Betapa sulitnya mengungkapkan perasaan kepada
seseorang yang kita cintai. Dan betapa tersiksanya jika perasaan hati belum
juga terungkapkan dan hanya menjadi cinta bisu. Seperti yang kini terjadi pada
diriku.
Pak
Danang guru matematika belum juga masuk sehingga keadaan kelas sangat
berisik. Dia memang sering terlambat datang ke kelas. Tapi kalau ada murid yang
telat masuk sebentar saja pasti nggak masuk absennya.
“Welly, mumpung guru belum masuk, kita ke perpustakaan
yuk!” Astri menyikut bahuku.
“Kamu mau nyari komik, ya?”
“Nggak. Pingin nyepi aja sambil baca-baca. Di sini
berisik amat.”
“Kalau Pak Dananng masuk, gimana?” aku memelototinya.
“Mudah-mudahan Pak Danang lupa hari ini ngajar di kelas
kita. Atau mendadak sakit perut. Soalnya aku lagi nggak mood belajar
matematik,” sahutnya enteng.
“Harapan kamu jelek amat sih!” kataku kesal.
“Ayo ah!” Astri menarik tanganku.
“Enggak!”
“Ayo!” Ia memelintir tanganku.
“Dasar tukang maksa!”
Astri menggusurku keluar dari kelas. Kalau sudah dipaksa
begini, aku tak bisa apa-apa selain menuruti kemauannya.
Di perpustakaan sepi, hanya ada pak Mamat petugas
perpustakaan.
“Kalian nggak belajar?” tanya pak Mamat menyelidik.
“Lagi ada ulangan, Pak,” sahut Astri sambil menginjak
kakiku. Aku mengangguk mengiyakan. Astri segera menuju ke rak buku fiksi.
“Tuh kan
kamu nyari komik!” aku kesal.
“Kamu nggak tahu sih asyiknya baca komik. Komik Jepang
bagus-bagus loh. Baca aja judulnya. Sweet Dream, Love Hurt, Cinderella
Romance,” ujar Astri.
“Aku nggak suka komik.”
“Kalau sudah baca sekali pasti ketagihan.”
“Aku nggak suka komik.”
“Ceritanya bisa bikin kamu tersenyum atau menangis haru.”
“Astri, aku nggak suka komik!”
“Ya udah, aku nggak bakalan maksa. Kamu sukanya baca
apa?”
“Aku nggak suka baca.”
“Pantasan… tulalit!”
“Apa kamu bilang?” aku memelototinya dengan rasa gondok.
“Cuma bercanda aja ngambek.”
“Cepetan milih bukunya! Kita kembali ke kelas,” aku
memperingatkan.
“Kamu aja yang kembali!” sahut Astri kalem.
“Kamu mau bolos lagi?”
“Aku lagi nggak mood ketemu pak Danang.”
“Biar nilai matematik di raportmu lima
“Biarin!”
“Dasar kamu keras kepala! Ya udah, kamu di sini aja baca
komik. Aku mau masuk kelas. Baca komik terus sih, pantesan tulalit!”
“Hey! Pergi sana
jangan ngomel terus!”
“Iya, Miss Astri Komiko!”
“Brengsek!”
♥ ♥ ♥
Namanya Astri. Lengkapnya Astri Nilasari. Tapi aku lebih
suka memanggilnya Astri Komiko karena kegilaannya pada komik. Kalau sudah baca
komik, jangan harap bisa mengganggunya. Kadang aku dan dia bertengkar gara-gara
hal itu. Jika sudah begitu kami saling diam walau duduk sebangku. Tapi hal itu
tak akan berlangsung lama. Paling lama satu hari. Setelahnya kami baikan lagi,
seolah tak terjadi apa-apa.
Aku mengenal Astri sejak di SMP. Hingga kini menjelang
kenaikan ke kelas 3 SMU. Hampir enam tahun. Sudah cukup lama. Seperti rasa
indah yang ada dalam hatiku padanya. Tentu kalian bertanya kenapa aku tak
memacari Astri? Kalau ingin tahu jawabannya, mungkin pembicaraan antara Maya
dan Ines yang tak sengaja kudengar akan membuat kalian tahu.
“Heran, mau-maunya Astri dekat sama Si Welly. Apa mungkin
dia jatuh cinta sama Si Welly?”
“Ngggak mungkin dong. Masa Astri yang ngetop dan laris
manis di pasaran mau sama Si Welly yang kucel. Aku tahu banget selera Astri
yang tinggi kalau urusan cowok. Astri tuh pingin punya pacar yang cakep, gagah,
romantis, pokoknya sempurna seperti di cerita komik. Tapi wajar saja karena
Astri juga cantik.”
“Jadi kedekatannya sama Si Welly buat apa?”
“Buat pengawalnya kali!”
Mereka tertawa bersamaan.
“Kasihan ya kalau Si Welly salah terima.”
“Iya juga sih. Tapi salah dia sendiri kenapa nggak punya
wajah cakep.”
“Mestinya Si Welly tahu diri, jangan deket-deket sama
Astri.”
“Kalau aku jadi Astri, nggak bakal mau gaul sama Si
Welly, gengsi! Bisa turun harga!”
Benar kata mereka. Aku dan Astri memang berbeda. Jauh
berbeda. Astri cantik, aku jelek. Astri berasal dari keluarga kaya. Ayahnya
seorang bos dalam usaha industri pengolahan kulit di kota Garut. Sedangkan orang tuaku cuma
pensiunan guru SD. Astri diantarjemput mobil pribadi, aku cuma naik angkot.
Bagaikan bumi dan langit.
Gara-gara aku deket dengan Astri, tak sedikit orang yang
mencibir dan mencemooh. Ada
juga yang tertawa. Tapi aku sudah terbiasa menghadapi hal itu. Jadi kuterima
dengan lapang dada. Selagi Astri tak menunjukkan sikap menghindariku, aku tak
akan menjauhinya. Kenapa? Karena di dalam hatiku ada rasa kasih untuknya, dan
aku merasa bahagia jadi seseorang yang
bisa dekat dengannya. Walaupun mungkin kalau dia tahu tentang perasaanku
padanya akan menertawakanku, bahkan mungkin menyuruhku pergi jauh-jauh.
♥ ♥ ♥
“Welly, kamu tahu nggak kenapa sampai saat ini aku belum
punya pacar?” pertanyaan Astri mengagetkanku dan membuat hatiku berdebar-debar.
Kututup buku kimiaku.
“Enggak. Emang kenapa?” aku menatap wajahnya yang imut.
“Kuakui, aku terlalu idealis dalam soal cowok. Aku ingin punya kekasih yang ganteng,
gagah, berkelas tapi
romantis dan penuh kasih sayang. Seperti tokoh-tokoh cowok di komik yang
kubaca. Tapi itu kan
demi kebaikanku juga. Biar bisa memberikan cinta seutuhnya dan nggak tergoda
cowok lain lagi.”
“Cita-cita yang mulia,” komentarku lesu. Aku jauh sekali
dari kriteria cowok impiannya.
“Nggak sedikit kan
cewek yang udah punya pacar masih larak-lirik pingin dapat yang lebih. Nah, aku
nggak mau hal itu terjadi padaku. Kalau nyari cowok harus benar-benar sesuai
dengan selera dan memenuhi syarat. Makanya selama ini aku memilih nggak pacaran
dulu.”
Aku doakan semoga kamu nggak pernah menemukan cowok
idaman kamu, ucapku dalam hati.
“Malam minggu kemarin aku diajak kakakku ke acara ultah
temannya. Di sana
aku bertemu dengan cowok teman kakak. Namanya Bram. Dia cakep, gagah,
penampilannya berkelas… dan dia seorang calon dokter.”
“Hebat dong!” perasaanku dibakar cemburu.
“Dia ngajak aku ngobrol, dan nyatain rasa sukanya
padaku.”
“Kamu terima?” aku panik.
“Kamu mau tahu aja!”
“Aku kan
teman kamu, masa nggak boleh tahu!” aku beralasan.
“Emh… kupikir dialah cowok impianku. Jadi… aku
menerimanya.”
“Kamu langsung menerimanya?” seluruh tubuhku menegang.
“Ya. Menurut kakakku, Bram cowok baik. Dia mahasiswa
teladan di kampus. Dan uniknya dia sama seperti aku belum pernah pacaran sekali
pun.”
“Ah masa sih?” aku tertegun.
“Hey! Kamu kenapa Welly?” Astri seperti heran melihatku.
“Eu… eu… aku senang mendengarnya. Selamat ya!” aku
berusaha tersenyum sambil memegang tangannya, menutupi perasaanku yang
sesungguhnya.
“Makasih deh. Oh iya, karena aku lagi hepi berat, aku
ingin nraktir kamu di kantin.”
“Nggak usah deh,” aku menggelengkan kepala.
“Kenapa? Tumben nggak mau. Lagi banyak duit, ya?”
“Aku lagi sakit perut. Nih kerasa lagi. Sori ya, aku mau
ke toilet dulu. Mau ikut?”
“Yee… enak aja!”
Aku setengah berlari keluar dari kelas, lantas mengunci
diri di dalam toilet. Aku menangis bagai seorang anak kecil. Meratapi nasib
jelekku, meratapi kebahagiaan Astri yang telah menemukan cowok impiannya.
Walaupun jauh-jauh hari aku telah menyadari bahwa aku dan dia jauh berbeda,
tetapi tetap saja rasa cinta yang dalam padanya membuat perasaanku hancur
menerima kenyataan ini. Seperti kapal yang karam di lautan.
♥ ♥ ♥
Hari-hari berikutnya aku sering melihat Astri jalan
dengan seorang cowok. Nama lengkapnya Ibram Mananta. Dia mahasiswa tingkat
akhir di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri di Bandung. Sosoknya ganteng dan gagah serta
kelihatan ramah. Pantas saja Astri langsung menerima cintanya. Tapi walau sudah
bersama Bram, sikap Astri padaku tak berubah. Ia tetap baik. Ia tetap memintaku
untuk menemaninya kalau punya acara pribadi. Dan ia sering bercerita padaku
tentang kebaikan-kebaikan Bram. Aku mendengarkannya sambil tersenyum,
seolah-olah ikut senang mendengar ceritanya. Padahal jauh di dalam hati aku
menangis pilu. Hatiku bagai disayat-sayat dengan pisau yang tajam setiap
mendengar kata Bram disebut oleh Astri dengan penuh rasa cinta. Memang sulit menerima
kenyataan bahwa orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Tangisan
pilu hatiku larut bersama tawa dan senyum Astri.
♥ ♥ ♥
Ternyata tidak lebih dari enam bulan Astri bercerita
tentang indahnya kebersamaan dengan Bram. Dari bibirnya yang ada kemudian
adalah tangisan. Bukan karena Bram yang baik itu telah mengkhianatinya. Bram
tidak mungkin melukai gadis secantik dan sebaik Astri. Tapi… Bram meninggalkan
Astri untuk selama-lamanya. Mobil yang dikendarainya mengalami tabrakan berat dengan sebuah bis
ketika ia pulang kuliah. Kematian Bram yang mendadak membuat Astri terguncang.
Mula-mula ia sering melamun di dalam kelas, selanjutnya sakit keras sehingga
sekolahnya berhenti. Selanjutnya Astri sering bicara sendiri dan menangis
menjerit-jerit memanggil nama Bram.
Aku sedih, sangat sedih. Dari awal penderitaannya aku
selalu berada di sampingnya. Aku berusaha menghiburnya agar ia tak larut dalam
kesedihan dan merelakan Bram. Tapi seperti juga keluarganya, aku gagal
membuatnya meninggalkan kesedihan dan melupakan Bram. Hingga kemudian jiwanya
terganggu dan jadi penghuni rumah sakit jiwa. Tapi aku tak berputus asa.
Seminggu sekali aku mengunjungi Astri di rumah sakit jiwa. Menghiburnya,
membawakan makanan yang jadi kesukaannya. Dan hampir tiap malam aku menangis di
atas sejadah, berdo’a untuk kesembuhannya.
“Siapa kamu? Kamu baik sekali,” Astri menatapku dengan
matanya yang kosong ketika aku menjenguknya. Ia sama sekali tak mengenaliku.
Aku menyeka air mata yang tiba-tiba tergenang di pelupuk mata.
“Kamu tak ingat? Aku Welly….”
“Welly?”
“Ya, aku Welly, teman kamu di sekolah.”
“Kamu baik, Welly. Seperti Bram. Bram… kemana kamu?”
“Bram telah tiada. Bram telah meninggal.”
“Kamu bohong! Bohong!” Astri ngambek padaku.
“Astri… sadarlah. Bram telah meninggal.”
“Meninggal? Benarkah? Bram… jangan tinggalkan aku….”
Astri menangis.
Mataku terasa
panas. Pandanganku kabur oleh air mata.
♥ ♥ ♥
Sampai saat ini Astri berada di rumah sakit jiwa, walau
kondisinya sudah semakin membaik. Aku tetap rutin mengunjungi dan menghiburnya.
Entah sampai kapan. Aku tak akan pernah berhenti berbuat yang terbaik untuknya,
seperti juga tak pernah berhenti mencintainya walaupun hanya menjadi cinta
bisu. Karena untuk mengatakannya bukanlah waktu yang tepat. Atau mungkin aku tak
akan pernah mengatakannya.
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar