkan.
Ada sebuah dataran yang cukup luas yang bisa digunakan untuk menggelar berbagai acara kegiatan masyarakat yang pinggir-pinggirnya rimbun oleh pepohonan sehingga tempat itu menjadi terasa nyaman.

Jam delapan pagi para fans mulai berdatangan. Mereka bercampur dengan para wisatawan lain yang datang untuk berekreasi di tempat itu. Kalau hari Minggu, Situ Bagendit memang lebih ramai oleh pengunjung, baik wisatawan lokal maupun yang sengaja datang dari luar wilayah Garut. Di atas panggung acara Jay dan Joan mulai bercuap-cuap menyambut kehadiran para fans. Untuk menghangatkan suasana, Jay nekat menyanyikan sebuah lagu dangdut. Beberapa orang fans langsung berjoget di bawah panggung sehingga suasana berubah hangat.
Kemudian Jay dan Joan bergantian menyapa para fans yang tercatat dalam buku katalog. Setelah semuanya disapa dengan hangat dan penuh suasana keakraban, mereka kemudian membawa-kan acara kuis pertama. Bagi para fans yang bisa menjawab pertanyaan seputar acara di Radio Antares, mereka mendapatkan hadiah dari sponsor. Setelah sepuluh hadiah tahap pertama habis, giliran para artis yang telah disiapkan menggebrak panggung. Musik dimainkan dan nyanyian merdu dilantunkan. Semua fans yang datang menikmati suasana hiburan yang meriah.
Setelah lima lagu dinyanyikan, kembali Jay dan Joan membawakan acara kuis.
“Kalau kalian benar-benar fans sejati Radio Antares, sebutkan lima orang penyiar wanita Radio Antares yang kamu kenal?” tanya Joan.
Hampir semua fans menga-cungkan tangan.
“Kamu yang pakai baju merah! Ayo naik panggung!” Joan menunjuk seorang gadis.
Gadis itu naik ke atas panggung disoraki oleh yang lainnya. Malu-malu ia menghampiri Joan dan Jay.
“Siapa nama kamu?” tanya Joan.
“Mitha.”
“Asal kamu dari mana?”
“Dari Tarogong.”
Jay mendekat, “Sudah punya pacar belum?” tanya Jay.
“Huuuu!” Jay disoraki oleh semuanya.
“Belum,” sahut Mitha malu-malu.
“Awas hati-hati Neng!” teriak Kang Dedi Raja Molen.
Para penonton bersorak-sorai.
“Tenang! Tenang!” Jay berteriak kepada para penonton. “Buat para fans yang belum punya pacar, silahkan daftar nanti di belakang!” katanya sambil cengar-cengir.
“Siaaapp!” sahut para fans yang masih muda.
Mitha semakin tersipu malu.
“Oke Mitha,   sekarang   silahkan
sebutkan lima penyiar wanita Radio Antares yang kamu kenal!” kata Joan.
“Teh Ica, Teh Ani, Teh Maya, Teh Sandra...” Mitha selanjutnya nampak berpikir.
“Satu lagi siapa?”
“Emh... Teh Yessi,” katanya.
Joan tertegun mendengar nama Yessi disebut.
“Betul!” kata Jay tiba-tiba lalu bertepuk tangan.
“Iya, kamu betul,” kata Joan sambil tersenyum.
“Tapi sekarang Teh Yessi sudah pindah ke Bandung. Semoga ia bisa kembali  ke Garut dan bisa siaran lagi di Radio Antares. Ayo kasih hadiahnya Joan!” kata Jay sambil menoleh kepada Joan.
Joan menyerahkan sebuah bung-kusan hadiah kepada Mitha.
“Terima kasih,” ucap Mitha sambil tersenyum pada Joan.
Joan balas tersenyum.
Selanjutnya Jay dan Joan mengajukan pertanyaan kuis yang lain untuk membagi-bagikan hadiah yang masih tersisa.
“Oke, acara kuis tahap kedua telah selesai. Kita lanjutkan kembali ke acara hiburan musik. Ada persembahan sebuah lagu dari salahseorang penyiar Radio Antares. Kita sambut Joan Aditya!” kata Jay.
Semua fans menyambut gembira dengan sepuk tangan meriah.
“Ayo Kak Joan!”
“I love you!”
Para fans wanita terutama yang masih abg berteriak-teriak.
“Saya akan menyanyikan sebuah lagu dari Haji Rhoma Irama, menunggu. Saya persembahan lagu ini untuk Yessi Eka Darmayanti di mana pun berada. Semoga angin mampu mengantarkan lagu ini kepadanya,” ucap Joan.
Penonton beberapa saat terdiam. Musik dimainkan, beberapa saat kemudian Joan mulai menyanyi dengan suara sendu.
“Sekian lama aku menunggu, untuk kedatanganmu. Bukankah engkau telah berjanji, kita jumpa di sini, datanglah... kedatanganmu kutunggu, telah lama... telah lama kumenunggu....”
Suara nyanyian Joan mendapat aplaus yang meriah dari para penonton. Joan menyanyikan lagu itu penuh perasaan hingga matanya nampak berkaca-kaca. Tentu saja ia bersedih karena ingatannya tertuju kepada Yessi yang sangat ia rindukan.




Hujan Luruh
di Kota Intan

5

Joan menelepon Boim, salahseorang fans Radio Antares yang dulu sangat dekat dengannya. Joan mendapat nomor HP Boim dari Jay.
            “Hallo,” telepon Joan diangkat oleh Boim.
            “Hallo Boim,” sapa Joan.
            “Ya, saya Boim. Ini dengan siapa ya?”
            “Joan.”
            “Joan penyair Antares dulu?” Boim seperti ragu.
            “Iya, Joan Aditya.”
“Hai! Apa kabar Joan?” Boim kegirangan.
“Baik. Kabar kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah. Sekarang di mana? Dari siapa dapat nomor HP aku?”
“Di Garut, aku dapat nomor kamu dari Jay.”
“Oh ya, syukurlah kalau sudah pulang kandang. Mau siaran lagi di Antares?”
“Belum tahu. Lihat situasi dulu.”
“Kapan mau ke sini?”
“Besok. Aku kangen mau main ke Curug Orok. Kamu bisa ngantar aku, kan?”
“Oh siap. Bagaimana Si Acong dan Si Leo ajak?”
“Boleh. Aku kangen sama mereka. Kalian kerja apa sekarang?” tanya Joan.
“Si Acong dan Leo mengurus ternak sapi. Kalau aku sekarang punya kios bakso di Pasar. Ditungguin berdua dengan isteriku.”
“Kamu sudah menikah Im?” Joan kaget.
“Sudah dong, anakku berusia dua tahun. Kamu kapan nikah?” Boim balik bertanya.
“Belum ada jodohnya, Im.”
“Kamu kan dulu banyak peng-gemar waktu jadi penyiar di Radio Antares, masa di antara mereka tak ada seorang pun yang nyangkut di hatimu. Atau jangan-jangan... masih menunggu cinta Yessi?” Boim tertawa.
“Aku belum bisa melupakannya, Im,” kata Joan berterus terang.
“Sudah bertahun-tahun belum bisa melupakan dia? Dengar ya, kalau kita sakit hati oleh seorang wanita, obatnya harus cepat-cepat dapat penggantinya.”
“Aku tidak bisa, Im. Hanya dia yang ada di hatiku hingga saat ini.”
“Luar biasa! Hatimu benar-benar kokoh dalam satu cinta. Tahu nggak? Si Leo di sini sudah tiga kali kawin!”
“Hah?!” aku kaget.
“Si Leo benar-benar gak tahu malu, kawin cerai melulu kayak nggak punya hati. Hilang satu ganti dengan yang baru. Sudah kunasehatin berulangkali, dia cuek saja. Dia malah bilang, suka-suka aku dong! Dasar tak punya hati tuh anak!”
Joan miris mendengar perkataan Boim tentang Leo sahabatnya dulu.
“Iya deh, Im. Besok kalau bertemu dengannya, aku akan nasehatin dia. Tunggu besok ya, sekitar jam delapan pagi.”
“Oke.”
Joan menghentikan acara neleponnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Terbayang kembali peristiwa beberapa tahun lalu saat-saat kebersamaan dengan Boim dan fans-fans Antares lain yang pernah dekat dengannya. Bermain bersama mereka di Perkebunan Giri Awas yang asri dan ditumbuhi banyak pepohonan sehingga udara yang terhisap terasa segar. Bermain bersama mereka ke Curug Orok yang indah mempesona. Boim yang memperkenalkannya kepada Sri mojang Cikajang yang cantik, Boim yang memperkenalkannya pada Katrin penyiar Radio Best FM yang mempesona. Tapi hatinya telah terpikat terlalu dalam kepada seorang gadis bernama Yessi Eka Darmayanti. Ia tidak bisa seperti Leo yang dengan mudahnya berpindah-pindah ke lain hati.
Mata   Joan   perlahan   terpejam. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Yessi. Yessi melambaikan tangannya sambil tersenyum. Tapi kemudian senyumnya berubah, berganti dengan tangisan.
Joan terperanjat terbangun dari tidurnya. Seluruh tubuhnya berkeringat. Sampai pagi ia tak bisa memejamkan mata kembali.

Boim, Acong dan Leo menyambut kedatangan Joan di depan rumah Boim. Mereka nampak girang melihat kehadiran Joan. Memang persahabatan antara penyiar Radio Antares dengan para penggemarnya terjalin begitu kuat. Itu karena mereka sering melakukan pertemuan dan silaturahmi. Kalau sedang tidak ada jadwal siaran, para penyiar sering mendatangi para fans ke rumahnya atau main bersama ke suatu tempat. Walau hanya untuk sekedar minum kopi dan merokok bareng.
Joan memeluk mereka bergantian dengan perasaan haru. Hampir lima tahun Joan tak bertemu dengan mereka.
“Leo, katanya kamu sudah tiga kali kawin?” kata Joan pada Leo.
“Takdir memang kejam. Aku sih inginnya kawin sekali seumur hidup, tapi selalu ada yang lebih cantik daripada isteriku.”
“Jangan begitu dong. Jangan suka menyakiti hati wanita.”
“Sumpah! Yang sekarang yang terakhir!” Leo mengangkat tangan kirinya.
“Catat Im! Kalau dia nggak bener lagi, sunatin aja!” kata Joan.
Semuanya tertawa.
“Acong kamu belum menikah?” tanya Joan pada Acong.
“Belum,” sahut Acong lesu.
“Sip!” Joan mengacungkan jempol sambil tersenyum karena merasa punya teman.
Kembali mereka tertawa bersama.
Joan masuk dulu ke rumah Boim. Tidak ada siapa-siapa karena isteri Boim sedang berjualan di Pasar. Mereka beberapa saat ngobrol sambil minum kopi bersama.
 Tak lama kemudian mereka berempat berangkat ke Perkebunan  Giri Awas yang tak jauh dari rumah Boim. Mereka jalan-jalan di areal perkebunan yang masih nampak asri seperti dulu. Sesekali mereka berfoto bersama. Setelah beberapa saat menikmati suasana nyaman Perkebunan Giri Awas,  kemudian mereka menuju ke Curug Orok. Di Curug Orok yang berair jernih, Joan berbasah-basahan di bawah air terjun bersama teman-teman lamanya. Sungguh rindunya kepada keindahan alam wisata Garut terpuaskan di tempat ini.





Hujan Luruh
di Kota Intan

6

Hari ini Joan dan Ade adiknya berangkat ke tempat wisata religius Makam Keramat Godog yang terletak di lereng Gunung Karacak, tepatnya di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Garut. Makam ini dipercaya sebagai makam Prabu Kian Santang, anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Informasi mengenai keberadaan makam Godog sebagai makan Kian Santang terdapat dalam beberapa naskah Sunda lama. Di antaranya Babad Godog, Babad Pasundan, dan Wawacan Prabu Kian Santang Aji. Dalam naskah-naskah tersebut diceritakan bahwa Kian Santang adalah putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Setelah memeluk Islam di Mekah, beliau tinggal di sana selama 7 tahun untuk mendalami ajaran agama Islam. Sepulang dari Mekah, Kian Santang mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk Islam, tetapi ditolak. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku meninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kian Santang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal Kian Santang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kian Santang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Allah tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Kiansantang kembali ke Pajajaran. Ia diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kian Santang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ke tempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ciremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba di satu tempat peti itu berubah, maka di sanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kian Santang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kian Santang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kian Santang meninggalkan Pajajaran. Yang dituju pertama kali adalah gunung Ciremai. Tiba di sana lalu peti disimpan di atas tanah, namun peti itu tidak  berubah. Prabu Kian Santang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, di sana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kian Santang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan di atas tanah secara tiba-tiba berubah.
Dengan berubahnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kian Santang bahwa di tempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog Suci. Kian Santang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan sebuah Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kian Santang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Sunan Godog Suci.
Kini makam Godog banyak didatangi penziarah. Oleh sebagian orang makam ini memang sangat dikeramatkan, karena Kian Santang sering disejajarkan dengan para wali yang berjasa dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Mereka yang datang bukan hanya dari wilayah Tatar Sunda saja, tetapi banyak pula yang datang dari luar Jawa. Hampir setiap waktu  banyak masyarakat  yang  ziarah,
apalagi pada bulan Maulid.
“Apa yang kamu pelajari dari tempat ini, De?” tanya Joan kepada adiknya setela berjalan-jalan di sekitar areal Makam Sunan Godog.
“Apa dong, Kak?” Ade balik bertanya.
“Prabu Kiansantang rela mening-galkan tahta kerajaan sebagai simbol kekuasaan di dunia, untuk mendekatkan diri kepada Allah demi mendapatkan ridha-Nya, sehingga beliau tercatat sebagai salahsatu wali Allah yang telah menyebarkan agama Islam di daerah Tatar Sunda, terutama di Garut. Makanya Garut tak akan pernah kehilangan identitasnya sebagai daerah religius.”
Ade mengangguk-angguk.
“Ingat ya, De. Di saat banyak orang seusia kamu yang lalai terhadap ibadah terutama ibadah shalat, Kakak ingatkan kepada Ade, jangan pernah meninggalkan shalat. Dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, jangan pernah meninggalkan shalat,” ujar Joan.
“Iya, Kak,’ Ade mengangguk.

      


 
                                          Hujan Luruh
di Kota Intan

7

Sebuah tembang manis dari Chrisye, Andai Aku Bisa, mengawali siaran Joan malam itu setelah bertahun-tahun ia tak siaran. Ia menggantikan Jay yang sedang melakukan liputan jurnalistik di luar kota.
“Masih bersama kami di saluran suara kebahagiaan Radio Antares Garut. Selamat malam Nonoman Kota Intan di mana pun mendengarkan siaran kami. Malam ini saya Joan Aditya akan menemani anda semua hingga tengah malam nanti di acara Simponi Malam. Untuk kamu yang mau request bisa hubungi 0262 234972 atau bisa sms kenomor HP 082214333xxx,” Joan membuka acara siaran dengan suara khasnya.
“Sahabat semuanya, malam ini hujan turun deras. Suasana begini mengingatkan saya kepada seorang sahabat lama yang kini entah berada di mana. Selamat Malam Yessi Damayanti di mana pun kamu berada. Saya persembahkan sebuah lagu untuk mengenang kebersamaan kita dulu.”
 Lagu Jika dari duet Melly dan Ari Lasso mengudara selesai Joan bicara. Selanjutnya Joan mendengarkan lagu kenangan itu sambil memilih lagu lain yang akan diputarnya di layar komputer.
 Tiba-tiba telepon di ruang siaran berdering.
 “Hallo, dengan Radio Antares di sini,” ucap Joan.
 “Hallo Joan….” suara seorang cewek di balik telepon.
 “Ya, dengan Joan. Anda mau pesan lagu?”
 “Joan, ini aku.
“Yessi? Kamukah ini?” Joan tersentak. Suara itu pernah sangat dikenalnya. Hatinya tiba-tiba berdebar kencang.
“Ya, aku Yessi. Apa kabar, Joan?”
 “Yessi! Di mana kamu?” Joan setengah tak percaya.
 “Aku di rumah kakakku. Kapan kamu datang?”
 “Sebulan yang lalu. Yessi, aku rindu padamu. Sangat rindu,” suara Joan bergetar.
 “Aku juga. Datanglah besok. Aku menunggumu.”
 “Sebagai… seorang sahabat?” Joan cemas.
 “Sebagai apa pun yang kau inginkan.”
  Perasaan Joan lega.
  “Aku akan datang besok. Banyak yang ingin kuceritakan padamu.”
 “Aku menunggumu. Aku akan mendengarkan siaranmu sampai selesai. Selamat malam, Jo.”
 “Selamat malam, Yessi.”
 Tuhan, akhirnya kau kabulkan pintaku untuk menemukannya. Terima kasih Ya Tuhan….
 Joan menengadahkan tangannya dengan mata terpejam. Saat matanya terbuka kembali, kedua matanya telah basah. Sementara di luar hujan turun semakin deras.




Hujan Luruh
di Kota Intan

8

“Selamat siang, saya Joan. Saya ingin bertemu dengan Yessi,” ucap Joan pada wanita yang berdiri di depan pagar rumah bercat hijau.
“Oh, silahkan masuk.”
“Terima kasih, Teh.”
Joan masuk halaman rumah dan mengikuti wanita itu ke teras rumah dimana terdapat satu set tempat duduk. Hatinya dipenuhi pertanyaan kenapa Yessi tak menyambutnya di depan rumah.
“Saya Mila, kakak ipar Yessi. Saya sudah tahu tentang kamu dari cerita Yessi. Maaf, tadi pagi Yessi dijemput ke Bandung oleh mamanya. Dan ia memohon maaf tidak bisa menemuimu. Tapi ia menitipkan surat buatmu. Sebentar, saya ambil dulu suratnya.”
Joan tercekat mendengar Yessi tak ada. Jiwanya mendadak hampa. Wanita itu bangkit meninggalkan Joan tertegun sendirian. Beberapa saat kemudian wanita itu datang kembali membawa minuman dan sebuah surat.
“Ini suratnya.”
Joan menerima surat itu.
 “Terima kasih. Emh… apa boleh saya membuka surat ini?”
“Silahkan.”
Joan merobek sisi amplop lantas mengeluarkan selembar kertas di dalamnya.
Dear, Joan….
Semalaman aku tak bisa tidur. Semalaman aku menangis, Joan. Oh ya, aku bahagia bisa mendengar suaramu. Seolah-olah kamu sedang berada di dekatku. Hingga terbayang kebersamaan kita dulu saat kita masih bersama-sama di Radio Antares. Indah mengenang semua itu walau aku harus mengakhirinya dengan derai air mata.
Aku selalu ingin datang ke kota ini dan bertemu denganmu. Dan hari-hari terakhir ini keinginanku semakin kuat. Dua hari yang lalu aku datang ke sini. Dan betapa bergemuruhnya jantungku ketika malam tadi aku mendengar kamu siaran di Antares. Aku kangen kamu, Joan. Dan aku tak sabar menunggu siang agar bisa segera bertemu denganmu. Sungguh, betapa ingin aku curhat padamu seperti yang sering kulakukan dulu. Aku menunggumu. Aku menunggumu, Joan.
Tapi… pagi ini Mama datang dari Bandung menyusulku. Joan… aku tak pernah tahu akan bertemu kembali dengan kamu … satu minggu sebelum aku menikah. Ya, Jo… satu minggu lagi aku menikah dengan Rangga. Dia laki-laki pertama dalam hidupku yang selalu menungguku hingga aku pernah menyia-nyiakan cinta putihmu dulu. Maafkan aku, Joan….

Tangan Joan gemetar. Ia tak mampu lagi melanjutkan tatapan matanya pada isi surat itu karena matanya telah basah.
“Kamu sudah baca surat Yessi. Memang seperti itulah kenyataannya. Yessi mencintai kamu. Tapi ia tak bisa meninggalkan Rangga yang selalu setia padanya. Sebaiknya lupakan Yessi kalau kamu menyayangi dan mencintainya,” ujar Mila sendu.
“Teh, tolong saya minta alamat Yessi di Bandung,” ucap Joan parau.
Mila menggelengkan kepala.
“Please, jangan lakukan itu. Kamu jangan nemuin Yessi. Teteh Mohon.”
“Saya hanya ingin bertemu dia untuk yang terakhir kalinya….” Joan memohon dengan air mata berderai.
“Tapi… Teteh akan dimarahi oleh keluarga kalau ngasih alamat di Bandung ke kamu.”
“Hari ini saya akan langsung ke Bandung. Apakah Teteh tega jika saya berhari-hari bahkan berminggu-minggu mencari Yessi seperti orang gila?”
Mila tertegun.
“Maaf, Joan. Teteh tidak bisa,” ucapnya kemudian.
Joan menggigit bibir.
“Terima kasih, Teh. Saya pamit. Saya yakin tanpa dikasih tahu oleh Teteh pun, akan menemukan alamat Yessi di Bandung.
Joan bangkit dari tempat  duduknya, lalu melangkah meninggalkan Mila.




Hujan Luruh
di Kota Intan

9

Mencari alamat seorang gadis bernama Yessi di kota Bandung bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi Joan tak putus asa. Dirinya merasa yakin akan menemukan Yessi walau entah berapa lama pencarian itu. Ia duduk di terminal dan mengamati setiap orang yang berlalu lalang. Sesekali ia mengikuti cewek sambil berharap cewek yang diikutinya itu adalah Yessi. Tapi  ketika cewek yang diikutinya itu berpaling dan terlihat wajahnya, Joan menghentikan langkahnya dengan perasaan kecewa. Ia baru menghentikan semua itu setelah malam hari. Kelelahan setelah seharian di terminal, Joan keluar dari terminal mencari mesjid. Tak jauh dari terminal ada sebuah mesjid. Tapi sayang, mesjid yang nampak megah itu terkunci rapat. Joan terpaksa duduk di terasnya. Setelah istirahat sejenak ia mengambil air wudhu. Kemudian ia melaksanakan shalat isya di teras mesjid. Setelah shalat ia tiduran beralaskan tas yang dibawanya. Perlahan ia mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah coklat batangan. Ia menatap coklat di tangannya, perlahan seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Yessi, ini buat kamu,” gumamnya. Lalu wajah Yessi terlintas di benaknya dengan senyum terindahnya.
“Entar kalau aku ulang tahun kamu jangan ngasih apa-apa lagi, kasih aja aku coklat,” ucap Yessi suatu waktu saat melihat anak kecil membawa coklat.
“Ge-er amat, emangnya siapa yang mau ngasih hadiah?”
“Kamu jahat!” jerit Yessi sambil nyubitin Joan.
“Coklat itu makanan anak kecil, bisa bikin gigi rusak! Entar kamu ompong sebelum jadi manula.”
“Buktinya aku nggak ompong. Lihat gigiku bagus begini.”
“Oh iya. Putih dan bersih. Sering dicuci pake sikat kawat ya?”
“Joan jahaatt!” Yessi ngambek.
“Dalam beberapa hal kamu mirip Ade, adikku. Suka makan es krim, suka makan coklat, bacaannya komik dan masih suka menangis kalau minta jajan.”
“Oh ya? Sama gitu?”
“Iya. Tapi kamu ada kelebihannya.”
“Apa kelebihannya?”
“Kamu lebih tua.   Ade  baru  kelas
empat SD, kamu udah kelas dua SMA.”
“Iya dooong…!” Yessi kembali nyubitin Joan hingga meringis-ringis.
Mata Joan basah. Tangannya menggenggam coklat itu erat-erat.
“Yessi, kamu di mana? Aku ingin bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi,” Joan bergumam dalam rasa pedih yang menusuk-nusuk jiwanya.
Joan akhirnya tertidur. Tidur di teras mesjid terasa dingin dan banyak nyamuk. Jam satu dini hari ia terbangun. Dalam rasa dingin ia bangkit menuju tempat air wudhu. Ia membasuh wajahnya dengan air yang dingin beberapa kali, lantas berwudhu secara sempurna. Setelah wudhu ia kembali ke tempat semula dan berniat melaksanakan shalat tahajud. Selanjutnya ia shalat tahajud dengan khusyu.
Selesai shalat, Joan  menengadahkan kedua tangannya dan berdo’a sambil berderai air mata.
Ya Allah, aku tahu pencarianku terhadap makhluk-Mu yang bernama Yessi yang sungguh sangat kucintai hampir mustahil berhasil. Tapi jika Kau berkenan mempertemukan kami berdua, maka Kau akan mengubahnya menjadi sangat mudah. Walau aku bukan orang yang mulia di hadapan-Mu, tapi dengan segala kerendahan hati, aku makhluk-Mu yang sering berbuat dosa dan hina ini memohon petunjuk dari-Mu.
            Joan kembali tiduran beralaskan tas. Tapi ia tak bisa memejamkan mata. Dan tiba-tiba ia ingat Yessi adalah seorang penyiar radio seperti dirinya.  Saat pindah ke Bandung, mungkin Yessi meneruskan hobinya jadi penyiar radio. Joan tersenyum. Besok ia akan memulai pencarian ke radio-radio di kota Bandung. Tabir harapan perlahan mulai terkuak.




Hujan Luruh
di Kota Intan

10

         Esok harinya Joan masuk dari satu kantor radio ke kantor radio yang lainnya mencari tahu tentang seorang penyiar bernama Yessi. Setelah sepuluh kantor radio ia masuki, tak ada penyiar radio bernama Yessi. Hari hampir senja ketika ia sampai di kantor Radio Ardan. Seorang wanita kira-kira berusia 30 tahun keluar dari kantor, sepertinya seorang penyiar. Joan menyambut wanita itu di pintu keluar.
          “Selamat sore, Teh,” sapa Joan sambil tersenyum.
          “Sore,” sahutnya ramah.
          “Maaf, Teteh penyiar Ardan ya?”
         “Iya.”
        “Saya Joan dari Garut. Saya sedang nyari teman saya seorang penyiar, namanya Yessi. Mungkin Teteh kenal.”
       “Yessi? Enggak ada, di Ardan nggak ada penyiar wanita bernama Yessi,” cewek itu menggelengkan kepala.
        Joan menarik napas panjang. Semburat kecewa nampak di wajahnya yang letih.
       “Emi tunggu sebentar!” seseorang muncul dari kantor. Seorang pria muda.
       “Ada apa?” tanya wanita yang bersama Joan.
      “Ini ada undangan pernikahan dari Yessi, mantan penyiar kita dulu. Kamu nggak akan kenal karena masih baru di sini,” kata pria muda itu kemudian kembali masuk kantor.
       “Makasih.”
       Darah Joan berdesir. Emi berpaling padanya.
       “Mungkin Yessi yang kamu tanyakan,” kata Emi sambil menatap Joan.
       “Bisa saya lihat undangannya?” tanya Joan.
       Emi memberikan undangan itu pada Joan. Joan membacanya.
       Menikah Yessi dan Rangga.
       Mata Joan nanar.
    “Ya, ini Yessi yang saya cari. Sebentar, saya akan mencatat alamatnya,” Joan membuka tas untuk ngambil pulpen.
     “Nggak usah ditulis. Undangannya buat kamu aja, aku nggak bakal hadir,” kata Emi.
      “Terima kasih, Mbak,” ucap Joan gembira.
      “Sama-sama.”
    Joan menggenggam undangan itu. Akhirnya aku menemukanmu, Yessi. Tuhan, terima kasih….
     Tak terlalu sulit bagi Joan untuk menemukan rumah Yessi karena sudah memiliki alamatnya. Setengah jam kemudian Joan sampai di depan sebuah rumah yang sesuai dengan alamat pada kartu undangan.
     Joan membuka pagar rumah yang sedikit terbuka. Ia melangkah masuk menuju pintu depan. Beberapa saat ia terdiam di depan pintu. Perlahan ia memijit bel rumah.
      Seorang wanita setengah baya membukakan pintu.
      “Anda siapa? Ada perlu apa?” tanya wanita itu.
      “Saya teman Yessi, ingin bertemu dengannya,” sahut Joan.
      “Oh, tunggu sebentar. Saya panggilkan dulu Neng Yessi.”
      Wanita itu pergi.
      “Siapa Bi?” terdengar suara Yessi.
     “Katanya teman Neng Yessi.”
     Suara langkah terdengar mende-kati pintu. Sebuah wajah cantik melongok keluar.
  “Joan?” ia terkesiap melihat Joan. Ia segera keluar menghampiri Joan dengan perasaan haru biru.
  “Yessi,” panggil Joan lirih. Joan segera memeluk Yessi. Joan sangat rindu pada Yessi setelah sekian tahun tak bertemu dengannya.
   Mereka bertatapan dengan mata basah. Keduanya sama-sama berurai air mata.
  “Dari mana tahu alamatku? Dari Teh Mila?” tanyanya sendu.
 “Aku mencarimu beberapa hari, Teh Mila tak mau memberitahu alamatmu. Aku menemukan ini,” Joan memperlihatkan undangan pernikahan Yessi.
“Maafkan aku, Joan....” mata Yessi makin basah. Ia menarik tangan Joan ke dalam rumahnya. Lalu ia menangis di dada Joan.
Joan menatap Yessi sendu. “Yessi, katamu cinta adalah perasaan suka kepada seseorang. Dan kita selalu ingin bersama dengan orang yang kita cintai itu. Oh ya, aku membawa sebuah coklat untukmu. Mungkin kondisinya sudah tak bagus lagi karena selama dua hari dua malam kepanasan dan kedinginan. Ini….” Joan memberikan sebatang coklat pada Yessi.
“Joan, terima kasih,” Yessi tersenyum dalam derai air matanya.
“Sekarang aku ingin sebuah jawaban darimu. Aku tahu Rangga telah lama berada dalam hatimu, jauh mengalahkan aku. Tapi setelah kita berpisah sekian lama... mungkin ada sesuatu yang terjadi dalam dirimu. Apakah ada sedikit saja rasa cinta di hatimu untukku?”
Yessi menggelengkan kepala, “Bukan sedikit, tetapi sangat banyak. Seluruh ruang hatiku dipenuhi oleh rasa cinta padamu. Andai saja kamu tak terlambat hadir kembali dalam kehidupanku, aku tak akan menerima lamaran Rangga.“
“Terima kasih Yessi. Cintamu adalah semangat hidupku. Bertahun-tahun aku bertanya-tanya dalam diriku, kini aku telah mendapat jawaban. Ungkapan cintamu adalah kebahagiaan buatku. Walau kamu tak bisa kumiliki, tetapi hatimu telah kumiliki.”
Joan menggenggam erat jemari tangan Yessi.
“Maafkan jika aku tak bisa datang dalam acara pernikahanmu. Aku tak akan kuat melihat orang yang kucintai bersanding dengan orang lain,” ucap Joan.
Air mata terus berderai dari mata bening Yessi. Andai saja waktu bisa diulang, Yessi akan menuliskan nama Joan dalam kartu undangan pernikahannya, bukan Rangga.





Hujan Luruh
di Kota Intan

11

Joan makin nampak murung setelah pulang dari Bandung. Seminggu lagi pernikahan Yessi. Dunia ini bagaikan bentangan lukisan sedih. Angin bagaikan  nyanyian pilu yang terus bersenandung setiap waktu. Joan rasanya tak sanggup untuk melanjutkan hidup. Atau pergi sejauh-jauhnya meninggalkan Garut. Pergi kemana saja, ke tempat yang bisa membuatnya melupakan kesedihan dan duka yang kini dirasakannya.
 Diam-diam Ade sering memper-hatikan kakaknya. Ade sangat sedih melihat duka yang nampak di wajah kakaknya. Tapi Ade tak pernah tahu, kenapa kakaknya berduka? Hanya beberapa waktu saja ia bisa bercanda dengan kakak kesayangannya. Dan ia tidak tahu bagaimana menghapus duka itu?
      Suatu hari, Joan menelepon seseorang. Ade menguping pembicaraan mereka.
     “Hallo Bang Husen. Ada pekerjaan baru?”
    “Oh kamu Joan, kebetulan nelepon. Ada proyek baru di negara Qatar. Aku perlu beberapa orang mandor. Gajinya besar. Tetapi harus mau kontrak lima tahun, nggak boleh pulang ke tanah air. Bagaimana kamu siap?”
    “Jangankan hanya lima tahun, seumur hidup pun aku siap,” kata Joan.
    “Hahahaha... bagus kalau begitu. Siapa tahu kamu dapat jodoh nanti di Qatar. Kita berangkat sekitar semingguan lagi. Hari Sabtu kamu harus sudah berada di Jakarta. Siapkan saja dokumen kamu,  agar waktu berangkat gak ribet lagi.”
    “Siap, Bos!”
    Joan menutup telepon.
    Jantung Ade berdebur kencang mendengar pembicaraan itu. Kakaknya akan pergi lagi untuk waktu yang lebih lama. Dulu ia sangat kehilangan saat kakaknya bekerja di Batam. Kini akan berangkat ke Qatar, sebuah negeri yang sangat jauh. Diam-diam Ade menangis. Ade tak mau ditinggalkan lagi oleh kakaknya.
  “Ade? Kamu kenapa menangis?” Mama heran melihat putrinya menangis di kamar. Tangisannya sangat keras hingga terdengar sampai ke dapur.
  “Kak Joan akan pergi, Ma....” sahut Ade senggukan.
  “Pergi? Pergi kemana?” Mama kaget.
  “Ke tempat yang jauh, katanya mau ke negara Qatar. Ade tahu itu sebuah negara di Timur Tengah.”
 “Kata siapa?” Mama makin kaget mendengar perkataan Ade.
“Tadi Kak Joan nelepon seseorang. Ade nggak mau ditinggalkan lagi oleh Kak Joan....” kemudian Ade menangis lagi tersedu-sedu.
 Mama tertegun. Benarkah anaknya akan pergi lagi meninggalkan keluarga? Kenapa ia selalu pergi jauh? Bukankah di Garut juga banyak pekerjaan kalau sekedar ingin bekerja?

 Joan akan pergi ke negara Qatar. Semua anggota keluarga sudah mengetahui hal itu. Mereka berusaha mencegah kepergian Joan.
“Kak Joan jangan pergi, jangan tinggalkan Ade lagi....” Ade terus menangis.
“Iya Joan, Mama gak mau kehilangan kamu seperti dulu,” kata Mama dengan isak tangisnya.
Tetapi Joan tak bergeming. Keputusannya sudah bulat, pergi ke tempat yang jauh meninggalkan kota Garut beserta sejuta kesedihan yang ada.
“Kepergianku adalah sebuah pilihan berat. Beberapa hari lagi gadis yang kucintai sejak dulu akan menikah. Kira-kira mana pilihan yang lebih baik, diam di sini lalu aku mati bunuh diri? Atau aku pergi dan melanjutkan hidupku di tempat yang jauh? Dengan kepergianku, aku berharap bisa mengobati luka hatiku. Di sana aku akan bekerja keras untuk melupakan kesedihanku dan membahagiakan semuanya. Aku sayang Mama, aku sayang Ade.... “ Joan memeluk Mama dan Ade sambil menangis. Hingga semua orang ikut menangis.
  Hari Sabtu pagi, Joan berangkat dari Garut dengan sebuah bus menuju ke Jakarta. Keluarganya mengantar kepergiannya dengan isak tangis dan derai air mata. Mereka sungguh tak rela dengan kepergian Joan.
 Joan duduk di  jok paling depan. Ia memakai kaca mata hitam untuk menyembunyikan tangisnya. Tapi air mata yang deras mengalir membuatnya sesekali menyeka wajahnya dengan tisue.
 Selamat tinggal Garut, aku akan meninggalkanmu untuk waktu yang lama. Entah aku akan kembali atau tidak... tapi jika aku harus kembali, aku tak ingin ada kesedihan sedikit pun yang tersisa di dalam hatiku.

           


Hujan Luruh
di Kota Intan

12

Turun dari bus, Joan mencari mesjid untuk shalat dhuhur. Jam di tangannya menunjukkan pukul 1 siang. Kalau shalat di kantor penampungan tenaga kerja milik bosnya, ia takut kesorean.
Joan membasuh wajahnya dengan air sebelum wudhu, wajahnya terasa segar. Kemudian ia berwudhu. Selesai wudhu ia masuk ke dalam mesjid. Ada dua orang yang sedang shalat. Ia ikut makmum kepada mereka. Selesai shalat, Joan berdo’a.
Ya Tuhan,  berikanlah  suatu  keajaiban padaku dengan do’aku, seperti keajaiban yang terjadi kepada Nabi Musa saat ia difitnah oleh Qarun di hadapan kaum Bani Israil. Lalu Engkau menyelamatkan Nabi Musa dari fitnah Qarun saat itu juga, hingga bumi terbelah kemudian menelan Qarun beserta seluruh harta kekayaannya. Aku ingin do’aku diijabah saat ini juga seperti Engkau mengijabah do’a Nabi Musa. Sesung-guhnya aku tak ingin meninggalkan Mama dan Ade adikku, aku sangat menyayangi mereka,” Joan berdo’a dengan mata terpejam kuat. Saat terbuka, matanya nampak basah hingga ia harus menghapusnya dengan tisue yang masih tersisa.
Ia baru saja keluar dari mesjid, hand phonenya berbunyi. Dari Yessi. Jantung Joan berdebar-debar.
“Assalaamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum salam. Joan, kamu di mana?” tanya Yessi.
“Aku di Jakarta,” sahut Joan.
“Sedang apa di Jakarta?” tanya Yessi.
“Emh... aku....” Joan tak sanggup mengatakannya.
“Joan, kamu harus datang ke rumahku hari ini juga,” kata Yessi.
“Kenapa aku harus datang ke rumahmu? Besok kamu akan menikah dengan Rangga. Aku tak akan datang.”
“Joan, tadi pagi ada seorang wanita yang datang ke rumahku. Ia mengaku pacar Rangga dan telah hamil dua bulan. Aku memutuskan untuk menggagalkan pernikahanku dengan Rangga. Tapi besok pernikahan harus dilangsungkan karena undangan telah disebar. Maukah kamu menggantikan Rangga   untuk    menikah   denganku besok?”
Joan sesaat tertegun. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Joan? Maukah kamu menikahi aku?” Yessi kembali mengulang pertanyaannya.
“Aku mau... aku mau....” sahut Joan dengan dada bergemuruh karena kegembiraan yang meledak menjadi tangis kebahagiaan. Ia segera kembali ke dalam mesjid setengah berlari. Di dalam mesjid yang kosong ia bersujud sambil menangis memuji kebesaran Allah.
“Allaaahu Akbar! Terima kasih Ya Allah, setelah kau biarkan aku bertahun-tahun dalam perih dan pilu, kini kau berikan kebahagiaan sekaligus dalam hidupku. Maafkan aku yang hampir berprasangka buruk kepada-Mu....”
Keluar dari mesjid, Joan langsung menelepon Jay temannya.
“Hallo,” Jay mengangkat telepon.
“Jay, kamu mau bantu aku?” tanya Joan.
“Bantuin apa?”
“Aku ingin diantar kawin.”
“Oh, sudah mendapat pengganti Yessi rupanya.”
“Aku menikah dengan Yessi.”
“Hah? Serius nih?” Jay kaget.
“Yah. Ceritanya panjang, nanti kuceritakan. Kalau masih ngaku teman, aku minta kamu berangkat sekarang ke Bandung. Aku juga masih di Jakarta, nanti kita ketemu di Bandung. Aku sms-kan alamat rumah Yessi sekarang. Bisa kan kamu ke Bandung sekarang?”
“Bisa, untuk seorang teman apa sih yang tak bisa?”
“Terima kasih, Jay.”
Joan menutup  telepon.  Ia  lantas mengirim sms alamat rumah Yessi kepada Jay.
Selanjutnya Joan menelepon keluarganya. Mamanya yang pertama ditelepon.
“Assalaamu’alaikum, Ma.”
“Wa’alaikum salam. Joan kamu sudah sampai ke Jakarta?” tanya Mama.
Sesaat Joan terdiam.
“Sudah Ma. Tapi Joan tidak jadi pergi ke Qatar. Joan tidak akan pergi ke mana pun lagi, Joan sayang kepada Mama dan Ade,” kata Joan parau.
“Terima kasih Ya Allah!” kata Mama lalu terdengar ia menangis.
Joan membiarkan Mama menangis beberapa saat.
“Kenapa Ma?” terdengar suara Ade.
“Kakakmu nggak jadi berangkat
ke Qatar. Ia tak akan meninggalkan kita,”
sahut Mama.
“Kak Joan!” terdengar suara Ade memanggilnya.
“Ya Ade sayang.”
Ade tak berkata apa-apa lagi, yang terdengar kemudian adalah isak tangisnya. Rasa bahagianya bercampur haru membuatnya tak bisa berkata-kata.
“Ma, Joan ingin bicara dengan Bapak,” kata Joan.
“Ya, Mama panggilkan dulu ya, Bapak lagi di toko.”
Joan beberapa saat menunggu. Tak lama kemudian terdengar suara Bapak. Joan lalu berbicara tentang rencana pernikahannya yang mendadak. Ia menceritakan garis besar apa yang dialaminya hari ini.
Bapak mengerti. Saat itu juga ia mengumpulkan seluruh keluarga dan kerabatnya untuk membicarakan pernikahan Joan dan Yessi besok di Bandung.





Hujan Luruh
di Kota Intan

13

Joan melangsungkan akad nikah dengan Yessi jam sebelas siang. Suasana berlangsung haru bagi kedua keluarga itu. Mata mereka basah menyaksikan acara akad nikah kedua mempelai itu. Perjuangan cinta mereka sungguh panjang dan berliku. Sesungguhnya jodoh, kematian, kebahagiaan dan musibah yang menimpa seseorang telah digariskan oleh Tuhan dan berlaku untuk seluruh makhluk-Nya.
Jay tak berhenti mengabadikan pernikahan Joan dengan Yessi. Jay tahu betul bagaimana dalamnya cinta Joan kepada Yessi. Sungguh penderitaan yang berakhir manis. Diam-diam ia merasa iri karena kisah cintanya biasa-biasa saja, tidak seru seperti cinta Joan dan Yessi. Kisah cinta mereka kalau difilmkan tentu akan banyak yang menonton. Akan menyaingi film-film tentang cinta yang telah dibuat sebelumnya.
Joan berhadapan dengan ayah Yessi. Ibu jarinya dipegang oleh ayah Yessi.
“Nak Joan,  aku nikahkan kamu dengan Yessi putri kandungku dengan mas kawin dua puluh gram emas ditambah sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dibayar tunai!”
“Saya terima menikah dengan Yessi binti Ahmad dengan mas kawin dua puluh gram emas ditambah sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dibayar tunai!” kata  Joan mantap.
“Bagaimana sah?” tanya Pak Penghulu.
“Saaahh!” sahut semuanya sambil tersenyum senang.
Penghulu kemudian membacakan do’a yang diamini oleh semuanya.
Acara berlanjut ke acara sungkeman. Joan dan Yessi bersimpuh di kaki kedua orang tuanya. Tangis mereka meledak, tangis sebenarnya bukan tangisan yang dibuat-buat karena acara seremonial pernikahan. Mereka menangis karena dorongan dari dalam hati mengingat pernikahan mereka benar-benar sebuah keajaiban.
Tak ada yang menyangka Yessi akan menikah dengan Joan karena sampai dengan hari kemarin yang akan menikah adalah Yessi dan Rangga.
Setelah sungkeman kepada kedua orang tua mereka, Joan dan Yessi kemudian sungkeman kepada seluruh anggota keluarga dan kerabat dekat. Kemudian acara foto bersama. Sedangkan para tamu undangan menikmati sajian makanan yang telah disiapkan oleh keluarga mempelai wanita.
Yessi dan Joan nampak bahagia berfoto bersama keluarga dan kerabat mereka. Jay tak ketinggalan ikut berfoto bersama mereka.
 “Kalian mau berbulan madu ke mana?” tanya Jay.
  Joan dan Yessi berpandangan. Kemudian keduanya tertawa.
 “Kami sudah punya rencana bulan madu yang asyik dan tak pernah dilakukan oleh orang lain,” sahut Joan.
“Kemana?” tanya Jay.
“Mau tahu aja!” sahut Yessi.
Keduanya kembali tertawa.

Seminggu kemudian, Joan membawa Yessi ke Garut. Joan ingin berbulan madu dengan isterinya di Garut sambil menemui teman-teman mereka dulu saat masih sama-sama jadi penyiar di Radio Antares.
Beberapa hari setelah mereka berada di Garut, hujan turun dengan deras mengguyur kota Garut.
“Ayo kita lakukan rencana bulan madu kita,” kata Joan.
“Ayo, siapa takut?” kata Yessi.
Mereka keluar rumah padahal hujan sangat deras. Lalu mereka berpelukan di bawah hujan deras.
“Cinta adalah perasaan suka kepada seseorang. Dan kita selalu ingin bersama dengan orang yang kita cintai itu. Kini kita telah bersama. Semoga hujan ini jadi saksi bahwa cinta kita adalah cinta sejati yang tak akan terpisahkan,” kata Joan.
“Amiiinn,” sahut Yessi.
Suara guntur tiba-tiba berbunyi cukup keras.
Yessi memeluk Joan erat karena ketakutan.
“Tuh kan, Allah mendengar do’a kita, buktinya barusan ada suara guntur,” kata Joan.
“Aku takut,” ucap Yessi manja.
“Kan ada aku, aku akan selalu melindungi dirimu dari apa pun,” kata Joan sambil memeluk isterinya makin erat memberikan rasa aman.
Tapi tiba-tiba suara Guntur terdengar lagi. Makin lama makin sering.
“Ih takut!” Joan melepaskan pelukannya dan segera berlari ke dalam rumah.
“Joan tunggu!” Yessi berlari mengejar suaminya ketakutan.
“Kutunggu di kamar mandi!” sahut Joan sambil tertawa-tawa.
“Awas kamu!” jerit Yessi.
Ade tersenyum-senyum melihat kelakuan mereka. Hatinya diliputi peraasan bahagia yang tak terhingga melihat kebahagiaan kakaknya.
Semoga saja hari-hari penuh kebahagiaan akan menyertai kehidupan rumah tangga mereka.

                                                                             SELESAI


Mengenang Sahabatku, Neng Eka Dharmayanti

Tidak ada komentar: