Selamat
sore, Vi….
Aku pulang dari Negeri
Sakura seminggu yang lalu. Namun ada satu hal yang masih kuragukan sebelum aku
pulang ke tanah air. Bagaimana aku harus bersikap padamu. Menemuimu atau
membiarkanmu tak mengetahui tentang kepulanganku setelah dua tahun meneruskan
studiku di negeri Sakura. Demi sepotong masa lalu yang terlanjur tertulis
sebagai sebuah cerita pahit bagiku. Tapi keraguan itu menghilang. Tak bersisa.
Beganti dengan bermacam rasa yang tak pernah kuduga. Bahkan tak terlintas dalam
mimpi burukku sekali pun. Rasa yang menyiksa. Rasa bersalah, rasa kehilangan,
rasa menyesal, rasa terluka dan entah rasa apa lagi. Yang bergema memenuhi
dadaku hingga napasku terasa sesak. Dan mengubah setitik harapan menjadi butir-butir
air mata.
♥ ♥ ♥
Aku mengenalmu
di bangku SMA. Sejak semula kamu telah menjadi pusat perhatian semuanya. Nama
Vevi Herawati begitu terkenal. Kamu memang memiliki banyak kelebihan. Cantik,
smart, berasal dari srata atas dan supel bergaul. Tak heran jika sepertinya keberadaanmu
di sekolah kita membuat siswi-siswi lain tak berarti apa pun. Semua
mengagumimu, semua senang jika bicara tentangmu.
Aku juga mengagumimu, Vi. Namun apalah arti kekagumanku.
Aku Cuma seorang cowok biasa yang minder dengan keadaanku. Aku seorang anak
desa yang datang ke kota
dengan segala kesederhanaan untuk meneruskan sekolah. Jauh dibandingkan dengan
anak-anak lain yang tampil modis. Apalagi dibandingkan dirimu yang setiap hari
diantarjemput dengan mobil mewah.
Masih kuingat sesuatu yang mengubah segalanya bagiku, Vi.
Pagi itu pak Tatang guru fisika kita masuk membawa berkas ulangan minggu lalu.
Semua tegang memandang ke arah meja guru menunggu hasil ulangan dibagikan.
“Mana yang bernama Ario?” suara pak Tatang memecah sepi.
Aku tersentak kaget. Dengan jantung berdebar-debar aku
mengacungkan tangan. Sementara teman-teman sekelas melihat dengan rasa kasihan.
Mereka mungkin mengira aku akan kena teguran karena mendapat nilai jeblok.
Tatapan mata pak Tatang yang tajam tertuju padaku. Debaran-debaran di dadaku
semakin keras. Tapi tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya. Sungguh
sikap yang tak biasa.
“Nilai ulangan kamu sepuluh. Selamat, ya!” kata pak
Tatang padaku.
Semua mata serentak menatap kagum ke arahku. Dengan
perasaan tak menentu aku melangkah ke muka kelas mengambil kertas ulanganku.
Ketika kembali ke mejaku, secara tak
sengaja kita bertemu pandang dan kau tersenyum padaku. Baru saat itu
kurasakan senyummu benar-benar tersungging untukku.
♥ ♥ ♥
Aku tengah membaca buku kimia ketika jam istirahat kamu
menghampiri mejaku. Aku pura-pura tak mengetahui kehadiranmu dengan berlagak
asyik membaca. Padahal sesungguhnya aku sudah tak berkonsentrasi lagi. Kamu
duduk di sampingku membuat perasaanku berdebar-debar.
“Kamu rajin banget,” sapamu lembut.
“Eh Vevi,” aku menoleh. Dan kutemukan sepasang mata
bening milikmu. Relung hatiku bergetar seketika, yang membuat desir-desir indah
di seluruh tubuhku.
“Mengganggu, ya?” katamu.
“Ah, enggak,” sahutku.
Kututup buku kimiaku dan kumasukkan ke dalam tas.
“Boleh nggak minjem buku fisikamu? Aku nggak sempat
nyatet pelajaran minggu kemarin,” ujarmu berharap. Hal yang sebelumnya tak
pernah kau lakukan padaku.
Aku heran. Kamu meminjam buku catatanku, padahal kamu
bisa meminjamnya kepada Dini teman sebangkumu atau kepada teman-teman dekatmu
yang lain. Tapi tak banyak waktuku untuk memikirkan hal itu. Kukeluarkan buku
catatan fisika dari dalam tas lalu kuberikan padamu.
“Terima kasih, Rio,”
ucapmu senang.
Aku hanya mengangguk.
“Oh ya, katanya teman-teman kita sering belajar di tempat
kamu. Aku boleh gabung, nggak?” katamu.
“Tapi…” aku kaget.
“Kenapa? Kamu keberatan?” kamu menatapku.
Kugelengkan kepala untuk tidak menyinggung perasaanmu,
sambil berharap kamu tidak bersungguh-sungguh datang ke tempat kosku.
“Terima kasih,” kamu nampak senang.
Ternyata kamu serius, Vi. Sore harinya kamu datang
ditemani Dini. Dan sejak itu kamu selalu datang ke tempat kosku jika ada jika
ada tugas atau ada soal yang sulit. Semakin lama kita bertambah dekat. Kita
sering menghabiskan waktu bersama. Di kelas, di kantin, di perpustakaan, di
lapangan basket. Kebersamaan itu itu membuat hatiku dipenuhi rasa indah. Rasa
yang sulit kucegah. Mengalir begitu kuatnya hingga seluruh ruang batinku hanya
dipenuhi satu hal, perasaan sukaku padamu, Vi.
♥ ♥ ♥
Study Tour ke Jogja, bagian penting dari cerita kita
hingga bergulir sampai saat ini. Ah, kadang kusesali acara itu. Andai saja aku
tak mengikuti kegiatan study tour seperti yang semula kuputuskan. Tapi
teman-teman mendesak, juga kamu. Malahan kamu yang paling sewot ketika aku
bilang tak akan ikut. Akhirnya aku ikut juga, padahl aku telah mengumpulkan
bahan kliping tempat-tempat wisata sebagai tugas pengganti bagi yang tidak ikut
acara study tour.
Kamu selalu berada di dekatku. Sejak di bis hingga saat
berada di tempta-tempat rekreasi selama di Jogja. Kedekatan kita rupanya jadi
perhatian teman-teman. Mereka begitu sering bercanda nyepet kita. Tapi tak
sedikit pun rona tak senang di wajah mereka. Sepertinya mereka senang melihat
kebersamaan kita. Hanya satu hal yang membuat perasaanku tak enak, tatapan
sinis Dini teman sebangkumu. Aku tak mengerti mengapa ia seperti tidak suka
melihat kebersamaan kita.
Jawaban atas sikap Dini akhirnya kudapatkan. Malam itu
ketika baru pulang dari Malioboro, aku datang ke penginapan putri untuk
mengambil kipas yang kutitipkan padamu. Kipas bergambar kupu-kupu yang kubeli
dari penjual lesehan yang bertebaran sepanjang Malioboro. Aku mengambilnya karena suasana gerah di
kamarku.
Aku hendak mengetuk pintu kamarmu. Tapi kuurungkan ketika
mendengar pembicaraan cukup keras di dalam. Entah kenapa aku tertarik untuk
mengupingnya.
“Aku ingin mendengar penjelasan tentang kedekatanmu
dengan Ario,” terdengar suara Dini.
Hatiku
berdebar-debar mendengar namaku disebut.
“Apa yang mesti kujelaskan?” sahutmu beberapa saat
kemudian.
“Jangan mengelak, Vi. Kuperhatikan kamu makin dekat aja
dengannya, seperti ada sesuatu di antara kalian.”
“Ya, aku memang dekat dengan Ario. Tapi apa salahnya?
Ario baik. Selama ini ia banyak membantu belajarku.”
“Tapi yang kulihat belakangan ini sudah lain. Seperti ada
sesuatu yang istimewa di antara kalian.
Bahkan selama di sini sikapmu padanya semakin berlebihan. Kamu seperti
tak ingin jauh darinya. Jangan lupa, Vi. Kamu sudah jadi kekasih kakakku.
Jangan mentang-mentang Kak Niko berada di Amerika kamu seenaknya jalan dengan
cowok lain.”
“Din, percayalah. Kedekatanku dengan Ario hanya untuk
menolong belajarku. Tanpa bantuan dari dia belum tentu aku masuk tiga besar di
kelas. Nggak mungkin aku jatuh cinta padanya.”
Jelas sekali semuanya. Seakan dihantam oleh benda yang
sangat beras, mendadak seluruh tubuhku terasa lesu. Kugigit bibir getir.
Ternyata kebersamaan kita selama ini tak berarti apa-apa bagimu. Dengan langkah
gontai aku kembali ke penginapan putra. Aku sangat terluka.
Salahku
sendiri. Seharusnya sejak dulu aku menyadari perbedaan di antara kita.
Seharusnya aku berkaca agar tak berangan-angan untuk memilikimu. Karena
mengharapkanmu sama saja dengan mengejar bayangan purnama di atas air.
♥ ♥ ♥
Sepulang dari
study tour aku mulai menjaga jarak denganmu. Di Sekolah aku selalu
menghindarimu. Tak ada lagi acara mencari buku berdua ke perpustakaan. Tak ada
lagi acara jajan bareng ke kantin. Tak ada lagi acara pulang bareng dari
sekolah. Aku selalu mencari alasan. Kubilang sedang nggak mood, sibuk, capek,
ada acara lain atau apa saja alasan yang masuk akal jika kamu mengajakku jalan
bersama.
Rupanya kamu
menyadari perubahan sikapku. Siang itu selesai pelajaran terakhir, kamu
mengajakku bicara. Kelas telah sepi. Hanya ada kita berdua.
“Apa yang ingin
kamu bicarakan, Vi?” tanyaku memecah kesunyian di antara kita kita.
“Kamu berubah
akhir-akhir ini, Rio,” ucapmu lirih.
“Berubah? Aku tak pernah berubah. Mungkin itu perasaan
kamu saja,” sahutku.
“Kamu selalu menghindariku. Apa salahku padamu, Rio?” tanyamu sambil menatapku dengan mata sendumu.
Tatapan yang meluruhkan hatiku. Namun saat teringat kembali apa yang kamu
bilang kepada Dini malam itu, tiba-tiba lukaku kembali terkuak. Kamu bertanya
tentang kesalahan padaku. Ingin aku mengatakan rasa sakit hatiku. Ingin aku
berteriak tentang rasa terlukaku. Tapi aku hanya mampu menggelengkan kepala.
“Kamu tidak pernah bersalah padaku. Kamu adalah cewek
terbaik yang pernah kutemui. Hanya saja aku tak bisa menerima semua
kebaikanmu,” ujarku.
“Kenapa?” tanyamu kecewa dan terluka. Jelas di matamu
yang basah.
“Aku tak pantas menerimanya, Vi,” aku menggelengkan
kepala. Lalu aku meninggalkan kamu.
Hari itu adalah pembicaraan kita yang terakhir. Satu
bulan kemudian acara perpisahan sekolah.
Aku tak bisa menghadiri acara itu karena mendapat beasiswa untuk meneruskan
pendidikan ke negeri Jepang bersama 10 orang pelajar yang lolos seleksi dari
seluruh Indonesia.
Aku tak pernah pamit padamu, tak pernah mengucapkan kata selamat tinggal
untukmu. Dua tahun aku berada di negeri Jepang. Ternyata waktu sesingkat itu
tak cukup untuk mengubur namamu. Keindahan kota Osaka dan senyum manis
gadis-gadis Sakura tak sebanding dengan pesona senyummu. Aku tak bisa
menghilangkan bayangan dirimu yang begitu kuat mencengkramku. Hingga kadang aku
berurai air mata jika teringat padamu. Padahal aku belum pernah mengeluarkan
air mata untuk hal lain.
Akhirnya tibalah saatnya untuk kembali ke tanah air.
Semula aku memilih untuk tak menemuimu. Untuk apa? Kupikir pertemuan kita hanya
akan membangkitkan luka lama di dalam jiwaku. Tapi ternyata jauh di lubuk
hatiku masih ada rindu yang tersisa. Rindu yang berbaur dengan rasa terluka.
Rinduku padamu, Vi. Rindu setelah dua tahun tak bertemu. Rasa rindu itu yang
membuatku akhirnya datang menemuimu, sebulan setelah kepulanganku dari Osaka.
♥ ♥ ♥
Di depan rumahmu beberapa saat aku terdiam. Suasana dari
luar terlihat sepi. Aku melangkah masuk lewat pintu pagar yang sedikit terbuka.
Perasaanku berdebar-debar di antara bunga-bunga Anggrek dan Suplir yang
kulewati. Hatiku diliputi berbagai pertanyaan. Adakah kamu di rumah? Bagaimana
reaksimu jika melihatku? Akankah ada binar rindu di matamu yang bening? Kutarik
napas dalam-dalam. Perlahan kupijit bel.
Mamamu muncul di depan pintu. Ia seperti keheranan
melihatku. Aku yakin ia lupa-lupa ingat padaku.
“Selamat sore, Tante,” sapaku sambil tersenyum.
“Sore. Ada
perlu sama siapa?” tanyanya.
“Saya mau bertemu dengan Vevi.”
“Vevi?” ia seperti kaget mendengar namu disebut.
“Ya. Vevi Herawati,” aku menyebutkan nama lengkapmu.
“Adik ini siapa?”
“Saya Ario, teman Vevi waktu di SMA dulu.”
“Ario? Yang mendapat beasiswa kuliah ke Jepang? Vevi
sering cerita tentang kamu. Tapi… apakah Nak Ario belum tahu?” Tiba-tiba
kulihat mendung di wajahnya. Aku menggelengkan kepala tak mengerti dengan
ucapannya.
“Vevi, putri kami satu-satunya… telah meninggal setahun
yang lalu….”
“Apa?!” Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Aku
menatap mamamu tak percaya dengan apa yang diucapkannya.
“Jadi Vevi… dia… dia telah….”
“Dia sakit keras. Entah mengapa penyakitnya tak bisa
disembuhkan….”
Ucapan terakhir
mamamu yang disertai linangan air mata membuatku tertegun. Mendadak seluruh
tubuhku lesu. Tubuhku terasa terbang sesaat, lalu meluncur deras ke bebatuan
yang terjal.
♥ ♥ ♥
Selamat sore, Vi….
Telah lama aku di sini. Di depan serumpun bunga Mawar
yang tumbuh di atas pusaramu. Sejak mamamu memberi tahu di mana kamu bisa
ditemui setelah setahun lalu sakit dan tak bisa disembuhkan. Tapi aku belum
ingin pulang. Aku masih ingin menatap nama indahmu yang terukir di batu nisan,
sambil mengenang hal-hal indah yang pernah menjadi milik kita bersama.
Vi, jika saja kamu masih bisa mendengar, ingin kukatakan
satu hal padamu. Mungkin aku akan mengalami beberapa cinta dalam hidupku. Tapi
cinta pertamaku telah terkubur di sini bersama jasadmu. Menyatu dengan tanah
dan mewangi seperti bunga Mawar yang tumbuh di atas pusaramu. Semoga kamu bahagia
dalam tidur panjangmu. Amin.
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar