Win, seminggu yang lalu aku datang ke sekolah kita dulu untuk melegalisir ijazahku. Tak banyak yang berubah. Bangunannya masih seperti dulu, kuno tapi nampak masih kokoh. Hanya papan namanya yang berubah menjadi SMU 1 Garut, bukan SMA 3 Garut lagi. Lama aku di sana. Menyusuri setiap sudut tempat itu sambil mengenang kembali masa lalu yang pernah jadi milikku.
Sosok-sosok yang pernah begitu dekat denganku satu persatu
terbayang. Sahabat-sahabatku, lawan berantemku, guru-guruku, dan akhirnya sosok
seorang gadis berwajah sendu yang memperkenalkanku pada bahasa cinta. Mengisi
hari-hariku menjadi demikian indah dan penuh bunga. Sosokmu, Win. Tanpa
kusadari air mata tergenang di pelupuk mata hingga pandanganku kabur.
Begitu banyak cerita yang terjadi di sana. Begitu banyak peristiwa yang kualami.
Disuruh berdiri di depan kelas oleh bu Lisye guru biologiku karena tak bisa
menjelaskan bagan peredaran darah manusia, dimarahi bu Yani wali kelasku karena
jadi biang keributan di kelas, dipanggil oleh kepala sekolah karena memelopori
acara bolos massal. Dan masih banyak hal lainnya. Tapi dari semua itu tak ada
yang mengalahkan sebuah cerita yang demikian dalam tergurat dalam kalbuku,
cerita antara kau dan aku yang masih ingin selalu kukenang walau di setiap
akhir kenangan menguraikan air mataku.
♥ ♥ ♥
Aku mengenalmu menginjak kelas dua. Saat itu kamu masih
siswi baru di kelas satu. Tapi namamu begitu sering kudengar. Entah apa
kelebihanmu yang membuat namamu sering dibicarakan. Semula aku tak peduli. Aku
tak pernah tertarik dengan cewek. Setidaknya sampai kelas 2 SMU aku belum
pernah punya perasaan apa-apa terhadap makhluk bernama cewek. Tapi tiba-tiba
segalanya berubah ketika kutemukan seraut wajah dihiasi mata sendu yang membuat
seluruh relung hatiku bergetar. Kamu, Win.
Perasaan cinta itu ternyata indah ya, Win. Ah… sulit
kujelaskan. Kukira lagu cinta terindah pun belum ada yang mampu melukiskan
keindahan rasa cinta sesungguhnya.
Diam-diam aku sering memperhatikanmu.
Entahlah, ada rasa bahagia di hatiku jika melihatmu. Tapi aku tak pernah berani
mendekatimu. Apalagi untuk mengungkapkan perasaanku. Hal yang kemudian kusesali
sampai detik ini. Satu-satunya hal yang kulakukan untuk mengungkapkan rasaku
padamu adalah menulis puisi dan cerpen di majalah sekolah, dengan harapan bisa
dibaca oleh kamu. Kutulis nama Arwin Williyan di setiap karyaku, singkatan dari
nama kita, Arie dan Winny Williyani. Tapi ternyata hal itu menjadi awal
segalanya. Entah dari siapa mulainya ketika beredar gosip di sekolah kita bahwa
aku naksir kamu, dan nama itu singkatan nama kita.
♥ ♥ ♥
Aku masih ingat siang itu lewat Erwin teman
sekelasku, kamu mengajakku bicara di sekretariat OSIS. Selepas jam pelajaran
terakhir dengan hati berdebar dan penuh tanya kulangkahkan kaki untuk
menemuimu. Ternyata kamu datang lebih dulu dan sedang menungguku.
“Maaf membuat kamu menunggu. Kamu ingin bicara denganku?”
kataku setelah kita duduk berhadapan.
“Ya,” sahutmu dingin.
“Ada
apa, Win?” debaran di hatiku semakin keras menatapmu.
“Aku nggak suka kamu menulis tentang diriku di majalah
sekolah.”
“Eu… emh… eu…” aku tergagap. Sama sekali tak terlintas
dalam pikiranku kamu akan bicara seperti itu. Tapi kucoba menguasai diri.
“Win, kulakukan hal itu
karena aku tak tahu lagi apa yang mesti kuperbuat untuk mengungkapkan perasaanku
padamu,” ucapku getir.
“Apa yang sudah kamu tulis menimbulkan gosip seolah-olah
ada hubungan istimewa antara kita. Kamu sengaja ngerencanain semua ini kan?”
“Aku… “ kerongkonganku tercekat.
“Asal tahu saja, aku merasa terganggu dengan gosip itu,”
tegasmu tanpa perasaan.
“Winny, selama ini aku mencintaimu dengan segenap rasa
cinta yang ada dalam hatiku. Tapi jika ternyata hal itu kau anggap sebagai
suatu kesalahan, baiklah… aku akan berusaha melupakan kamu. Maafkan tentang
tulisan-tulisanku di majalah sekolah, aku janji tak akan membuatnya lagi,”
kataku di tengah rasa sakit yang menusuk-nusuk hatiku. Kemudian aku
meninggalkanmu. Detik itu pula aku berjanji untuk melupakan segala hal
tentangmu.
Sejak saat itu aku tak pernah menulis lagi untuk majalah
sekolah. Namun ide-ide untuk menulis cerpen dan puisi semakin banyak. Rasa
patah hati karenamu ternyata membuat seluruh rasaku bergejolak sehingga menjadi
pendorong untuk menuliskan rasa hati.
Kukirimkan
naskah-naskah puisi dan cerpenku ke majalah-majalah remaja ibu kota. Satu demi satu
karyaku dimuat. Hingga karyaku yang berjudul Senandung Rindu, sebuah cerpen
tentang kesungguhan hatiku mencintai seorang gadis dimuat pula di edisi
valentin. Semua temanku di sekolah membacanya. Dan entah bagaimana caranya cerpen
itu bisa sampai ke tanganmu. Aku memang tidak pernah berharap kamu akan
membacanya. Untuk apa? Kamu tak akan pernah peduli. Kamu bukan pengagum seorang
cowok pengecut sepertiku yang hanya berani mengungkapkan perasaan lewat puisi
dan cerpen. Namun pagi itu seminggu setelah cerpen itu dimuat di majalah,
kudapatkan sepucuk surat di kotak surat sekolah untukku.
Trim’s atas cinta putihmu. Maafkan untuk hal yang
pernah kulakukan padamu. Kapan lagi kamu akan membuatkan puisi dan cerpen
untukku?
Singkat sekali
isinya. Namun sebelum perasaanku terlambung, kubuang surat itu. Aku tak yakin tulisan itu kamu
yang buat. Entahlah. Aku pun tak pernah menanyakannya padamu. Sampai akhirnya
aku lulus sekolah dan tak pernah bertemu lagi denganmu.
♥ ♥ ♥
Winny,
mengenangmu adalah luka bagiku. Tapi entah mengapa segala hal tentangmu tak
pernah pergi dari jiwaku. Hingga kini, bertahun-tahun setelah aku meninggalkan
sekretariat OSIS dengan membawa hati yang terluka, dan segumpal janji untuk
melupakan segala hal tentangmu. Di mana kamu, Win? Ini aku, Arie… aku sangat
rindu padamu.
selesai
1 komentar:
wah benar benar terharu pak dengan ceritanya siiip....
Posting Komentar