Kamis, 11 Juni 2015

Cerpen, WINNY DI MANA


 

Win, seminggu yang lalu aku datang ke sekolah kita dulu untuk melegalisir ijazahku. Tak banyak yang berubah. Bangunannya masih seperti dulu, kuno tapi nampak masih kokoh. Hanya papan namanya yang berubah menjadi SMU 1 Garut, bukan SMA 3 Garut lagi. Lama aku di sana. Menyusuri setiap sudut tempat itu sambil mengenang kembali masa lalu yang pernah jadi milikku.

          Sosok-sosok yang pernah begitu dekat denganku satu persatu terbayang. Sahabat-sahabatku, lawan berantemku, guru-guruku, dan akhirnya sosok seorang gadis berwajah sendu yang memperkenalkanku pada bahasa cinta. Mengisi hari-hariku menjadi demikian indah dan penuh bunga. Sosokmu, Win. Tanpa kusadari air mata tergenang di pelupuk mata hingga pandanganku kabur.
            Begitu banyak cerita yang terjadi di sana. Begitu banyak peristiwa yang kualami. Disuruh berdiri di depan kelas oleh bu Lisye guru biologiku karena tak bisa menjelaskan bagan peredaran darah manusia, dimarahi bu Yani wali kelasku karena jadi biang keributan di kelas, dipanggil oleh kepala sekolah karena memelopori acara bolos massal. Dan masih banyak hal lainnya. Tapi dari semua itu tak ada yang mengalahkan sebuah cerita yang demikian dalam tergurat dalam kalbuku, cerita antara kau dan aku yang masih ingin selalu kukenang walau di setiap akhir kenangan menguraikan air mataku.
            Aku mengenalmu menginjak kelas dua. Saat itu kamu masih siswi baru di kelas satu. Tapi namamu begitu sering kudengar. Entah apa kelebihanmu yang membuat namamu sering dibicarakan. Semula aku tak peduli. Aku tak pernah tertarik dengan cewek. Setidaknya sampai kelas 2 SMU aku belum pernah punya perasaan apa-apa terhadap makhluk bernama cewek. Tapi tiba-tiba segalanya berubah ketika kutemukan seraut wajah dihiasi mata sendu yang membuat seluruh relung hatiku bergetar. Kamu, Win.
            Perasaan cinta itu ternyata indah ya, Win. Ah… sulit kujelaskan. Kukira lagu cinta terindah pun belum ada yang mampu melukiskan keindahan rasa cinta sesungguhnya.
           Diam-diam aku sering memperhatikanmu. Entahlah, ada rasa bahagia di hatiku jika melihatmu. Tapi aku tak pernah berani mendekatimu. Apalagi untuk mengungkapkan perasaanku. Hal yang kemudian kusesali sampai detik ini. Satu-satunya hal yang kulakukan untuk mengungkapkan rasaku padamu adalah menulis puisi dan cerpen di majalah sekolah, dengan harapan bisa dibaca oleh kamu. Kutulis nama Arwin Williyan di setiap karyaku, singkatan dari nama kita, Arie dan Winny Williyani. Tapi ternyata hal itu menjadi awal segalanya. Entah dari siapa mulainya ketika beredar gosip di sekolah kita bahwa aku naksir kamu, dan nama itu singkatan nama kita.
Aku    masih ingat siang itu lewat Erwin teman sekelasku, kamu mengajakku bicara di sekretariat OSIS. Selepas jam pelajaran terakhir dengan hati berdebar dan penuh tanya kulangkahkan kaki untuk menemuimu. Ternyata kamu datang lebih dulu dan sedang menungguku.
            “Maaf membuat kamu menunggu. Kamu ingin bicara denganku?” kataku setelah kita duduk berhadapan.
            “Ya,” sahutmu dingin.
            “Ada apa, Win?” debaran di hatiku semakin keras menatapmu.
            “Aku nggak suka kamu menulis tentang diriku di majalah sekolah.”
            “Eu… emh… eu…” aku tergagap. Sama sekali tak terlintas dalam pikiranku kamu akan bicara seperti itu. Tapi kucoba menguasai diri.
            “Win, kulakukan hal itu karena aku tak tahu lagi apa yang mesti kuperbuat untuk mengungkapkan perasaanku padamu,” ucapku getir.
            “Apa yang sudah kamu tulis menimbulkan gosip seolah-olah ada hubungan istimewa antara kita. Kamu sengaja ngerencanain semua ini kan?”
            “Aku… “ kerongkonganku tercekat.
            “Asal tahu saja, aku merasa terganggu dengan gosip itu,” tegasmu tanpa perasaan.
            “Winny, selama ini aku mencintaimu dengan segenap rasa cinta yang ada dalam hatiku. Tapi jika ternyata hal itu kau anggap sebagai suatu kesalahan, baiklah… aku akan berusaha melupakan kamu. Maafkan tentang tulisan-tulisanku di majalah sekolah, aku janji tak akan membuatnya lagi,” kataku di tengah rasa sakit yang menusuk-nusuk hatiku. Kemudian aku meninggalkanmu. Detik itu pula aku berjanji untuk melupakan segala hal tentangmu.
            Sejak saat itu aku tak pernah menulis lagi untuk majalah sekolah. Namun ide-ide untuk menulis cerpen dan puisi semakin banyak. Rasa patah hati karenamu ternyata membuat seluruh rasaku bergejolak sehingga menjadi pendorong untuk  menuliskan rasa hati.
Kukirimkan naskah-naskah puisi dan cerpenku ke majalah-majalah remaja ibu kota. Satu demi satu karyaku dimuat. Hingga karyaku yang berjudul Senandung Rindu, sebuah cerpen tentang kesungguhan hatiku mencintai seorang gadis dimuat pula di edisi valentin. Semua temanku di sekolah membacanya. Dan entah bagaimana caranya cerpen itu bisa sampai ke tanganmu. Aku memang tidak pernah berharap kamu akan membacanya. Untuk apa? Kamu tak akan pernah peduli. Kamu bukan pengagum seorang cowok pengecut sepertiku yang hanya berani mengungkapkan perasaan lewat puisi dan cerpen. Namun pagi itu seminggu setelah cerpen itu dimuat di majalah, kudapatkan sepucuk surat di kotak surat sekolah untukku.
Trim’s atas cinta putihmu. Maafkan untuk hal yang pernah kulakukan padamu. Kapan lagi kamu akan membuatkan puisi dan cerpen untukku?
Singkat sekali isinya. Namun sebelum perasaanku terlambung, kubuang surat itu. Aku tak yakin tulisan itu kamu yang buat. Entahlah. Aku pun tak pernah menanyakannya padamu. Sampai akhirnya aku lulus sekolah dan tak pernah bertemu lagi denganmu.
Winny, mengenangmu adalah luka bagiku. Tapi entah mengapa segala hal tentangmu tak pernah pergi dari jiwaku. Hingga kini, bertahun-tahun setelah aku meninggalkan sekretariat OSIS dengan membawa hati yang terluka, dan segumpal janji untuk melupakan segala hal tentangmu. Di mana kamu, Win? Ini aku, Arie… aku sangat rindu padamu.
                   selesai

1 komentar:

Upt-pend.cisompet mengatakan...

wah benar benar terharu pak dengan ceritanya siiip....