Kamis, 11 Juni 2015

CINTA BISU





Betapa sulitnya mengungkapkan perasaan kepada seseorang yang kita cintai. Dan betapa tersiksanya jika perasaan hati belum juga terungkapkan dan hanya menjadi cinta bisu. Seperti yang kini terjadi pada diriku.

Pak Danang guru matematika belum juga masuk sehingga keadaan kelas sangat berisik. Dia memang sering terlambat datang ke kelas. Tapi kalau ada murid yang telat masuk sebentar saja pasti nggak masuk absennya.
            “Welly, mumpung guru belum masuk, kita ke perpustakaan yuk!” Astri menyikut bahuku.
            “Kamu mau nyari komik, ya?”
            “Nggak. Pingin nyepi aja sambil baca-baca. Di sini berisik amat.”
            “Kalau Pak Dananng masuk, gimana?” aku memelototinya.
           “Mudah-mudahan Pak Danang lupa hari ini ngajar di kelas kita. Atau mendadak sakit perut. Soalnya aku lagi nggak mood belajar matematik,” sahutnya enteng.
            “Harapan kamu jelek amat sih!” kataku kesal.
            “Ayo ah!” Astri menarik tanganku.
            “Enggak!”
            “Ayo!” Ia memelintir tanganku.
            “Dasar tukang maksa!”
        Astri menggusurku keluar dari kelas. Kalau sudah dipaksa begini, aku tak bisa apa-apa selain menuruti kemauannya.
            Di perpustakaan sepi, hanya ada pak Mamat petugas perpustakaan.
            “Kalian nggak belajar?” tanya pak Mamat menyelidik.
          “Lagi ada ulangan, Pak,” sahut Astri sambil menginjak kakiku. Aku mengangguk mengiyakan. Astri segera menuju ke rak buku fiksi.
           “Tuh kan kamu nyari komik!” aku kesal.
          “Kamu nggak tahu sih asyiknya baca komik. Komik Jepang bagus-bagus loh. Baca aja judulnya. Sweet Dream, Love Hurt, Cinderella Romance,” ujar Astri.
            “Aku nggak suka komik.”
            “Kalau sudah baca sekali pasti ketagihan.”
            “Aku nggak suka komik.”
            “Ceritanya bisa bikin kamu tersenyum atau menangis haru.”
            “Astri, aku nggak suka komik!”
            “Ya udah, aku nggak bakalan maksa. Kamu sukanya baca apa?”
            “Aku nggak suka baca.”
            “Pantasan… tulalit!”
            “Apa kamu bilang?” aku memelototinya dengan rasa gondok.
            “Cuma bercanda aja ngambek.”
            “Cepetan milih bukunya! Kita kembali ke kelas,” aku memperingatkan.
            “Kamu aja yang kembali!” sahut Astri kalem.
            “Kamu mau bolos lagi?”
            “Aku lagi nggak mood ketemu pak Danang.”
            “Biar nilai matematik di raportmu lima
            “Biarin!”
            “Dasar kamu keras kepala! Ya udah, kamu di sini aja baca komik. Aku mau masuk kelas. Baca komik terus sih, pantesan tulalit!”
            “Hey! Pergi sana jangan ngomel terus!”
            “Iya, Miss Astri Komiko!”
            “Brengsek!”

            Namanya Astri. Lengkapnya Astri Nilasari. Tapi aku lebih suka memanggilnya Astri Komiko karena kegilaannya pada komik. Kalau sudah baca komik, jangan harap bisa mengganggunya. Kadang aku dan dia bertengkar gara-gara hal itu. Jika sudah begitu kami saling diam walau duduk sebangku. Tapi hal itu tak akan berlangsung lama. Paling lama satu hari. Setelahnya kami baikan lagi, seolah tak terjadi apa-apa.
            Aku mengenal Astri sejak di SMP. Hingga kini menjelang kenaikan ke kelas 3 SMU. Hampir enam tahun. Sudah cukup lama. Seperti rasa indah yang ada dalam hatiku padanya. Tentu kalian bertanya kenapa aku tak memacari Astri? Kalau ingin tahu jawabannya, mungkin pembicaraan antara Maya dan Ines yang tak sengaja kudengar akan membuat kalian tahu.
            “Heran, mau-maunya Astri dekat sama Si Welly. Apa mungkin dia jatuh cinta sama Si Welly?”
            “Ngggak mungkin dong. Masa Astri yang ngetop dan laris manis di pasaran mau sama Si Welly yang kucel. Aku tahu banget selera Astri yang tinggi kalau urusan cowok. Astri tuh pingin punya pacar yang cakep, gagah, romantis, pokoknya sempurna seperti di cerita komik. Tapi wajar saja karena Astri juga cantik.”
            “Jadi kedekatannya sama Si Welly buat apa?”
            “Buat pengawalnya kali!”
            Mereka tertawa bersamaan.
            “Kasihan ya kalau Si Welly salah terima.”
            “Iya juga sih. Tapi salah dia sendiri kenapa nggak punya wajah cakep.”
            “Mestinya Si Welly tahu diri, jangan deket-deket sama Astri.”
            “Kalau aku jadi Astri, nggak bakal mau gaul sama Si Welly, gengsi! Bisa turun harga!”
            Benar kata mereka. Aku dan Astri memang berbeda. Jauh berbeda. Astri cantik, aku jelek. Astri berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang bos dalam usaha industri pengolahan kulit di kota Garut. Sedangkan orang tuaku cuma pensiunan guru SD. Astri diantarjemput mobil pribadi, aku cuma naik angkot. Bagaikan bumi dan langit.
            Gara-gara aku deket dengan Astri, tak sedikit orang yang mencibir dan mencemooh. Ada juga yang tertawa. Tapi aku sudah terbiasa menghadapi hal itu. Jadi kuterima dengan lapang dada. Selagi Astri tak menunjukkan sikap menghindariku, aku tak akan menjauhinya. Kenapa? Karena di dalam hatiku ada rasa kasih untuknya, dan aku merasa bahagia jadi seseorang yang  bisa dekat dengannya. Walaupun mungkin kalau dia tahu tentang perasaanku padanya akan menertawakanku, bahkan mungkin menyuruhku pergi jauh-jauh.

      “Welly, kamu tahu nggak kenapa sampai saat ini aku belum punya pacar?” pertanyaan Astri mengagetkanku dan membuat hatiku berdebar-debar. Kututup buku kimiaku.
            “Enggak. Emang kenapa?” aku menatap wajahnya yang imut.
            “Kuakui, aku terlalu idealis dalam soal cowok.  Aku ingin punya kekasih  yang  ganteng,
gagah, berkelas tapi romantis dan penuh kasih sayang. Seperti tokoh-tokoh cowok di komik yang kubaca. Tapi itu kan demi kebaikanku juga. Biar bisa memberikan cinta seutuhnya dan nggak tergoda cowok lain lagi.”
           “Cita-cita yang mulia,” komentarku lesu. Aku jauh sekali dari kriteria cowok impiannya.
           “Nggak sedikit kan cewek yang udah punya pacar masih larak-lirik pingin dapat yang lebih. Nah, aku nggak mau hal itu terjadi padaku. Kalau nyari cowok harus benar-benar sesuai dengan selera dan memenuhi syarat. Makanya selama ini aku memilih nggak pacaran dulu.”
            Aku doakan semoga kamu nggak pernah menemukan cowok idaman kamu, ucapku dalam hati.
            “Malam minggu kemarin aku diajak kakakku ke acara ultah temannya. Di sana aku bertemu dengan cowok teman kakak. Namanya Bram. Dia cakep, gagah, penampilannya berkelas… dan dia seorang calon dokter.”
            “Hebat dong!” perasaanku dibakar cemburu.
            “Dia ngajak aku ngobrol, dan nyatain rasa sukanya padaku.”
            “Kamu terima?” aku panik.
            “Kamu mau tahu aja!”
            “Aku kan teman kamu, masa nggak boleh tahu!” aku beralasan.
            “Emh… kupikir dialah cowok impianku. Jadi… aku menerimanya.”
            “Kamu langsung menerimanya?” seluruh tubuhku menegang.
            “Ya. Menurut kakakku, Bram cowok baik. Dia mahasiswa teladan di kampus. Dan uniknya dia sama seperti aku belum pernah pacaran sekali pun.”
            “Ah masa sih?” aku tertegun.
            “Hey! Kamu kenapa Welly?” Astri seperti heran melihatku.
       “Eu… eu… aku senang mendengarnya. Selamat ya!” aku berusaha tersenyum sambil memegang tangannya, menutupi perasaanku yang sesungguhnya.
            “Makasih deh. Oh iya, karena aku lagi hepi berat, aku ingin nraktir kamu di kantin.”
            “Nggak usah deh,” aku menggelengkan kepala.
            “Kenapa? Tumben nggak mau. Lagi banyak duit, ya?”
            “Aku lagi sakit perut. Nih kerasa lagi. Sori ya, aku mau ke toilet dulu. Mau ikut?”
            “Yee… enak aja!”
          Aku setengah berlari keluar dari kelas, lantas mengunci diri di dalam toilet. Aku menangis bagai seorang anak kecil. Meratapi nasib jelekku, meratapi kebahagiaan Astri yang telah menemukan cowok impiannya. Walaupun jauh-jauh hari aku telah menyadari bahwa aku dan dia jauh berbeda, tetapi tetap saja rasa cinta yang dalam padanya membuat perasaanku hancur menerima kenyataan ini. Seperti kapal yang karam di lautan.

            Hari-hari berikutnya aku sering melihat Astri jalan dengan seorang cowok. Nama lengkapnya Ibram Mananta. Dia mahasiswa tingkat akhir di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri di Bandung. Sosoknya ganteng dan gagah serta kelihatan ramah. Pantas saja Astri langsung menerima cintanya. Tapi walau sudah bersama Bram, sikap Astri padaku tak berubah. Ia tetap baik. Ia tetap memintaku untuk menemaninya kalau punya acara pribadi. Dan ia sering bercerita padaku tentang kebaikan-kebaikan Bram. Aku mendengarkannya sambil tersenyum, seolah-olah ikut senang mendengar ceritanya. Padahal jauh di dalam hati aku menangis pilu. Hatiku bagai disayat-sayat dengan pisau yang tajam setiap mendengar kata Bram disebut oleh Astri dengan penuh rasa cinta. Memang sulit menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Tangisan pilu hatiku larut bersama tawa dan senyum Astri.

           Ternyata tidak lebih dari enam bulan Astri bercerita tentang indahnya kebersamaan dengan Bram. Dari bibirnya yang ada kemudian adalah tangisan. Bukan karena Bram yang baik itu telah mengkhianatinya. Bram tidak mungkin melukai gadis secantik dan sebaik Astri. Tapi… Bram meninggalkan Astri untuk selama-lamanya. Mobil yang dikendarainya  mengalami tabrakan berat dengan sebuah bis ketika ia pulang kuliah. Kematian Bram yang mendadak membuat Astri terguncang. Mula-mula ia sering melamun di dalam kelas, selanjutnya sakit keras sehingga sekolahnya berhenti. Selanjutnya Astri sering bicara sendiri dan menangis menjerit-jerit memanggil nama Bram.
            Aku sedih, sangat sedih. Dari awal penderitaannya aku selalu berada di sampingnya. Aku berusaha menghiburnya agar ia tak larut dalam kesedihan dan merelakan Bram. Tapi seperti juga keluarganya, aku gagal membuatnya meninggalkan kesedihan dan melupakan Bram. Hingga kemudian jiwanya terganggu dan jadi penghuni rumah sakit jiwa. Tapi aku tak berputus asa. Seminggu sekali aku mengunjungi Astri di rumah sakit jiwa. Menghiburnya, membawakan makanan yang jadi kesukaannya. Dan hampir tiap malam aku menangis di atas sejadah, berdo’a untuk kesembuhannya.
      “Siapa kamu? Kamu baik sekali,” Astri menatapku dengan matanya yang kosong ketika aku menjenguknya. Ia sama sekali tak mengenaliku. Aku menyeka air mata yang tiba-tiba tergenang di pelupuk mata.
            “Kamu tak ingat? Aku Welly….”
            “Welly?”
            “Ya, aku Welly, teman kamu di sekolah.”
            “Kamu baik, Welly. Seperti Bram. Bram… kemana kamu?”
            “Bram telah tiada. Bram telah meninggal.”
            “Kamu bohong! Bohong!” Astri ngambek padaku.
            “Astri… sadarlah. Bram telah meninggal.”
            “Meninggal? Benarkah? Bram… jangan tinggalkan aku….” Astri menangis.
Mataku terasa panas. Pandanganku kabur oleh air mata.

            Sampai saat ini Astri berada di rumah sakit jiwa, walau kondisinya sudah semakin membaik. Aku tetap rutin mengunjungi dan menghiburnya. Entah sampai kapan. Aku tak akan pernah berhenti berbuat yang terbaik untuknya, seperti juga tak pernah berhenti mencintainya walaupun hanya menjadi cinta bisu. Karena untuk mengatakannya bukanlah waktu yang tepat. Atau mungkin aku tak akan pernah mengatakannya.

selesai

Tidak ada komentar: