Minggu, 14 Juni 2015

KITA PERNAH BERSAMA






Selamat sore, Vi….
Aku pulang dari Negeri Sakura seminggu yang lalu. Namun ada satu hal yang masih kuragukan sebelum aku pulang ke tanah air. Bagaimana aku harus bersikap padamu. Menemuimu atau membiarkanmu tak mengetahui tentang kepulanganku setelah dua tahun meneruskan studiku di negeri Sakura. Demi sepotong masa lalu yang terlanjur tertulis sebagai sebuah cerita pahit bagiku. Tapi keraguan itu menghilang. Tak bersisa. Beganti dengan bermacam rasa yang tak pernah kuduga. Bahkan tak terlintas dalam mimpi burukku sekali pun. Rasa yang menyiksa. Rasa bersalah, rasa kehilangan, rasa menyesal, rasa terluka dan entah rasa apa lagi. Yang bergema memenuhi dadaku hingga napasku terasa sesak. Dan mengubah setitik harapan menjadi butir-butir air mata.
           
Aku mengenalmu di bangku SMA. Sejak semula kamu telah menjadi pusat perhatian semuanya. Nama Vevi Herawati begitu terkenal. Kamu memang memiliki banyak kelebihan. Cantik, smart, berasal dari srata atas dan supel bergaul. Tak heran jika sepertinya keberadaanmu di sekolah kita membuat siswi-siswi lain tak berarti apa pun. Semua mengagumimu, semua senang jika bicara tentangmu.
            Aku juga mengagumimu, Vi. Namun apalah arti kekagumanku. Aku Cuma seorang cowok biasa yang minder dengan keadaanku. Aku seorang anak desa yang datang ke kota dengan segala kesederhanaan untuk meneruskan sekolah. Jauh dibandingkan dengan anak-anak lain yang tampil modis. Apalagi dibandingkan dirimu yang setiap hari diantarjemput dengan mobil mewah.
           Masih kuingat sesuatu yang mengubah segalanya bagiku, Vi. Pagi itu pak Tatang guru fisika kita masuk membawa berkas ulangan minggu lalu. Semua tegang memandang ke arah meja guru menunggu hasil ulangan dibagikan.
            “Mana yang bernama Ario?” suara pak Tatang memecah sepi.
      Aku tersentak kaget. Dengan jantung berdebar-debar aku mengacungkan tangan. Sementara teman-teman sekelas melihat dengan rasa kasihan. Mereka mungkin mengira aku akan kena teguran karena mendapat nilai jeblok. Tatapan mata pak Tatang yang tajam tertuju padaku. Debaran-debaran di dadaku semakin keras. Tapi tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya. Sungguh sikap yang tak biasa.
            “Nilai ulangan kamu sepuluh. Selamat, ya!” kata pak Tatang padaku.
            Semua mata serentak menatap kagum ke arahku. Dengan perasaan tak menentu aku melangkah ke muka kelas mengambil kertas ulanganku. Ketika kembali ke mejaku, secara tak  sengaja kita bertemu pandang dan kau tersenyum padaku. Baru saat itu kurasakan senyummu benar-benar tersungging untukku.

            Aku tengah membaca buku kimia ketika jam istirahat kamu menghampiri mejaku. Aku pura-pura tak mengetahui kehadiranmu dengan berlagak asyik membaca. Padahal sesungguhnya aku sudah tak berkonsentrasi lagi. Kamu duduk di sampingku membuat perasaanku berdebar-debar.
            “Kamu rajin banget,” sapamu lembut.
        “Eh Vevi,” aku menoleh. Dan kutemukan sepasang mata bening milikmu. Relung hatiku bergetar seketika, yang membuat desir-desir indah di seluruh tubuhku.
            “Mengganggu, ya?” katamu.
            “Ah, enggak,” sahutku.
            Kututup buku kimiaku dan kumasukkan ke dalam tas.
           “Boleh nggak minjem buku fisikamu? Aku nggak sempat nyatet pelajaran minggu kemarin,” ujarmu berharap. Hal yang sebelumnya tak pernah kau lakukan padaku.
          Aku heran. Kamu meminjam buku catatanku, padahal kamu bisa meminjamnya kepada Dini teman sebangkumu atau kepada teman-teman dekatmu yang lain. Tapi tak banyak waktuku untuk memikirkan hal itu. Kukeluarkan buku catatan fisika dari dalam tas lalu kuberikan padamu.
            “Terima kasih, Rio,” ucapmu senang.
            Aku hanya mengangguk.
        “Oh ya, katanya teman-teman kita sering belajar di tempat kamu. Aku boleh gabung, nggak?” katamu.
            “Tapi…” aku kaget.
            “Kenapa? Kamu keberatan?” kamu menatapku.
           Kugelengkan kepala untuk tidak menyinggung perasaanmu, sambil berharap kamu tidak bersungguh-sungguh datang ke tempat kosku.
            “Terima kasih,” kamu nampak senang.
         Ternyata kamu serius, Vi. Sore harinya kamu datang ditemani Dini. Dan sejak itu kamu selalu datang ke tempat kosku jika ada jika ada tugas atau ada soal yang sulit. Semakin lama kita bertambah dekat. Kita sering menghabiskan waktu bersama. Di kelas, di kantin, di perpustakaan, di lapangan basket. Kebersamaan itu itu membuat hatiku dipenuhi rasa indah. Rasa yang sulit kucegah. Mengalir begitu kuatnya hingga seluruh ruang batinku hanya dipenuhi satu hal, perasaan sukaku padamu, Vi.

            Study Tour ke Jogja, bagian penting dari cerita kita hingga bergulir sampai saat ini. Ah, kadang kusesali acara itu. Andai saja aku tak mengikuti kegiatan study tour seperti yang semula kuputuskan. Tapi teman-teman mendesak, juga kamu. Malahan kamu yang paling sewot ketika aku bilang tak akan ikut. Akhirnya aku ikut juga, padahl aku telah mengumpulkan bahan kliping tempat-tempat wisata sebagai tugas pengganti bagi yang tidak ikut acara study tour.
            Kamu selalu berada di dekatku. Sejak di bis hingga saat berada di tempta-tempat rekreasi selama di Jogja. Kedekatan kita rupanya jadi perhatian teman-teman. Mereka begitu sering bercanda nyepet kita. Tapi tak sedikit pun rona tak senang di wajah mereka. Sepertinya mereka senang melihat kebersamaan kita. Hanya satu hal yang membuat perasaanku tak enak, tatapan sinis Dini teman sebangkumu. Aku tak mengerti mengapa ia seperti tidak suka melihat kebersamaan kita.
        Jawaban atas sikap Dini akhirnya kudapatkan. Malam itu ketika baru pulang dari Malioboro, aku datang ke penginapan putri untuk mengambil kipas yang kutitipkan padamu. Kipas bergambar kupu-kupu yang kubeli dari penjual lesehan yang bertebaran sepanjang Malioboro.  Aku mengambilnya karena suasana gerah di kamarku.
           Aku hendak mengetuk pintu kamarmu. Tapi kuurungkan ketika mendengar pembicaraan cukup keras di dalam. Entah kenapa aku tertarik untuk mengupingnya.
            “Aku ingin mendengar penjelasan tentang kedekatanmu dengan Ario,” terdengar suara Dini.
Hatiku berdebar-debar mendengar namaku disebut.
            “Apa yang mesti kujelaskan?” sahutmu beberapa saat kemudian.
            “Jangan mengelak, Vi. Kuperhatikan kamu makin dekat aja dengannya, seperti ada sesuatu di antara kalian.”
            “Ya, aku memang dekat dengan Ario. Tapi apa salahnya? Ario baik. Selama ini ia banyak membantu belajarku.”
            “Tapi yang kulihat belakangan ini sudah lain. Seperti ada sesuatu yang istimewa di antara kalian.  Bahkan selama di sini sikapmu padanya semakin berlebihan. Kamu seperti tak ingin jauh darinya. Jangan lupa, Vi. Kamu sudah jadi kekasih kakakku. Jangan mentang-mentang Kak Niko berada di Amerika kamu seenaknya jalan dengan cowok lain.”
            “Din, percayalah. Kedekatanku dengan Ario hanya untuk menolong belajarku. Tanpa bantuan dari dia belum tentu aku masuk tiga besar di kelas. Nggak mungkin aku jatuh cinta padanya.”
            Jelas sekali semuanya. Seakan dihantam oleh benda yang sangat beras, mendadak seluruh tubuhku terasa lesu. Kugigit bibir getir. Ternyata kebersamaan kita selama ini tak berarti apa-apa bagimu. Dengan langkah gontai aku kembali ke penginapan putra. Aku sangat terluka.
Salahku sendiri. Seharusnya sejak dulu aku menyadari perbedaan di antara kita. Seharusnya aku berkaca agar tak berangan-angan untuk memilikimu. Karena mengharapkanmu sama saja dengan mengejar bayangan purnama di atas air.

Sepulang dari study tour aku mulai menjaga jarak denganmu. Di Sekolah aku selalu menghindarimu. Tak ada lagi acara mencari buku berdua ke perpustakaan. Tak ada lagi acara jajan bareng ke kantin. Tak ada lagi acara pulang bareng dari sekolah. Aku selalu mencari alasan. Kubilang sedang nggak mood, sibuk, capek, ada acara lain atau apa saja alasan yang masuk akal jika kamu mengajakku jalan bersama.
Rupanya kamu menyadari perubahan sikapku. Siang itu selesai pelajaran terakhir, kamu mengajakku bicara. Kelas telah sepi. Hanya ada kita berdua.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Vi?” tanyaku memecah kesunyian di antara kita kita.
“Kamu berubah akhir-akhir ini, Rio,” ucapmu lirih.
            “Berubah? Aku tak pernah berubah. Mungkin itu perasaan kamu saja,” sahutku.
            “Kamu selalu menghindariku. Apa salahku padamu, Rio?” tanyamu sambil menatapku dengan mata sendumu. Tatapan yang meluruhkan hatiku. Namun saat teringat kembali apa yang kamu bilang kepada Dini malam itu, tiba-tiba lukaku kembali terkuak. Kamu bertanya tentang kesalahan padaku. Ingin aku mengatakan rasa sakit hatiku. Ingin aku berteriak tentang rasa terlukaku. Tapi aku hanya mampu menggelengkan kepala.
            “Kamu tidak pernah bersalah padaku. Kamu adalah cewek terbaik yang pernah kutemui. Hanya saja aku tak bisa menerima semua kebaikanmu,” ujarku.
            “Kenapa?” tanyamu kecewa dan terluka. Jelas di matamu yang basah.
            “Aku tak pantas menerimanya, Vi,” aku menggelengkan kepala. Lalu aku meninggalkan kamu.
            Hari itu adalah pembicaraan kita yang terakhir. Satu bulan kemudian  acara perpisahan sekolah. Aku tak bisa menghadiri acara itu karena mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke negeri Jepang bersama 10 orang pelajar yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia. Aku tak pernah pamit padamu, tak pernah mengucapkan kata selamat tinggal untukmu. Dua tahun aku berada di negeri Jepang. Ternyata waktu sesingkat itu tak cukup untuk mengubur namamu. Keindahan kota Osaka dan senyum manis gadis-gadis Sakura tak sebanding dengan pesona senyummu. Aku tak bisa menghilangkan bayangan dirimu yang begitu kuat mencengkramku. Hingga kadang aku berurai air mata jika teringat padamu. Padahal aku belum pernah mengeluarkan air mata untuk hal lain.
            Akhirnya tibalah saatnya untuk kembali ke tanah air. Semula aku memilih untuk tak menemuimu. Untuk apa? Kupikir pertemuan kita hanya akan membangkitkan luka lama di dalam jiwaku. Tapi ternyata jauh di lubuk hatiku masih ada rindu yang tersisa. Rindu yang berbaur dengan rasa terluka. Rinduku padamu, Vi. Rindu setelah dua tahun tak bertemu. Rasa rindu itu yang membuatku akhirnya datang menemuimu, sebulan setelah kepulanganku dari Osaka.


            Di depan rumahmu beberapa saat aku terdiam. Suasana dari luar terlihat sepi. Aku melangkah masuk lewat pintu pagar yang sedikit terbuka. Perasaanku berdebar-debar di antara bunga-bunga Anggrek dan Suplir yang kulewati. Hatiku diliputi berbagai pertanyaan. Adakah kamu di rumah? Bagaimana reaksimu jika melihatku? Akankah ada binar rindu di matamu yang bening? Kutarik napas dalam-dalam. Perlahan kupijit bel.
          Mamamu muncul di depan pintu. Ia seperti keheranan melihatku. Aku yakin ia lupa-lupa ingat padaku.
            “Selamat sore, Tante,” sapaku sambil tersenyum.
            “Sore. Ada perlu sama siapa?” tanyanya.
            “Saya mau bertemu dengan Vevi.”
            “Vevi?” ia seperti kaget mendengar namu disebut.
            “Ya. Vevi Herawati,” aku menyebutkan nama lengkapmu.
            “Adik ini siapa?”
            “Saya Ario, teman Vevi waktu di SMA dulu.”
            “Ario? Yang mendapat beasiswa kuliah ke Jepang? Vevi sering cerita tentang kamu. Tapi… apakah Nak Ario belum tahu?” Tiba-tiba kulihat mendung di wajahnya. Aku menggelengkan kepala tak mengerti dengan ucapannya.
            “Vevi, putri kami satu-satunya… telah meninggal setahun yang lalu….”
            “Apa?!” Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Aku menatap mamamu tak percaya dengan apa yang diucapkannya.
            “Jadi Vevi… dia… dia telah….”
            “Dia sakit keras. Entah mengapa penyakitnya tak bisa disembuhkan….”
Ucapan terakhir mamamu yang disertai linangan air mata membuatku tertegun. Mendadak seluruh tubuhku lesu. Tubuhku terasa terbang sesaat, lalu meluncur deras ke bebatuan yang terjal.

               Selamat sore, Vi….
            Telah lama aku di sini. Di depan serumpun bunga Mawar yang tumbuh di atas pusaramu. Sejak mamamu memberi tahu di mana kamu bisa ditemui setelah setahun lalu sakit dan tak bisa disembuhkan. Tapi aku belum ingin pulang. Aku masih ingin menatap nama indahmu yang terukir di batu nisan, sambil mengenang hal-hal indah yang pernah menjadi milik kita bersama.
            Vi, jika saja kamu masih bisa mendengar, ingin kukatakan satu hal padamu. Mungkin aku akan mengalami beberapa cinta dalam hidupku. Tapi cinta pertamaku telah terkubur di sini bersama jasadmu. Menyatu dengan tanah dan mewangi seperti bunga Mawar yang tumbuh di atas pusaramu. Semoga kamu bahagia dalam tidur panjangmu. Amin.

selesai

Tidak ada komentar: